Senin, 16 Desember 2019
TIMBANGAN KELENGKENG
Mendung menjelang maghrib sore ini membuat suasana semakin gelap. Lembur di sekolahku tidak menghalangiku untuk mengabulkan pesanan anakku untuk membeli kelengkeng. Lagi-lagi aku mampir di penjual buah. Kali ini bukan penjual buah langgananku. Selain bosan melihat ibu-ibu yang itu-itu juga, di penjual buah langgananku tak menjual kelengkeng. Aku membeli kelengkeng di penjual buah yang lain.
"Kok gelap Mba?" sapaku kepada Mba penjual di sebuah kios buah.
Walaupun masih agak kelihatan tapi tidak lazim sebuah kios segelap ini.
"Iya Pak. Listriknya mati. Pulsanya habis," jawabnya.
"Mba, kelengkeng harganya berapa?" tanyaku
"Empat pulun ribu sekilo," jawabnya", mau berapa kilo Pak?"
"Nggak banyak kok. Cuma buat obat kepingin," jawabku
"Silahkan Pak. Milih sendiri!" suruhnya mempersilahkan aku sambil menyodorkan plastik kresek hitam lumayan besar.
"Plastiknya jangan besar-besar. Yang kecil saja," kataku
Dia menukar dengan plastik kresek yang agak kecil. Aku memilih kelengkeng yang masih segar dan ada batangnya.
"Ini boleh diprotoli kan Mba?" tanyaku
"Boleh Pak," jawabnya
Aku memisahkan kelengkeng-kelengkeng tersebut dari gagangnya. Setelah kurasa
cukup, aku menyodorkannya untuk ditimbang.
"Waduh..maaf Pak. Saya bisa minta tolong? Bapak tunggu di sini sebentar. Timbangannya batrenya juga habis. Saya mau beli pulsa listrik dulu." kata dia.
"Kan bisa pakai timbangan yang manual Mba," kataku menunjuk timbangan manual di sebelah timbangan digital.
"Kurang pas Pak,"
Timbangan digital memang lebih presisi, lebih akurat dan lebih akuntable. Jangankan satu ons, sepersepuluh ons saja bisa terhitung di timbangan digital. Sedangkan timbangan manual hanya bisa kira-kira untuk ukuran ons. Sedangkan bobot satu butir kelengkeng tentu tidak sampai setengah ons. Kehilangan beberapa ons saja akan sangat merugikan karena harga kelengkeng yang lumayan mahal. Maka dia tidak mau rugi dalam urusan timbangan ini.
"Ya dilihat jarumnya to Mba," kataku.
"Sebentar saja Pak," desak dia dengan raut muka memohon.
"Nanti kalau sampeyan pergi, terus saya mengambil sesuatu, bagaimana? Apakah Sampeyan percaya sama saya?" kataku.
Rupanya dia berpikir ulang untuk minta tolong kepadaku. Walaupun awalnya percaya dengan raut wajahku yang pasti kelihatan imut, polos, sederhana, jujur, lugu, dan bersahaja tapi akhirnya dia lebih mempercayai kata-kataku untuk tidak percaya kepadaku.
"Ya sudahlah. Pakai timbangan ini saja," kata dia menunjuk timbangan manual.
Dengan hati-hati dia menimbang kelengkeng. Jarum merah ditimbangan itu diperhatikan betul-betul. Berkali-kali dia mengangkat dan meletakkan sebutir kelengkeng agar pas dengan angka yang dimaksud.
"Tujuh ons pas Pak," kata dia
"Jadi harganya berapa Mba?" tanyaku
Kembali dia berpikir kemudian mencari kalkulator untuk menghitungnya.
"Dua puluh delapan ribu,"
Aku membayarnya dengan uang tiga puluh ribu dan dikembalikan dua ribu.
"Nah sekarang, tutup dulu kiosnya terus beli pulsa listrik,"
Dia tersenyum kecut sekecut jeruk lemon yang berayun-ayun digantung di keranjang plastik di kios bagian depan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar