Rabu, 25 Desember 2019
TOKO SARUNG CINA
"Ci... sarungnya lihat. Saya mau milih," kata Bapakku di sebuah toko yang tidak begitu besar.
Beberapa contoh sarung dikeluarkan dan dijejer di atas etalase kuno yang rangkanya terbuat dari kayu.
"Ini 35 ribu, ini 55 ribu, 65 ribu, ini, 70 ribu, ini 145 ribu.....," kata Ci... (maaf tak tahu namanya). Yang aku tahu, dia memakai daster lengan pendek, sudah tua, tionghoa dan tak berjilbab.
"Ambil yang ini saja Ci. Empat buah ya. Tapi warnanya yang beda-beda. Dibungkus satu-satu ya Ci. Pakai kertas koran saja," pinta Bapakku
Segera Ci membungkus empat buah sarung itu dengan koran dimasukkan ke plastik kresek hitam satu-satu juga.
"Oh iya. Ini bisa kurang tidak?" tanya Bapakku lupa menawar.
"Ah Panjenangan kayak tidak sering ke sini. Harganya sudah mepet. Ini saja sudah paling murah," jelas Ci
"Ya sudah lah. Siapa tahu kali ini bisa ditawar,"
Sarung untuk hadiah teman-teman Bapak sudah dibeli, sekarang tinggal mengantar satu per satu ke orang yang dituju.
"Pak, Bapak kok belinya di toko itu. Apa tidak ada toko yang lain?" tanyaku.
"Itu toko langganan Bapak dari dulu. Harganya paling murah di antara toko-toko yang lain. Barangnya juga lengkap. Ada sarung, baju koko, peci, tasbih dan lain-lain."
"Keturunan Cina kan Pak? Non muslim kan?"
"Iya. Memangnya kenapa? Kan nggak ada larangan orang Cina non muslim jualan sarung?"
Itulah toleransi di kota kecamatan kami, Bukateja, sebuah kota kecil di ujung timur Purbalingga yang pergaulannya tak lagi terbatasi oleh sekat formalitas keagamaan, suku maupun ras.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
nama toko nya apa mbaa
BalasHapus