Pada tanggal
20 Nopember 2012, kami diberitahukan bahwa passenger
receipt and itinerary sudah dikirim
lewat e-mail. Pesawat berangkat pada hari Jum’at pukul 9.50 pagi. Passenger receipt and itinerary ini harus di-print diserahkan kepada
petugas pada saat kami akan mengambil tiket.
Pada hari
Jum’at tanggal 23 Nopember 2012 kami (aku, Tri Raharjo dan Nurkholis) sampai di bandara pukul 8.00 WIB. Karena masih kurang 1 jam 50 menit, kami
jalan-jalan dulu. Baru kali ini pula kami melihat bandara. Sekitar jam 9.45 kami masuk. Di pintu masuk,
kami diperiksa dengan ketat. Tas dan barang bawaan lain juga diperiksa. Kami segera menuju ke loket Garuda Indonesia
untuk menukar passenger receipt and itinerary dengan tiket.
“Bapak baru
pertama kali naik pesawat ya?” tanya mba petugas
“Kok tahu?” jawabku
mengira mba petugas itu mau melakukan rayuan gombal seperti Andre Taulani. Tapi wajahnya serius.
“Bapak sudah
tidak boleh masuk. Sudah terlambat. Seharusnya Bapak masuk 45 menit sebelum
pesawat berangkat. Apakah Bapak tidak membaca passenger receipt and itinerary
ini. Disini kan ada keterangan bahwa check-in counter ditutup 45 sebelum
keberangkatan."
“Pakai Bahasa
Inggris sih mba. Jadi agak susah membacanya,” jawabku
Ternyata, kami
sudah terlambat. Harusnya kami check-in pada pukul 09.10. dan masuk boarding
gate pada pukul 09.25. Ah…kirain seperti naik angkot. Begitu datang langsung naik. Dasar wong ndeso...
“Terus
bagaimana ini mba? Berarti kami gagal naik pesawat?” tanyaku
“Tidak Bapak. Bapak masih bisa naik pesawat
berikutnya. Sebentar saya cek dulu pesawat yang seat-nya kosong,” kata mba
petugas itu.
"Ada seat
kosong pesawat pukul 16.50 sore. Kalau Bapak bertiga menghendaki berangkat dengan
pesawat lain bisa kami pesankan tiket ke maskapai lain. Tapi tidak ada
pengembalian kelebihan biaya," tambah mba petugas
“Ya sudah mba,
kami nunggu pesawat yang jam 16.50 saja,” kataku
“Tapi Bapak ke
sini lagi jam 16.05 Jangan terlambat lagi!” pinta mba petugas.
“Ok mba, pasti
kami tak terlambat lagi.”
Akhirnya kami harus menunggu
pesawat berikutnya yang kosong, jam 16.50 sore. Oh…betapa lamanya kami harus menunggu. Untuk membuang jenuh, kami
puaskan jalan-jalan di bandara. Kami menyempatkan sholat Jum’at di masjid Baitul Hidayah di sebelah utara
bandara adi sucipto.
Pada pukul 16.00 kami kembali dan menukar
kembali receipt and itinerary dengan tiket sebenarnya. Kali ini kami sudah tahu. Di dalam tiket
berwarna biru tua itu, tertera namaku, nomor pesawat, nomor tempat duduk, jam
keberangkatan, kota asal dan kota tujuan.
Pada pukul 16.30 WIB, hujan
turun deras. Atap ruang tunggu bandara jebol. Penerbangan ditunda sampai waktu
yang tak terbatas. Ohhh….Pesawat yang seharusnya berangkat pukul 16.30 harus
delay sampai waktu yang tak bisa ditentukan. Bandara pun dinyatakan ditutup. Hanya do’a aku
panjatkan dan harap-harap cemas yang aku rasakan saat itu. Syukurlah pada pukul
19.00 bandara dinyatakan dibuka kembali. Para penumpang lega. (Ini lho yang aku ceritakan di awal kisah..)
Pada pukul 19.30 WIB aku mengantri
untuk memasuki pesawat. Perisitiwa ini pun aku resapi benar-benar. Aku menyodorkan tiket dan KTP
kepada petugas yang memeriksa dengan penuh perasaan. Seperti aku memberikan sekuntum bunga ke pacarku...(pada jaman dahulu kala). Memasuki pesawat, kami disambut oleh keramahan
pramugari dan pilot sambil ditawari untuk mengambil surat kabar dipintu masuk
sebagai bacaan selama perjalanan. Aku iseng mengambil salah satu surat kabar
daerah, Kedaulatan Rakyat. Sudah lama aku tak membaca surat kabarnya
orang Jogja ini. Segera aku mencari tempat duduk sesuai dengan nomor yang
tertera di tiket, nomor 14b. Ternyata di dekat jendela.
Kondisi masih
hujan, pesawatku berangkat dengan penuh dag dig dug. Sebelum
take off, ada perkenalan dan pidato sambutan dari pilot yang disampaikan dalam
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pidato sambutan berisi rencana penerbangan
dan aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh penumpang. Jadi teringat acara tirakatan 17-an di desaku yang
penuh dengan sambutan.
Selesai
pidato, mesin pesawat mulai bergemuruh. Getaran dan
deru mesin pesawat saat mulai take off kuperhatikan betul agar sensasinya tak
terlupakan. 15 menit pertama, jantungku masih setengah melayang seperti maian ayunan waktu aku kecil. Pesawat dalam kondisi naik. Terasa tenang ketika pesawat sudah dalam
kondisi stabil. Saat itu, pramugari mulai memberikan makanan ringan dan menawarkan
minuman. Konsentrasiku tidak pada snack dan minumannya tapi pada pramugari yang cantik-cantik. Oh...seperti ini tho pramugari itu.
"Bapak mau minum apa?" tanya salah satu pramugari
"Hmm, kopi hitam," jawabku spontan tanpa bisa berpikir. Padahal dari awal aku berencana memilih minuman yang sedikit berkelas dan belum pernah aku minum. Tapi karena otakku mampet, yang bergerak adalah insting dan naluri kebiasaanku di warung angkringan ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama.
Oh, sungguh aku menyesal. Hanya kopi hitam yang aku dapatkan. Dari selera minumnya,
orang jadi tahu bahwa aku masih mirip dengan orang ndeso (Hanya mirip lho, soalnya sekarang mulai seperti orang kota: naiknya pesawat).
Sambil kunikmati
kopi dan snack, kulihat TV layar sentuh didepanku
menempel di kursi depanku dilengkapi dengan headset. Kupencet-pencet semua menu
yang ada. Ada berbagai macam film dengan durasi yang bermacam-macam. Ada musik.
Aku tak berminat untuk memutar salah satu menu tersebut. Selain suasana yang
tidak mendukung, aku juga masih terkagum-kagum
dengan televisi kecil ini. Setelah puas memencet layar
sentuh tersebut, aku menengok ke luar jendela. Gelap. Masih kulihat petir masih
menyambar-nyambar di langit. Sabuk pengaman belum boleh dilepas. Masih terasa goncangan
ketika pesawat menerobos awan. Seperti naik angkot melalui jalan rusak.
(Suatu saat nanti aku baru tahu bahwa naik pesawat dalam kondisi seperti itu sangat menegangkan: hujan, awan, petir, sabuk pengaman yang tak boleh dilepas)
Satu jam perjalanan,
kerlap-kerlip lampu kota Jakarta mulai terlihat. 15 menit sebelum landing,
rasanya sama dengan saat take off. Jantungku setengah melayang dan getaran
mulai terasa. Saat pesawat benar-benar landing terasa ada goncangan. Pesawat berhenti, aku sampai di bandara
Soekarno-Hatta.
Kami menuju pintu keluar.
Lumayan jauh. Di pintu keluar kami dijemput oleh agen perjalanan smailing tour.
Ternyata para penjemput memakai papan besar berisi tulisan /nama orang yang dijemput. (Tidak keliru film-film korea itu). Aku mencari papan dengan namaku atau tulisan daihatsu. Berhasil menemukan, aku mendekat
dan memperkenalkan diri. Kami masih harus menunggu peserta sahabat daihatsu
dari kota lain dengan pesawat yang lain juga.
Pada pukul 21.00 kami naik mobil Smailing tour menuju Millennium
hotel Sirih Jakarta yang beralamat di Jalan Fachrudin 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar