alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Senin, 18 November 2019

MENCARI HUJAN







Suhu menyengat mencapai 35 derajat celcius dalam beberapa hari ini. Hujan satu kali yang turun minggu lalu serasa menguap begitu saja. Sampai kini belum ada hujan lanjutan.

Panas ini yang membuatku bersama istri dan anak-anakku sepakat mencari hujan. Pada hari Minggu pagi, kami pergi ke arah selatan Batang. Di wilayah selatan kabupaten Batang yang berupa pegunungan sudah masyhur akan curah hujannya yang tinggi. Wilayah lain belum hujan, wilayah selatan sudah hujan. Wilayah lain jarang hujan, wilayah selatan sudah berkali-kali turun hujan. Wilayah lain gerimis, wilayah selatan hujan lebat. Hujan di wilayah ini yang kami cari. Kami sudah rindu hujan.

"Pokoknya nanti kalau hujan turun, aku akan hujan-hujanan," kataku penuh keyakinan.

Di awal perjalanan, kami belum menentukan tujuan utama kami. Banyak alternatif tujuan wisata di wilayah selatan Batang yang bisa dijangkau hanya dalam waktu 15-30 menit. Ada bina garut, ecopark, si kembang, curug genting, curug bidadari, pagilaran, selopajang dan lain-lain.

Akhirnya, dalam perjalanan kami sepakat menuju Pagilaran, sebuah destinasi wisata perkebunan teh di kecamatan Blado.

Kurang lebih pukul 09.00 kami tiba di Pagilaran. Sudah kuduga, banyak pengunjung yang mengunjungi Pagilaran. Aku yakin, udara sejuk pegunungan lah yang membuat mereka menyerbu destinasi ini. Di Pagilaran, orang dapat menikmati suasana kebun teh yang hijau, arena mainan, jembatan gantung yang membuat jantung berdegup, flying fox, bebek-bebekan di kolam yang tenang, dan panggung dangdut yang menampilkan penyanyi lokal dengan lagu-lagu paling hits.

Sebagaimana piknik keluarga, tak lupa kami  membawa rantang nasi, sayur, kering tempe, mendoan dan minuman. Dengan menggelar tikar di bawah pepohonan pinus yang rindang, kami makan bersama. Keren kan? Kami betul-betul keluarga jadul. Tapi istriku tidak menerima istilah itu.

"Makanan dari rumah lebih higienis," kata dia beralasan.

Entah itu alasan sebenarnya atau hanya sebuah alibi untuk mengalihkan perhatian terhadap kondisi keuangan yang harus ngirit.

Untung saja tidak semua wisatawan seperti kami. Seandainya seperti itu, tentu Bali tidak pernah membanggakan wisatanya. Bayangkan wisatawan dari Amerika, Eropa, Australia dan dari seluruh dunia datang ke Bali membawa rantang dan termos sendiri, makanan sendiri, minuman sendiri, dan tikar sendiri. Restaurant bangkrut, hotel tutup. Jadi jangan tiru kami apabila Anda mendukung pariwisata.

Tak terasa hari semakin siang. Adzan dari masjid Pagilaran memanggil kami untuk menunaikan sholat dzuhur. Namun hujan yang kucari belum datang juga. Beberapa gumpal awan kadang lewat namun hanya menyapa sebentar untuk kemudian berlalu tanpa "goodbye". Semakin sore semakin sama saja. Hujan belum juga berkenan menyapa kami. Akhirnya kami pulang tanpa menemukan hujan.

Sesampainya di rumah, aku mandi sepuasnya memakai pancuran sambil membayangkan hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar