alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 08 November 2019

MOBIL DAN SANDAL

Pada tahun 1995-an.

Sedang enak-enaknya menikmati istirahat sambil ngopi di halaman pondok, tiba-tiba Gus Jalal mendekat.

"Bas, temani ke bandara yuk!" ajak Gus Jalal.
"Ada keperluan apa Gus" tanyaku
"Beli tiket,"

Gus Jalal mengeluarkan mobil Honda Accord warna merah maron dari garasi. Beliau tahu aku belum bisa menyetir maka tak mungkin beliau menyuruhku memegang kemudi.

"Ayo naik," teriak beliau.

Aku segera membuka pintu belakang dan naik.

"Duduknya jangan di belakang, di depan sini," suruh Gus Jalal
"Saya di belakang saja Gus. Biar Panjenengan saja yang di depan," jawabku.

Tentu saja, aku merasa tidak sopan duduk sejajar dengan putra kyaiku. Tidak beradab.

"Ealah, aku cuma dianggap supir. Kalau naik mobil, yang duduk di belakang itu juragan, yang duduk di samping supir itu kenek. Lha kalau sampeyan duduk di belakang, berarti sampeyan juragan aku supir. Nanti waktu turun, aku yang membukakan pintu? Enak saja,"
"Tapi saya nggak enak Gus,"
"Eh lah, dibilangin kok. Ayo pindah ke depan,"

Dengan rasa bingung, akhirnya aku pindah ke depan.

"Nah gitu, sekarang aku supir, sampeyan kenek. Tinggi mana kedudukan supir sama kenek?"
"Supir Gus,"
"Ya betul,"

Mobil berjalan menuju bandara Adi Sucipto. Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ke bandara kota Yogyakarta itu.

"Maaf Gus, saya di parkiran saja,"
"Mau nungguin mobil? Nggak perlu ditungguin, sudah ada tukang parkirnya."
"Bukan karena itu Gus,"
"Lha kenapa?"
"Sandal saya selen Gus,"
"Lepas sandalnya," suruh Gus Jalal.

Tanpa basa-basi, aku melepas sandalku yang warna-warni. Sebelah kanan berwarna biru, sebelah kiri berwarna merah. Sekarang aku nyeker. Aku menggerutu akan nasibku. Seharusnya aku tadi pinjam sandal kulitnya Ihsan yang bagus itu. Ah sial. Ini gegara budaya ghosob yang sulit dihilangkan di pondokku. Budaya memakai sandal tanpa ijin dan tanpa peduli siapa pemiliknya menyebabkan sandal akan berpindah tempat semaunya. Bisa tiba-tiba berada di masjid, di dapur, di toilet dan bahkan di manapun. Pasangannya pun kadang berubah jadi tidak karuan. Hijau berpasangan dengan merah, merah dengan biru, biru dengan kuning. Sandal nomor 10 berpasangan dengan nomor 9, nomor 9 berpasangan dengan nomor 11, nomor 11 berpasangan dengan nomor 8. Para sandal sendiri, seakan-akan tak peduli. Mereka berprinsip “kalau jodoh tak akan kemana”. Iya sih, kadang-kadang secara tiba-tiba sepasang sandal akan kembali ke tempat semula dengan bahagia dan bertemu kembali dengan pasangan sejatinya.

Tidak hanya sandal, sepatu saja bisa berubah pasangan. Sepatu bisa berpasangan dengan sepatu lain, dengan sandal jepit, dengan sandal gunung, bahkan dengan bakiak. Budaya yang sudah dimaklumi oleh semua orang ini mau tak mau juga menjadi budayaku sekarang ini. Aku tadi hanya mengambil sandal sekenanya di depan asrama. Entah milik siapa.

Efeknya baru terasa ketika aku kini berada di luar pondok. Ternyata muncul rasa malu memakai sandal selen.

Namun tak kusangka, sandalku yang warna warni itu diambil oleh Gus Jalal dan dipakai.

"Sampeyan pakai sandalku."

Kaget campur bingung terpaksa aku memakai sandal beliau. Tanpa banyak kata beliau jalan menuju loket tiket dengan memakai sandal selen. Aku mengikuti beliau dengan cukup pede dengan langkah yang semakin mantap karena sandalku sekarang berganti dengan sandal kulit merk "Carvil".

"Orang ganteng pakai sandal selen tetap saja kelihatan ganteng. Orang jelek walaupun sandalnya keren tetap saja kelihatan jelek. Ha ha," celetuk Gus Jalal

"Sumpah ngenyek."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar