"Ayo ajari aku Bahasa Perancis sekarang," kata beliau sambil menarik tanganku. Aku yang sedang duduk santai di depan "koperasi pondok" bersama teman-teman segera menghabiskan sepotong kue pukis di tanganku. Sesampainya di kamar yang terletak di asrama Abu Bakar itu, beliau mengambil whiteboard kecil dan spidol boardmarker.
"Tulis di sini Bahasa Perancis dari yang paling sederhana," kata beliau.
"Waduh Tadz... Saya kan baru belajar. Belum bisa apa-apa. Saya harus nulis apa?," jawabku kurang percaya diri. Dalam waktu 4 bulan masih sedikit sekali Bahasa Perancis yang kupelajari.
"Apa saja yang penting ditulis," paksa beliau.
Di pojok kamar yang sempit berhimpit lemari-lemari baju dari kayu albasiah, buku-buku, rak sepatu, dan lantai beralaskan bambu, aku menuliskan kata-kata sederhana: bonjour, bonsoir, comment allez-vous?, dan kata-kata lain yang baru aku pelajari sekitar 4 bulan di jurusan Bahasa Perancis UGM.
Hanya setengah jam aku menjelaskan arti kata dan cara membacanya yang tentu saja berbeda dengan Bahasa Indonesia. Mungkin karena penjelasanku yang kacau balau dan tidak jelas, setengah jam sudah terlalu panjang dan membosankan. Aku sendiri baru pertama kali (mengajar) dan tak kuduga orang yang pertama kali kuajari adalah seorang ustadz senior di Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta. Salah tingkah, grogi, dag dig dug, keringat dingin, tiba-tiba pusing, kebelet pipis, kebelat BAB campur aduk jadi satu. Huft.
Ustadz kelahiran Gombong, Kebumen, Jawa Tengah yang juga dosen IAIN Sunan Kalijaga ini betul-betul manusia yang haus ilmu. Selain hafal kitab Alfiah ibnu Malik dan ahli fiqh, beliau masih terus membaca, dari buku berbahasa Indonesia, berbahasa Arab sampai berbahasa Inggris. Dan sekarang, beliau ingin belajar Bahasa Perancis. Walaupun reputasi beliau begitu melejit, beliau tetap rendah hati, murah senyum, ramah, baik hati, tidak sombong, sederhana, dan ganteng.
"Sudah cukup segini saja. Sampeyan punya bukunya? Buku Bahasa Perancis yang sederhana?," tanya beliau.
"Punya Tadz. Buku kuliah," jawabku
"Sekarang ambil. Saya pinjam bukunya biar bisa belajar sendiri,"
"Nah...dari tadi kek," kataku dalam hati. Plong. Lega. Kini aku merasa lebih aman dan nyaman. Terasa lepas dari kandang macan walaupun macannya baik hati.
Sami'na wa atho'na (mendengar dan menaati) adalah sikap santri kepada kyai dan ustadznya. Tanpa ba bi bu, aku segera ngibrit menuju kamarku di asrama Ali bin Abi Tholib untuk mengambil buku kuliahku. Buku tipis fotocopian bersampul biru itu kukeluarkan dari dalam tas kuliahku dan segera ku bawa ke kamar beliau.
"Ini Tadz," kataku sambil menyerahkan buku tersebut.
"Kupinjam dulu ya," kata beliau.
"Iya Tadz," jawabku.
Karena buku yang kupinjamkan kepada beliau adalah buku pegangan wajib kuliahku maka setelah satu minggu berlalu, aku menanyakan buku tersebut kepada beliau.
"Maaf Tadz, buku saya mau saya pakai buat kuliah," kataku di kamar beliau
"Waduh, tak taruh di mana ya" kata beliau sambil mencari di rak buku yang sebagian besar berisi kitab-kitab kuning. Setelah beberapa saat mencari, tak juga ditemukan.
"Gini aja. Besok kalau ketemu saya kembalikan," kata beliau.
"Iya Tadz," kataku tanpa bisa berkata apa-apa.
Aku segera meninggalkan kamar beliau karena harus segera berangkat ke kampus.
Di kampus, karena buku itu adalah buku wajib yang harus dibawa setiap kuliah "Expression Oral" maka aku terpaksa memfoto copy lagi buku tersebut. Tentu saja, akhirnya aku mengikhlaskan buku yang dipinjam oleh ustadzku itu karena aku sudah punya yang baru.
Mungkin karena kesibukan beliau yang sedang mempersiapkan diri untuk mendaftar S2, les Bahasa Perancis denganku hanya sekali itu, tidak pernah berlanjut. Sampai terdengar kabar bahwa beliau berhasil diterima S2 di Universitas Leiden, Belanda.
Setelah beliau kuliah S2 dan berlanjut S3 di Bonn University German, sampai aku lulus kuliah, bahkan sampai sekarang, sampai beliau menjadi Sekretaris Jenderal Kementrian Agama Republik Indonesia, aku belum pernah bersua beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar