Kamis, 31 Oktober 2019
ARUNG JERAM
Pelampung dan helm sudah kami pakai. Kemudian kami berbaris untuk menentukan anggota kelompok dan terbagilah kami menjadi 8 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 4-6 orang. Sebelum berangkat, pemandu mengajak kami berfoto bersama-sama dengan berbagai gaya di depan background besar "Rainbow Rafting". Pasti untuk promosi.
Dengan mobil bak terbuka kami diantar menuju hulu Sungai Comal di Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang kurang lebih lima menit dari basecamp. Perahu karet diturunkan, dayung kami pegang dan segera naik ke atas perahu.
Aturan umum dalam arung jeram adalah dilarang membawa barang-barang berharga yang rawan basah: tas, dompet, uang, sepatu, kamera, ijazah, akte kelahiran, sertifikat tanah, dan lain-lain. Handphone boleh dibawa asal ditempatkan di wadah plastik anti air.
Baru beberapa meter perahu kami melaju, guide kami Mas Anton meminggirkan perahu kami.
"Kok minggir mas?" tanya Pak Kas.
"Pak Bu, kita briefing dulu sebentar".
Mas Anton memberi petunjuk cara memegang dayung yang benar, cara duduk yang benar, dan memberikan beberapa aba-aba seperti "kanan, kiri, depan, belakang, dan boom".
"Paham Bapak Ibu?
"Paham," jawab kami serempak.
Sebelum berjalan, kami berdoa terlebih dahulu. Tentu doa agar kami diberi keselamatan selama melakukan arung jeram. Bukan doa minta rejeki atau jodoh. Tapi boleh juga diselipi doa-doa seperti itu. Siapa tahu tiba-tiba ada yang ngasih duit atau tiba-tiba ada yang menyatakan cinta pada saat perahumu hampir terbalik.
Diawali melewati jeram honey dan jeram welcome yang cukup landai. Nama-nama jeramnya memakai bahasa Inggris supaya keren. Ada 1 perahu di depan kami dan 6 lainnya yang ada di belakang kami. Memasuki jeram batu tapa, tubuh kami mulai diguncang. Perintah kanan dan kiri mulai keluar. Di jeram zigzag, kami mulai merasakan adrenalin kami mulai naik. Jeram ini lumayan curam dan berkelok-kelok. Perahu kemi berkali-kali terbentur bebatuan. Berkali-kali aba-aba "boom" keluar dari mulut Mas Anton. Kami harus duduk di tengah-tengah perahu. Memasuki jeram kejepit, kami harus bekerja keras untuk bergeser ke kanan dan ke kiri. Jeram ini sangat sempit sehingga perahu kami harus melaju dengan agak miring.
Dalam perjalanan, pemandangan tebing sungai Comal ini sangat menarik. Pepohonan dan bebatuan yang tertata oleh alam begitu memikat.
Ada pohon nangka yang miring ke tengah sungai. Mas Anton menamakan pohon ini dengan sebutan "pohon lelah". Mungkin hidupnya terlalu lelah menopang beban rumah tangga. Atau lelah memperjuangkan kekasih hatinya yang akhirnya pergi.
"Kita memasuki Kedung Leng," kata Mas Anton.
Seketika aku teringat lagu "Kuncung" milik Didi Kempot.
"Cilikanku rambutku, dicukur kuncung
Katokku, soko karung gandum
Klambiku, warisane mbah kakung
Sarapanku sambel korek, sego jagung...
Kosokan watu ning kali nyemplung ning kedhung (byur)"
Mendengar nama Kedung Leng, aku membayangkan kedung ini sempit dan dalam."Leng" adalah nama lubang semut, gangsir atau tikus.
"Kedung ini memiliki kedalaman 20 meter," lanjut Anton, "konon ada penghuni lain di bawah kedung ini," suaranya tiba-tiba direndahkan. Membuat bulu kudukku berdiri.
Tidak seperti bagian sungai yang lain, arus di kedung ini sangat tenang. Bahkan ada arus yang hanya berputar-putar di atasnya. Suasana di sekelilingnya pun sangat hening. Hanya beberapa burung kecil yang lerlihat melintas di atas kami. Entah rasa apa yang tiba-tiba menyergapku. Hiiii....
Para pemancing di atas tebing memilih diam dan hanya memperhatikan kami lewat. Mereka memancing di kedung karena airnya yang tenang dan pasti lebih banyak ikannya.
Tidak ada setengah menit kami melewati kedung ini tapi terasa begitu lama.
Setelah melewati kedung leng, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada pemandu kami.
"Penghuni lain yang di Kedung Leng siapa Mas?" tanyaku. Aku berharap jawabannya semacam Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Dewi Lanjar, Dewi Ratih dan tokoh-tokoh mistis yang melegenda lainnya. Pasti menarik dan mengejutkan.
"Makhluknya ikan besar-besar. Makanya banyak yang mancing" jawabnya
Aku kecewa dengan jawaban ini tapi aku memahami mengapa dia tak mau menjawab. Pasti penghuninya akan marah namanya disebut-sebut, data dirinya disebarluaskan, fotonya diunggah di medsos dan dia tidak mau terjadi sesuatu yang tak diinginkan karena tiap hari lewat sini.
Setelah melewati kedung leng, kami masih melewati jeram dowo dan jeram-jeram lainnya. Di sebelah kiri jeram dowo, kami melihat pohon tumbang.
"Ini pasti pohon terlalu lelah," kataku
"Benar, dia telah berjuang mati-matian tapi gagal," kata bu Nanin.
Sampailah kami di bawah jembatan desa Kecepit tempat kami menyelesaikan rute arung jeram kami.
Kami kembali ke basecamp dengan mobil bak terbuka lagi. Tepat pukul 16.00 kami sampai di basecamp, berbilas dan bersiap kembali ke Batang. Selesai sudah arung jeram yang merupakan lanjutan kegiatan LDK (Latihan Kader Dasar) OSIS yang dijadwalkan tanggal 4-5 Oktober 2019.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar