Sudah dua kali aku ditipi amanat untuk menjaga makhluk Tuhan bernama burung. Yang pertama, ketika di suatu pagi sebuah sarang burung emprit jatuh dari pohon mangga di depan rumahku. Sarang burung itu berisi 5 ekor anak burung. Dengan susah payah berusaha mengembalikan sarang tersebut ke puncak pohon mangga, tapi aku gagal. Akhirnya, kuletakkan sangkar tersebut di dahan yang lebih rendah. Ketika hari mulai sore, anak burung itu terus-menerus mencicit dan nampaknya induknya tak jua memberi makan. Kuambil kembali sarang tersebut. Dan benar saja, ketika kusodorkan jariku, mulut mereka mangap sambil mencicit-cicit. Naluri keibuanku muncul. Walaupun aku jelas-jelas bukan seorang ibu. Yang kutahu, burung ini merupakan musuh petani dan menjadi hama karena makanan mereka adalah padi. Maka, kuuleg beras sampai hancur, kuberi air sedikit lalu kusuapi satu-satu. Setelah kenyang dengan tembolok penuh beras, sore itu sampai pagi mereka tertidur di sarang baru yang kubuat dari kaos bekas dan kuwadahi cething plastik bekas nasi berkat.
Pagi setelah subuh, mulai terdengar suara mencicit. Kusiapkan adonan beras lagi dan mulai menyuapinya. Sejak detik ini, aku mulai tertekan. Ada kewajiban baru yang harus kulakukan sebelum mengantar anak ke sekolah. Pekerjaan yang harus kusiapkan setiap pagi kini bertambah. Sempat mengeluh sebelum akhirnya aku luluh dengan teriakan minta makan dari anak-anak burung mungil ini setiap pagi, siang, dan sore.
Setelah 8 hari berlalu, anak-anak burung ini mulai berlatih terbang. Awalnya terbang rendah. Kemudian semakin tinggi. 3 hari kemudian mereka sudah mampu terbang dan menikmati alam bebas di pohon mangga depan rumahku. Sejak saat itu, ketika matahari mulai muncul mereka segera terbang ke pohon mangga dan pulang ke kandang ketika aku pulang dari sekolah untuk minta makan. Sampai akhirnya mereka menghilang, dan tak kembali ke kandang. Alhamdulillah, bebanku hilang.
Yang kedua, ketika suatu saat, seekor anak burung turun ke garasi dan hinggap di atas kap mobilku, lagi-lagi burung emprit. Dia seorang diri. Mencicit-cicit sambil mengepak-ngepakkan sayapnya tanda lapar. Aku paham. Lagi-lagi kusiapkan adonan beras dan kusuapi sampai kenyang. Ketika dia kuterbangkan, dia kembali lagi. Kubiarkan dia hinggap di atas jendela depan. Ketika malam tiba, dia masih di sana. Akhirnya kubuatkan sangkar dari baskom yang sudah pecah dan kulapisi dengan kain. Pekerjaanku terulang kembali. Aku harus merawat burung kecil tersebut untuk bebeapa hari. Kisah akhirnya sama dengan peristiwa yang pertama. Burung kecil itu terbang menghilang tanpa pamit.
Pertanda apakah ini?
Apakah ini sebuah ujian atau latihan dari Tuhan supaya aku bisa merawat dan memelihara burung dengan baik. Mungkinkah Tuhan akan menjadikanku seorang pemelihara burung? pelestari burung? atau mungkin menjadi pedagang burung?
Entahlah. Yang pasti, aku sekarang sudah bisa memberi makan, mengetahui tingkah laku dan karakter burung dengan baik dan membuat mereka merasa nyaman di dekatku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar