alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 27 Februari 2015

SERBA ALHAMDULILLAH

Suatu hari aku menyampaikan tugas salah satu guru kepada para siswa:
“Anak-anak, karena hari ini Bapak A sedang sakit dan tidak bisa hadir, maka beliau meminta kalian untuk mengerjakan tugas di LKS,”  kataku
“Alhmadulillah,” jawab mereka

Beberapa hari yang lalu, aku juga mengumumkan:
“Anak-anak, saya sampaikan kabar duka. Innalillahi wainna ilaihi roji’uun. Telah meninggal dunia suami dari Ibu N. Rencana pemakaman pada pagi hari ini pukul 10.00. Karena Bapak Ibu guru akan takziyah, maka kalian diperbolehkan pulang dan belajar di rumah.”
“Alhamdulillah,” jawab mereka

Aku mengelus dada. Betapa sedihnya menjadi seorang guru. Sakitnya dan dukanya selalu menjadi kegembiraan dan syukuran bagi siswa. Siapa yang salah? Apakah mereka tak pernah diajari untuk mengucapkan kalimat selain kalimat hamdalah? Atau memang mereka yang senantiasa menjadi manusia yang bersyukur?

Maka, kutanamkan dalam tekadku, seandainya aku sakit dan berhalangan untuk mengajar maka aku tak akan memberitahukan bahwa aku sakit. Aku akan membuat surat ijin dengan alasan pergi piknik dan wisata.  Kemudian aku akan memberikan tugas kepada para siswa yaitu:

  1. Mengerjakan tugas untuk 2 hari yang harus dikerjakan selama 2 x 45 menit.
  2. Tidak boleh mencontek dan akan dipantau melalui CCTV
  3. Bagi siapa yang mencontek dipastikan tidak naik kelas
  4. Tugas ini dianggap ulangan dan nilainya menentukan kenaikan kelas.
  5. Ditulis rapi dan tidak boleh ada coretan /bekas tip-ex sedikit pun.

Pasti mereka akan belajar mengucapkan: “Inalillahi wainna ilaihi roji’un.”

RAT KOPERASI

Selain musim kawin (pengantin/menikah) karena kebetulan bertepatan dengan bulan bakdamulud dan jumadilawal, bulan Februari juga merupakan musim RAT (Rapat Anggota Tahunan). Kulihat dan kudengar, koperasi-koperasi mengadakan RAT pada bulan ini. Setelah tutup tahun pada akhir bulan Desember, selama 1 sampai 2 bulan pengurus diberi kesempatan untuk menyusun laporan serta rencana tahun yang akan datang serta kegiatan RAT itu sendiri. Kebiasaan Koperasi sekolahku juga mengadakan RAT Tutup Buku tahun 2014 di bulan Februari.

Jangan heran, RAT koperasi di manapun selalu dihadiri oleh para anggotanya. Tak ada yang membolos. Mengapa? Di acara RAT akan dibagikan SHU atau Sisa Hasil Usaha selama setahun. Sebenarnya bukan SHU yang menjadikan para anggota begitu antusias karena SHU ini bisa diambil kapan saja baik pada saat acara RAT maupun sesudahnya. Ternyata, pengurus koperasi menetapkan peraturan (mengakali) bahwa uang kehadiran atau uang duduk untuk acara RAT lumayan besar. Biasanya lebih besar dari SHU-nya. Uang duduk atau uang kehadiran ini tidak akan diberikan kepada anggota yang tidak menghadiri RAT. Inilah yang membuat para anggota sangat antusias untuk hadir, selain niatnya memang untuk bersilaturahmi. Jadi jangan su'udzon dulu ya.

RAT koperasi sekolahku diadakan pada hari Kamis tanggal 26 Februari 2015. Pada pukul 10.00 WIB, acara dimulai. Aku termasuk salah satu anggota yang menyambut RAT ini dengan gembira. Sebelum acara dimulai, para anggota disuguh dengan soto hangat nan nikmat. Mungkin sebagai nutrisi agar RAT berjalan dengan penuh semangat. Di pintu masuk kami, disambut oleh para pengurus yang siap menyodorkan daftar hadir dan daftar penerimaan SHU untuk kami tanda tangani. Setelah tanda tangan, tentu saja sepucuk amplop siap kami terima. Selain amplop, kami menerima sekardus nasi ayam, snack, minuman gelas, dan bingkisan berupa detergent dan sabun cuci piring.

Acara dimulai dengan bacaan basmalah, dilanjutkan prakata ketua koperasi, sambutan kepala sekolah sebagai pembina koperasi, pembacaan pengesahan acara rapat, pembacaan pengesahan tata tertib rapat dan pembacaan berita acara RAT tahun lalu, laporan pertanggungjawaban pengurus, laporan badan pengawas, pembacaan rencana kerja dan RAPB tahun yang akan datang, istirahat, pandangan umum, pengesahan pertanggungjawaban pengurus, pengesahan laporan hasil pemeriksaan badan pengawas, serta pengesahan rencana kerja dan RAPB tahun 2015. Semua acara berjalan lancar.

Sebelum ditutup dengan do'a, acara yang ditunggu-tunggu yaitu pembagian doorprize. Doorprize yang akan dibagikan hanya 14 bungkus sedangkan anggota yang hadir lebih dari 60 orang. Maka pembagian doorprize dilakukan dengan cara diundi. Bagiku, acara undian seperti ini merupakan acara rindu dan benci. Rindu karena aku menunggu dan berharap untuk mendapatkan salah satu doorprize. Benci karena dalam acara undian aku lebih banyak tidak beruntung. Ketika acara ini datang, hatiku selalu dag dig dug. Aku pasrah. Aku tinggal berharap dan berdoa. Dalam undian, hanya takdir Tuhan yang bicara.

Benar perkiraanku, walaupun satu jam jantungku naik turun, tetap saja aku tak mendapatkan doorprize. Yach, mungkin Tuhan belum menakdirkan doorprize untukku atau mungkin do'a mereka yang mendapatkan doorprize lebih banyak, lebih panjang dan lebih susah.

Ya sudah lah, masih ada do'a lain yang harus kuamini dalam acara terakhir yaitu do'a penutup.

BU GURU SAKIT

"Pak, katanya Bu Siti sakit ya Pak?" tanya salah satu siswa menghampiriku saat kuberjalan keluar kelas.

Bu Siti (tentu saja nama samaran) adalah guru senior di sekolah kami. Beliau telah berpengalaman berpuluh-puluh tahun mengajar. Berkat kedisiplinannya, beliau telah berhasil membawa  beberapa generasi siswanya lulus dengan nilai yang baik. Beliau memang dikenal kedisiplinannya. Tak ada kata main-main, malas, membolos, terlambat. Semuanya harus rapi, rajin dan disiplin.

"Iya, beliau sakit typus. Sudah 2 hari opname di rumah sakit, do'akan semoga beliau cepat sembuh ya," jelasku
"Amiiin. Berarti Senin besok tidak menguji ujian praktik ya Pak?" tanyanya lagi.
"Kurang tahu. Kalau beliau bisa pulih dengan cepat kemungkinan bisa menguji," jawabku
"Tapi kan biasanya sakit typus pemulihannya lama Pak," katanya mendesak
"Biasanya sih iya," jawabku.

Wajahnya senyam-senyum.

"Kamu kok senyam-senyum. Ada apa? Senang ya kalau beliau tidak menguji?" tanyaku.
"Di satu sisi, ikut sedih Pak. Tapi di sisi lain, agak ayem juga," jawabnya.

(Begitulah sebagian siswa... pelajaran yang paling disukai adalah pelajaran kosong dan guru yang paling disukai adalah guru yang suka kosong juga.)

Selasa, 24 Februari 2015

SUMPAH, RUBEN ONSU MENYEBUT NAMAKU (Lomba Menulis 7)

Pada malam Minggu, tanggal 24 November 2012 kami digiring ke gedung Djakarta Theatre untuk menggelar acara “Pesta Sahabat Daihatsu”. Acara ini merupakan malam penghargaan kepada para pemenang kontes dan peserta Program 105 Tahun Daihatsu. Acara ini dihadiri oleh Presiden Direktur PT Astra Daihatsu Motor (ADM) Sudirman MR dan Chief Executive Officer (CEO) PT Astra International Tbk – Daihatsu Sales Operation (AI-DSO) Suparno Djasmin.

Kami disuguhi pertunjukan musik dari Sheila on 7, Bunga Citra Lestari serta Rio Febrian. MC-nya  adalah Ruben Onsu dan Deswita Maharani. Pada saat pengumuman pemenang lomba, aku sebenarnya sudah tak peduli. Nginap di hotel, naik pesawat, nonton konsernya BCL, Sheila on7, dan Rio Febrian sudah lebih dari yang aku harapkan. Jadi aku tak mengharapkan jadi pemenang. Tiba-tiba terdengar suara Ruben Onsu:

“Pemenang ke-3 Cerita Tentang Sahabat kategori dewasa adalah Basuki Belanegara”


Aku tak menyangka, benar-benar tak percaya. Sumpah, Ruben Onsu menyebut namaku.

Aku masih kamitenggengen ketika temanku, Tri Raharjo menyuruhku maju untuk menerima piala. Selain piala, kami bertiga berhak menerima hadiah wisata ke Bali.


Ini photo di atas panggung, menerima piala.

PENJURIAN (Lomba Menulis 6)

Pada pukul 23.00 WIB kami baru tiba di hotel Millennium. Gila...2 jam? Lebih lama perjalanan bandara-hotel dibandingkan Jogja-Jakarta. Ternyata benar kata televisi, Jakarta macet dimana-mana. 

Pagi harinya harus mengikuti acara final. Setelah sarapan, kami dikumpulkan di hall. Ada beberapa permainan dan diakhiri dengan menyanyikan jingle daihatsu. Inilah fungsi latihan menyanyiku selama berminggu-minggu. Aku bisa dengan pede turut berteriak menyanyikannya.

Setelah acara ini selesai, mulailah acara penilaian. Aku harus menghadapi 2 juri yaitu Lembu Wiworo Jati, seorang penyanyi, pemusik, pengarah seni, aktor Indonesia, direktor video musik dan iklan televisi, dan suaminya aktris Masayu Anastasia. (Wuih... lagi-lagi kejutan, aku ketemu artis). Juri yang satunya aku lupa namanya. Sepertinya seorang akademisi. Rambut dan dandanannya rapi. Bicaranya teratur. Umurnya sekitar 50-an. Maafkan aku Bapak karena aku telah melupakan Bapak. Mudah-mudahan Bapak membaca tulisan ini kemudian mendoakanku bisa menang lomba menulis lagi terus ketemu lagi dengan Bapak dan pada saat itu aku akan menanyakan kembali nama Bapak dan takan kulupakan lagi.

Dalam final tersebut, kami bertiga, aku, Tri Raharjo dan Nurkholis  harus menyanyikan jingle daihatsu. Sekali lagi, suaraku diuji. Tapi karena cuma diriku seorang yang berlatih, maka akulah yang menjadi vokalis tunggal. Dua temanku hanya tepuk-tepuk tangan mengiringi aku menyanyi. Dengan sukses, aku bisa menyanyikan lagu tersebut sampai selesai. Keringatku tak mampu dibendung oleh dinginnya udara AC. Juri bertepuk tangan. Aneh! Tapi dari raut wajahnya, nampaknya Lembu tertarik dengan suaraku yang jelas punya genre tersendiri dan belum ada penyanyi yang mempunyai suara sepertiku.


Selain menyanyi, aku juga harus menceritakan ulang cerita yang aku buat dengan lebih lengkap dan detail. (Ceritanya berupa cerpen yang belum aku upload di blog ini. Tunggu ya... sabar)


Ini photo di depan Juri.

AKHIRNYA NAIK PESAWAT (Lomba Menulis 5)

Pada tanggal 20 Nopember 2012, kami diberitahukan bahwa passenger receipt and itinerary sudah dikirim lewat e-mail. Pesawat berangkat pada hari Jum’at pukul 9.50 pagi. Passenger receipt and itinerary ini harus di-print diserahkan kepada petugas pada saat kami akan mengambil tiket.

Pada hari Jum’at tanggal 23 Nopember 2012 kami (aku, Tri Raharjo dan Nurkholis) sampai di bandara pukul 8.00 WIB. Karena masih kurang 1 jam 50 menit, kami jalan-jalan dulu. Baru kali ini pula kami melihat bandara. Sekitar jam 9.45 kami masuk. Di pintu masuk, kami diperiksa dengan ketat. Tas dan barang bawaan lain juga diperiksa. Kami segera menuju ke loket Garuda Indonesia untuk menukar passenger receipt and itinerary dengan tiket.

“Bapak baru pertama kali naik pesawat ya?” tanya mba petugas
“Kok tahu?” jawabku mengira mba petugas itu mau melakukan rayuan gombal seperti Andre Taulani. Tapi wajahnya serius.
“Bapak sudah tidak boleh masuk. Sudah terlambat. Seharusnya Bapak masuk 45 menit sebelum pesawat berangkat. Apakah Bapak tidak membaca passenger receipt and itinerary ini. Disini kan ada keterangan bahwa check-in counter ditutup 45 sebelum keberangkatan."
“Pakai Bahasa Inggris sih mba. Jadi agak susah membacanya,” jawabku

Ternyata, kami sudah terlambat. Harusnya kami check-in pada pukul 09.10. dan masuk boarding gate pada pukul 09.25. Ah…kirain seperti naik angkot. Begitu datang langsung naik. Dasar wong ndeso...

“Terus bagaimana ini mba? Berarti kami gagal naik pesawat?” tanyaku
“Tidak Bapak. Bapak masih bisa naik pesawat berikutnya. Sebentar saya cek dulu pesawat yang seat-nya kosong,” kata mba petugas itu.

"Ada seat kosong pesawat pukul 16.50 sore. Kalau Bapak bertiga menghendaki berangkat dengan pesawat lain bisa kami pesankan tiket ke maskapai lain. Tapi tidak ada pengembalian kelebihan biaya," tambah mba petugas

“Ya sudah mba, kami nunggu pesawat yang jam 16.50 saja,” kataku
“Tapi Bapak ke sini lagi jam 16.05 Jangan terlambat lagi!” pinta mba petugas.
“Ok mba, pasti kami tak terlambat lagi.”

Akhirnya kami harus menunggu pesawat berikutnya yang kosong, jam 16.50 sore. Oh…betapa lamanya kami harus menunggu. Untuk membuang jenuh, kami puaskan jalan-jalan di bandara. Kami menyempatkan sholat Jum’at di masjid Baitul Hidayah di sebelah utara bandara adi sucipto.

Pada pukul 16.00 kami kembali dan menukar kembali receipt and itinerary dengan tiket sebenarnya. Kali ini kami sudah tahu. Di dalam tiket berwarna biru tua itu, tertera namaku, nomor pesawat, nomor tempat duduk, jam keberangkatan, kota asal dan kota tujuan.

Pada pukul 16.30 WIB, hujan turun deras. Atap ruang tunggu bandara jebol. Penerbangan ditunda sampai waktu yang tak terbatas. Ohhh….Pesawat yang seharusnya berangkat pukul 16.30 harus delay sampai waktu yang tak bisa ditentukan. Bandara pun dinyatakan ditutup. Hanya do’a aku panjatkan dan harap-harap cemas yang aku rasakan saat itu. Syukurlah pada pukul 19.00 bandara dinyatakan dibuka kembali. Para penumpang lega. (Ini lho yang aku ceritakan di awal kisah..)

Pada pukul 19.30 WIB aku mengantri untuk memasuki pesawat. Perisitiwa ini pun aku resapi benar-benar. Aku menyodorkan tiket dan KTP kepada petugas yang memeriksa dengan penuh perasaan. Seperti aku memberikan sekuntum bunga ke pacarku...(pada jaman dahulu kala). Memasuki pesawat, kami disambut oleh keramahan pramugari dan pilot sambil ditawari untuk mengambil surat kabar dipintu masuk sebagai bacaan selama perjalanan. Aku iseng mengambil salah satu surat kabar daerah, Kedaulatan Rakyat. Sudah lama aku tak membaca surat kabarnya orang Jogja ini. Segera aku mencari tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiket, nomor 14b. Ternyata di dekat jendela.

Kondisi masih hujan, pesawatku berangkat dengan penuh dag dig dug. Sebelum take off, ada perkenalan dan pidato sambutan dari pilot yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pidato sambutan berisi rencana penerbangan dan aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh penumpang. Jadi teringat acara tirakatan 17-an di desaku yang penuh dengan sambutan.

Selesai pidato, mesin pesawat mulai bergemuruh. Getaran dan deru mesin pesawat saat mulai take off kuperhatikan betul agar sensasinya tak terlupakan. 15 menit pertama, jantungku masih setengah melayang seperti maian ayunan waktu aku kecil. Pesawat dalam kondisi naik. Terasa tenang ketika pesawat sudah dalam kondisi stabil. Saat itu, pramugari mulai memberikan makanan ringan dan menawarkan minuman. Konsentrasiku tidak pada snack dan minumannya tapi pada pramugari yang cantik-cantik. Oh...seperti ini tho pramugari itu.

"Bapak mau minum apa?" tanya salah satu pramugari
"Hmm, kopi hitam," jawabku spontan tanpa bisa berpikir. Padahal dari awal aku berencana memilih minuman yang sedikit berkelas dan belum pernah aku minum. Tapi karena otakku mampet, yang bergerak adalah insting dan naluri kebiasaanku di warung angkringan ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama. 

Oh, sungguh aku menyesal. Hanya kopi hitam yang aku dapatkan. Dari selera minumnya, orang jadi tahu bahwa aku masih mirip dengan orang ndeso (Hanya mirip lho, soalnya sekarang mulai seperti orang kota: naiknya pesawat). 

Sambil kunikmati kopi dan snack, kulihat TV layar sentuh didepanku menempel di kursi depanku dilengkapi dengan headset. Kupencet-pencet semua menu yang ada. Ada berbagai macam film dengan durasi yang bermacam-macam. Ada musik. Aku tak berminat untuk memutar salah satu menu tersebut. Selain suasana yang tidak mendukung, aku juga masih terkagum-kagum dengan televisi kecil ini. Setelah puas memencet layar sentuh tersebut, aku menengok ke luar jendela. Gelap. Masih kulihat petir masih menyambar-nyambar di langit. Sabuk pengaman belum boleh dilepas. Masih terasa goncangan ketika pesawat menerobos awan. Seperti naik angkot melalui jalan rusak.
(Suatu saat nanti aku baru tahu bahwa naik pesawat dalam kondisi seperti itu sangat menegangkan: hujan, awan, petir, sabuk pengaman yang tak boleh dilepas)

Satu jam perjalanan, kerlap-kerlip lampu kota Jakarta mulai terlihat. 15 menit sebelum landing, rasanya sama dengan saat take off. Jantungku setengah melayang dan getaran mulai terasa. Saat pesawat benar-benar landing terasa ada goncangan. Pesawat berhenti, aku sampai di bandara Soekarno-Hatta.


Kami menuju pintu keluar. Lumayan jauh. Di pintu keluar kami dijemput oleh agen perjalanan smailing tour. Ternyata para penjemput memakai papan besar berisi tulisan /nama orang yang dijemput. (Tidak keliru film-film korea itu). Aku mencari papan dengan namaku atau tulisan daihatsu. Berhasil menemukan, aku mendekat dan memperkenalkan diri. Kami masih harus menunggu peserta sahabat daihatsu dari kota lain dengan pesawat yang lain juga. 

Pada pukul 21.00 kami naik mobil Smailing tour menuju Millennium hotel Sirih Jakarta yang beralamat di Jalan Fachrudin 3.

LOMBA MENYANYI? (Lomba Menulis 4)

PR yang harus aku lakukan untuk menghadapi final “Lomba Menulis: Daihatsu Mencari Cerita tentang Sahabat” adalah menyanyikan jingle daihatsu. Aku mencari jingle tersebut di youtube. Ketemu. Aku catat liriknya.

Kau sahabatku di suka dan duka
Wujudkan inginku di setiap saat

Oo Daihatsu, my pride, my everything, sahabatku…

Oo Daihatsu, kau sahabatku…
Oo Daihatsu, teman setiaku…
You build my dream, you build my future

Oo Daihatsu, kau sahabatku…
Oo Daihatsu, teman setiaku…
You build my dream, you build my future

Oo Daihatsu, kau sahabatku…
Oo Daihatsu, terbaik untukku…
Daihatsuku, Sahabatku
Oo Daihatsu…

Aku dengarkan nadanya berkali-kali. Kemudian aku mulai berlatih.
Latihan pertama, aku masih malu-malu, sembunyi-sembunyi dan pelan-pelan karena suaraku benar-benar heboh. Jangankan 7 oktaf, satu oktaf saja kadang masih kurang ¼. Setelah perbaikan beberapa kali akhirnya aku menyerah. Aku harus mencari penyemangat.

Latihan kedua, aku membentuk tim penyemangat sekaligus penilai yaitu istri dan 2 orang anakku. Pertama kali aku ambil suara, mereka sudah terbahak-bahak. Aku lanjutkan, mereka hampir pingsan. Akhirnya kuhentikan. Kudengarkan saran dari mereka bertiga:

“Jangan tinggi-tinggi pa. Biasa saja, sesuaikan dengan kemampuan nada,” kata istriku.
“Mending Papa ikut lomba menulis aja,” kata anakku yang pertama (10 tahun)
“Lha ini lomba menulis sayang. Bonusnya disuruh nyanyi,” jelas aku.
“Memangnya papa mau lomba di mana pa?” tanya anakku yang kedua (4 tahun)
“Di Jakarta,” jawabku lagi

Latihan kukebut. 2 jam tiap hari. Sampai hari keenam tak ada perubahan. Istri dan anak-anakku putus asa. Tapi kini giliran aku yang sama sekali tak putus asa. Tetap semangat.

Suatu hari tetanggaku menyapaku:

“Wah nggak nyangka ya ternyata Pak Basuki pandai menyanyi. Katanya, Pak Basuki mau ikut lomba menyanyi di Jakarta ya. Kapan Pak?”


Wadduuuuuh.....kacau nih.

MASUK FINAL (Lomba Menulis 3)

Hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan telah berlalu. (Sebenarnya mau aku tambahkan detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam...tapi terlalu panjang) Aku sudah melupakan “Lomba Menulis: Daihatsu Mencari Cerita tentang Sahabat

Pada bulan Nopember awal, aku menerima telpon dengan nomor tak dikenal dengan kode kota (021). Dari Jakarta, siapakah gerangan?

“Hallo...” kataku mengawali pembicaraan
“Hallo, Maaf Bapak. Apakah benar kami sedang bicara dengan Bapak Basuki Belanegara?”
“Iya, benar. Ini siapa ya?” tanyaku
“Kami dari daihatsu Bapak,”
“Daihatsu? Ada apa ya? Saya tidak pernah memesan mobil. Mungkin Anda salah sambung,” jawabku
“Maaf Pak. Bukan itu. Bapak pernah mengirimkan cerita tentang sahabat.”
Aku terdiam agak lama. Cerita yang mana? Pikirku
“Oh, iya. Yang lomba itu ya?” kataku
“Benar Bapak. Dari 12.000 cerita yang kami terima, Bapak termasuk salah satu dari 105 yang berhak mengikuti final lomba cerita tentang sahabat. Untuk itu Bapak kami undang untuk mengikuti babak final di Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2012. Bapak juga berhak mendapatkan akomodasi berupa tiket pesawat pulang pergi serta menginap di hotel Millenium untuk 3 orang, untuk Bapak dan 2 sahabat Bapak yaitu Tri Raharjo dan Nurkholis. Untuk informasi tiket dan perjalanan nanti pihak Smailing Tour akan menghubungi Bapak untuk konfirmasi. Oh..ya, yang harus Bapak persiapkan untuk mengikuti final adalah Bapak harus bisa menyanyikan jingle daihatsu. Terima kasih Bapak. Itu info dari kami. Selamat Siang.”

Aku terdiam beberapa saat.

“Selamat siang,” kataku terlambat karena telepon sudah dari tadi berbunyi tuut..tuuut..tuut tanda sudah ditutup.

Aku tak menyangka, tulisan ringkasku tentang persahabatan ini masuk final. Dan yang tak terbayangkan adalah aku akan naik pesawat.

Aku segera menghubungi 2 orang sahabatku yang kebetulan berdomisili di Kebumen untuk bersiap-siap ke Jakarta. Beberapa hari kemudian, aku mendapat surat undangan resmi dan ditelepon oleh Samiling tour untuk mengirimkan fotocopy KTP kami bertiga via e-mail untuk mengurus tiket pesawat.

Tak lupa, aku meminta ijin kepada Bapak Kepala Sekolahku untuk mengikuti final lomba menulis ini.


“Saya minta ijin mengikuti final lomba menulis cerita di Jakarta. Sebenarnya bukan lombanya yang ingin saya tuju. Tapi Tiket pesawat ini, saya pingin sekali naik pesawat Pak. Boleh ya Pak.”

DAIHATSU MENCARI CERITA TENTANG SAHABAT (Lomba Menulis 2)

Pada bulan Mei 2012, aku membaca majalah Bobo milik anakku. (Jadi malu.... masih suka membaca majalah Bobo) Aku menemukan pengumuman :


1.      Lomba ini dibagi menjadi 3 kategori peserta kontes yaitu:
·         Kategori anak-anak dengan usia 12 tahun ke bawah
·         Kategori remaja dengan usia 13 – 20 tahun
·         Kategori dewasa dengan usia di atas 20 tahun
2.      Kontes Daihatsu Mencari Cerita Tentang Sahabat berlaku mulai 21 Mei 2012 dan ditutup per 30 September 2012 pada 23.59 WIB.
3.    105 finalis berhak mendapat hadiah berupa paket perjalanan ke Jakarta untuk 2 orang (khusus untuk pemenang dari luar Jakarta).
4.      Pemenang berhak mendapat hadiah sebagai berikut:
·         Paket perjalanan ke Jepang untuk 3 kelompok dengan anggota maksimum 3 orang.
·         Paket perjalanan ke Bali untuk 9 kelompok dengan anggota maksimum 3 orang.
·         Paket perjalanan ke Manado untuk 9 kelompok dengan anggota maksimum 3 orang.
5.  Pengumuman pemenang dilakukan pada bulan Desember 2012 di 
     www.daihatsuceritasahabat.com dan media cetak.
6. Pemenang akan dihubungi via email oleh panitia pelaksana kontes Daihatsu Mencari Cerita Tentang Sahabat.
sumber : http://www.daihatsuceritasahabat.com

Pada akhir Mei 2012, aku mengirimkan tulisan singkatku tentang 3 sahabat. Seperti ini tulisanku singkatku :

“Selama 3 bulan, aku bersama 2 sahabatku, Tri Raharjo dan Nurkholis membangun ruang kelas untuk sekolah kami. Ketika sekolah usai, kami berganti baju dan bersiap menjadi tukang bangunan. Kami bekerja keras karena sekolah kami kekurangan ruang kelas untuk belajar dan tak punya biaya untuk membayar tukang. Bersama kedua sahabatku, sekarang sekolah kami mempunyai ruang kelas baru. Siapakah kami? Aku adalah kepala sekolah, Tri Raharjo adalah staf TU dan Nurkholis adalah tukang kebun. Ternyata, “Persahabatan tidak mengenal jabatan dan kekuasaan”.


Tulisan ini adalah ringkasan cerpenku yang belum aku upload di blog ini (maafkan daku!)

KAPAN PERTAMA KALI NAIK PESAWAT ? (Lomba Menulis 1)

Ketika seorang teman bertanya kepadaku: “Kapan kamu pertama kali naik pesawat?”
Kujawab dengan mantap, “Ketika ruang tunggu bandara Adi Sucipto Yogyakarta jebol”

Maka temanku yang kepo segera browsing mencari tahu berita ruang tunggu bandara Adi Sucipto jebol. Dan ketemu, yaitu pada hari Jum'at tanggal 23 November 2012 jam 16.30 sore. (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/369697-hujan-deras--atap-ruang-tunggu-bandara-adisucipto-jebol)

Pada saat itu, aku menjadi salah satu saksi mata. Hujan deras disertai angin dan petir. Pukul 16.30, bandara dinyatakan ditutup. Penerbanganku ke Jakarta delay. Sambil menunggu dengaan ketidakjelasan sembari melihat derasnya hujan dan kencangnya angin, tiba-tiba plafon ruang tunggu bandara Adi Sucipto jebol. Untung saja, para calon penumpang sudah menyingkirkan bangku-bangku panjang untuk menghindari tetes air hujan sebelum plafon jebol. Peristiwa itu menurutku hal biasa tapi menghebohkan. Biasa, karena aku tidak asing menyaksikan plafon bocor. Rumahku kan sering mengalami  hal itu. Hehe... Heboh, karena Bandara Adi Sucipto adalah bandara internasional. Nggak keren banget, bandara internasional kok bocor. Tapi dipikir-pikir, pembuat bandara juga manusia yang tak luput dari khilaf dan dosa. Bukankah tidak ada manusia yang sempurna? Jadi maafkanlah !


Tak kusangka, peristiwa itu ternyata menjadi penanda bagi peristiwa penting dalam diriku juga yaitu pertama kali aku naik pesawat. Aku tak perlu susah-susah mengingat kapan itu terjadi karena peristiwa itu sudah tercatat di dunia maya. Keren kan? Sama sekali tidak, karena sebelumnya ada sebuah cerita yang mengenaskan. 

Bersambung... (Cerita ini sengaja kusambung-sambung biar yang baca tidak jenuh. Iya kan? Selamat membaca sambungannya)

Sabtu, 21 Februari 2015

SELMANG

Selmang adalah singkatan dari Selfie Mangap. Kata ini direduksi dari kata "Dumang" singkatan dari duyung mangap, sebuah goyangan yang dipopulerkan oleh Audi Marissa yang berperan sebagai Nom nom gomes pada sinetron Diam Diam Suka (DDS). Goyang ini adalah tarian latar-nya lagu "Sakitnya Tuh di Sini"nya Cita Citata. Goyangan ini identik dengan mulut yang terbuka lebar alias mangap.

Entah dari mana menariknya, akhirnya anak-anak muda pun ikut-ikutan ber-selfie ria dengan gaya mangap ini. Apalagi selmang ini sudah lebih terakomodir dengan adanya tongsis alias tongkat narsis. Tidak hanya sendiri atau berdua. Dengan tongkat narsis, selmang bisa dilakukan secara rombongan. Semakin panjang tongsisnya semakin banyak orang yang bisa ikut selmang. Baik dalam acara resmi ataupun tak resmi, anak-anak muda menyempatkan untuk selmang, di acara seminar, workshop, wisuda, nikahan, sunatan bahkan di sela-sela acara pengajian pun ada yang menyempatkan selmang. Kini, kita tak kesuliatan melihat foto pose selmang di media sosial. Berbagai aksi selmang dengan beragam gaya menambah khazanah per-foto-an di Indonesia.

Aku yang pada awalnya tersenyum geli melihat pose selmang, lama-lama terasa nyaman juga walaupun aku tak pernah nonton sinetron DDS. Dan  akhirnya aku menyimpulkan bahwa selmang itu "seksi". Segmen Selmang adalah anak muda. Biarlah yang muda-muda saja yang melakukannya. Aku tak mau ikut-ikutan. Wis tuo.

GAGAL (Sebuah cerpen tahun 2010)

Di ruangannya yang berukuran 4 x 4 meter, Pak Suryadi duduk termenung. Di kursi kayu berpolitur coklat, badannya disandarkan agak ke belakang sehingga nampak setengah berbaring. Kakinya diselonjorkan lurus di bawah meja kerjanya. Wajahnya nampak penat. Nafasnya berkali-kali ditarik dalam-dalam. Pakaian Seragam Harian berwarna coklat muda nampak kusut, kancing baju paling atas terbuka, sepatunya dilepas tapi kaos kakinya masih melekat di kaki. Dilihatnya jam dinding berbingkai hijau tua di atas papan denah struktural sekolah. Waktu menunjukkan jam 14.05. Ia belum shalat dluhur, tapi kakinya terasa berat untuk mengambil air wudlu. Diambil kembali handphonenya di saku celana sebelah kanan. Dibuka kembali SMS-SMS yang masuk sejak tadi pagi. Puluhan SMS telah dibolak-balik. Isinya hampir sama.

“Mana tanggungjawab Bapak terhadap siswa. Tdk seharusnya seorang guru membiarkan siswanya gagal, stress, tak punya masa depan.”
“Senang ya, siswanya pada tidak lulus. Keterlaluan”
“Sombong, emangnya ini sekolah negeri, ngaca dong! ”

Semua SMS tersebut dari nomor tak dikenal.
Masih ada puluhan SMS yang lain tapi ia memilih membuka SMS dari Pak Andi.

“Sudah saya katakan dari awal, tak mungkin siswa kita bisa dilepas. Ya beginilah hasilnya. Siapa yang tanggungjawab? Bapak? Dengan cara apa?”

Pak Andi, Wakil Kepala Urusan Kurikulum sekaligus sebagai Ketua Pelaksana Ujian yang biasanya manut, menuruti semua perintah atasan, pagi tadi tidak terlihat sama sekali, entah ke mana, tanpa ijin dan hanya mengirim SMS seperti itu.

Sejak kemarin sore, saat sidang penegas untuk menentukkan kelulusan siswa kelas XII, Pak Andi yang biasanya periang, banyak usulan dan pendapatnya yang brilian, menjadi pendiam. Duduk di pojok kanan depan, dia hanya menikmati rokok kretek kesukaannya. Ketika Pak Suryadi meminta pendapatnya, dia hanya menggelengkan kepala. Suasana rapat tidak seperti biasanya. Keriangan dan keceriaan pak Andi tidak terlihat sama sekali. Bapak Ibu Guru yang lain memilih diam mengikuti suasana. Pak Suryadi yang berusaha memimpin rapat dengan santai dan tenang, akhirnya terhanyut dalam suasana yang sama. Rapat hanya membacakan hasil kelulusan kelas XII tanpa keputusan dan rencana tindak lanjut. Rapat ditutup tanpa usulan maupun komentar. Semuanya terdiam.

Pak Suryadi kembali melihat jam. Pukul 14.30. Waktu shalat dhuhur sudah hampir habis. Dengan berat diturunkan kakinya, dilepas kaos kakinya kemudian diambilnya sandal jepit di laci lemari bawah. Pada jam sesore ini, ia memilih untuk belum pulang ke rumah meskipun semua guru dan karyawan sudah pulang ke rumah masing-masing. Istrinya biasanya maklum kenapa ia pulang agak sore, biasanya karena masih ada tugas yang harus diselesaikan, menandatangani berkas, menghadiri rapat, atau menyelesaikan proposal bantuan. Pak Suryadi melangkahkan kakinya menuju mushola yang berada di dekat kantin. Dilihatnya Pak Narto sedang membuang sampah. Pak Narto adalah tukang kebun sekolah sekaligus pembuat minuman untuk guru dan karyawan. Dialah yang setia menemaninya ketika ia lembur di sekolah.

“Baru shalat Pak?” Tanya Pak Narto melihat Pak Suryadi keluar dari Mushola.
“Iya”, jawab Pak Suryadi lemah.
“Bapak mau saya buatkan kopi?”, Tanya Pak Narto karena biasanya Pak Suryadi minta dibuatkan kopi jika sedang lembur.
“Ya boleh” jawab Pak Suryadi.

Pak Suryadi kembali ke ruangannya. Badannya kembali setengah direbahkan di kursi. Dipandanginya foto-foto guru karyawan di papan struktur organisasi sekolah, satu per satu. Kemudian matanya beralih ke sebuah grafik di sebelah kanan papan struktur tersebut, grafik kelulusan. Grafik yang terbuat dari whiteboard dengan tulisan hitam dan gambar batang grafik berwarna biru dan merah menunjukkan tingkat kelulusan sekolahnya dari tahun 2004. Sekolah ini meluluskan siswanya pertama kali pada tahun 2004. Batang grafik biru menunjukkan jumlah peserta ujian, sedangkan batang grafik merah menunjukkan jumlah kelulusan. Dari tahun ke tahun batang grafik biru sama tingginya dengan batang grafik merah, artinya angka kelulusannya adalah 100 %. Grafik itu juga kelihatan rapi dan indah membentuk sebuah tanjakan dari kiri ke kanan menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah siswanya meningkat. Di bawahnya terdapat nama dan tanda tangan kepala sekolah, Sartono, S.Pd. Nama dan tanda tangan ini memang belum sempat dirubah walaupun sudah 9 bulan kepala sekolahnya ganti, toh tidak pernah dipertanyakan atau dipermasalahkan oleh pengawas diknas yang hampir sebulan sekali datang ke sekolah. Pak Sartono diangkat menjadi PNS di sekolah negeri di kabupaten kota sejak pertengahan bulan Agustus tahun lalu setelah 4 tahun menjadi Guru Bantu. Pak Suryadi yang dianggap paling senior di antara guru-guru yang lain diangkat menjadi kepala sekolah oleh Yayasan pemilik sekolah ini.

Pak Suryadi sedang memandangi angka-angka di bawah batang-batang grafik ketika pintu diketuk. Pak Suryadi sudah menduga Pak Narto yang mengetuk pintu.

“Masuk Pak Narto”, kata Pak Suryadi
“Ini kopinya pak !” kata Pak Narto sambil meletakkan kopi di meja.
“Terima kasih”, kata Pak Suryadi

Setelah Pak Narto keluar, kembali Pak Suryadi memandangi grafik tersebut. Tahun 2004, jumlah peserta ujian ada 32, berhasil lulus 32. Tahun 2005, jumlah pesertanya 47, berhasil lulus 47. Tahun 2006, jumlah pesertanya 52, berhasil lulus 52. Tahun 2007, jumlah pesertanya 73, berhasil lulus 73. Ia membayangkan, besok ketika dua batang grafik biru dan merah ditambahkan di belakang batang grafik terakhir, grafik ini tidak akan indah lagi untuk dipandang. Bahkan sekarang, grafik ini sudah tidak indah lagi karena hari ini, tepatnya pukul 09.00 tadi pagi kelulusan telah diumumkan.

Tadi pagi, tepat pukul 09.00, 81 wali dan orang tua siswa berkumpul di sebuah aula yang terbuat dari dua ruang kelas yang dinding penyekatnya dilepas untuk dijadikan aula. Pengumuman kelulusan di dalam amplop tertutup siap dibagikan oleh masing-masing wali kelas, Pak Yono sebagai wali kelas Kelas XII Akuntansi dan Bu Tini sebagai Wali Kelas XII Penjualan setelah sebelumnya Pak Suryadi memberikan pidato pengantar. Walaupun pengumuman kelulusan diambil oleh orang tua atau wali tapi para siswa tetap ikut ke sekolah padahal mereka sudah dilarang ke sekolah sesuai himbauan dari kepala Dinas Pendidikan  dan Kebudayaan kabupaten agar setiap sekolah mengurangi konsentrasi massa pada hari pengumuman ujian. Sudah dapat diduga, setelah acara penyerahan hasil kelulusan selesai, para siswa menyerbu orang tua masing-masing. Mereka tidak sabar ingin mengetahui hasil ujian. Dari 81 siswa kelas XII, 48 diantaranya gagal. Mereka harus mengulang ujian tahun depan atau terpaksa mengikuti ujian Paket C. Mengetahui mereka gagal, mereka berteriak-teriak, bahkan ada yang mengamuk. Sebagian besar yang lain hanya menangis. Petugas dari kepolisian yang diundang oleh pihak sekolah untuk ikut mengamankan jalannya pengumuman kelulusan turut menenangkan siswa.

Di ruang guru, para guru hanya melongok lewat jendela kaca. Wajah-wajah mereka nampak lesu. Mereka tidak mau keluar karena tidak mau terlibat dalam kejadian-kejadian di luar. Mereka nampak terpukul dengan hasil ujian tahun ini. Di pojok belakang, Bu Tri menangis karena pada mata pelajaran matematika yang diampunya banyak siswa yang gagal. Bu endah yang duduk di sampingnya berusaha menenangkannya.

“Sudahlah bu, ini bukan salah Bu Tri. Kita hanya bisa menjalankan keputusan.” kata bu Endah dengan wajah yang nampak sedih.

“Ya, keputusan edan”, sahut Pak Rohadi dengan nada tinggi. Pak Rohadi adalah salah seorang guru yang tidak setuju dengan keputusan Pak Suryadi.

Tiga bulan yang lalu, di dalam rapat pembentukan Panitia Ujian Nasional, Pak Suryadi memutuskan untuk melaksanakan Ujian Nasional tahun ini secara bersih, tidak ada lagi bocoran kepada siswa. Keputusan ini menimbulkan pro kontra di antara para guru. Ada yang mendukungnya, ada yang menentangnya termasuk Pak Andi.

“Siswa sekolah swasta di daerah seperti sekolah kita ini rata-rata di bawah standar, tidak mungkin mereka mampu melampaui standar kelulusan dengan nilai minimal 4,25 dan rata-rata 5,25. Tahun lalu saja kita sudah keteteran menghadapi Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dengan standar 4,25 dan rata-rata 5.00. Lagi pula, beban siswa juga bertambah dengan mata pelajaran produktif dimasukkan ke Ujian Nasional. Walaupun kita sudah mengadakan les, try out dan segala tetek bengeknya, saya belum percaya siswa kita dapat lulus ujian. Lihat latar belakang mereka. Mereka masuk ke sini juga karena tidak dapat masuk di sekolah negeri atau sekolah swasta favorit. Kalau tidak kita bantu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Toh saya yakin, setelah lulus sebagian besar tidak melanjutkan ke perguruan tinggi tapi cari kerja. Jadi nilai tidak menjadi tuntutan, yang penting lulus. Ini pertimbangan kemanusiaan. Lagi pula, hampir seluruh sekolah swasta di kabupaten ini membocorkan Ujian Nasional, kalau kita tidak ikut-ikutan, kita hancur sendirian. Seandainya tahun ini siswa kita banyak yang tidak lulus, saya yakin tahun depan tidak ada siswa SMP yang mau mendaftar di sekolah ini” kata Pak Andi dengan menggebu-gebu.

Pendapat Pak Andi banyak mendapat dukungan dari rekan-rekan guru. Pak Suryadi mencoba untuk memberikan alasan terhadap keputusannya.

“Memang benar pendapat Pak Andi, kita tidak boleh membiarkan siswa kita tidak lulus tapi cara yang kita tempuh jangan sampai merusak mental siswa. Kita dapat melihat, siswa kelas XII kita sekarang ini sama sekali tak punya semangat untuk belajar. Mereka semua sudah tahu kakak kelasnya dulu mendapat bocoran. Mereka yakin bahwa mereka juga akan mendapat bocoran. Mereka tidak lagi memikirkan ujian, apalagi punya semangat untuk belajar. Lalu, apakah kita akan biarkan hal semacam ini berlangsung terus. Mereka lulus tapi ilmu mereka nol. Lalu, tujuan pendidikan di sekolah kita apa? Hanya untuk memberikan ijazah? Kalau hanya itu urusannya, kenapa kita repot-repot mengajar mereka, mendidik mereka tiap hari. Kita dirikan saja sekolah yang menerima siswa kelas 1 lalu kita suruh mereka menunggu 3 tahun lagi untuk ikut ujian. Tidak usah berangkat sekolah, tidak usah belajar yang penting bayar SPP dan dijamin lulus ujian. Kita juga tidak perlu ruang kelas, tidak perlu membeli peralatan, tidak perlu capek-capek mengajar di depan kelas dan tiap bulan kita gajian. Apa itu yang diharapkan? Pembelajaran tanpa ruh, tanpa nilai, tanpa perjuangan, tanpa moral? Akan kita cekoki seperti itukah anak-anak kita? Benar….selama ini siswa kita tidak ada yang pernah mengulang ujian. Hasilnya bagus. Tapi lihatlah siswa kelas 1 dan 2. mereka tak punya ruh, tak punya semangat untuk belajar. Apakkah akan kita biarkan hal itu terus berlanjut?. Kita memang sekolah kecil. Siswa kita baru sedikit. Kita hidup tidak punya pengaruh, kita mati juga tak ada yang peduli. Tapi minimal kita punya nilai, nilai moral”, kata Pak Suryadi penuh percaya diri.

Itulah alasan Pak Suryadi menetapkan bahwa Ujian tahun ini tidak ada bantuan kepada siswa. Kebiasaan yang telah dilakukan sejak empat tahun yang lalu, tahun ini tidak akan diulangi lagi.

Pak Suryadi teringat saat baru dua tahun mengajar di sekolah ini. Untuk menghadapi ujian, selain dibentuk Panitia Ujian, dibentuk pula Tim Sukses. Ia diangkat menjadi anggota Tim Sukses Ujian Nasional untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tugas Tim Sukses adalah menyukseskan pelaksanaan ujian nasional, yaitu siswa lulus. Tim Sukses terdiri dari sembilan orang guru dan tiga orang karyawan. Pada hari pelaksanaan Ujian Nasional, Tim ini berada di ruang khusus. Pada pukul 08.00, ketika Ujian Nasional dimulai, sisa soal yang ada di ruang sekretariat, diambil dan diserahkan kepada Tim Sukses. Dua orang Tim Sukses, yaitu guru yang pelajarannya sedang diujikan pada hari itu bertugas untuk mengerjakan soal tersebut. Anggota tim yang lain menulis hasil pekerjaan dan membuat kunci jawaban. Pada pukul 10.00, ketika bel berbunyi tanda waktu ujian habis, Lembar jawab peserta ujian yang telah dimasukkan ke dalam amplop dan dikumpulkan di ruang sekretariat dibongkar lagi di ruang khusus. Saat inilah yang paling menegangkan. Tim Sukses hanya mempunyai waktu satu jam untuk menyelesaikan tugasnya. Lembar jawab ini harus sudah diserahkan ke Panitia Sub Rayon pada pukul 11.00. Jawaban yang salah dihapus kemudian diperbaiki sesuai kunci jawaban. Untuk Bahasa Indonesia, jawaban yang perlu diperbaiki cukup 23 dari 60 soal, Matematika 12 dari 30 soal, Bahasa Inggris 19 dari 50 soal karena standar kelulusan adalah 3.75. Hanya untuk mencapai nilai lulus.

“Tidak wajar kalau nilainya terlalu tinggi. Ini kan sekolah swasta”, kata Pak Sartono.

 Aneh memang, nilai moral dan etika masih dipertimbangkan saat melakukan tindakan di luar etika dan moral. Tentu saja, siswa tidak tahu bahwa mereka telah dibantu mengerjakan ujian.

Pak Suryadi jadi teringat pada berita di koran satu setengah bulan yang lalu, ketika beberapa orang guru yang sedang membetulkan lembar jawab ujian siswa digerebek oleh Pasukan Detasemen Khusus 88 Antiteror, satuan elit polisi yang bertugas mengejar dan menangkap teroris. Ia tidak bisa membayangkan seandainya kesialan itu terjadi pada dirinya empat tahun yang lalu.

Pada tahun berikutnya, teknik yang digunakan masih hampir sama seperti tahun sebelumnya. Hanya saja standar kelulusan dinaikkan menjadi 4.00 dan rata-rata 4.50. Nampaknya tahun ini, pemerintah terutama panitia rayon sudah mulai curiga adanya beberapa kecurangan. Untuk itu, dibuat aturan baru tentang waktu pengumpulan. Pengumpulan soal dari sekolah ke Panitia Sub Rayon dipercepat maksimal pukul 10.30. Untuk itu, Tim Sukses yang disiapkan pada tahun ini lebih banyak karena harus bekerja lebih cepat. Hasilnya sama dengan tahun sebelumnya. Tak ada siswa yang mengulang ujian.

Satu tahun kemudian, muncul aturan baru tentang Ujian Nasional. Sisa soal harus disimpan dalam amplop tertutup dan tidak boleh dipegang oleh Panitia Sekolah, Soal diantar ke sekolah pada hari pelaksanaan oleh kurir silang dan setelah selesai ujian, amplop tempat lembar jawab dilem di Ruang Ujian dan dibawa langsung oleh kurir silang tanpa melalui Panitia Sekolah. Standar Kelulusan juga naik menjadi 4.00 untuk nilai minimal dan rata-rata minimal 5.00. Dengan adanya aturan yang ketat ini, Tim Sukses mencari alternative lain untuk membantu siswa. Setelah melalui beberapa kali pembahasan akhirnya diputuskan untuk membantu siswa secara langsung. Sebelum pelaksanaan, siswa dikumpulkan untuk membahas rencana ini. Saat itulah siswa menyadari sekaligus heran, was-was, namun agak tenang memikirkan kelulusan. Sebagian besar menyambut dengan semangat rencana tersebut kecuali beberapa siswa yang “agak berpikir” (istilah untuk siswa yang rajin belajar). Skenario disusun begitu rapi. Sepuluh menit setelah bel tanda mulai mengerjakan berbunyi, salah seorang siswa yang telah ditentukan bertugas membawa beberapa lembar soal ujian ke WC, tempat yang paling aman untuk melakukan kegiatan yang paling pribadi sekalipun. Salah seorang Panitia mengambilnya di WC di tempat yang telah ditentukan. Di ruang khusus, Tim Sukses telah siap bekerja. Jawaban ditulis di kertas sobekan kecil-kecil. Jawaban ini menggunakan tulisan tangan, tidak menggunakan komputer atau difotocopi untuk meminimalisir resiko apabila pengawas ujian berhasil menyita bocoran. Dengan tulisan tangan, Panitia Sekolah beralasan bahwa contekan ini adalah tulisan siswa sendiri. Kunci jawaban dibuat rangkap 8 untuk setiap ruang agar merata. Tepat pada pukul 09.00, kepala sekolah mengadakan inspeksi di setiap ruangan, meneliti penulisan nomor peserta dan identitas siswa di lembar jawab sambil memberikan jawaban kepada siswa. Sampai hari terakhir, skenario ini berhasil dengan gemilang. Pada hari terakhir, siswa dikumpulkan untuk dibriefing agar tidak membocorkan kejadian-kejadian selama Ujian kepada siapapun.

“Ini demi kalian dan demi nama baik kalian sendiri” tegas kepala sekolah saat itu.

Berganti tahun, standar kelulusan pun turut berganti. Tahun berikutnya, nilai minimum ditetapkan 4.25 dengan rata-rata 5.00. Aturan Ujian pun semakin diperketat. Pada tahun ini, terdapat dua jenis soal Ujian Nasional, soal genap dan soal ganjil. Peserta Ujian yang bernomor genap mengerjakan soal ujian genap dan sebaliknya. Selain kurir silang, dibentuk Tim Pemantau Independen. Tim ini diambil dari unsur pemerintah dan perguruan tinggi. Ruang Ujian juga harus steril. Siapapun tidak diperbolehkan masuk Ruang Ujian selama ujian berlangsung selain peserta dan pengawas. Skenariopun ditinjau ulang, kepala sekolah tidak mungkin lagi melakukan inspeksi. Tim Sukses pun semakin berat karena harus mengerjakan 2 soal dalam waktu yang cepat. Ada beberapa strategi yang siap dijalankan oleh Tim Sukses. Pengambilan soal dari Ruang Ujian tidak mungkin dilakukan hanya oleh satu orang karena harus ada yang membawa soal genap dan ganjil dan tidak boleh dalam satu ruang, terlalu riskan. Untuk memasukkan jawaban, ada beberapa alternative. Salah satunya yang ekstrim adalah mengebor tembok Ruang Ujian. Lubang pun dipaskan dengan posisi duduk siswa yang telah ditentukan untuk menyebarkan jawaban. Tapi hal ini juga menemui kendala karena posisi ruang yang tidak memungkinkan. Untuk itu, ada dua cara yang ditempuh. Dua ruang Ujian yang berada di belakang dibor. Dua ruang lainnya yang berada di depan, siswa harus keluar untuk mengambil jawaban yang telah disiapkan di WC.

Pada pukul 08.15, Dwi Lestari dari Ruang 01 membawa keluar soal ganjil dan Pujiawati dari ruang 02 membawa keluar soal genap ke WC dan disisipkan di belakang tempat sabun. Pengawas Ujian mengikuti sampai di depan WC tapi mereka tidak masuk ke WC. Pak Narto ditugasi mengambil soal tersebut dan dibawa ke ruang khusus. Di ruang khusus, Tim Sukses telah siap bekerja. Pekerjaan harus sudah selesai pada jam 09.00. Pada jam 09.15, Sobari dari Ruang 01, Susi Indahsari dari Ruang 02 sudah keluar ke WC. Untuk dua ruang belakang, urusan Pak Narto. Sambil membersih sampah atau rumput di dekat tempat parkir sepeda, ia memasukkan jawaban dari lubang yang disediakan. Tiga hari Ujian Nasional sukses.

Empat kali ujian, empat kali itu juga Pak Suryadi menjadi Tim Sukses. Ada perasaan bahwa tindakan itu tidak sesuai dengan bisikan hati kecilnya. Masih terngiang kata-kata salah seorang dosennya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan di kota Yogyakarta.

“Ruh seorang guru ada pada sikap dan moralnya untuk siap digugu dan ditiru oleh peserta didiknya”.

Namun pada kenyataannya, sudah empat kali, ia tak bisa menolak perintah atasan. Ia harus mempertimbangkan kelangsungan pencahariannya. Ia tak punya keahlian yang lain. Keahlian satu-satunya yang dimiliki dan telah dicita-citakan sejak kecil adalah guru, sesuai dengan title “Sarjana Pendidikan” yang tertulis di ijasah S1-nya. Sebenarnya sudah berkali-kali ia mencoba bicara dengan Pak Sartono tapi jawabannya selalu sama.

“Ini Sekolah Kejuruan. Siswa kita dididik untuk ahli di bidang Akuntansi dan Penjualan, bukan ahli Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Kalau mereka sudah kompeten di bidangnya, kenapa tidak boleh lulus?” kata Pak Sartono saat itu.

Ketika Pak Suryadi diangkat menjadi kepala sekolah, ia berusaha memperbaiki kebijakan yang telah dijalankan bertahun-tahun itu. Namun ia juga tidak gegabah, ia harus mempersiapkan siswa-siswi kelas XII dengan matang. Kegiatan les dan tambahan pelajaran untuk kelas XII diperbanyak. Try out diadakan beberapa kali untuk menguji kemampuan. Melihat kegiatan belajar, les, tambahan pelajaran dan try out kelas XII, Pak Suryadi optimis dan bertekad untuk melepas siswa dalam menghadapi Ujian Nasional tahun ini. Tekad ini sudah disampaikan jauh-jauh hari baik kepada guru maupun kepada siswa agar persiapan mereka serius. Namun nampaknya banyak guru yang belum percaya bahwa kebijakan ini benar-benar akan diterapkan.

Pada saat Rapat Pembentukan Panitia Ujian Nasional, Pak Suryadi menyatakan :
“Tahun ini tidak ada Tim Sukses”

Di tengah-tengah dilema antara kesuksesan dan kegagalan siswa, beberapa guru memilih diam. Pihak yang paling was-was adalah guru tiga bidang studi materi Ujian Nasional. Mereka merasa yang paling bertanggungjawab atas kesuksesan dan kegagalan siswa. Namun pertanggungjawaban mereka agak ringan ketika Pak Suryadi mengatakan :
“Saya yang akan bertanggung jawab”.

Harapan dan kenyataan kadang seperti langit dan bumi.


Pukul 17.00. Pak Suryadi masih duduk tertunduk di atas kursi tuanya. Kopinya dingin belum tersentuh. Tak terasa air mata Pak Suryadi meleleh membasahi pipinya. Kebimbangan dan keraguan merasuk ke dalam hatinya. Kepalanya seakan ditusuk-tusuk paku untuk berpikir ulang tentang kebijakan yang telah dia putuskan. Kebenaran yang diyakininya selama ini seakan menjadi samar-samar. Melihat kejadian tadi pagi, benar-benar membuat dia bimbang akan kata-kata para pujangga bahwa kebenaran itu pahit. Saat ini, kebenaran yang diyakininya adalah tidak hanya pahit seperti buah mahoni atau batang pohon brotowali tapi pahit seperti gas beracun di ruang eksekusi yang menyesakkan paru-paru, jantung dan otaknya. Sejarah tidak bisa diulang tapi kebenarannya bisa dipertimbangkan kembali. Sesal tiada guna. Kenyataan harus dihadapi, siswa-siswanya telah gagal menghadapi Ujian Nasional. Tapi Keberaniannya menghadapi kenyataan kini hanya di angan-angan. Keberanian menghadapi isak tangis siswa-siswanya ternyata hanya bayangan. Keberanian menghadapi ketidakpercayaan dari rekan-rekannya kini telah melayang. Akankah ia berani menghadapi vonis Yayasan yang menyatakan bahwa ia gagal dan harus mundur dari jabatannya, bahkan dari profesinya?

LURUH (Sebuah Cerpen tahun 2011)

Cahaya matahari yang memantul dari kaca jendela buram masuk ke sela-sela pelupuk mataku. Riuh pekat terdengar samar-samar dan semakin melengang. Sisa sedu sedan yang tertahan masih terasa di tenggorokan. Terasa tangan lembut membelai rambutku yang panjang sebahu. Pelan-pelan kubuka kelopak yang terasa lengket menahan air mata. Nampak bayangan senyum dan tatapan lembut ibu Maryatun, wali kelasku yang sesaat mengalirkan kesejukan di kerongkonganku. Tubuhku masih lemas. Aku berusaha bangkit namun tenagaku seakan terkuras di pangkuan ibu Maryatun.
“Kamu sudah sadar, Arini”, kata-kata lembut mengalir pelan dari bibir ibu Maryatun.
“Bu…..” kataku lirih.
Hanya itu kata-kataku yang keluar saat ibu Maryatun berusaha mengangkatku ke pelukannya. Pundaknya yang lembut sekarang menumpu kepalaku yang masih terasa berat.
“Sabar ya Rin..” kembali kata-kata ibu Maryatun terucap.
Kembali kuingat-ingat beberapa saat lalu, ketika kubaca surat pengumuman hasil ujian yang menyatakan aku tidak lulus. Tiba-tiba aku tak kuat menahan lututku. Otot dan tulangku seakan luruh dan saat itu bayangan gelap tiba-tiba menerpaku.
Kini, terdengar langkah kering ketika kulihat pak Suko masuk membawakan segelas teh. Tubuhku masih terasa nyaman bersandar di pelukan ibu Maryatun.
“Minum dulu, Rin”, sela ibu  Maryatun.
Kulihat ibu Maryatun menyodorkan segelas teh hangat buatan Pak Suko. Jarum jam di diding kelasku menunjukkan jam 10 lebih 5 menit. Masih pagi tapi suasana di sekolah sudah lengang. Hanya bangku-bangku kosong dan kursi yang masih terbujur kaku tempat aku berbaring. Para siswa sudah pulang.
Kucoba berdiri untuk melangkah. Ibu Maryatun membantu mangangkat tubuhku. Kulangkahkan kaki bimbang. Kuberhenti di pintu. Mataku menatap lapangan. Di atas rumputnya nampak kertas berserakan. Rumput yang biasanya berpendar bias cahaya matahari sejengkal tombak tertiup sepoi-sepoi angin, pagi ini nampak muram. Masih ada bayangan barisan abu-abu putih berbanjar menghadap tiang bendera. Masih terdengar lagu “Syukur” ciptaan H. Mutahar mendayu-dayu  Masih ada desir kebanggaan menatap sang saka dengan kepala tegap, tangan menghormat dan menyanyikan Indonesia Raya.
Dan hari ini, aku sudah habis. Gairah, semangat dan rasa banggaku lepas terdampar di atas rerumputan kusam dan tiang bendera kosong. Nampaknya  Pak Suko lupa mengibarkan sang merah putih tadi pagi. Hanya getir di dadaku yang mendesak-desak menohok ulu hati menyisakan rasa ngilu sampai ke hidung dan mataku. Masih terasa sisa air keluar dari hidung dan mataku.
Aku masih terpaku di pintu ketika tiba-tiba hamparan hijau di depanku menjadi gelap. Kutatap kembali, semakin gelap. Langit juga berubah menjadi gelap. Angin semilir berhenti, lengang dan senyap. Matahari seakan terbenam dengan cepat. Merah ufuk barat mulai menghitam dan semakin hitam. Gelap.
#
Pelan-pelan mataku mulai kubuka. Aku berada di sebuah ruang yang seluruhnya berwarna putih.
“Hahaha..... aku benar-benar di sini,” tawaku. Aku begitu senang dengan warna putih, warna kesukaanku. Warna yang sangat intim dengan cita-citaku, dokter. Tak sia-sia aku menjadi siswa teladan. Tak sia-sia aku belajar keras. Kini cita-citaku telah tercapai.
“Suster tolong, siapkan suntikan,” kataku kepada seorang perawat yang ada disampingku.
“Maaf mba, mba-nya tidak perlu disuntik. Cukup minum obat,” jawab perawat tersebut.
“Aku kan dokter. Kenapa suster tidak menuruti perintahku,” kataku kesal. Aku bangkit dari tidurku.
“Maaf mba, mba masih sakit, harus istirahat dan tidak boleh banyak bergerak,” kata perawat itu sambil mencoba membaringkanku lagi.
“Aku tidak sakit. Aku yang harus memeriksa orang sakit, hahaha” kataku sambil tertawa karena aku begitu bangga ada di ruang ini dan ada perawat yang siap mendampingiku.
“Mba minum obat ini dulu ya...” kata perawat itu sambil menyodorkan beberapa butir obat. Di kemasannya tertulis risperidon, klorpromazin dan haloperidol.
“Ayo mba diminum” katanya. Tangan kirinya memegang segelas air putih.
“Hahaha.... aku tidak sakit, kamu itu aneh. Kamu tak pantas jadi suster. Sana pergi saja kamu. Hahaha,” kataku mengusir perawat itu. Dia segera meninggalkanku sendiri.
#

Aku kini sendiri. Bergelut dengan bayangan-bayangan aneh yang mengajakku tertawa dan mengajakku menangis di dalam sunyi, sunyi, semakin sunyi dan tak terkendali.

PAK TAUFIQ MANTU

Pak Taufiq adalah tetanggaku dan juga rekan guru di sekolah. Seminggu yang lalu aku sudah mendapat undangan pernikahan putra pertamanya sekaligus tasyakuran pernikahan putri keduanya yang telah menikah lebih dahulu. Sebagai tetangga yang baik, aku berusaha ikut meramaikan dan menyukseskan acara pernikahan tersebut. Aku diminta ikut menjadi panitia.

Tadi malam, aku sudah menerima seragam batik khas Batang. Batik berwarna gelap (hanya ada warna hitam, coklat tua dan sedikit putih) ini tak sempat aku cuci karena tak mungkin kering sampai besok pagi. Aroma malam-nya masih menyengat.

Pada hari ini tanggal 21 Februari 2015 adalah hari H acara pernikahan dan tepat pukul 11.00 WIB acara dimulai. Oleh karena itu, aku harus minta ijin ke kepala sekolah karena pada pukul 10.00 aku harus sudah meninggalkan sekolah dan memberikan tugas kepada siswa-siswa yang aku ajar.

Aku bersama Pak Sutisna bertugas menerima "tamu tersesat". Maksudnya begini: karena acara mantenan ini membutuhkan tempat yang luas, tarub/ tobong didirikan dengan menutup jalan di depan rumah Pak Taufiq. Biasanya, jalan menuju rumah Pak Taufiq bisa ditempuh dari barat dan timur. tapi karena jalan ditutup maka pintu masuk ke tempat acara dibuat di barat. Di pintu masuk/barat itulah yang terdapat among tamu/ penerima tamu beserta buku tamu, tempat kado dan kotak amplop. Sedangkan di sebelah timur hanya ada perlengkapan makan, dan berbagai perkakas lainnya serta hanya ada "jalan tikus" untuk para seksi konsumsi. Namun demikian, karena rumah Pak Taufiq biasanya bisa dicapai melalui 2 jalan tersebut, maka dipastikan banyak tamu yang tersesat melalui jalan timur /belakang. Tugasku lah untuk mengarahkan atau mengantar para tamu yang tersesat ke jalan yang benar.

Benar saja. Ketika acara dimulai, banyak tamu yang melalui jalan sebelah timur. Dengan sopan aku menyapa mereka:

"Bapak/ Ibu, meniko mios wingking. Menawi Bapak/ Ibu ngersa'aken mios ngajeng, Bapak/ Ibu saged muter." (silahkan translete di google ya..)

Banyak tamu yang memilih muter karena mereka berkepentingan untuk lebih taat aturan atau lebih formal. Akan tetapi, banyak juga yang memilih tetap lewat pintu belakang, melalui jalan tikus karena untuk menuju ke jalan barat harus muter sejauh 500 meter.

Sebagai penerima tamu, aku bersikap profesional. Pelayanan prima tetap aku utamakan. Aku juga mengatur parkir sepeda motor dan mobil. Bahkan ketika ada tamu yang ingin BAB (Buang Air Besar), aku persilahkan untuk menunaikan hajatnya di rumahku. Tak mungkin lah BAB di rumah shohibul hajat.
Ketika mereka pulang, aku ucapkan:

"Maturnuwun Bapak/ Ibu. Ngaturaken sugeng kondur."

Pada pukul 12.30 WIB, Pak Daroni sebagai koordinator penerima tamu memintaku bergantian dengan Pak Sutisna untuk makan siang dan sholat dhuhur.

Tugas kami berakhir seiring berakhirnya acara pada pukul 14.00 WIB. Saat itu, aku baru teringat bahwa aku belum kondangan alias belum memasukkan amplop ke kotaknya. Amplop yang sudah kutulisi nama lengkapku dan nama sekolahku masih meringkuk di saku. Aku segera menuju ke pintu barat/ pintu depan. Ternyata tempat kado, buku tamu dan kotak amplop sudah dirapikan dan dimasukkan ke dalam rumah. Para penerima tamu pun sudah tak ada.

Lha terus, kondanganku gimana?

Kamis, 19 Februari 2015

DIIPUJI PENGAWAS

Pengawas dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten datang ke sekolah. Seperti biasanya, setelah bertemu dengan kepala sekolah, beliau menginspeksi program kegiatan setiap wakil kepala sekolah: kurikulum, sarana dan prasarana, kesiswaan, dan hubungan masyarakat serta bagian Tata Usaha. Tak ketinggalan, beliau juga menginspeksi guru, dari pembuatan perangkat pembelajaran sampai pelaksanaan pembelajaran serta penampilan guru.

Pada saat membahas penampilan guru yang harus rapi, beliau menyinggung atribut yang wajib dikenakan oleh guru. Setiap guru PNS wajib mengenakan lencana korpri, papan nama serta ID card. Beliau langsung menunjukku sebagai contoh guru yang memakai atribut lengkap selain kepala sekolah. Aku jadi tersanjung dengan pujian tersebut. Aku bersyukur, perdebatanku dengan siswaku tentang atribut tahun lalu telah membuatku selalu mengenakan atribut lengkap.

Terima kasih kuucapkan kepada siswa-siswaku yang telah mengingatkanku tentang atribut yang harus kupakai.

HAMZAH DAN PAK HERRY

Hamzah adalah salah satu siswa yang sekarang duduk di kelas XII IPA. Nama lengkapnya adalah Hamzah Prasetyo. Tak ada yang tidak mengenalnya. Dia adalah pemain keyboard paling handal di sekolah kami. Sejak kelas X dia telah terlihat bakatnya. Bahkan sampai 3 tahun terakhir, belum ada generasi atau adik kelas yang siap menggantikannya. Setiap event musik, dia selalu tampil. Di acara sekolah, upacara, maulid nabi, isro mir'roj, class meeting, Masa Orientasi Siswa Baru (MOS), perpisahan dan semua acara yang ada musiknya dia selalu tampil dengan sentuhan jari-jarinya di atas keyboard.

Karena keahliannya, anak penggemar group band Wali dan hobby sepak bola sejak kecil ini selalu menjadi andalan ketika Pak Herry ingin tampil menyanyi. Pak Herry adalah kepala sekolah kami yang mempunyai hobi menyanyi. Beliau selalu tampil menyanyi dalam event-event sekolah. Bahkan di upacara sekalipun, apabila ada Hamzah yang mengiringi lagu Indonesia Raya, beliau selalu menyisipi amanatnya dengan menyanyi. Tentu saja dengan diiringi keyboard-nya Hamzah. Karena itu, Hamzah dan Pak Herry adalah dua manusia yang mempunyai hubungan mutualisme. Pak Herry selalu mencari Hamzah untuk menyalurkan hobinya. Hamzah pun jadi semakin dekat dengan sang kepala sekolah dan semakin tenar.

Sebentar lagi Hamzah pergi meninggalkan sekolah ini. Semua orang pasti akan merasa kehilangan, terutama Pak Herry.

Rabu, 18 Februari 2015

TOILET (Sebuah Cerpen)

Matahari memperlihatkan wajah garangnya. Tatapannya mengeringkan semua tanaman. Angin yang baru beranjak bangun, terbirit-birit menyelinap ke sudut-sudut gelap, bersembunyi dari sorot mata sang penguasa siang. Pohon randu menyeringai menahan pedih. Kulitnya pecah-pecah. Daunnya telah lama menyerah dan gugur ke bumi. Di halaman depan, aglonema hanya menyisakan selembar daunnya yang menguning. Hanya kaktus dan adenium yang masih gagah menatap matahari. Cadangan air dan makanan yang disimpan pada saat musim hujan masih banyak. Mereka adalah tanaman padang pasir serupa unta. Akhir September memang puncaknya musim kemarau.

Sekolah sudah usai sejak pukul 13.30 WIB. Para siswa dan para guru telah pulang. Mas Tri masih sibuk memasukkan data ke dalam komputer. Mas Tri adalah salah satu staf Tata Usaha di sekolah kami. Nama lengkapnya adalah Tri Raharjo Saputro, tapi aku biasa memanggilnya Mas Tri. Wajahnya yang hitam didukung oleh tulang rahang dan dagu yang menonjol semakin legam terterpa angin kering musim kemarau. Tugasnya mengolah data sekolah di komputer.

Sementara itu, Mas Nung masih sibuk mengambil gelas-gelas teh yang sudah kosong. Setelah para guru pulang, giliran Mas Nung lah yang mencuci dan merapikan gelas-gelas tersebut. Mas Nung adalah nama panggilan. Nama sebenarnya adalah Nurcholis. Selain menyiapkan minuman untuk para guru, tugasnya juga menyapu ruang kelas serta merawat tanaman yang ada di halaman. Gayanya santai namun tak pernah berhenti sebelum pekerjaannya selesai. Tipe seorang pekeja keras. Maka tidak aneh, rangkap jabatan sering diembannya. Selain sebagai tukang kebun di sekolah, ia merangkap sebagai tukang mengantar undangan tahlil, rapat RT, sunatan, pernikahan dan berita kematian di lingkungan RTnya. Bola matanya sering terlihat kemerahan karena kebiasaannya begadang sampai pagi untuk memelototi jagoannya di Liga Inggris, Manchester United.

“Jangan diambil dulu Mas !” sergahku ketika Mas Nung mau mengambil gelas di mejaku. Memang separuh gelas teh belum sempat kuminum sampai siang ini. Biasanya cuaca sepanas ini, aku sudah nambah air putih dari dispenser di pojok ruang guru. Namun, seharian ini, aku malas menghabiskan tehku. Pikiranku masih teringat kejadian tadi pagi. Di salah satu kamar kecil teronggok kotoran tanpa disiram.

“Tidak sopan, buang air besar tidak disiram” teriak Bu Tuti geram melihat seonggok benda beraroma menyengat itu pertama kali. 

Pengetahuan Bu Tuti terhadap kondisi kamar kecil memang terdepan karena kebiasaannya melampiaskan HIV (Hasrat Ingin Vivis) paling awal. Ia sudah menahan HIV-nya sebelum sampai di sekolah karena ia kedinginan sepanjang jalan. Rumahnya yang jauh dan harus tepat waktu sampai di sekolah menjadi alasannya untuk rela menerobos udara pagi pantai selatan. Sesampainya di sekolah, selalu tergopoh-gopoh pergi ke belakang. Tak terkalahkan.

Di sekolah kami hanya tersedia dua kamar kecil tanpa ada kloset untuk buang air besar. Kalau ada yang mau buang air besar, maka harus pergi ke toilet di kantor yayasan yang terletak di seberang jalan. Di sana ada 3 toilet.

“Mas Tri, sudah selesai kerjaannya?” tanyaku membuka percakapan.
“Belum boss, sebentar lagi,” Mas Tri selalu memanggilku boss.
“Emang ada apa boss?” tanya dia.
“Enggak, kalau sudah selesai ikut aku ya !” kataku
“Kemana? Bakso ya boss?” Tanya dia.
“bukan bakso, tapi semen,” jawabku
“Semen? Buat apa boss?” Alisnya meringkuk penuh rasa ingin tahu.
“Ada deh, pokoknya ikut !” tegasku.

Setelah Mas Tri menyelesaikan pekerjaannya, aku memboncengkannya dengan Astrea Grand butut tahun 1995 menuju ke toko bangunan. Aku membeli beberapa bahan bangunan.

“1 sack semen, 1 buah kloset, 2 kardus keramik, 1 batang peralon 3 dim segera diantar”, teriak pelayan toko bangunan kepada supir yang sejak tadi terkantuk-kantuk di depan toko.

“Siapa yang mengerjakan boss?” Tanya Mas Tri.
“Kita…. aku, kamu sama Mas Nung”.
“Emang bisa?” Tanya Mas Tri ragu.
“Bisa” kataku meyakinkan.

Sampai di sekolah, kami berganti pakaian, lepas baju, lepas sepatu, tinggal celana dan kaos singlet yang menempel di badan.

“Lha pasirnya mana boss?” Tanya Mas Tri.
“Waduh iya, lupa. Gimana nih? Telepon Mas Tono !” suruhku kepada Mas Tri untuk menelepon Sartono, supir truk pasir yang biasa mengantar pasir di wilayah sekitar sekolah.
“Nggak kebanyakan boss? Wong cuma pasang kloset, pasirnya kok satu truk?” sergah Mas Tri.
“Ambil di halaman kantor yayasan saja pak !” sela Mas Nung tiba-tiba.

Ide cemerlang. Di halaman kantor yayasan, masih ada pasir sisa membangun pagar keliling bulan kemarin. Aku menyuruh Mas Nung meminjam gerobak, cangkul dan sekop ke Pak RT.

Terik matahari semakin menusuk-nusuk. Panasnya menembus ubun-ubun. Kepalaku kututupi topi. Pasir bercampur batu kerokos kukeruk. Keras dan padat karena tiap hari dilewati mobil dan sepeda motor. Debu menyeruak ke mana-mana. Hidung tanpa masker ini terasa kenyang menyedot kotoran-kotoran terbang ini. Keringat mengucur deras membasahi kaos dan celana sampai ke dalam. Akhirnya kami berhasil mendapatkan 2 onggok pasir.

Dengan langkah terseok-seok, kami mendorong gerobak yang lajunya naik turun bak goyang ngebor ala Inul Daratista karena ban luar sebelah kanan sudah pecah sehingga muncul tonjolan besar seperti bisul dari ban dalam. Mas Nung di depan. Tugasnya adalah menarik, mengendalikan dan mengarahkan kemana gerobak berjalan. Otot lengannya kelihatan menonjol lebih besar. Sementara aku dan Mas Tri mendorong dari belakang. Doronganku kusesuaikan dengan kembang kempis paru-paruku. Kadang dorong, kadang lepas, dorong lagi, bahkan kadang badanku yang sengaja kusandarkan ke gerobak. Jarak 50 meter dari halaman kantor yayasan ke sekolah seakan menjadi beribu-ribu kilometer. Dua kali pulang pergi dengan delapan kali berhenti kami lewati untuk mengangkut 2 gerobak pasir.

Setelah semua bahan terkumpul, mulailah pekerjaan kami.

Pekerjaan pertama adalah memasang peringatan di pintu kamar kecil: “DITUTUP UNTUK SEMENTARA”. Tulisan ini sengaja dicetak computer dengan huruf Arial Black berukuran 70 dengan posisi Landscape kertas ukuran F4. Tulisan ini ditempel tepat di tengah pintu kamar kecil.

Pekerjaan kedua adalah membongkar lantai. Bau amoniaknya menyeruak ke mana-mana. Sisa air di sudut kamar mandi juga menyiprat sampai ke wajah. Kami bertahan karena siapa tahu kasiatnya bisa menjadi obat penghalus wajah sehingga tidak perlu repot-repot masker-an. Lebar dan panjang kamar kecil itu dengan penuh presisi. Ukuran ini tidak boleh main-main karena meleset sedikit, kami harus memotong keramik berkali-kali. Sementara Mas Nung menyiapkan adonan semen, pasir dan air.

Pekerjaan ketiga adalah istirahat dan minum. Karena bukan tukang profesional, harus ada distribusi air untuk mengganti keringat. Inilah alasan kami sering berhenti dan minum agar tidak mengalami dehidrasi. Minumnya seadanya, kadang kopi, kadang teh, kadang hanya air putih. Untuk beli kopi instan atau teh celup dan gula pasir, kami arisan. Besarnya sesuai dengan kemampuan masing-masing dan ikhlas. Karena harus ikhlas, hari berikutnya Mas Tri dan Mas Nung lebih memilih tidak membawa dompet.

“Nggak minta guru-guru yang lain supaya membantu Boss?” Tanya Mas Tri saat istirahat.
“Nggak lah, nggak enak. nggak ada bayarannya,”, lanjutku

Mas Tri dan Mas Nung hanya mengangguk-anggukan kepala seakan memahami kondisi sekolah atau mungkin memahami takdir mereka yang sedang apes. Tak bisa menolak perintah kepala sekolah dan tak ada harapan mendapat uang tambahan.

Mulai hari itu, setiap usai sekolah, kami berganti baju dan bersiap menjadi tukang bangunan. Karena dana sekolah yang tipis kami tidak berani memanggil tukang. Lagi pula, tak ada tukang yang mau bekerja hanya setengah hari karena pada pagi hari masih ada kegiatan pembelajaran. Selama 1 minggu kami menjadi tukang. Referensi kami tentang pemasangan kloset dan keramik yang terbatas, hanya bertanya ke sana ke mari.

Alur terakhir dari pembuatan WC adalah septic tank. Untuk membuat septic tank dibutuhkan buis beton dan tenaga ahli pemasangannya. Ini artinya, harus memanfaatkan salah satu wali siswa yang menjadi pengusaha buis beton untuk mengirim 6 buis beton berdiameter 80 cm dan ketinggian 1 meter dengan catatan “hutang, menunggu ada tambahan dana di kas sekolah. Pembuatan septic tank ini dilakukan pada hari minggu karena dibutuhkan waktu seharian dan tidak boleh mengganggu kegiatan belajar siswa. Dua lubang septic tank digali: satu sebagai tempat penghancuran dan satunya sebagai tempat peresapan. Seharian ini kami istirahat. Kami hanya menjadi mandor sambil minum kopi karena pekerjaan sepenuhnya ditangani oleh dua orang ahli WC.

Tepat pada hari Senin, setelah upacara bendera, tanda “DITUTUP UNTUK SEMENTARA” dilepas. Kamar kecil lengkap dengan klosetnya sudah jadi. Tak ada peresmian, tak ada gunting pita karena keburu dipakai. Lagi-lagi, Bu Tuti adalah pemakai pertama.