"Assalamu 'alaikum."
"Wa'alaikum salam," jawabku dari dalam rumah.
Masih memakai sarung karena baru sholat 'asar, aku segera membukakan pintu. Dua orang perempuan setengah baya tersenyum manis. Semanis gula pasir.
"Permisi Pak. Kami dari Dinas Kesehatan bermaksud mengadakan sensus kesehatan".
Kupersilahkan mereka berdua duduk. Dari setumpuk kertas, hanya satu lembar kertas yang ambil.
"Dengan Bapak Basuki?"
"Betul."
"Pendidikan S1?"
"Iya betul,"
"Pekerjaan?"
"Guru,"
Di lembar kertas tersebut sudah ada pilihannya sehingga dia hanya melingkari saja.
"Ada WC? memakai septic tank?" lanjutnya
"Ya ada lah bu"
Ini pertanyaan yang sungguh menyinggung perasaan karena di depan rumahku ada sungai. Sepertinya mereka agak curiga dengan kebiasaanku BAB.
"Bapak merokok?"
"Sudah 8 tahun berhenti,"
"Bapak darah tinggi?"
Aneh, tiba-tiba pertanyaannya kok darah tinggi. Kenapa bukan penyakit lain seperti diare, kadas, kurap atau panu. Apakah aku punya tampang pemarah dan emosian? Aku merasa sedari tadi aku menyambut mereka berdua dengan senyum yang manis lebih manis dari senyuman mereka sendiri, ramah, sopan dan santun.
"Tidak," jawabku tegas.
"Bisa saya periksa?" tanya dia sambil mengeluarkan alat pengukur tensi darah dari dalam tasnya.
Pantas dia tanya tekanan darah. Ternyata dia membawa tensimeter, alat pengukur tensi darah. Coba kalau dia membawa peralatan sinar X atau CT scan, pasti pertanyaan: apakah bapak pernah patah tulang? Apakah ada kelainan di kepala bapak? Jantung? Ginjal? Tumor? Bisa saya periksa? Bisa bajunya dilepas? Bisa berbaring? Bisa masuk ke alat ini? Wuih ngeri. Untung dia tidak bawa itu.
"Silahkan," jawabku mempersilahkan mengukur tekanan darahku.
"Boleh saya pegang tangannya?"
"Oh boleh," jawabku
"Maaf Pak saya bertanya begitu karena kemarin ada orang yang tidak mau dipegang. Katanya bukan muhrim. Saya jadi malu,"
"Kalau saya dipegang nggak apa-apa walaupun bukan muhrim. Nggak akan terjadi apa-apa. Paling-paling jadi batal. Kan bisa wudlu lagi. Insyaalloh nggak sampai harus mandi besar. Jadi santai saja."
Tensimeter itu diikatkan ke lenganku. Dipompa lalu dikempiskan lagi.
"Seratus sepuluh. Normal Pak,"
"Alhamdulillah saya tidak abnormal."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar