alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Selasa, 31 Desember 2019

BEDIL-BEDILAN


Sumber gambar: abdulsyukur.blog.undip.ac.id.

"Dhor...Dhor.. "

Bak tentara sedang berperang, anak-anak saling berkejaran, bersembunyi, tiarap, merayap, mengintai, kemudian melepaskan tembakan dari bedil-bedilan di tangannya. Bedil-bedilan yang terbuat dari bambu itu suaranya cukup mengagetkan.

Minggirlah, kalau mereka sedang main perang-perangan karena bisa terkena peluru nyasar yang rasanya cukup menyengat di kulit. Buket-buket dedaunan yang terikat di pinggang mereka berisi buah kandri yang mereka gunakan sebagai peluru. Buah bulat berdiameter 5 mm dan berwarna hijau muda ini menjadi salah satu pilihan peluru untuk bedil-bedilan bambu. Daging buahnya yang lunak dan kesat bisa memyesuaikan dengan lubang carang bambu (ranting bambu berukuran kecil) dan biji di dalamnya yang keras membuat peluru ini cukup menyengat jika terkena kulit. Buah ini bisa diperoleh dari pohon kandri yang tumbuh liar di pinggir kali.

Cara membuat bedil-bedilan adalah:
1. Pilih carang bambu dengan lubang berdiameter kurang lebih 4 mm. atau lebih kecil dari diameter buah kandri.
2. Potong carang bambu kurang lebih 25 cm. Ambillah bagian tengah di antara buku-buku karena lubang pada bagian ini berdiameter sama di ujung yang satu dengan ujung lainnya.
3. Ambil carang bambu lainnya untuk membuat penusuk lubangnya.
4. Potong bambu penusuk sepanjang 24,5 cm ditambah 10 cm sebagai gagang. Raut 24,5 cm. sebagai penusuk sedikit lebih kecil dari lobang bambu selonsong dan raut sisanya agak lebih besar agar bisa dimasukkan dengan erat ke bambu gagang.
5. Potong carang bambu 10 cm. untuk gagang bedil-bedilan.

Cara mengoperasikannya:
1. Masukkan buah kandri dari bagian belakang.
2. Tusuk dengan penusuknya. Pada tusukan pertama, kandri tidak melesat keluar dan hanya menyangkut di ujung bedil.
3. Masukkan sekali lagi kandri dari belakang. Tusukkan dengan hentakan keras. Kandri pertama akan melesat dengan cepat karena tekanan udara dari tusukan kandri kedua.

"Dor....dor"

Selamat berkarya.

NB: Peluru buah kandri ini bisa diganti dengan kertas basah. Kertas yg basah dicuil seukuran buah kandri atau lebih besar. Yang penting bisa masuk ke lubang bambu. Namun peluru kertas ini tidak semenggelegar dan tidak semenyengat peluru buah kandri.

KACANG REBUS, LEPET DAN PELAS


"Kacang rebus, lepet, pelas Pak," tawar sang penjual keliling di Pantai Setrojenar, Bocor, Kebumen.
"Kacangnya berapanan Bu?" tanyaku
"Sepuluh ribu tiga mangkok Pak, lepet satu gandeng lima ribu isi tiga, pelasnya seribuan. Kacangnya beli berapa? Lepetnya berapa? Pelasnya berapa?" tanya sang penjual mencoba merayuku.
"Kacangnya saja Bu, sepuluh ribu," jawabku
"Lepetnya nggak sekalian? Ini enak dimakan sama pelas. Ini pelas kacang merah dicampur teri Pak. Enak dan gurih," kata sang penjual sambil membuka salah satu pelas yang dibungkus daun pisang.
"Nggak Bu. Saya sudah sarapan Bu. Masih kenyang. Kacangnya saja," jawabku.

Akhirnya sang penjual mengalah, membungkus kembali pelasnya dan hanya menakar 3 mangkok kacang rebus yang kupesan kemudian dimasukkan ke plastik kresek hitam.

"Monggo Pak," kata sang penjual sambil menyodorkan kacang rebus tersebut.

Kucari uang di saku. Tak ada uang. Dompet juga tak afa. Ealah..tadi uangnya di dompet semua. Dompetnya ada di tas istri.

"Sebentar Bu," kataku kepada sang penjual. Aku menghampiri istriku yang sedang asyik bermain air laut.
"Ma...mau kacang rebus nggak?"
"Nggak ah," jawab istriku menolak
"Mbok mau sih. Buat cemilan sambil duduk-duduk menikmati ombak," desakku
"Ya boleh lah. Mana kacang rebusnya?" jawab istriku
"Ini.. Tapi belum dibayar, sepuluh ribu," kataku sambil menunjukkan plastik kresek hitam.

Sebagai istri yang sholihah, dia segera menghampiri penjual kacang rebus untuk membayarnya. Dompet dikeluarkannya dari tas. Uang sepuluh ribu dikeluarkan dari dompet dan dibayarkan ke sang penjual.

"Dah... sana terusin main airnya," kataku

Minggu, 29 Desember 2019

POHON ASAM BERBUAH DURIAN



Tidak hanya lagu yang aneh mengatakan "buah semangka berdaun sirih". Di sebelah barat Kedungtawon, sebuah dusun di wilayah Kecamatan Kutowinangun, Kebumen ada pohon asam berbuah durian. Pohon yang melegenda ini berbuah mengikuti musim durian. Setiap musim durian, biasanya pada bulan Desember, pohon asam jawa ini berbuah durian. Tidak melalui proses dari bunga, kemudian durian muda, durian besar. Tapi langsung berbuah durian matang siap santap.

Pohon asam jawa yang berderet di sebelah utara jalan provinsi di wilayah dukuh Kedungtawon ini dimanfaatkan oleh para pedagang buah durian untuk menggantung duriannya. Tak perlu lapak, tak perlu kios atau warung, durain-durian itu digantung bergelantungan pada dahan pohon asam jawa yang cukup rendah. Setiap orang yang melewati jalan ini disuguhi pemandangan buah durian lokal yang ranum dan aromanya menyebar kemana-mana.

"Jangan beli sekarang. Nanti nggak bisa ditawar," kata istriku mengingatkan.

Aku yang mudik ke Kedungtawon dan melewati arena durian ini pun terpaksa menahan diri untuk tidak mampir dahulu membeli durian.

"Belinya jalan kaki saja. Kita orang sini kok," lanjut istriku.

Politik dagang yang normal di manapun adalah barang dijual lebih mahal ke orang asing dan dijual lebih murah kepada orang sendiri. Pengecualian politik dumpingnya orang Jepang yang menjual lebih murah di luar negeri dan menjual mahal di dalam negeri Jepang sendiri. Politik dagang macam apa itu?

Menganut metode dagang yang normal-normal saja, pedagang durian di Kedungtawon ini biasanya menjual lebih mahal ke orang asing dan menjual agak murah ke orang lokal. Maka, untuk memperoleh harga yang paling murah, kita harus berperilaku sebagai orang lokal. Dengan berperilaku sebagai orang lokal, terasa ada kedekatan sejarah, keluarga, ekonomi, sosial, politik dan nasib. Dengan begitu, harga durian akan menjadi harga tetangga, harga saudara, harga persahabatan, harga pertemanan, dan harga kasihan. Caranya yaitu:
1. Jangan naik mobil. Selain dianggap orang kaya, orang lokal tidak perlu memakai mobil untuk membeli durian di tempat itu.
2. Memakai motor plat AA. AA adalah plat nomor Kebumen, Purworejo, Magelang dan sekitarnya di wilayah Kedu.
3. Bersepeda. itu sangat menunjukkan bahwa kita orang lokal. Tak mungkin naik sepeda dari Jakarta, Semarang atau Jogja hanya untuk membeli durian di Kedungtawon.
4. Jalan kaki lebih meyakinkan sebagai orang lokal, bahkan orang Kedungtawon asli. Apalagi ditambah memakai sandal japit.
5. Bahasa lokal. Minimal kita harus menggunakan Bahasa Kebumen alias Bahasa Ngapak-Ngapak walaupun ada bahasa yang lebih lokal yang menunjukkan bahwa kita adalah orang Kedungtawon, Kutowinangun dan sekitarnya. Tapi tak apalah memakai bahasa ngapak. Belajarlah kepada Ilham, Azkal dan Fadly, di serial Bocah Ngapak yang sudah tayang di televisi maupun di youtube. Walaupun kita sengaja jalan kaki dan memarkir mobil agak jauh dari lokasi tapi kalau kita berbahasa Indonesia yang baik dan benar, maka durian tetap ditawarkan mahal. Apalagi memakai bahasa Inggris. Jangan coba-coba. Karena penjualnya tak bisa berbahasa Inggris.
6. Tidak boleh sombong. Tidak perlu menunjukkan diri sebagai anak gubernur, anak bupati, anak pak lurah, anak pak RW, anak pak RT. Pengakuan seperti itu akan menambah ruwet karena pedagang durian tidak memerlukan itu dan mereka tidak akan percaya. Mereka baru percaya dengan pengakuan tersebut kalau kita menunjukkan Surat Keterangan Anak Siapa. Dan itu tak penting dan tak mempengaruhi harga durian.
7. Tidak boleh bohong. Kita tidak perlu berbohong bahwa kitalah yang menguasai wilayah tersebut, kitalah yang mempunyai tanah dimana pohon asam tersebut ditanam, kitalah yang menanam pohon asam tersebut. Perlu diketahui bahwa pohon asam itu ada dipinggir jalan raya, tanah milik pemerintah, umur pohon asam itu mungkin sudah lebih dari 50 tahun. Jadi tak perlu ngaku-aku. Mengaku saja kalau tak punya uang untuk beli durian.

Seandainya Anda tidak memungkinkan untuk melalkukan itu semua, Anda harus pandai-pandai merayu, menghiba, merendahkan diri dan memelas dalam menawar durian-durian tersebut.

Selamat mencoba!

KACANG HIJAU



"Kacang hijau ini dibawa ya!" kata ibu mertuaku.

Botol bekas air mineral ukuran satu liter itu penuh dengan biji-biji kacang hijau yang baru dipanen awal bulan ini.

Di daerah Kutowinangun, Kebumen, setelah panen padi pada bulan September, para petani menanam palawija sebelum menanam padi kembali pada musim hujan yaitu awal bulan Desember. Kacang hijau yang sudah tua dipetik masih dalam bentuk polong kemudian dijemur sampai kering. Kemudian dipisahkan kulitnya dengan cara diinjak-injak. Hasilnya adalah biji kacang hijau kering yang siap dimasak.

"Nggak usah bu. Sudah dibawain kacang hijau se-kresek sama Bulik Halimah," kataku mencoba menolak.
"Lha memang baru panen kacang hijau. Semua orang pasti punyanya kacang hijau. Sudah dibawa saja," desak ibu
"Kebanyakan Bu. Nanti membusuk dan nggak kemasak, malah mubadzir," kataku
"Kacang hijau ini awet bertahun-tahun. Ibu jamin nggak akan busuk atau kena ngengat bubuk." kata ibu ngotot.
"Beneran bisa awet sampai bertahun-tahun bu?" tanyaku tak percaya.
"Iya, kan sudah ibu tambahkan abu dapur sedikit di mulut botolnya. Dijamin kutu atau ngengat apapun tak akan makan kacang hijau ini. Nanti yang diberi oleh Bulik Halimah juga dimasukkan wadah, botol, toples atau kaleng. Kemudian ditaburi abu sedikit. Pasti awet." kata ibu mantap
"Wah.. Baru tahu ini Bu,"
"Ini resep kuno," jelas ibu mertuaku.

SATE AMBAL




Sate Ambal adalah sate ayam khas dari Kecamatan Ambal. Sate yang sambalnya terbuat dari tempe ini bisa ditemukan terutama di warung-warung sate di sepanjang jalan Daendels Ambal dan di depan pertokoan sepanjang jalan Kutowinangun, Kebumen.

Khusus penjual sate yang ada di depan pertokoan sepanjang jalan Kutowinangun, penjualnya menggunakan pikulan.

Satu porsi Rp 30.000 berisi 20 tusuk sate. Harga ketupat Rp. 2.000. Untuk ukuran makan normal biasanya cukup memesan sejinah. Sejinah adalah bahasa Kebumen yang artinya sepuluh.

"Sejinah mawon nggih pak. Kupate kalih. Kalih es teh," pesanku sore itu.

UNDUR-UNDUR PANTAI SETROJENAR KEBUMEN



Salah satu makanan khas di Pantai Setrojenar, Kecamatan Bocor Kabupaten Kebumen adalah undur-undur goreng.

Menurut Wikipedia, undur-undur laut, ketam pasir, atau juga yutuk, adalah sebangsa krustasea mirip ketam yang tergolong dalam superfamilia Hippoidea. Hewan beruas-ruas yang hidup di pasir pantai pada garis air laut ini dikenal dalam bahasa Inggris sebagai sand crab, mole crab, atau sand flea. Bentuknya oval, meruncing di ujung kepala dan ekornya, cembung di bagian atasnya atau punggungnya dan terdapat kaki-kaki di bawahnya.

Undur-undur ini ada yang digoreng garing dan dijual per plastik isi 10 ekor seharga Rp 5.000,-. Sedangkan peyek undur-undur dijual Rp 10.000,- per tiga buah.

Undur-undur laut yang rasanya gurih ini mengandung Omega 3 dan berkasiat menurunkan kadar gula darah.

"Bagian ekornya dibuang. Soalnya bisa membuat pusing," kata penjualnya.

Fakta atau mitos bahwa ekor undur-undur membuat pusing kepala? Entahlah, yang pasti aku menuruti saja kata-kata penjualnya untuk memotong ujung ekornya agar aman, nyaman, selamat dan sentausa walaupun aku tak bisa membedakan bagian kepala dan ekor karena sama-sama runcing. Yang penting kupotong sedikit salah satu ujungnya.

Kamis, 26 Desember 2019

MINGGU PAGIKU


Minggu pagi yang cerah. Setelah kemarin sore turun hujan, pagi ini seakan mendung telah habis. Langit membiru. Matahari bersinar terang. Aroma tanah basah menyemburat menambah kesegaran. Bunga warna-warni mekar di pot depan rumah menambah indahnya pagi.

Nasi hangat telah mengepul sejak tadi dari cething bambu memanggil-manggil perutku untuk segera menghabiskannya. Sayangnya, belum ada lauk untuk menemani nasi putih yang empuk itu.

"Bu... Pindange ayu-ayu. Tahune ginak-ginuuuk..." teriak penjual pindang sekaligus tahu mentah bermotor sembari memarkir motornya di bawah pohon mangga menunggu pembeli.

Beberapa ibu-ibu keluar termasuk istriku untuk membeli pindang dan tahu.

Sambil menunggu pindang dan tahu dimasak, aku menyeduh kopi hitam kesukaanku. Kopi lampung. Kuambil cangkir kecil, sendok, toples kopi dan toples gula. Sendoknya kecil atau sering disebut sendok teh. Padahal di Perancis disebut cuillère au café (sendok kopi)

Namun kulihat tutup toples gula sedikit membuka dan banyak semut di dalamnya. Ini bukan masalah besar dan sesuatu yang wajar, ada gula ada semut. Toples gula kugoyangkan sedikit saja, semut-semut hitam lincah bertubuh ceking dan tak mau menggigit manusia itu berlari kencang keluar dari wadah gula. Dan tak ada satupun yang berlari sambil membawa gula. Seakan mereka tahu bahwa itu gula ini milik manusia. Mereka hanya berkah mencicipi. Membawa gula tanpa ijin adalah perbuatan mencuri. Mencuri itu dosa. Masuk neraka.

Semut pergi. Aku mulai membuat komposisi kopiku. Tentu saja komposisi terbaik yang kudapat dari pengalaman panjang dengan petualangan yang penuh tantangan, penuh keringat tapi tak sampai berdarah-darah. Gula kurang lebih setengah sendok teh lebih sedikit dan kopinya agak banyak, dua sendok kurang sedikit. Kurangnya sekitar sepertujuh sendok. Pokoknya rumit. Harus memakai perasaan. Kutuang air extra hot tapi belum mencapai 100 derajat Celcius. Hasilnya top markotop.  Rasa pas, ada manisnya, ada kecutnya, dan banyak pahitnya. Istri dan anak-anakku dijamin tidak suka. "Rasa jamu" kata mereka.

Sambil menunggu masakan istriku matang, kubuka Kompas Minggu dan kuseruput kopi hitamku.

Rabu, 25 Desember 2019

TOKO SARUNG CINA



"Ci... sarungnya lihat. Saya mau milih," kata Bapakku di sebuah toko yang tidak begitu besar.

Beberapa contoh sarung dikeluarkan dan dijejer di atas etalase kuno yang rangkanya terbuat dari kayu.

"Ini 35 ribu, ini 55 ribu, 65 ribu, ini, 70 ribu, ini 145 ribu.....," kata Ci... (maaf tak tahu namanya). Yang aku tahu, dia memakai daster lengan pendek, sudah tua, tionghoa dan tak berjilbab.

"Ambil yang ini saja Ci. Empat buah ya. Tapi warnanya yang beda-beda. Dibungkus satu-satu ya Ci. Pakai kertas koran saja," pinta Bapakku

Segera Ci membungkus empat buah sarung itu dengan koran dimasukkan ke plastik kresek hitam satu-satu juga.

"Oh iya. Ini bisa kurang tidak?" tanya Bapakku lupa menawar.
"Ah Panjenangan kayak tidak sering ke sini. Harganya sudah mepet. Ini saja sudah paling murah," jelas Ci
"Ya sudah lah. Siapa tahu kali ini bisa ditawar,"

Sarung untuk hadiah teman-teman Bapak sudah dibeli, sekarang tinggal mengantar satu per satu ke orang yang dituju.

"Pak, Bapak kok belinya di toko itu. Apa tidak ada toko yang lain?" tanyaku.
"Itu toko langganan Bapak dari dulu. Harganya paling murah di antara toko-toko yang lain. Barangnya juga lengkap. Ada sarung, baju koko, peci, tasbih dan lain-lain."
"Keturunan Cina kan Pak? Non muslim kan?"
"Iya. Memangnya kenapa? Kan nggak ada larangan orang Cina non muslim jualan sarung?"

Itulah toleransi di kota kecamatan kami, Bukateja, sebuah kota kecil di ujung timur Purbalingga yang pergaulannya tak lagi terbatasi oleh sekat formalitas keagamaan, suku maupun ras.

CANDI BATUR PEMALANG

Ada keasyikan tersendiri ketika kami harus mudik dari Batang ke Purbalingga. Masuk dari pintu tol Batang dan keluar di pintu tol pemalang, selanjutnya kami akan menuju ke arah selatan menelusuri wilayah Pemalang yang berhutan dan hijau, melewati hutan jati yang masih rimbun di kecamatan Bantarbolang dan Randudongkal serta jalan berkelak-kelok naik turun di wilayah Kecamatan Belik.

Memasuki Desa Bulakan, Kecamatan Belik, di sebelah kanan jalan terdapat tempat wisata sekaligus tempat beristirahat yaitu Candi Batur Indah. Selain terdapat lapangan untuk parkir yang cukup luas, kita dapat menikmati rimbunnya hutan yang masih alami dan dapat bercengkerama dengan ratusan monyet yang jinak. Cukup membawa kacang atau pisang, monyet-monyet itu akan mendekat. Selain itu, kita tidak perlu takut kelaparan karena di sekitarnya banyak warung yang menyediakan makanan dan minuman.

Beberapa kali, kami mampir ke tempat ini untuk beristirahat sebentar sekaligus menyaksikan monyet-monyet yang jinak tersebut.

Hanya saja untuk mudik kali ini, kami tidak mampir ke tempat ini. Namun demikian, ketika melewati tempat ini, aku sengaja melambatkan kendaraan untuk menyaksikan monyet-monyet yang bergelantungan di atas pohon dan yang turun menghampiri pengunjung.

"Pa, itu teman Papa ada yang sudah nangkring di atas pagar!" teriak anakku.
"Mana?" tanyaku penasaran.
"Itu di depan," jawab anakku sambil menunjuk ke arah depan di kanan jalan.

Kulihat seekor monyet yang cukup besar berada di atas pagar pembatas antara hutan  dan jalan raya.

"Oh itu. Kalau begitu kamu panggil "Om" ke dia ya," suruhku

"Huh," anakku cemberut.

#maaf, gambar belum tersedia.

MUSIM PANEN




Halaman masjid di samping rumah orang tuaku di Purbalingga menguning. Bukan karena ada acara kampanye partai tertentu tapi karena hari ini masih musim panen padi. Padi yang telah dipanen dan digepyok (dirontokkan) menjadi gabah kemudian dikeringkan secara manual. Mengandalkan sinar matahari, para petani menggelar gabah mereka di tempat yang lapang yang bisa terpapar sinar matahari secara penuh. Kalau tidak dijemur sampai kering, gabah akan lembab dan berkecambah. Tidak bisa diolah menjadi beras.

"Sudah kering Kang" sapaku kepada Kang Din yang sedang menjaga gabah-gabahnya dari santapan ayam tetangga yang berkeliaran.
"Belum kering betul,"
"Sudah berapa hari?" tanyaku
"Tiga hari. Biasanya sih tiga hari sudah kering tapi ini belum. Hari pertama gerimis tengah hari. Hari kedua agak mendung." jelasnya

Secara berkala mereka membolak-balik gabah-gabah tersebut agar keringnya merata hanya menggunakan kaki telanjang mereka. Apakah mereka tidak terpapar sinar ultraviolet? Tentu saja iya. Padahal, efek ultraviolet cukup berbahaya dapat mengakibatkan penuaan, kulit keriput dan kanker kulit.

"Penyakit macam apa semua itu?" jawab mereka menjawab pernyataanku, Mereka lebih takut gabah mereka tidak kering dan tak laku dijual daripada penyakit yang belum jelas kebenarannya. Karena kenyataannya, belum ada berita petani meninggal dunia karena terpapar ultraviolet atau mengidap kanker kulit.

Jadi, tak perlu menanyakan apakah mereka memakai sunblock, sunsreen, skincare, dan kacamata hitam? Jelas tidak. Mereka lebih suka bertelanjang dada untuk mempercepat penguapan keringat dan mendapatkan angin semilir. Badan mereka kelihatan berotot, liat, dan eksotis.

Ah...aku jadi punya ide untuk membuka paket wisata untuk turis asing: menjemur gabah. Daripada mereka berjemur di pantai tiada guna, lebih baik berjemur sambil menjemur gabah. Ada manfaatnya membantu petani.

Sambil bercelana pendek dan bertelanjang dada bagi turis laki-laki dan berbikini bagi turis perempuan, mereka mengeker-eker dan membolak-balik gabah di bawah sinar matahari sehari penuh. Setelah selesai mereka bisa berendam atau membasuh diri di sungai. Satu paketnya 200 US dollar sudah termasuk makan siang, minum kelapa muda serta snack berupa pisang, singkong goreng dan jagung bakar. Selain menghasilkan devisa karena mereka membayar paket wisata, pasti banyak turis lokal yang ikut berkunjung juga. Efek domino akan terjadi. Pedagang makanan, pedangan minuman, pedagang souvenir, pedagang celana pendek, pedagang bikini, tukang parkir, tukang odong-odong dan pengamen akan memperoleh keuntungan.

Pastinya, manfaat utama akan dirasakan oleh para turis yaitu mereka menjadi sangat eksotis. Soal gatal-gatal bisa diselesaikan di belakang.

Selasa, 17 Desember 2019

AKULTURASI MAKANAN



Ratusan suku dan bangsa menimbulkan akulturasi dalam berbagai unsur budaya termasuk makanan. Banyak makanan tercipta dari akulturasi dari berbagai jenis makanan di Indonesia. Tidak hanya rupa makanannya tapi juga makanan dan orangnya. Misalnya, martabak bandung, seblak bandung, empek-empek palembang, soto kudus, bakso solo, pecel lele lamongan dan sebagainya. Makanan-makanan tersebut sekarang tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai variasi rasa yang disesuaikan dengan lidah masing-masing daerah.

Pelaku kuliner masakan tersebut juga tidak melulu orang asli tempat makanan itu berasal. Sebagian besar penjual martabak bandung di Batang adalah orang Tegal. Empek-empek palembang tidak lagi berbahan ikan belida tapi ikan kunir, kakap, tengiri, dan ikan-ikan khas Batang. Pembuatnya pun orang asli Batang.

Demikian juga dengan warung lamongan yang bertebaran di Batang. pemilik warung yang menjual lele goreng, ayam goreng, bebek goreng, cumi asam manis dan makan khas kota Lamongan lainnya adalah orang Batang.

"Pak, sampeyan orang Lamongan?" tanyaku
"Bukan. Saya asli Batang," jawabnya
"Punya saudara di Lamongan?" tanyaku lagi
"Nggak," jawabnya lagi
"Pernah ke Lamongan?" tanyaku lebih lanjut
"Belum pernah," jawabnya lebih lanjut
"Kok bisa buka warung Lamongan?"
"Karena makanannya khas Lamongan,"
"Bisa masak masakan Lamongan dari mana?"
"Belajar dari teman,"
"Teman Bapak orang Lamongan?"
"Bukan. Dia juga orang Batang asli,"
"Jadi yang asli Lamongan siapa Pak?"

"Sebenarnya sampeyan mau makan apa mau pergi ke Lamongan?"

Senin, 16 Desember 2019

TIMBANGAN KELENGKENG



Mendung menjelang maghrib sore ini membuat suasana semakin gelap. Lembur di sekolahku tidak menghalangiku untuk mengabulkan pesanan anakku untuk membeli kelengkeng. Lagi-lagi aku mampir di penjual buah. Kali ini bukan penjual buah langgananku. Selain bosan melihat ibu-ibu yang itu-itu juga, di penjual buah langgananku tak menjual kelengkeng. Aku membeli kelengkeng di penjual buah yang lain.

"Kok gelap Mba?" sapaku kepada Mba penjual di sebuah kios buah.

Walaupun masih agak kelihatan tapi tidak lazim sebuah kios segelap ini.

"Iya Pak. Listriknya mati. Pulsanya habis," jawabnya.
"Mba, kelengkeng harganya berapa?" tanyaku
"Empat pulun ribu sekilo," jawabnya", mau berapa kilo Pak?"
"Nggak banyak kok. Cuma buat obat kepingin," jawabku
"Silahkan Pak. Milih sendiri!" suruhnya mempersilahkan aku sambil menyodorkan plastik kresek hitam lumayan besar.
"Plastiknya jangan besar-besar. Yang kecil saja," kataku

Dia menukar dengan plastik kresek yang agak kecil. Aku memilih kelengkeng yang masih segar dan ada batangnya.

"Ini boleh diprotoli kan Mba?" tanyaku
"Boleh Pak," jawabnya

Aku memisahkan kelengkeng-kelengkeng tersebut dari gagangnya. Setelah kurasa
cukup, aku menyodorkannya untuk ditimbang.

"Waduh..maaf Pak. Saya bisa minta tolong? Bapak tunggu di sini sebentar. Timbangannya batrenya juga habis. Saya mau beli pulsa listrik dulu." kata dia.
"Kan bisa pakai timbangan yang manual Mba," kataku menunjuk timbangan manual di sebelah timbangan digital.
"Kurang pas Pak,"

Timbangan digital memang lebih presisi, lebih akurat dan lebih akuntable. Jangankan satu ons, sepersepuluh ons saja bisa terhitung di timbangan digital. Sedangkan timbangan manual hanya bisa kira-kira untuk ukuran ons. Sedangkan bobot satu butir kelengkeng tentu tidak sampai setengah ons. Kehilangan beberapa ons saja akan sangat merugikan karena harga kelengkeng yang lumayan mahal. Maka dia tidak mau rugi dalam urusan timbangan ini.

"Ya dilihat jarumnya to Mba," kataku.
"Sebentar saja Pak," desak dia dengan raut muka memohon.
"Nanti kalau sampeyan pergi, terus saya mengambil sesuatu, bagaimana? Apakah Sampeyan percaya sama saya?" kataku.

Rupanya dia berpikir ulang untuk minta tolong kepadaku. Walaupun awalnya percaya dengan raut wajahku yang pasti kelihatan imut, polos, sederhana, jujur, lugu, dan bersahaja tapi akhirnya dia lebih mempercayai kata-kataku untuk tidak percaya kepadaku.

"Ya sudahlah. Pakai timbangan ini saja," kata dia menunjuk timbangan manual.

Dengan hati-hati dia menimbang kelengkeng. Jarum merah ditimbangan itu diperhatikan betul-betul. Berkali-kali dia mengangkat dan meletakkan sebutir kelengkeng agar pas dengan angka yang dimaksud.

"Tujuh ons pas Pak," kata dia
"Jadi harganya berapa Mba?" tanyaku

Kembali dia berpikir kemudian mencari kalkulator untuk menghitungnya.

"Dua puluh delapan ribu,"

Aku membayarnya dengan uang tiga puluh ribu dan dikembalikan dua ribu.

"Nah sekarang, tutup dulu kiosnya terus beli pulsa listrik,"

Dia tersenyum kecut sekecut jeruk lemon yang berayun-ayun digantung di keranjang plastik di kios bagian depan.

MANGGA GADUNG


"Bu ini mangga apa kok bulat-bulat kayak apel?", tanyaku
"Itu mangga gadung," jawab ibu penjual buah langgananku.
"Manis nggak bu?" tanyaku lagi
"Manis tapi ada segar-segarnya," jawabnya
"Segar-segar gimana maksudnya?" tanyaku lebih lanjut
"Ya segar gitu," jawabnya
"Pasti kecut ya!" cecarku
"Beneran manis tapi segar," jawabnya bertahan
"Ah..saya kok nggak percaya. Katanya manis kok ada segar-segarnya. Pasti kecut nih," kataku
"Sampeyan memang nggak percayaan," balasnya
"Kan saya baru lihat mangga seperti ini. Belum pernah makan jadi ya harus hati-hati. Jangan-jangan saya beli tiga kilo. Sampai rumah kecut semua, nggak ada yang manis," terangku
"Ya sudah ini dibuka satu. Buat dicicipi," kata dia sambil menyerahkan sebuah pisau.

"Alhamdulillah...."

NANAS MADU



Salah satu sentra nanas madu di Indonesia adalah Kecamatan Belik Kabupaten Pemalang. Ratusan hektar lahan ditanami nanas madu dan ratusan ton nanas madu dipanen setiap hari.

Sembari menikmati jalan mulus berkelok-kelok naik turun dan menghirup udara segar lereng gunung Slamet dari kota Pemalang menuju Purbalingga, kita akan menemui toko atau kios, dan warung, besar maupun kecil yang berjejer di tepi jalan menjual nanas madu. Sebagian besar nanas masih berkulit. Harganya bervariasi tergantung besar kecilnya nanas. Ada juga produk nanas yang sudah dikupas dan tinggal makan dan ada nanas yang sudah berbentuk olahan kering.

Nanas (Ananas Comosus) madu Belik Ini sekarang tidak hanya bisa diperoleh di Belik karena nanas ini telah menyebar di berbagai wilayah terutama di Jawa Tengah. Harganya tidak jauh berbeda dengan di sentranya.

Di Batang penjual nanas madu tersebar di beberapa titik. Ada yang menggunakan gerobak dorong, motor, mobil atau menyewa kios. Kebanyakan pembeli lebih menyukai nanas kupas yang telah dibungkus plastik. Tinggal lep. Satu bungkus harganya Rp 10.000,- berisi 3 buah nanas yang telah dikupas dan dipotong-potong.

"Kalau nanas yang belum dikupas harganya berapa mas?" tanyaku pada sang penjual.
"tiga ribu Pak,"
"Lha ini isinya tiga kok jadi sepuluh ribu. Harusnya sembilan ribu,"
"Ongkos ngupas Pak,"

"Okelah kalau begitu," daripada aku beli nanas yang belum dikupas dan harus mengupas sendiri di rumah, itu akan lebih merepotkan. Mengupas nanas bukan perkara mudah. Pisau yang digunakan harus betul-betul tajam karena kulit nanas yang bersisik keras. Mengupas kulit nanas pun tidak boleh terlalu tipis. Harus lebih tebal. Tapi tidak boleh terlalu tebal. Isinya bisa habis. Bisa dikira-kira sendiri. Belum lagi mengambil bintik-bintik hitam yang ada di bawah kulit. Ada cara tersendiri. Susah. Nia Ramadhani dijamin tidak bisa.

Jadi, kalau Anda repot mengupas nanas, lebih baik beli nanas yang telah dikupas. Tapi kalau Anda ingin membeli untuk oleh-oleh teman atau tetangga lebih baik beli yang masih berkulit. Lebih awet.

Sabtu, 14 Desember 2019

SANG PENGAMEN


Sabtu sore yang lumayan panas. Sejak pagi matahari bersinar cukup terik. Pekerjaanku membuat nilai e-raport yang harus segera diupload belum selasai. Teras rumah menjadi tempat alternatif untuk mengerjakan e-raport. Semilir angin sore membantu meredam rasa panas hari ini.

Tengah asyik dalam kesibukanku, tak sadar ada seorang pengamen sudah berdiri di depan pintu gerbang. "Jreng" suara gitarnya mulai berdenting. Pengamen ini rutin manggung di depan rumahku dua minggu sekali.

Kali ini, dia menyanyikan lagu "Seberkas Sinar" milik Nike Ardilla

"Kala Ku Seorang Diri Hanya Berteman Sepi Dan Angin Malam
Ku Coba Merenungi
Tentang Jalan Hidupku Hoo....
Ku Langkahkan Kakiku Dan Menyimak Sebuah Arti Kehidupan
Hati Slalu Bertanya Adakah Kasih Suci...
Dalam Cinta Haha...
Adakah Cintamu Ha Ha Ha Ha Ha...."

Petikan gitar dan suaranya yang enak didengar membuatku menunda pekerjaanku. Bahkan istriku ikut keluar dan duduk di teras untuk mendengarkannya.

"Sudah sih Ma, dikasihkan uangnya. Kasihan." kata anakku protes, kasihan melihat dia nyanyi terlalu lama dengan imbalan yang tak seberapa.
"Nanti dulu, belum selesai," jawab istriku bertahan.

Berbeda dengan pengamen kebanyakan, Mas Pengamen ini tidak mau menghentikan nyanyiannya sebelum satu lagu habis. Nampaknya ada orientasi lain dari Mas Pengamen ini. Mengamen bukan sekedar sarana untuk mencari uang tapi juga untuk mengekspresikan kemampuan berseninya.

Istriku pernah menyodorkan uang pada pertengahan lagu, tapi dia tidak mau menghentikan petikan gitar dan nyanyiannya sampai selesai. Akhirnya istriku berdiri di depannya sampai dia menyelesaikan lagunya.

"Jadi malu dan salah tingkah sendiri," kata istriku

Maka dari itu, sekarang kami tidak akan memberikan uang sampai dia selesai menyanyi.

Sikap juga terjaga. Ketika petikan gitarnya berakhir, kusodorkan empat buah koin 500-an. Setelah menerima uang, dia diam sesaat kemudian memejamkan matanya dan menundukkan kepalanya sambil mengucapkan "terima kasih". Sangat sopan.

Rabu, 11 Desember 2019

FINGERPRINT DENGAN FOTO BAHU


Sudah dua tahun ini presensi guru dan karyawan di sekolah kami menggunakan mesin finger. Mesin finger ini terhubung secara online ke Badan Kepegawaian Provinsi (BKD) Jawa Tengah. Dengan menggunakan sistem ini, bisa diketahui secara langsung waktu kedatangan atau waktu pulang para guru dan karyawan. Semuanya terrekam dan terrekapitulasi di website presensi BKD provinsi.

Cara kerja mesin fingerprint yaitu dengan cara menempelkan ibu jari kanan atau kiri di kotak kecil yang ada di mesin fingerprint. Ada suara "terima kasih" dan muncul "centang" hijau di layar apabila kita telah berhasil melakukan finger. Ada suara "silahkan coba lagi" dan lampu warna merah berkedip di atas layar apabila kita belum berhasil melakukan finger.

Selain itu ada gambar wajah kita di layar mesin yang diiringi bunyi "cekrek". Akan nampak wajah kita yang manis, cantik, dan ganteng.

Pasca rapat operator fingerprint tentang Pengaktifan Fitur Foto pada Mesin Presensi, Bu Ema selaku operator fingerprint sekolahku membawa kabar yang segera disebarkan di group WA:

"Assalamu'alaikum....
Nuwunsewu, untuk fingerprint sudah diaktifkan fitur rekam foto, bapak ibu diharap ketika fingerprint untuk kelihatan jelas wajah dan seragamnya, setidak nya sampai bahu.
Terima kasih"

Sejak ada pengumuman tersebut maka kami harus memperhatikan posisi kami dalam melakukan finger. Kita mengatur jarak kita dengan mesin finger. Selama ini kami melakukan finger dengan terlalu mendekatkan wajah ke mesin finger. Bukan niat kami untuk menampakkan wajah kami agar terrekam dengan jelas di mesin finger tapi karena kami melakukan finger sekaligus mengintip jam yang ada di mesin finger untuk selanjutnya kami tuliskan di daftar presensi manual. Jadi sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Untuk itu, mulai sekarang kami harus mengatur posisi dalam melakukan finger print. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Kalau terlalu dekat, hanya wajah yang terlihat, bahu tidak. Kalau terlalu jauh tidak hanya bahu tapi seluruh badan terlihat tapi tangan tidak bisa menjangkau mesin finger print. Gagal. Ternyata awalnya susah. Harus dua atau tiga kali menekan mesin finger untuk memperlihatkan bahu kami. Sekarang kami sudah paham dan terbiasa dengan jarak yang harus kami ambil untuk melakukan finger.

Tujuan memperlihatkan bahu adalah supaya bisa diketahui pakaian apa yang dipakai pada hari itu dan untuk mengingatkan seragam yang harus dipakai pada hari itu. Jangan sampai salah seragam. Kan langsung terlihat di layar! Misalnya dari rumah kita sudah merasa memakai seragam yang tepat, ternyata ketika melakukan finger, di layar terlihat kita memakai kaos, daster atau pakaian yang bukan seragam dinas. Maka harus segera ganti.

Tidak diketahui bagaimana cara memberikan teguran seandainya ada yang salah kostum terrekam di mesin finger. Apakah petugas akan menelpon individu tersebut untuk diperingatkan ataukah mengirim surat teguran ataukah ada petugas khusus yang akan turun ke lapangan untuk memberikan teguran. Sepertinya belum memungkinkan.

Agar lebih mudah, seharusnya mesin fingernya dilengkapi dengan fitur foto yang lebih lengkap. Tidak hanya foto wajah tapi juga seluruh tubuh. Jadi, tidak hanya seragam atas yang kelihatan tapi juga bawah. Siapa tahu, ada yang atasnya memakai korpri ternyata bawahnya memakai sarung, celana pendek atau bahkan tak memakai apa-apa.

Selain itu, mesin finger juga harus dilengkapi dengan artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan yang lebih canggih. Ada scan kostum dan scan wajah. Untuk scan kostum, dilengkapi dengan pemilahan beberapa jenis pakaian, korpri, khaky, batik, seragam olahraga dan jenis pakaian lainnya. Jadi, misalnya ada yang salah kostum, mesin finger langsung menegur: "Maaf, hari ini Anda salah kostum. Ini kan hari Selasa seharusnya Anda memakai lurik kenapa memakai singlet? Sebaiknya Anda pulang ganti dengan kostum yang benar."

Untuk scan wajah, sebagaimana teknologi mutahir di hp yang bisa mendeteksi wajah senyum dan tidak senyum, seharusnya mesin finger juga dilengkapi dengan teknologi semacam ini. Jadi, akan muncul ucapan: "terima kasih Anda sudah tersenyum hari ini" atau "wajah Anda pucat hari ini, segera periksakan diri Anda ke dokter" atau "wajah Anda cemberut hari ini. Ada apa? Ada masalah keluarga? Mohon jangan dibawa ke tempat kerja,"

Rabu, 27 November 2019

KASIH TAK SAMPAI

Andai saja tak ada Pak Basuki, aku tak bakal tahu isi hatimu.

"Fuad, Elok itu sudah lama memendam rasa kepadamu. Dia sangat mengagumimu. Dia suka membaca puisi-puisimu di blog-mu," kata beliau, salah seorang guru yang aku kagumi tapi justru sangat dekat denganmu.

Sejak itu, aku mulai memperhatikanmu. Setiap kuperhatikan, tak ada beda darimu. Tak ada perubahan apapun. Kau biasa saja, bercanda, ketawa, dan bercerita tentang apa saja. Mungkin kau belum menyadari kalau aku sudah tahu perasaanmu kepadaku walaupun kau tak pernah mengungkapkannya secara langsung dihadapanku. Aku sendiri tak mempunyai rasa apapun kecuali rasa bangga karena ada orang yang menyukaiku. Jadi, aku hanya sekedar memperhatikanmu, memperhatikan perempuan yang diam-diam mengagumiku. Waktu itu, kita masih kelas XI MIPA 3.

Yang aku tahu, kau adalah orang sangat baik. Sejak sekolah di Smanda, kau tak pernah sungkan menolong temanmu, menghapus papan tulis tanpa disuruh, membuang sampah yang berserak tanpa menyalahkan orang yang membuangnya.

Semangatmu juga luar biasa. Jarak kurang lebih 20 kilometer dari rumahmu ke sekolah kau tempuh setiap pagi. Berangkat pukul 05.30, menunggu bus, disambung angkot, dan jalan kaki 800 meter dari balai desa Pasekaran menuju sekolah. Pulang pergi. Perjuanganmu tak sia-sia kau lulus dengan nilai yang baik.

Awal cerita, justru setelah kita lulus sekolah. Kau begitu intensif menanyakan kabarku lewat WA dan berbagi kabar berita tentang dirimu. Kupikir bukan hanya diriku yang secara intensif kau hubungi. Tapi ketika kutanyakan teman-temanku hanya aku yang selalu kau tanyakan kabarnya. Berarti benar kata Pak Basuki. Bagiku tak masalah kau bercerita apa saja kepadaku. Aku senang-senang saja karena kau adalah salah satu teman yang sangat baik dan aku kagumi.

"Kau jadi kuliah dimana?" tanyaku suatu saat.

Jawabanmu sungguh tak kusangka. Kau gagal kuliah karena kondisi keluargamu tak mendukungnya. Ayahmu sakit, ibumu tidak bekerja, dan adikmu butuh biaya untuk sekolah. Mengorbankan keinginanmu, akhirnya kau merantau ke Semarang mencari pekerjaan. Kerja di restauran, di toko bangunan dan di konveksi ku jalani hanya untuk menghidupi keluargamu.

Merantau di Semarang bukan hanya untuk mencari pekerjaan tapi juga lebih dekat dengan informasi tentang perguruan tinggi yang ingin kau masuki. Kau bercerita bahwa kehidupanmu mulai tertata, keluargamu sudah stabil, dan uang kirimanmu kepada ibumu sudah rutin masuk rekening.

"Tak usah repot-repot," kataku ketika kau suatu hari mengunjungi kosku sembari membawa martabak manis.
"Nggak papa, sekali-sekali," katamu

Sampai suatu hari kau harus pulang ke Batang dan memilih bekerja di Batang karena ayahmu mengalami stroke dan ibumu sakit-sakitan. Kau hanya bisa memberi kabat lewat WA.

"Ini barang-barang pemberian dari Elok untukmu," kata ibuku saat kupulang libur kuliah.

Kubuka satu persatu 3 bungkusan di hadapanku. Ada sepatu, kaos, dan jaket.

"Elok anaknya baik sekali lho Ad," kata ibuku memulai pembicaraannya, "putih, cantik, supel. Selain hadiah buatmu, ibu juga dibelikan jilbab lho. Bagus sekali. Jangan-jangan dia suka kamu ya?"

"Teman biasa kok bu," jawabku
"Iya Elok juga bilang begitu. Sekarang teman. Suatu saat akan lebih juga ngga papa,"

Aku pura-pura tak mendengarkan sambil membaca surat yang terselip di dalam bingkisan tersebut. Ternyata tanggalnya beda-beda.

"5 Juli 2017. Tanggal muda gajiku ke-3 di Batang. Sudah bisa nabung dan menyisihkan," tulismu di bingkisan pertama.

"7 Oktober 2017. Hadiahku yang kedua. Semoga kau suka," ada di bingisan berupa sepatu.

"2 Januari 2017. Pakailah. Biar tidak masuk angin Batang-Semarang," ada di bingkisan ketiga.

Walaupun demikian aku tak menghibunginya untuk sekedar berterima kasih sampai dia menanyakan kabar seperti biasanya dan baru aku sekalian mengucapkan terima kasih atas pemberiannya.

Tapi kenapa kau ungkapkan perasaanmu kepadaku. Aku merasa tak pantas untuk menerima cintamu. Walaupun kujawab kita berteman saja dan kau menerima, kutahu rasamu tak pernah surut. Kau ajak aku bercerita hampir setiap harinya. Tapi tak apa. Aku sudah tahu komitmenku untuk meraih cita-citaku. Kau tahu aku tak pernah menurunkan prinsipku. Dan kau tetap saja pantang mundur.

"Silaturahmi kan tidak boleh diputuskan," itu jawabmu

Ah, kau memang curang. Alasan itu hanya kau pakai untuk mendekatiku. Tapi baiklah. Aku menerima alasanmu. Tak ada salahnya berteman dengan orang sebaik dirimu. Aku sendiri merasa beruntung mempunyai teman sebaik dirimu.

Bertahun-tahun kau bercerita kepadaku, bertahun-tahun pula aku suka mendengarkanmu. Kau bercerita tentang dirimu yang ingin menjadi relawan, bercerita tentang cita-citamu yang ingin kuliah.
Tahun lalu kau bercerita tentang dirimu yang harus bekerja menghidupi keluargmu, menyekolahkan adikmu dan merawat ayahmu yang sakit. Dan kau tak pernah sama sekali mengeluhkan semua itu. Kau begitu semangat untuk meraih cita-citamu.

Lama-lama aku mengagumimu dan justru rasa ini yang membuatku takut untuk mencitaimu. Kau perempuan hebat yang pernah kutemui. Kau seorang bidadari.

Sampai suatu hari kau bicara lagi tentang perasaanmu. Tapi sekali lagi mohon maaf, aku semakin takut dengan diriku sendiri. Aku rendah diri di hadapanku. Walaupun kuakui, dalam hatiku mulai tumbuh benih-benih cinta. Namun aku takut kau tak bahagia. Biarlah "aku mencintaimu dengan cara tidak memilikimu" karena kau perempuan hebat. Ada yang lebih pantas untuk dirimu.

Kau mendesak, aku tetap bergeming walaupun dalam hatiku sangat bersyukur akan kehadiranmu.

"Kau egois Ad. Jangan beralasan kau tak mau memilihnya karena dia terlalu baik. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri, hanya memikirkan kuliahmu, cita-citamu yang terlalu besar itu. Diamlah sejenak. Renungkan sejenak. Tegakah kau menggantungnya, membiarkan dia mengharapkanmu tanpa kepastian," kata Samsuardi, teman akrabku sejak SMA.

Suatu sore yang indah di penghujung musim kemarau. Tiab-tiba ada rasa yang mendera. Pesanmu yang biasanya bertubi-tubi sudah dua hari ini berhenti. Tiba-tiba aku merasa rindu serindu-rindunya. Hari ini, aku menyerah dengan rasaku. Aku luluh. Aku buang egoku. Saat ini, aku kuatkan hatiku untuk mengirim pesan lebih dulu. Kutanyakan kabarmu. Kulihat di layar pesan trlah terkirim tapi belum kau huka. Semenit, dua menit, tiga menit, kubuka hp-ku. Belum ada balasan. Sepuluh menit berlalu, sudah sepuluh kali pula kubuka WA-ku. Belum ada balasan juga. Sampai rasa kantukku datang.
"Kak, ayo kita ke sana!" ajakmu.
Kulihat di depan sana sebuah istana yang megah bercat kuning gading berlantai keramik membantuk lukisan indah.
"Ayo!" jawabku
Kau sangat gembira dengan jawabanku. Tawamu tak tertahankan. Kau tarik tanganku. Tapi aku tak memperhatikan dibawahku ada pot bunga. Aku menabraknya dan terjatuh. Tanganmu terlepas. Kau malah berlari sambil tertawa.

"Bangun..bangun,"
Aku tergeragap. Kakakku membangunknku dengan keras.

"Temanmu kecelakaan di depan Hutan Kota. Korban meninggal di tempat,"
"Siapa Kak?"
"Nggak tahu. Ini tadi ibu dapat WA. Coba kamu cek temanmu," kata kakakku sambil menyodorkan hp ibuku.
Kulihat tak ada nama. Hanya nomor dan foto profil yang tak kukenali karena terlalu kecil. Aku segera mengambil hpku untuk menghubungi nomor yang menghubungi hp ibuku.
"Astaghfirullooh.. Mila."
Ternyata yangengirim pesan ke hp ibuku Mila. Dia juga mengirim pesan yang sama kepadaku. Segera kutelepon Mila. Tak diangkat. Kuulangi lagi. Tak diangkat juga.

"Siapa yang kecelakaan Mil?"

Tak ada balasan. Kukirim pesan ke teman-temanku yang lain malah jawabannya nggak tahu.

Setengah jam kemudian baru ada telepon dari Mila.

"Hallo Mil. Siapa yang kecelakaan."
"Elok Ad, Elok, sekarang aku lagi di RSUD sebentar lagi jenazahnya mau dibawa pulang."

Aku tak bisa bicara apapun. Tanganku gemetar. Hpku terjatuh. Air mataku mulai meleleh di pipi. Sesenggukanku lama-lama terdengar mengeras. Hpku diambil oleh kakakku. Kakakku melanjutkan bicaranya dengan Mila.

"Bu.. Mba Elok bu. Temannya Fuad itu lho bu. Baru saja kecelakaan dan meninggal dunia,"

"Innalillahi wainnailaihi roji'un,"

Kami menangis bersama.
Tak ada yang bisa aku katakan lagi. Hanya penyesalan yang tak mungkin aku balas atas optimismu mengharapkanku.

Kini kau telah tiada. Aku bersaksi kau adalah salah satu perempuan yang sangat baik yang pernah kukenal. Semoga Tuhan menempatkanmu di surgaNya bersama-sama orang-orang yang sholih.

Senin, 25 November 2019

MARAHI DONG!

Salah pengertian tidak hanya terhadap orang lain. Terhadap istri dan anak sendiri juga sering kali terjadi. Berbagi tugas menjemput anak dari tempat les antara aku dan istriku sudah menjadi rutinitas kami. Namun ada kalanya terjadi salah pengertian di antara kami.

Pada hari Senin kemarin, istriku tidak bisa menjemput karena ada kegiatan. Maka istriku mengirim pesan kepadaku untuk menjemput anakku yang biasanya selesai les pukul 16.30.

Aku pun dengan mantap berangkat menjemput les pukul 16.30 tepat. Namun, rupanya anakku sudah selesai.

"Kok terlambat sih. Kan tadi sudah bilang ke Mama suruh jemput jam empat," kata anakku dengan muka dilipat.
"Mama bilangnya jam setengah lima kok," kataku membela diri sambil menunjukkan WA dari istriku.

Sepanjang perjalanan anakku cemberut. Sampai rumah pun masih cemberut.

"Nanti mama dimarahin lho Pa!" pinta anakku.
"Iya," jawabku

Sampai mamanya pulang.

"Tuh, mama pulang," kata anakku kepadaku.
"Mama ke sini! Mau tak marahin," kataku kepada istriku
"Jangan gitu marahinnya. Ga usah bilang mau dimarahin. Langsung dimarahin aja," kata anakku dengan muka jengkel.
"Ada apa Pa? Mama mau dimarahin apa?" kata istriku dengan senyumnya yang manis.
"Mau dimarahin nggak usah nanya mau dimarahin apa. Dimarahin ya dimarahin aja." lanjut anakku sengit.
"Terus kenapa mama dimarahin?"
"Tadi mama bilang suruh jemputnya jam setengah lima. Padahal pulangnya jam empat. Ya Azam sudah nunggu lama," sambungku
"Kan biasanya pulang setengah lima," kata istriku berusaha membela diri.
"Kan tadi sudah diWA suruh jemput jam empat," kata anakku dengan nada tinggi
"Ya maaf deh,"
"Mama jangan minta maaf dulu. Belum dimarahin sudah minta maaf. Nanti nggak jadi dimarahin," lanjut anakku.
"Terus Papa harus gimana sama mama?" tanyaku
"Ya dimarahin dong!" kata anakku
"Iya, dimarahin gimana?" tanyaku bingung

"Huhh," gerutu anakku marah sendiri kemudian pergi.

HARUSNYA AKU



"Ku tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya.
Aku terluka, tak bisa dapatkan kau sepenuhnya.
Aku terluka, melihat kau bermesraan dengannya."

Kegiatan kebersihan kelas dan penghijauan sekolah menyisakan waktu yang panjang. Seusai kegiatan, masih banyak waktu yang tersisa sambil menunggu kelas yang lain menyelesaikan tugasnya.

Sudut di depan laboratorium komputer yang bebas dari aktifitas menjadi alternatif untuk mengisi kekosongan. Berbekal gitar dan suara yang lumayan (lumayan pas-pasan) mereka mojok bersama dan bernyanyi bersama. Ternyata suara pas-pasan kalau digabungkan bisa menjadi paduan suara yang merdu. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Pas-pasan ditambah pas-pasan menjadi merdu.

Menyanyi adalah hak semua orang yang tidak dilindungi oleh Undang-Undang manapun. Jangan takut dibilang suaranya pas-pasan. Semua orang mempunyai suara yang berbeda-beda dan unik. Maka menyanyilah! Siapa tahu ada produser yang tertarik dengan suara Anda.

Mereka menyanyikan lagu "Harusnya aku" milik Armada. Lagu ini menceritakan ketidakbahagiaan seseorang karena kekasihnya meninggalkannya untuk pergi bersama orang lain.

Walaupun demikian, lagu yang isinya tak bahagia ini dinyanyikan dengan cara yang bahagia. Bahagia karena jam kosong, tak ada pelajaran. Apalagi nyanyian mereka direkam. Diunggah di medsos. Di-like. Terus mendapat orderan. Nyanyi di acara mantenan dan sunatan. Dapat bayaran. Tambah saweran.

Tambah bahagia

TANDA-TANDA



"Pa, banyak semut di tembok," kata istriku
"Alhamdulillah, berarti sebentar lagi hujan," jawabku
"Hih Papa kayak dukun saja, jadi syirik lho Pa," kata istriku
"Ini nggak syirik Ma. Nggak ada hubungannya dengan ilmu perdukunan Ma. Ini ilmu alam. Banyak tanda-tanda alam, binatang maupun tumbuhan yang menandakan akan terjadinya sesuatu. Hewan dan tumbuhan diberi kemampuan untuk membedakan arah angin, tekanan udara dan kelembaban. Semut salah satunya. Maka mereka keluar dari sarang dan naik ke atas sambil menyelamatkan telur-telurnya," jelasku
"Tapi kok langitnya masih cerah. Nggak mendung," desak istriku
"Sabar, prosesnya 1-2 hari, insyaalloh mendungnya segera datang," kataku
"Kok Papa tahu sih?" tanya istriku penasaran.
"Tahu dong. Itu tanda alam yang harus dipelajari manusia. Banyak tanda-tanda mau hujan selain semut. Misalnya, capung, burung sriti dan burung walet yang terbang bergerombol di angkasa. Pohon gadung mulai tumbuh tunas itu juga tanda mau mulai musim hujan. Jadi itu bukan syirik. Justru itu yang harus dipahami oleh manusia bahwa Tuhan memberitahu akan terjadinya sesuatu dengan tanda-tanda yang harus dibaca oleh manusia. Perintah "Iqro'" tidak hanya untuk membaca kitab suci tapi juga membaca tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhan. Dengan demikian, manusia bisa bersyukur dan mengagumi ciptaanNya sekaligus membuktikan keagunganNya. Fahimtum?"
"Fahimna," jawab istriku

"Karena Papa bisa membaca tanda-tanda alam maka Mama bisa jadi istri Papa," imbuhku
"Apa hubungannya?" tanya istriku merasa aneh.
"Dulu kalau ketemu Mama hati Papa selalu deg deg ser. Rasanya kayak apa gitu. Itu tanda yang diberikan Tuhan kepada Papa," lanjutku
"Nggak pakai istikhoroh?" tanya istriku lagi.
"Nggak perlu. Wong tanda-tandanya sudah jelas kok. Ngapain pakai istikhoroh,"

"Dasar!"

TWINDA PUTRI ELOK



Kau pernah berkata, "aku ingin menjadi relawan, relawan apa saja, yang penting bisa bermanfaat bagi manusia,"

Musim berganti
Hujan dan terik menerpamu
Semangatmu
Kebaikanmu
Kasih sayangmu
Senyummu
tak pernah padam kau tebarkan kepada sesama.

Deritamu
Sakitmu
Sedihmu
Dukamu
Kau pendam dalam-dalam.
Kau begitu teguh
Kau begitu sabar
Kau begitu ikhlas

Perjalananmu tak begitu panjang.
Tapi jejak yang kau tinggalkan kan slalu dikenang.
Daun memilih jatuh demi kuncup berkembang.
Senyum yang selalu mekar di ujung bibirmu menjadi semangat bagi orang-orang yang mengenalmu, menyayangimu, dan mencintaimu
untuk terus berjuang
untuk meneruskan cita-citamu
untuk mewujudkan keinginanmu.
menjadi relawan
relawan kebaikan
relawan kasih sayang
relawan keikhlasan
untuk berbagi dan membantu sesama manusia.

Kini kau telah berbaring damai di sana.
Tidurlah yang indah Sayang
dalam keheningan
di taman kesturi
tamannya para nabi
pusaramu akan selalu semerbak mewangi

MENGUPAS MANGGA

Hari Minggu adalah hari keluarga. Walaupun demikian, tidak harus hari Minggu dimanfaatkan untuk bersenang-senang, piknik, shoping, pergi ke bioskop atau ke tempat-tempat yang mengasyikkan. Hari Mingguku kumanfaatkan untuk berkumpul bersama istri dan anak-anakku di rumah saja. Alasannya sederhana yaitu tanggal tua. Anak-anakku di depan laptop menonton film dari VCD bajakan hasil pinjam di persewaan VCD, aku membaca koran dan istriku menyeterika. Tidak menonton TV? Di rumah kami, ada televisi 21' tapi televisi itu sudah lama kami matikan, mau dijual tapi tak ada yang mau beli.

"Papa nggak ngupas mangga?" tanya istriku yang sedang menyeterika.

Kulihat masih ada 2 buah mangga belum dikupas di plastik buah.

"Nggak," jawabku.
"Emangnya Papa nggak pingin?" tanya istriku lagi.
"Nggak," jawabku
"Enak lho Pa," sambung istriku
"Iya sih," jawabku lagi.
"Itu pisaunya ada di atas toples kacang," kata istriku
"Iya, terima kasih sudah menunjukkan letaknya," jawabku
"Dari tadi nyeterika kok jadi sumuk ya," lanjut istriku
"Ya berhenti dulu," kataku
"Tapi kalau berhenti biar seger ngapain ya Pa?"
"Mandi," jawabku
"Sebelum mandi, enaknya makan yang seger apa ya Pa?"
"Ini ada mangga," jawabku
"Enak tuh kalau dikupas," kata istriku
"Ya dikupas dulu lah. Masa makan mangga nggak dikupas. Tuh pisaunya di atas toples kacang," jawabku
"Sudah tahu," jawab istriku dengan suara mengeras
"Iya ding tadi Mama yang nunjukin," kataku
"Papa mau ngupas mangga?" tanya istriku
"Nggak," jawabku
"Kalau ngupasin buat Mama?"
"Ooo...minta dikupasin tho? Bilang dong!" kataku

"Dari tadiiiiiiiiiii...... Nggak peka amat sih."

Rabu, 20 November 2019

CITA-CITA JADI PREMAN

Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2006 di Kebumen.

Suatu hari aku harus mengantar istriku belanja di Kebumen. Setelah blusukan ke pasar dan beberapa toko, istriku menyempatkan mampir ke Banana Bakery di depan terminal Kebumen untuk membeli roti. Sekarang terminal ini sudah dipindahkan ke jalan lingkar selatan dan lokasi ini dijadikan taman kota.

Karena sudah bosan ikut blusukan dan cukup membosankan maka aku tidak mengikuti istriku masuk ke toko roti tersebut. Aku berdiri di depan toko sambil menikmati lalu lalang kendaraan yang keluar masuk terminal.

Tiba-tiba datang seorang anak kecil berumur kurang lebih 8 tahun.

"Om...tolong sebrangke om," pinta dia sambil membetulkan karet gelang warna merah yang sudah melingkar di kepalanya yang plontos. Kulihat di kepalanya sudah ada tanda mblaret kebiruan.

"Karet di kepalamu dilepas saja. Bahaya. Sudah mblaret biru," kataku
"Jangan om... ini untuk tanda biar kelihatan sangar," jawabnya.
"Kok biar sangar segala. Buat apa?" tanyaku
"Lha untuk meraih cita-citaku memang harus sangar," katanya.
"Cita-citamu jadi apa kok harus sangar?" tanyaku penasaran.
"Jadi preman," jawabnya ringan.

Aku terdiam termangu mendengar jawabannya.

"Jadi preman kok nggak berani menyebrang sendiri. Sana nyebrang sendiri," jawabku
"Nggak berani Om,"
"Kalau nggak berani. Ngga usah jadi preman,"
"Kalau nggak berani. Ngga usah jadi preman,"
"Tapi aku ingin jadi preman Om,"
"Cita-cita kok preman. Kenapa sih harus jadi preman?"
"Sudah dibilangin. Preman itu sangar Om," kata dia bertahan dengan pendapatnya.
"Ya sudah sana nyebrang sendiri!"
"Ga berani Om. Tolong om sebrangin!" dia merengek
"Ah, preman kok penakut. Ya sudah yok tak sebrangin. Ga usah jadi preman ya!"

Sambil mengamati kendaraan sampai sepi kudorong dia untuk berlari menyeberang.

"Sudah sepi. Sana lari,"

Dia berlari sampai seberang dan menghilang di antara hiruk-pikuk terminal.

Senin, 18 November 2019

MENCARI HUJAN







Suhu menyengat mencapai 35 derajat celcius dalam beberapa hari ini. Hujan satu kali yang turun minggu lalu serasa menguap begitu saja. Sampai kini belum ada hujan lanjutan.

Panas ini yang membuatku bersama istri dan anak-anakku sepakat mencari hujan. Pada hari Minggu pagi, kami pergi ke arah selatan Batang. Di wilayah selatan kabupaten Batang yang berupa pegunungan sudah masyhur akan curah hujannya yang tinggi. Wilayah lain belum hujan, wilayah selatan sudah hujan. Wilayah lain jarang hujan, wilayah selatan sudah berkali-kali turun hujan. Wilayah lain gerimis, wilayah selatan hujan lebat. Hujan di wilayah ini yang kami cari. Kami sudah rindu hujan.

"Pokoknya nanti kalau hujan turun, aku akan hujan-hujanan," kataku penuh keyakinan.

Di awal perjalanan, kami belum menentukan tujuan utama kami. Banyak alternatif tujuan wisata di wilayah selatan Batang yang bisa dijangkau hanya dalam waktu 15-30 menit. Ada bina garut, ecopark, si kembang, curug genting, curug bidadari, pagilaran, selopajang dan lain-lain.

Akhirnya, dalam perjalanan kami sepakat menuju Pagilaran, sebuah destinasi wisata perkebunan teh di kecamatan Blado.

Kurang lebih pukul 09.00 kami tiba di Pagilaran. Sudah kuduga, banyak pengunjung yang mengunjungi Pagilaran. Aku yakin, udara sejuk pegunungan lah yang membuat mereka menyerbu destinasi ini. Di Pagilaran, orang dapat menikmati suasana kebun teh yang hijau, arena mainan, jembatan gantung yang membuat jantung berdegup, flying fox, bebek-bebekan di kolam yang tenang, dan panggung dangdut yang menampilkan penyanyi lokal dengan lagu-lagu paling hits.

Sebagaimana piknik keluarga, tak lupa kami  membawa rantang nasi, sayur, kering tempe, mendoan dan minuman. Dengan menggelar tikar di bawah pepohonan pinus yang rindang, kami makan bersama. Keren kan? Kami betul-betul keluarga jadul. Tapi istriku tidak menerima istilah itu.

"Makanan dari rumah lebih higienis," kata dia beralasan.

Entah itu alasan sebenarnya atau hanya sebuah alibi untuk mengalihkan perhatian terhadap kondisi keuangan yang harus ngirit.

Untung saja tidak semua wisatawan seperti kami. Seandainya seperti itu, tentu Bali tidak pernah membanggakan wisatanya. Bayangkan wisatawan dari Amerika, Eropa, Australia dan dari seluruh dunia datang ke Bali membawa rantang dan termos sendiri, makanan sendiri, minuman sendiri, dan tikar sendiri. Restaurant bangkrut, hotel tutup. Jadi jangan tiru kami apabila Anda mendukung pariwisata.

Tak terasa hari semakin siang. Adzan dari masjid Pagilaran memanggil kami untuk menunaikan sholat dzuhur. Namun hujan yang kucari belum datang juga. Beberapa gumpal awan kadang lewat namun hanya menyapa sebentar untuk kemudian berlalu tanpa "goodbye". Semakin sore semakin sama saja. Hujan belum juga berkenan menyapa kami. Akhirnya kami pulang tanpa menemukan hujan.

Sesampainya di rumah, aku mandi sepuasnya memakai pancuran sambil membayangkan hujan.

Minggu, 10 November 2019

LARON

Musim hujan nampaknya sudah dimulai. Tanggal 8 Nopember 2019 malam jam 22.00 terjadi hujan deras. Paginya tgl 9 Nopember 2019 banyak laron keluar dari dalam tanah. Makhluk jelmaan rayap yang keluar untuk mencari pasangan untuk kemudian beranak pinak dalam koloni baru ini beterbangan di jalan-jalan, bahkan masuk ke dalam rumah mencari terang lampu yang terlambat dimatikan. Saat-saat seperti ini menjadi pesta para binatang pemakan serangga, cicak, tokek, kadal, kodok, burung, ikan dan semut.

Cicak yang biasanya bersembunyi ketika pagi menjelang, kini nampak di dinding-dinding luar rumah, pos kamling, sekolah, perkantoran, gudang, kantor polisi, kantor pajak, kantor dinas P & K, kantor Bupati, gedung DPRD, dan pos jaga polisi di sudut perempatan.

Selain binatang, anak-anak kecil berlarian meloncat mengejar laron yang masih terbang. Tak tertarik sama sekali dengan laron yang sudah melepas bulunya dan jatuh ke tanah yang hanya terinjak-injak. Padahal setelah tertangkap laron-laron tersebut dibuang. Seakan-akan hanya untuk menambah keterampilan menangkap sesuatu. Sama sekali tidak ada ide lain. Harusnya dikumpulkan, diberikan ke emak mereka untuk digoreng kering, dipeyek, dicrispy atau ditumis pedas. Enak dan bergizi tinggi.

Tidak hanya anak kecil, tetanggaku Pak R (inisial saja ya)  juga sibuk menangkap serangga sosial anggota infraordo Isoptera, bagian dari ordo Blattodea ini. Bedanya, dia menangkap laron yang sudah jatuh ke tanah dan tak bisa terbang lagi. Memakai baskom berisi air, satu per satu laron diambil dan dimasukkan ke air. Tentu saja mati karena laron tak bisa berenang. Kasihan.

"Untuk pakan burung. Burung senang sekali dengan laron. Bisa menambah kualitas suara dan semakin gacor," katanya

"Biar nggak repot, burungnya dilepas saja Pak biar menangkap sendiri. Pasti burungnya lebih senang"

😠😠😡😡

Jumat, 08 November 2019

FUTURE SIMPLE

Pada hari Jum'at, 8 Nopember 2019, aku menjelaskan materi future simple dalam Bahasa Perancis di kelas XII MIPA 4.

"Future simple adalah bentuk kata kerja yang digunakan untuk menjelaskan kejadian di masa yang akan datang."

Formula kata kerja future simple adalah
Infinitif ditambah ai, as, a, ons, ez, dan ont.

Contoh:
Kata kerja AIMER artinya cinta
J'aimerai
Tu aimeras
Il aimera
Elle aimera
Nous aimerons
Vous aimerez
Ils aimeront
Elles aimeront

Future simple harus diikuti kata keterangan waktu "demain" (besok), "prochain/e" (yang akan datang) dan "dans".. (dalam....lagi)

"Coba buat contoh kalimat dengan future simple!" perintahku

"Bambang, kamu sekarang milik Atun, tapi ingat 'dans deux ans je t'aimerai'." tiba-tiba Nadia (nama samaran) angkat bicara dengan kekacauan yang sempurna. Campur aduk Bahasa Indonesia dengan Bahasa Perancis seperti cendol dawet.
"Dans deux ans, je t'aimerai, artinya?" tanyaku
"Dua tahun lagi, aku akan mencintaimu," jawabnya.

Baru kali ini, Nadia menjawab dan menanggapi perintahku dalam Bahasa Perancis. Oh, rupanya ada faktor Bambang. Bambang (nama samaran juga) adalah pemuda pujaan di kelas ini. Wajahnya yang imut-imut, sikapnya yang cool, senyumnya yang selalu menggelayut telah membuat para gadis di kelas ini jatuh cinta kepadanya. Nadia salah satunya. Dia merasa dia yang paling berhak mendapatkan Bambang karena secara zonasi rumahnya paling dekat dengan rumah Bambang. Tapi melalui jalur prestasi, Atun (ini juga nama samaran) sudah hampir memenangkan persaingan ini. Jadi, Nadia hanya berharap suatu saat dia akan mendapatkan cinta Bambang. Belum usai dua anak ini bersaing, Aini (tentu saja ini nama samaran) dan Amanda (sama dengan yang lain, ini juga nama samaran) ikut meramaikan persaingan memperebutkan Bambang. Teman-temannya sesama lelaki hanya bisa curiga, sedikit iri dan geleng-geleng kepala. Entah ilmu pelet apa yang Bambang miliki. Aji pengasihan? Aji pemikat? Aji penakluk cinta? Jaran goyang? Semar mesem? Hanya dia dan dukunnya yang tahu.

Aku hanya merasa aneh dengan kondisi kelas ini. Penuh dengan intrik, kompetisi, intimidasi, persaingan, persekongkolan, dan pertarungan. Tapi biarlah, yang penting Nadia jadi pintar Bahasa Perancis.

MOBIL DAN SANDAL

Pada tahun 1995-an.

Sedang enak-enaknya menikmati istirahat sambil ngopi di halaman pondok, tiba-tiba Gus Jalal mendekat.

"Bas, temani ke bandara yuk!" ajak Gus Jalal.
"Ada keperluan apa Gus" tanyaku
"Beli tiket,"

Gus Jalal mengeluarkan mobil Honda Accord warna merah maron dari garasi. Beliau tahu aku belum bisa menyetir maka tak mungkin beliau menyuruhku memegang kemudi.

"Ayo naik," teriak beliau.

Aku segera membuka pintu belakang dan naik.

"Duduknya jangan di belakang, di depan sini," suruh Gus Jalal
"Saya di belakang saja Gus. Biar Panjenengan saja yang di depan," jawabku.

Tentu saja, aku merasa tidak sopan duduk sejajar dengan putra kyaiku. Tidak beradab.

"Ealah, aku cuma dianggap supir. Kalau naik mobil, yang duduk di belakang itu juragan, yang duduk di samping supir itu kenek. Lha kalau sampeyan duduk di belakang, berarti sampeyan juragan aku supir. Nanti waktu turun, aku yang membukakan pintu? Enak saja,"
"Tapi saya nggak enak Gus,"
"Eh lah, dibilangin kok. Ayo pindah ke depan,"

Dengan rasa bingung, akhirnya aku pindah ke depan.

"Nah gitu, sekarang aku supir, sampeyan kenek. Tinggi mana kedudukan supir sama kenek?"
"Supir Gus,"
"Ya betul,"

Mobil berjalan menuju bandara Adi Sucipto. Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ke bandara kota Yogyakarta itu.

"Maaf Gus, saya di parkiran saja,"
"Mau nungguin mobil? Nggak perlu ditungguin, sudah ada tukang parkirnya."
"Bukan karena itu Gus,"
"Lha kenapa?"
"Sandal saya selen Gus,"
"Lepas sandalnya," suruh Gus Jalal.

Tanpa basa-basi, aku melepas sandalku yang warna-warni. Sebelah kanan berwarna biru, sebelah kiri berwarna merah. Sekarang aku nyeker. Aku menggerutu akan nasibku. Seharusnya aku tadi pinjam sandal kulitnya Ihsan yang bagus itu. Ah sial. Ini gegara budaya ghosob yang sulit dihilangkan di pondokku. Budaya memakai sandal tanpa ijin dan tanpa peduli siapa pemiliknya menyebabkan sandal akan berpindah tempat semaunya. Bisa tiba-tiba berada di masjid, di dapur, di toilet dan bahkan di manapun. Pasangannya pun kadang berubah jadi tidak karuan. Hijau berpasangan dengan merah, merah dengan biru, biru dengan kuning. Sandal nomor 10 berpasangan dengan nomor 9, nomor 9 berpasangan dengan nomor 11, nomor 11 berpasangan dengan nomor 8. Para sandal sendiri, seakan-akan tak peduli. Mereka berprinsip “kalau jodoh tak akan kemana”. Iya sih, kadang-kadang secara tiba-tiba sepasang sandal akan kembali ke tempat semula dengan bahagia dan bertemu kembali dengan pasangan sejatinya.

Tidak hanya sandal, sepatu saja bisa berubah pasangan. Sepatu bisa berpasangan dengan sepatu lain, dengan sandal jepit, dengan sandal gunung, bahkan dengan bakiak. Budaya yang sudah dimaklumi oleh semua orang ini mau tak mau juga menjadi budayaku sekarang ini. Aku tadi hanya mengambil sandal sekenanya di depan asrama. Entah milik siapa.

Efeknya baru terasa ketika aku kini berada di luar pondok. Ternyata muncul rasa malu memakai sandal selen.

Namun tak kusangka, sandalku yang warna warni itu diambil oleh Gus Jalal dan dipakai.

"Sampeyan pakai sandalku."

Kaget campur bingung terpaksa aku memakai sandal beliau. Tanpa banyak kata beliau jalan menuju loket tiket dengan memakai sandal selen. Aku mengikuti beliau dengan cukup pede dengan langkah yang semakin mantap karena sandalku sekarang berganti dengan sandal kulit merk "Carvil".

"Orang ganteng pakai sandal selen tetap saja kelihatan ganteng. Orang jelek walaupun sandalnya keren tetap saja kelihatan jelek. Ha ha," celetuk Gus Jalal

"Sumpah ngenyek."

MADING HARI GURU




Seusai melaksanakan sholat dhuhur di mushola, aku melewati koperasi dan mampir. Kulihat banyak siswa yang membeli makanan dan minuman.

"Pak Basss...," sapa salah satu siswa yang berkerumun di koperasi. Ternyata Mega Elisya, siswa kelas XI IPS 2. Mega adalah salah satu pengurus OSIS yang berprestasi. Selain juara monolog di ajang FLS2N, Mega pinter menyanyi, pintar membaca puisi, membaca novel, membaca cerpen, membaca doa, dan membaca hati yang sedang terluka. Jadi, siapa tak kenal dia?

"Beli apa nih?" tanyaku basi-basi
"Jajan Pak. Eh iya.. Bapak sudah lihat mading belum?"
"Emang ada apa di mading?" tanyaku
"Ada tulisan tentang Bapak,"
"Oh...ya?" aku terkejut, "tentang apa?"
"Ada deh. Bapak lihat aja sendiri,"
"Wah. Jadi penasaran nih. Ok nanti Pak Bas lihat ya," jawabku. Setelah membeli beberapa jajanan, aku melanjutkan ke kantor.

"Nanti dilihat ya Pak!"
"Iya," jawabku

Seusai jam sekolah, aku memenuhi janjiku untuk melihat mading sekolah. Ada beberapa tulisan dengan tema hari guru. Selain ada ucapan untuk semua guru, ada beberapa ucapan untuk beberapa guru termasuk aku.

Setelah kubaca dengan teliti, aku tersenyum malu-malu. Ternyata ada siswa yang tidak pernah kuajar tapi nge-fans kepadaku (ehem...ehem) dan mengikuti semua tulisanku di www.sukibel.blogspot.com. Entah apa yang merasukimu hingga kau mau membaca tulisan-tulisanku....

Tapi it's ok. Tulisan Mega juga bagus. Dan ternyata semua tulisan se-mading adalah tulisannya. Salut deh. Mudah-mudahan bisa mengembangkan bakatnya, semakin bagus dan menjadi penulis profesional. Pesan Pak Bas, kalau sudah jadi penulis profesional dan terkenal, masuk tipi, masuk youtube, masuk koran, masuk majalah, atau masuk apa saja, jangan lupa colek Pak Bas, biar Pak Bas ikut terkenal.

Rabu, 06 November 2019

MUSIM MANGGA



Minggu-minggu ini adalah puncaknya musim mangga. Selain tersedia di setiap toko buah, banyak penjual mangga dadakan yang menggelar dagangannya di tepi jalan menggunakan mobil bak terbuka. Karton bekas dengan tulisan besar "Obral Rp. 10.000,-/kg. terpampang di atas dagangan mereka.

Mereka bersaing dengan penjual anggur dengan gerobak dorong yang bentuk dan warnanya seragam yang mangkal di beberapa titik. Di gerobak anggur tertulis Rp. 15.000,- per 1/2 kg. Papan iklan yang sering menipu calon pembeli. Atau sengaja agar terlihat murah. Aku tak tahu apakah sekarang sedang musim anggur juga karena di kotaku tidak ada tanaman anggur.

"Pa, beliin anggur ya, sekilo saja," pinta istriku di rumah.
"Mbok beli mangga saja. Murah. Sekilo cuma sepuluh ribu. Anggur kan mahal sekilo tigapuluh ribu," kataku
"Itu murah Pa. Biasanya sampai tujuh puluh ribu sekilo. Kata penjualnya, sekarang ini lagi musim anggur. Jadi murah. Ayolah Pa, mumpung murah Pa," desaknya
"Tetap lebih murah mangga Ma. Uang buat beli anggur sekilo bisa buat beli mangga tiga kilo," kataku bertahan.
"Tapi beda kandungan vitaminnya," bantahnya
"Sama saja Ma. Semua buah mengandung banyak vitamin. Memang beda kadarnya tapi masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya,"
"Itu anggur impor lho Pa,"
"Nah malah impor. Alam menyediakan sesuatu sesuai dengan kondisinya. Contohnya, di Indonesia, tanaman yang bisa tumbuh subur adalah mangga. Itu artinya mangga disediakan untuk orang Indonesia dan paling pas untuk orang Indonesia. Di Perancis, tanaman yang subur adalah anggur. Itu artinya anggur disediakan untuk orang Perancis dan paling pas untuk orang Perancis. Di Arab, tanaman yang paling subur adalah kurma. Itu artinya kurma disediakan untuk orang Arab dan paling pas untuk orang Arab. Jadi tidak perlu mencari-cari sesuatu yang tidak pas. Alam sudah bijaksana menyediakan sesuatu sesuai dengan kondisinya masing-masing. Lagi pula kenyangnya perut itu bukan dari faktor mahal dan murahnya makanan, bukan faktor lokal dan impornya makanan tapi dari banyak sedikitnya makanan yang masuk ke dalam perut. Anggur satu kilo dengan mangga tiga kilo tentu akan lebih mengenyangkan mangga tiga kilo. Jadi cobalah untuk berbuat bijak."

"Ngomong-ngomong, Papa punya uang nggak?"
"Nggak,"

"Pantesan."

Sabtu, 02 November 2019

FILSAFAT JAWA



"Mba, tolong ambilkan pisau di dapur,"

Anak perempuanku segera mengambilkan pisau untuk mengupas mangga dan memberikan kepadaku.

"Ini Pa," kata dia sambil menyerahkan pisau itu. Namun aku tak mau menerimanya.

"Memberikan pisau itu yang disodorkan adalah gagangnya. Jangan mata pisaunya. Itu baru sopan," jelasku

Anakku segera membalik pisaunya, memegang mata pisaunya dan menyodorkannya kepadaku.

"Nah gitu," kataku
"Kalau kita yang kena mata pisaunya gimana?" tanyanya lagi

"Orang Jawa itu sifatnya mengalah, berani berkorban untuk mempermudah, memberi kebaikan dan kebahagiaan kepada orang lain. Lebih baik kita yang kena pisau daripada orang lain. Dalam hal apapun filsafat perilaku Jawa seperti itu. Tidak hanya pisau, memberikan sendok, garpu, sapu, obeng, catut, yang disodorkan adalah gagangnya."

"Oh gitu ya," sahutnya

"Dalam filsafat Jawa juga ada istilah yang kuat harus melindungi yang lemah. Contohnya, ketika naik mobil, yang naik terlebih dahulu adalah yang kecil, yang besar belakangan untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan yang kecil. Ketika turun dari kendaraan, yang besar turun terlebih dahulu berjaga untuk melindungi yang kecil turun."
"Kok waktu pramuka naik truk, yang laki-laki dulu Pa?"
"Iyalah. Kan kemudian yang laki-laki mengulurkan tangannya untuk membantu perempuan naik."

Anakku manggut-manggut.

"Kalau berjalan orang yang lebih besar harus di sebelah kanan dan anak kecil di sebelah kiri. Yang besar harus melindungi yang lebih kecil karena berjalan di sebelah kanan resikonya lebih besar. Demikian juga, kalau laki-laki berjalan dengan perempuan maka laki-laki harus berjalan di sebelah kanan perempuan. Filosofinya sama yaitu laki-laki melindungi perempuan. Itulah mengapa kancing baju perempuan dipasang  di sebelah kiri dan lubangnya di sebelah kanan."

"Eh iya tuh kenapa kancing baju perempuan ada di sebelah kiri dan lubangnya di sebelah kanan Pa?" tanya istriku yang sedang menyeterika.

"Karena ada laki-laki di sebelah kanannya," kataku
"Maksudnya?"
"Di antara kancing-kancing baju kan ada sedikit celah yang kadang-kadang membuka. Agar yang ada di dalam celah itu tidak kelihatan oleh laki-laki, maka kancing baju perempuan dibalik. Jadi celahnya menghadap ke kiri. Aman."

"Yang ada di dalam celah itu apa Pa?" tanya anakku laki-lakiku.

Aku pura-pura menikmati mangga manis padahal kecut.

# Keterangan gambar sebelah kanan: Itu adalah bajuku dipinjam anakku. Jadi kancingnya ada di kanan.

Jumat, 01 November 2019

PEPAYA


"Ini pepaya apa bu?"
"California,"
"California bukannya agak panjang?" protesku
"California juga bermacam-macam. Ada yang panjang, ada yang pendek bulat koyo aku."

Aku terharu akhirnya dia sadar.

"Lha kalau yang ini?" tanyaku sambil menunjukkan pepaya yang cukup panjang.
"Itu pepaya bangkok. Panjang, dagingnya tebal."
"Kok kebalik-balik ya. Ini yang panjang kok malah bangkok, yang pendek malah california," kataku
"Sudah saya bilangin si... Yang panjang juga belum tentu California. Yang pendek bulat belum tentu Bangkok. Lha sampeyan ya tinggi besar ya Indonesia," jelasnya

"Ganteng lagi, ya Bu?"
"Ora"

"Asyeeem,"

SENSUS KESEHATAN

"Assalamu 'alaikum."
"Wa'alaikum salam," jawabku dari dalam rumah.

Masih memakai sarung karena baru sholat 'asar, aku segera membukakan pintu. Dua orang perempuan setengah baya tersenyum manis. Semanis gula pasir.

"Permisi Pak. Kami dari Dinas Kesehatan bermaksud mengadakan sensus kesehatan".

Kupersilahkan mereka berdua duduk. Dari setumpuk kertas, hanya satu lembar kertas yang ambil.
"Dengan Bapak Basuki?"
"Betul."
"Pendidikan S1?"
"Iya betul,"
"Pekerjaan?"
"Guru,"

Di lembar kertas tersebut sudah ada pilihannya sehingga dia hanya melingkari saja.

"Ada WC? memakai septic tank?" lanjutnya
"Ya ada lah bu"

Ini pertanyaan yang sungguh menyinggung perasaan karena di depan rumahku ada sungai. Sepertinya mereka agak curiga dengan kebiasaanku BAB.

"Bapak merokok?"
"Sudah 8 tahun berhenti,"

"Bapak darah tinggi?"

Aneh, tiba-tiba pertanyaannya kok darah tinggi. Kenapa bukan penyakit lain seperti diare, kadas, kurap atau panu. Apakah aku punya tampang pemarah dan emosian? Aku merasa sedari tadi aku menyambut mereka berdua dengan senyum yang manis lebih manis dari senyuman mereka sendiri, ramah, sopan dan santun.

"Tidak," jawabku tegas.
"Bisa saya periksa?" tanya dia sambil mengeluarkan alat pengukur tensi darah dari dalam tasnya.

Pantas dia tanya tekanan darah. Ternyata dia membawa tensimeter, alat pengukur tensi darah. Coba kalau dia membawa peralatan sinar X atau CT scan, pasti pertanyaan: apakah bapak pernah patah tulang? Apakah ada kelainan di kepala bapak? Jantung? Ginjal? Tumor? Bisa saya periksa? Bisa bajunya dilepas? Bisa berbaring? Bisa masuk ke alat ini? Wuih ngeri. Untung dia tidak bawa itu.

"Silahkan," jawabku mempersilahkan mengukur tekanan darahku.

"Boleh saya pegang tangannya?"
"Oh boleh," jawabku
"Maaf Pak saya bertanya begitu karena kemarin ada orang yang tidak mau dipegang. Katanya bukan muhrim. Saya jadi malu,"

"Kalau saya dipegang nggak apa-apa walaupun bukan muhrim. Nggak akan terjadi apa-apa. Paling-paling jadi batal. Kan bisa wudlu lagi. Insyaalloh nggak sampai harus mandi besar. Jadi santai saja."

Tensimeter itu diikatkan ke lenganku. Dipompa lalu dikempiskan lagi.

"Seratus sepuluh. Normal Pak,"
"Alhamdulillah saya tidak abnormal."

Kamis, 31 Oktober 2019

ARUNG JERAM





Pelampung dan helm sudah kami pakai. Kemudian kami berbaris untuk menentukan anggota kelompok dan terbagilah kami menjadi 8 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 4-6 orang. Sebelum berangkat, pemandu mengajak kami berfoto bersama-sama dengan berbagai gaya di depan background besar "Rainbow Rafting". Pasti untuk promosi.

Dengan mobil bak terbuka kami diantar menuju hulu Sungai Comal di Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang kurang lebih lima menit dari basecamp. Perahu karet diturunkan, dayung kami pegang dan segera naik ke atas perahu.

Aturan umum dalam arung jeram adalah dilarang membawa barang-barang berharga yang rawan basah: tas, dompet, uang, sepatu, kamera, ijazah, akte kelahiran, sertifikat tanah, dan lain-lain. Handphone boleh dibawa asal ditempatkan di wadah plastik anti air.

Baru beberapa meter perahu kami melaju, guide kami Mas Anton meminggirkan perahu kami.

"Kok minggir mas?" tanya Pak Kas.
"Pak Bu, kita briefing dulu sebentar".

Mas Anton memberi petunjuk cara memegang dayung yang benar, cara duduk yang benar, dan memberikan beberapa aba-aba seperti "kanan, kiri, depan, belakang, dan boom".

"Paham Bapak Ibu?
"Paham," jawab kami serempak.

Sebelum berjalan, kami berdoa terlebih dahulu. Tentu doa agar kami diberi keselamatan selama melakukan arung jeram. Bukan doa minta rejeki atau jodoh. Tapi boleh juga diselipi doa-doa seperti itu. Siapa tahu tiba-tiba ada yang ngasih duit atau tiba-tiba ada yang menyatakan cinta pada saat perahumu hampir terbalik.

Diawali melewati jeram honey dan jeram welcome yang cukup landai. Nama-nama jeramnya memakai bahasa Inggris supaya keren. Ada 1 perahu di depan kami dan 6 lainnya yang ada di belakang kami. Memasuki jeram batu tapa, tubuh kami mulai diguncang. Perintah kanan dan kiri mulai keluar. Di jeram zigzag, kami mulai merasakan adrenalin kami mulai naik. Jeram ini lumayan curam dan berkelok-kelok. Perahu kemi berkali-kali terbentur bebatuan. Berkali-kali aba-aba "boom" keluar dari mulut Mas Anton. Kami harus duduk di tengah-tengah perahu. Memasuki jeram kejepit, kami harus bekerja keras untuk bergeser ke kanan dan ke kiri. Jeram ini sangat sempit sehingga perahu kami harus melaju dengan agak miring.

Dalam perjalanan, pemandangan tebing sungai Comal ini sangat menarik. Pepohonan dan bebatuan yang tertata oleh alam begitu memikat.

Ada pohon nangka yang miring ke tengah sungai. Mas Anton menamakan pohon ini dengan sebutan "pohon lelah". Mungkin hidupnya terlalu lelah menopang beban rumah tangga. Atau lelah memperjuangkan kekasih hatinya yang akhirnya pergi.

"Kita memasuki Kedung Leng," kata Mas Anton.

Seketika aku teringat lagu "Kuncung" milik Didi Kempot.

"Cilikanku rambutku, dicukur kuncung
Katokku, soko karung gandum
Klambiku, warisane mbah kakung
Sarapanku sambel korek, sego jagung...
Kosokan watu ning kali nyemplung ning kedhung (byur)"

Mendengar nama Kedung Leng, aku membayangkan kedung ini sempit dan dalam."Leng" adalah nama lubang semut, gangsir atau tikus.

"Kedung ini memiliki kedalaman 20 meter," lanjut Anton, "konon ada penghuni lain di bawah kedung ini," suaranya tiba-tiba direndahkan. Membuat bulu kudukku berdiri.

Tidak seperti bagian sungai yang lain, arus di kedung ini sangat tenang. Bahkan ada arus yang hanya berputar-putar di atasnya. Suasana di sekelilingnya pun sangat hening. Hanya beberapa burung kecil yang lerlihat melintas di atas kami. Entah rasa apa yang tiba-tiba menyergapku. Hiiii....

Para pemancing di atas tebing memilih diam dan hanya memperhatikan kami lewat. Mereka memancing di kedung karena airnya yang tenang dan pasti lebih banyak ikannya.

Tidak ada setengah menit kami melewati kedung ini tapi terasa begitu lama.

Setelah melewati kedung leng, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada pemandu kami.

"Penghuni lain yang di Kedung Leng siapa Mas?" tanyaku. Aku berharap jawabannya semacam Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Dewi Lanjar, Dewi Ratih dan tokoh-tokoh mistis yang melegenda lainnya. Pasti menarik dan mengejutkan.

"Makhluknya ikan besar-besar. Makanya banyak yang mancing" jawabnya

Aku kecewa dengan jawaban ini tapi aku memahami mengapa dia tak mau menjawab. Pasti penghuninya akan marah namanya disebut-sebut, data dirinya disebarluaskan, fotonya diunggah di medsos dan dia tidak mau terjadi sesuatu yang tak diinginkan karena tiap hari lewat sini.

Setelah melewati kedung leng, kami masih melewati jeram dowo dan jeram-jeram lainnya. Di sebelah kiri jeram dowo, kami melihat pohon tumbang.

"Ini pasti pohon terlalu lelah," kataku
"Benar, dia telah berjuang mati-matian tapi gagal," kata bu Nanin.

Sampailah kami di bawah jembatan desa Kecepit tempat kami menyelesaikan rute arung jeram kami.

Kami kembali ke basecamp dengan mobil bak terbuka lagi. Tepat pukul 16.00 kami sampai di basecamp, berbilas dan bersiap kembali ke Batang. Selesai sudah arung jeram yang merupakan lanjutan kegiatan LDK (Latihan Kader Dasar) OSIS yang dijadwalkan tanggal 4-5 Oktober 2019.