Di ruangannya yang berukuran 4 x 4 meter, Pak Suryadi
duduk termenung. Di kursi kayu berpolitur coklat, badannya disandarkan agak ke
belakang sehingga nampak setengah berbaring. Kakinya diselonjorkan lurus di
bawah meja kerjanya. Wajahnya nampak penat. Nafasnya berkali-kali ditarik
dalam-dalam. Pakaian Seragam Harian berwarna coklat muda nampak kusut, kancing
baju paling atas terbuka, sepatunya dilepas tapi kaos kakinya masih melekat di
kaki. Dilihatnya jam dinding berbingkai hijau tua di atas papan denah struktural
sekolah. Waktu menunjukkan jam 14.05. Ia belum shalat dluhur, tapi kakinya
terasa berat untuk mengambil air wudlu. Diambil kembali handphonenya di saku
celana sebelah kanan. Dibuka kembali SMS-SMS yang masuk sejak tadi pagi.
Puluhan SMS telah dibolak-balik. Isinya hampir sama.
“Mana tanggungjawab Bapak terhadap siswa. Tdk seharusnya seorang guru membiarkan
siswanya gagal, stress, tak punya masa depan.”
“Senang ya, siswanya pada tidak lulus. Keterlaluan”
“Sombong, emangnya ini sekolah negeri, ngaca dong! ”
Semua SMS tersebut dari nomor tak dikenal.
Masih ada puluhan SMS yang lain tapi ia memilih membuka SMS dari Pak
Andi.
“Sudah saya katakan dari awal, tak mungkin siswa kita bisa dilepas.
Ya beginilah hasilnya. Siapa yang tanggungjawab? Bapak? Dengan cara apa?”
Pak Andi, Wakil Kepala Urusan Kurikulum sekaligus
sebagai Ketua Pelaksana Ujian yang biasanya manut, menuruti semua
perintah atasan, pagi tadi tidak terlihat sama sekali, entah ke mana, tanpa
ijin dan hanya mengirim SMS seperti itu.
Sejak kemarin sore, saat sidang penegas untuk
menentukkan kelulusan siswa kelas XII, Pak Andi yang biasanya periang, banyak usulan dan pendapatnya yang
brilian, menjadi pendiam. Duduk di pojok kanan depan, dia hanya menikmati rokok
kretek kesukaannya. Ketika Pak Suryadi meminta pendapatnya, dia hanya
menggelengkan kepala. Suasana rapat tidak seperti biasanya. Keriangan dan
keceriaan pak Andi tidak terlihat sama sekali. Bapak Ibu Guru yang lain memilih
diam mengikuti suasana. Pak Suryadi yang berusaha memimpin rapat dengan santai
dan tenang, akhirnya terhanyut dalam suasana yang sama. Rapat hanya membacakan
hasil kelulusan kelas XII tanpa keputusan dan rencana tindak lanjut. Rapat ditutup tanpa
usulan maupun komentar. Semuanya terdiam.
Pak Suryadi kembali melihat jam. Pukul 14.30. Waktu
shalat dhuhur sudah hampir habis. Dengan berat diturunkan kakinya, dilepas kaos
kakinya kemudian diambilnya sandal jepit di laci lemari bawah. Pada jam sesore
ini, ia memilih untuk belum pulang ke rumah meskipun semua guru dan karyawan
sudah pulang ke rumah masing-masing. Istrinya biasanya maklum kenapa ia pulang
agak sore, biasanya karena masih ada tugas yang harus diselesaikan,
menandatangani berkas, menghadiri rapat, atau menyelesaikan proposal bantuan.
Pak Suryadi melangkahkan kakinya menuju mushola yang berada di dekat kantin.
Dilihatnya Pak Narto sedang membuang sampah. Pak Narto adalah tukang kebun
sekolah sekaligus pembuat minuman untuk guru dan karyawan. Dialah yang setia
menemaninya ketika ia lembur di sekolah.
“Baru shalat Pak?” Tanya Pak Narto melihat Pak Suryadi
keluar dari Mushola.
“Iya”, jawab Pak Suryadi lemah.
“Bapak mau saya buatkan kopi?”, Tanya Pak Narto karena
biasanya Pak Suryadi minta dibuatkan kopi jika sedang lembur.
“Ya boleh” jawab Pak Suryadi.
Pak Suryadi kembali ke ruangannya. Badannya kembali
setengah direbahkan di kursi. Dipandanginya foto-foto guru karyawan di papan
struktur organisasi sekolah, satu per satu. Kemudian matanya beralih ke sebuah
grafik di sebelah kanan papan struktur tersebut, grafik kelulusan. Grafik yang
terbuat dari whiteboard dengan tulisan hitam dan gambar batang grafik berwarna
biru dan merah menunjukkan tingkat kelulusan sekolahnya dari tahun 2004.
Sekolah ini meluluskan siswanya pertama kali pada tahun 2004. Batang grafik
biru menunjukkan jumlah peserta ujian, sedangkan batang grafik merah
menunjukkan jumlah kelulusan. Dari tahun ke tahun batang grafik biru sama
tingginya dengan batang grafik merah, artinya angka kelulusannya adalah 100 %.
Grafik itu juga kelihatan rapi dan indah membentuk sebuah tanjakan dari kiri ke
kanan menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah siswanya meningkat. Di
bawahnya terdapat nama dan tanda tangan kepala sekolah, Sartono, S.Pd. Nama dan
tanda tangan ini memang belum sempat dirubah walaupun sudah 9 bulan kepala sekolahnya
ganti, toh tidak pernah dipertanyakan atau dipermasalahkan oleh pengawas diknas
yang hampir sebulan sekali datang ke sekolah. Pak Sartono diangkat menjadi PNS
di sekolah negeri di kabupaten kota sejak pertengahan bulan Agustus tahun lalu
setelah 4 tahun menjadi Guru Bantu. Pak Suryadi yang dianggap paling senior di
antara guru-guru yang lain diangkat menjadi kepala sekolah oleh Yayasan pemilik
sekolah ini.
Pak Suryadi sedang memandangi angka-angka di bawah
batang-batang grafik ketika pintu diketuk. Pak Suryadi sudah menduga Pak Narto
yang mengetuk pintu.
“Masuk Pak Narto”, kata Pak Suryadi
“Ini kopinya pak !” kata Pak Narto sambil meletakkan
kopi di meja.
“Terima kasih”, kata Pak Suryadi
Setelah Pak Narto keluar, kembali Pak Suryadi memandangi
grafik tersebut. Tahun 2004, jumlah peserta ujian ada 32, berhasil lulus 32.
Tahun 2005, jumlah pesertanya 47, berhasil lulus 47. Tahun 2006, jumlah
pesertanya 52, berhasil lulus 52. Tahun 2007, jumlah pesertanya 73, berhasil
lulus 73. Ia membayangkan, besok ketika dua batang grafik biru dan merah
ditambahkan di belakang batang grafik terakhir, grafik ini tidak akan indah
lagi untuk dipandang. Bahkan sekarang, grafik ini sudah tidak indah lagi karena
hari ini, tepatnya pukul 09.00 tadi pagi kelulusan telah diumumkan.
Tadi pagi, tepat pukul 09.00, 81 wali dan orang tua
siswa berkumpul di sebuah aula yang terbuat dari dua ruang kelas yang dinding
penyekatnya dilepas untuk dijadikan aula. Pengumuman kelulusan di dalam amplop
tertutup siap dibagikan oleh masing-masing wali kelas, Pak Yono sebagai wali
kelas Kelas XII Akuntansi dan Bu Tini sebagai Wali Kelas XII Penjualan setelah
sebelumnya Pak Suryadi memberikan pidato pengantar. Walaupun pengumuman
kelulusan diambil oleh orang tua atau wali tapi para siswa tetap ikut ke
sekolah padahal mereka sudah dilarang ke sekolah sesuai himbauan dari kepala
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten agar
setiap sekolah mengurangi konsentrasi massa pada hari pengumuman ujian. Sudah
dapat diduga, setelah acara penyerahan hasil kelulusan selesai, para siswa
menyerbu orang tua masing-masing. Mereka tidak sabar ingin mengetahui hasil
ujian. Dari 81 siswa kelas XII, 48 diantaranya gagal.
Mereka harus mengulang ujian tahun depan atau terpaksa mengikuti ujian Paket C.
Mengetahui mereka gagal, mereka berteriak-teriak, bahkan ada yang mengamuk. Sebagian
besar yang lain hanya menangis. Petugas dari kepolisian yang diundang oleh
pihak sekolah untuk ikut mengamankan jalannya pengumuman kelulusan turut
menenangkan siswa.
Di ruang guru, para guru hanya
melongok lewat jendela kaca. Wajah-wajah mereka nampak lesu. Mereka tidak mau
keluar karena tidak mau terlibat dalam
kejadian-kejadian di luar. Mereka nampak terpukul dengan hasil ujian tahun ini.
Di pojok belakang, Bu Tri menangis karena pada mata pelajaran matematika yang
diampunya banyak siswa yang gagal. Bu endah yang duduk di sampingnya berusaha
menenangkannya.
“Sudahlah bu, ini bukan salah Bu Tri. Kita hanya bisa
menjalankan keputusan.” kata bu Endah dengan wajah yang nampak sedih.
“Ya, keputusan edan”, sahut Pak Rohadi dengan
nada tinggi. Pak Rohadi adalah salah seorang guru yang tidak setuju dengan
keputusan Pak Suryadi.
Tiga bulan yang lalu, di dalam rapat pembentukan Panitia
Ujian Nasional, Pak Suryadi memutuskan untuk melaksanakan Ujian Nasional tahun
ini secara bersih, tidak ada lagi bocoran kepada siswa. Keputusan ini
menimbulkan pro kontra di antara para guru. Ada yang mendukungnya, ada yang
menentangnya termasuk Pak Andi.
“Siswa sekolah swasta di daerah seperti sekolah kita ini
rata-rata di bawah standar, tidak mungkin mereka mampu melampaui standar
kelulusan dengan nilai minimal 4,25 dan rata-rata 5,25. Tahun lalu saja kita
sudah keteteran menghadapi Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris
dengan standar 4,25 dan rata-rata 5.00. Lagi pula, beban siswa juga bertambah
dengan mata pelajaran produktif dimasukkan ke Ujian Nasional. Walaupun kita
sudah mengadakan les, try out dan segala tetek bengeknya, saya belum
percaya siswa kita dapat lulus ujian. Lihat latar belakang mereka. Mereka masuk
ke sini juga karena tidak dapat masuk di sekolah negeri atau sekolah swasta
favorit. Kalau tidak kita bantu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Toh
saya yakin, setelah lulus sebagian besar tidak melanjutkan ke perguruan tinggi
tapi cari kerja. Jadi nilai tidak menjadi tuntutan, yang penting lulus. Ini
pertimbangan kemanusiaan. Lagi pula, hampir seluruh sekolah swasta di kabupaten
ini membocorkan Ujian Nasional, kalau kita tidak ikut-ikutan, kita hancur
sendirian. Seandainya tahun ini siswa kita banyak yang tidak lulus, saya yakin
tahun depan tidak ada siswa SMP yang mau mendaftar di sekolah ini” kata Pak Andi
dengan menggebu-gebu.
Pendapat Pak Andi banyak mendapat dukungan dari
rekan-rekan guru. Pak Suryadi mencoba untuk memberikan alasan terhadap
keputusannya.
“Memang benar pendapat Pak Andi, kita tidak boleh
membiarkan siswa kita tidak lulus tapi cara yang kita tempuh jangan sampai
merusak mental siswa. Kita dapat melihat, siswa kelas XII kita sekarang ini sama
sekali tak punya semangat untuk belajar. Mereka semua sudah tahu kakak kelasnya
dulu mendapat bocoran. Mereka yakin bahwa mereka juga akan mendapat bocoran.
Mereka tidak lagi memikirkan ujian, apalagi punya semangat untuk belajar. Lalu,
apakah kita akan biarkan hal semacam ini berlangsung terus. Mereka lulus tapi
ilmu mereka nol. Lalu, tujuan pendidikan di sekolah kita apa? Hanya untuk
memberikan ijazah? Kalau hanya itu urusannya, kenapa kita repot-repot mengajar
mereka, mendidik mereka tiap hari. Kita dirikan saja sekolah yang menerima
siswa kelas 1 lalu kita suruh mereka menunggu 3 tahun lagi untuk ikut ujian.
Tidak usah berangkat sekolah, tidak usah belajar yang penting bayar SPP dan
dijamin lulus ujian. Kita juga tidak perlu ruang kelas, tidak perlu membeli
peralatan, tidak perlu capek-capek mengajar di depan kelas dan tiap
bulan kita gajian. Apa itu yang diharapkan? Pembelajaran tanpa ruh, tanpa
nilai, tanpa perjuangan, tanpa moral? Akan kita cekoki seperti itukah
anak-anak kita? Benar….selama ini siswa kita tidak ada yang pernah mengulang
ujian. Hasilnya bagus. Tapi lihatlah siswa kelas 1 dan 2. mereka tak punya ruh,
tak punya semangat untuk belajar. Apakkah akan kita biarkan hal itu terus
berlanjut?. Kita memang sekolah kecil. Siswa kita baru sedikit. Kita hidup tidak
punya pengaruh, kita mati juga tak ada yang peduli. Tapi minimal kita punya
nilai, nilai moral”, kata Pak Suryadi penuh percaya diri.
Itulah alasan Pak Suryadi menetapkan bahwa Ujian tahun
ini tidak ada bantuan kepada siswa. Kebiasaan yang telah dilakukan sejak empat
tahun yang lalu, tahun ini tidak akan diulangi lagi.
Pak Suryadi teringat saat baru dua tahun mengajar di
sekolah ini. Untuk menghadapi ujian, selain dibentuk Panitia Ujian, dibentuk
pula Tim Sukses. Ia diangkat menjadi anggota Tim Sukses Ujian Nasional untuk
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tugas Tim Sukses adalah menyukseskan
pelaksanaan ujian nasional, yaitu siswa lulus. Tim Sukses terdiri dari sembilan
orang guru dan tiga orang karyawan. Pada hari pelaksanaan Ujian Nasional, Tim
ini berada di ruang khusus. Pada pukul 08.00, ketika Ujian Nasional dimulai,
sisa soal yang ada di ruang sekretariat, diambil dan diserahkan kepada Tim
Sukses. Dua orang Tim Sukses, yaitu guru yang pelajarannya sedang diujikan pada
hari itu bertugas untuk mengerjakan soal tersebut. Anggota tim yang lain
menulis hasil pekerjaan dan membuat kunci jawaban. Pada pukul 10.00, ketika bel
berbunyi tanda waktu ujian habis, Lembar jawab peserta ujian yang telah
dimasukkan ke dalam amplop dan dikumpulkan di ruang sekretariat dibongkar lagi
di ruang khusus. Saat inilah yang paling menegangkan. Tim Sukses hanya
mempunyai waktu satu jam untuk menyelesaikan tugasnya. Lembar jawab ini harus
sudah diserahkan ke Panitia Sub Rayon pada pukul 11.00. Jawaban yang salah
dihapus kemudian diperbaiki sesuai kunci jawaban. Untuk Bahasa Indonesia,
jawaban yang perlu diperbaiki cukup 23 dari 60 soal, Matematika 12 dari 30
soal, Bahasa Inggris 19 dari 50 soal karena standar kelulusan adalah 3.75.
Hanya untuk mencapai nilai lulus.
“Tidak wajar kalau nilainya terlalu tinggi. Ini kan
sekolah swasta”, kata Pak Sartono.
Aneh memang,
nilai moral dan etika masih dipertimbangkan saat melakukan tindakan di luar
etika dan moral. Tentu saja, siswa tidak tahu bahwa mereka telah dibantu
mengerjakan ujian.
Pak Suryadi jadi teringat pada berita di koran satu
setengah bulan yang lalu, ketika beberapa orang guru yang sedang membetulkan
lembar jawab ujian siswa digerebek oleh Pasukan Detasemen Khusus 88 Antiteror,
satuan elit polisi yang bertugas mengejar dan menangkap teroris. Ia tidak bisa
membayangkan seandainya kesialan itu terjadi pada dirinya empat tahun yang
lalu.
Pada tahun berikutnya, teknik yang digunakan masih
hampir sama seperti tahun sebelumnya. Hanya saja standar kelulusan dinaikkan
menjadi 4.00 dan rata-rata 4.50. Nampaknya tahun ini, pemerintah terutama
panitia rayon sudah mulai curiga adanya beberapa kecurangan. Untuk itu, dibuat
aturan baru tentang waktu pengumpulan. Pengumpulan soal dari sekolah ke Panitia
Sub Rayon dipercepat maksimal pukul 10.30. Untuk itu, Tim Sukses yang disiapkan
pada tahun ini lebih banyak karena harus bekerja lebih cepat. Hasilnya sama
dengan tahun sebelumnya. Tak ada siswa yang mengulang ujian.
Satu tahun kemudian, muncul aturan baru tentang Ujian
Nasional. Sisa soal harus disimpan dalam amplop tertutup dan tidak boleh
dipegang oleh Panitia Sekolah, Soal diantar ke sekolah pada hari pelaksanaan
oleh kurir silang dan setelah selesai ujian, amplop tempat lembar jawab dilem
di Ruang Ujian dan dibawa langsung oleh kurir silang tanpa melalui Panitia
Sekolah. Standar Kelulusan juga naik menjadi 4.00 untuk nilai minimal dan
rata-rata minimal 5.00. Dengan adanya aturan yang ketat ini, Tim Sukses mencari
alternative lain untuk membantu siswa. Setelah melalui beberapa kali pembahasan
akhirnya diputuskan untuk membantu siswa secara langsung. Sebelum pelaksanaan,
siswa dikumpulkan untuk membahas rencana ini. Saat itulah siswa menyadari
sekaligus heran, was-was, namun agak tenang memikirkan kelulusan. Sebagian
besar menyambut dengan semangat rencana tersebut kecuali beberapa siswa yang “agak
berpikir” (istilah untuk siswa yang rajin belajar). Skenario disusun begitu
rapi. Sepuluh menit setelah bel tanda mulai mengerjakan berbunyi, salah seorang
siswa yang telah ditentukan bertugas membawa beberapa lembar soal ujian ke WC,
tempat yang paling aman untuk melakukan kegiatan yang paling pribadi sekalipun.
Salah seorang Panitia mengambilnya di WC di tempat yang telah ditentukan. Di
ruang khusus, Tim Sukses telah siap bekerja. Jawaban ditulis di kertas sobekan
kecil-kecil. Jawaban ini menggunakan tulisan tangan, tidak menggunakan komputer
atau difotocopi untuk meminimalisir resiko apabila pengawas ujian berhasil
menyita bocoran. Dengan tulisan tangan, Panitia Sekolah beralasan bahwa
contekan ini adalah tulisan siswa sendiri. Kunci jawaban dibuat rangkap 8 untuk
setiap ruang agar merata. Tepat pada pukul 09.00, kepala sekolah mengadakan inspeksi
di setiap ruangan, meneliti penulisan nomor peserta dan identitas siswa di
lembar jawab sambil memberikan jawaban kepada siswa. Sampai hari terakhir,
skenario ini berhasil dengan gemilang. Pada hari terakhir, siswa dikumpulkan
untuk dibriefing agar tidak membocorkan kejadian-kejadian selama Ujian kepada
siapapun.
“Ini demi kalian dan demi nama baik kalian sendiri”
tegas kepala sekolah saat itu.
Berganti tahun, standar kelulusan pun turut berganti.
Tahun berikutnya, nilai minimum ditetapkan 4.25 dengan rata-rata 5.00. Aturan
Ujian pun semakin diperketat. Pada tahun ini, terdapat dua jenis soal Ujian
Nasional, soal genap dan soal ganjil. Peserta Ujian yang bernomor genap
mengerjakan soal ujian genap dan sebaliknya. Selain kurir silang, dibentuk Tim Pemantau
Independen. Tim ini diambil dari unsur pemerintah dan perguruan tinggi. Ruang
Ujian juga harus steril. Siapapun tidak diperbolehkan masuk Ruang Ujian selama
ujian berlangsung selain peserta dan pengawas. Skenariopun ditinjau ulang,
kepala sekolah tidak mungkin lagi melakukan inspeksi. Tim Sukses pun semakin
berat karena harus mengerjakan 2 soal dalam waktu yang cepat. Ada beberapa
strategi yang siap dijalankan oleh Tim Sukses. Pengambilan soal dari Ruang
Ujian tidak mungkin dilakukan hanya oleh satu orang karena harus ada yang
membawa soal genap dan ganjil dan tidak boleh dalam satu ruang, terlalu riskan.
Untuk memasukkan jawaban, ada beberapa alternative. Salah satunya yang ekstrim
adalah mengebor tembok Ruang Ujian. Lubang pun dipaskan dengan posisi duduk
siswa yang telah ditentukan untuk menyebarkan jawaban. Tapi hal ini juga
menemui kendala karena posisi ruang yang tidak memungkinkan. Untuk itu, ada dua
cara yang ditempuh. Dua ruang Ujian yang berada di belakang dibor. Dua ruang
lainnya yang berada di depan, siswa harus keluar untuk mengambil jawaban yang
telah disiapkan di WC.
Pada pukul 08.15, Dwi Lestari dari Ruang 01 membawa
keluar soal ganjil dan Pujiawati dari ruang 02 membawa keluar soal genap ke WC
dan disisipkan di belakang tempat sabun. Pengawas Ujian mengikuti sampai di
depan WC tapi mereka tidak masuk ke WC. Pak Narto ditugasi mengambil soal
tersebut dan dibawa ke ruang khusus. Di ruang khusus, Tim Sukses telah siap
bekerja. Pekerjaan harus sudah selesai pada jam 09.00. Pada jam 09.15, Sobari
dari Ruang 01, Susi Indahsari dari Ruang 02 sudah keluar ke WC. Untuk dua ruang
belakang, urusan Pak Narto. Sambil membersih sampah atau rumput di dekat tempat
parkir sepeda, ia memasukkan jawaban dari lubang yang disediakan. Tiga hari
Ujian Nasional sukses.
Empat kali ujian, empat kali itu juga Pak Suryadi
menjadi Tim Sukses. Ada perasaan bahwa tindakan itu tidak sesuai dengan bisikan
hati kecilnya. Masih terngiang kata-kata salah seorang dosennya di Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan di kota Yogyakarta.
“Ruh seorang guru ada pada sikap dan moralnya untuk siap
digugu dan ditiru oleh peserta didiknya”.
Namun pada kenyataannya, sudah empat kali, ia tak bisa
menolak perintah atasan. Ia harus mempertimbangkan kelangsungan pencahariannya.
Ia tak punya keahlian yang lain. Keahlian satu-satunya yang dimiliki dan telah
dicita-citakan sejak kecil adalah guru, sesuai dengan title “Sarjana
Pendidikan” yang tertulis di ijasah S1-nya. Sebenarnya sudah berkali-kali ia
mencoba bicara dengan Pak Sartono tapi jawabannya selalu sama.
“Ini Sekolah Kejuruan. Siswa kita dididik untuk ahli di
bidang Akuntansi dan Penjualan, bukan ahli Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
dan Matematika. Kalau mereka sudah kompeten di bidangnya, kenapa tidak boleh
lulus?” kata Pak Sartono saat itu.
Ketika Pak Suryadi diangkat menjadi kepala sekolah, ia
berusaha memperbaiki kebijakan yang telah dijalankan bertahun-tahun itu. Namun
ia juga tidak gegabah, ia harus mempersiapkan siswa-siswi kelas XII dengan matang.
Kegiatan les dan tambahan pelajaran untuk kelas XII diperbanyak. Try out diadakan beberapa kali
untuk menguji kemampuan. Melihat kegiatan belajar, les, tambahan pelajaran dan
try out kelas XII, Pak Suryadi optimis dan bertekad untuk melepas siswa dalam
menghadapi Ujian Nasional tahun ini. Tekad ini sudah disampaikan jauh-jauh hari
baik kepada guru maupun kepada siswa agar persiapan mereka serius. Namun
nampaknya banyak guru yang belum percaya bahwa kebijakan ini benar-benar akan
diterapkan.
Pada saat Rapat Pembentukan Panitia Ujian Nasional, Pak
Suryadi menyatakan :
“Tahun ini tidak ada Tim Sukses”
Di tengah-tengah dilema antara kesuksesan dan kegagalan
siswa, beberapa guru memilih diam. Pihak yang paling was-was adalah guru tiga
bidang studi materi Ujian Nasional. Mereka merasa yang paling bertanggungjawab
atas kesuksesan dan kegagalan siswa. Namun pertanggungjawaban mereka agak
ringan ketika Pak Suryadi mengatakan :
“Saya yang akan bertanggung jawab”.
Harapan dan kenyataan kadang seperti langit dan bumi.
Pukul 17.00. Pak Suryadi masih duduk tertunduk di atas
kursi tuanya. Kopinya dingin belum tersentuh. Tak terasa air mata Pak Suryadi
meleleh membasahi pipinya. Kebimbangan dan keraguan merasuk ke dalam hatinya.
Kepalanya seakan ditusuk-tusuk paku untuk berpikir ulang tentang kebijakan yang
telah dia putuskan. Kebenaran yang diyakininya selama ini seakan menjadi
samar-samar. Melihat kejadian tadi pagi, benar-benar membuat dia bimbang akan
kata-kata para pujangga bahwa kebenaran itu pahit. Saat ini, kebenaran yang
diyakininya adalah tidak hanya pahit seperti buah mahoni atau batang pohon
brotowali tapi pahit seperti gas beracun di ruang eksekusi yang menyesakkan
paru-paru, jantung dan otaknya. Sejarah tidak bisa diulang tapi kebenarannya bisa
dipertimbangkan kembali. Sesal tiada guna. Kenyataan harus dihadapi,
siswa-siswanya telah gagal menghadapi Ujian Nasional. Tapi Keberaniannya
menghadapi kenyataan kini hanya di angan-angan. Keberanian menghadapi isak
tangis siswa-siswanya ternyata hanya bayangan. Keberanian menghadapi
ketidakpercayaan dari rekan-rekannya kini telah melayang. Akankah ia berani
menghadapi vonis Yayasan yang menyatakan bahwa ia gagal dan harus mundur dari
jabatannya, bahkan dari profesinya?