alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 21 Februari 2015

GAGAL (Sebuah cerpen tahun 2010)

Di ruangannya yang berukuran 4 x 4 meter, Pak Suryadi duduk termenung. Di kursi kayu berpolitur coklat, badannya disandarkan agak ke belakang sehingga nampak setengah berbaring. Kakinya diselonjorkan lurus di bawah meja kerjanya. Wajahnya nampak penat. Nafasnya berkali-kali ditarik dalam-dalam. Pakaian Seragam Harian berwarna coklat muda nampak kusut, kancing baju paling atas terbuka, sepatunya dilepas tapi kaos kakinya masih melekat di kaki. Dilihatnya jam dinding berbingkai hijau tua di atas papan denah struktural sekolah. Waktu menunjukkan jam 14.05. Ia belum shalat dluhur, tapi kakinya terasa berat untuk mengambil air wudlu. Diambil kembali handphonenya di saku celana sebelah kanan. Dibuka kembali SMS-SMS yang masuk sejak tadi pagi. Puluhan SMS telah dibolak-balik. Isinya hampir sama.

“Mana tanggungjawab Bapak terhadap siswa. Tdk seharusnya seorang guru membiarkan siswanya gagal, stress, tak punya masa depan.”
“Senang ya, siswanya pada tidak lulus. Keterlaluan”
“Sombong, emangnya ini sekolah negeri, ngaca dong! ”

Semua SMS tersebut dari nomor tak dikenal.
Masih ada puluhan SMS yang lain tapi ia memilih membuka SMS dari Pak Andi.

“Sudah saya katakan dari awal, tak mungkin siswa kita bisa dilepas. Ya beginilah hasilnya. Siapa yang tanggungjawab? Bapak? Dengan cara apa?”

Pak Andi, Wakil Kepala Urusan Kurikulum sekaligus sebagai Ketua Pelaksana Ujian yang biasanya manut, menuruti semua perintah atasan, pagi tadi tidak terlihat sama sekali, entah ke mana, tanpa ijin dan hanya mengirim SMS seperti itu.

Sejak kemarin sore, saat sidang penegas untuk menentukkan kelulusan siswa kelas XII, Pak Andi yang biasanya periang, banyak usulan dan pendapatnya yang brilian, menjadi pendiam. Duduk di pojok kanan depan, dia hanya menikmati rokok kretek kesukaannya. Ketika Pak Suryadi meminta pendapatnya, dia hanya menggelengkan kepala. Suasana rapat tidak seperti biasanya. Keriangan dan keceriaan pak Andi tidak terlihat sama sekali. Bapak Ibu Guru yang lain memilih diam mengikuti suasana. Pak Suryadi yang berusaha memimpin rapat dengan santai dan tenang, akhirnya terhanyut dalam suasana yang sama. Rapat hanya membacakan hasil kelulusan kelas XII tanpa keputusan dan rencana tindak lanjut. Rapat ditutup tanpa usulan maupun komentar. Semuanya terdiam.

Pak Suryadi kembali melihat jam. Pukul 14.30. Waktu shalat dhuhur sudah hampir habis. Dengan berat diturunkan kakinya, dilepas kaos kakinya kemudian diambilnya sandal jepit di laci lemari bawah. Pada jam sesore ini, ia memilih untuk belum pulang ke rumah meskipun semua guru dan karyawan sudah pulang ke rumah masing-masing. Istrinya biasanya maklum kenapa ia pulang agak sore, biasanya karena masih ada tugas yang harus diselesaikan, menandatangani berkas, menghadiri rapat, atau menyelesaikan proposal bantuan. Pak Suryadi melangkahkan kakinya menuju mushola yang berada di dekat kantin. Dilihatnya Pak Narto sedang membuang sampah. Pak Narto adalah tukang kebun sekolah sekaligus pembuat minuman untuk guru dan karyawan. Dialah yang setia menemaninya ketika ia lembur di sekolah.

“Baru shalat Pak?” Tanya Pak Narto melihat Pak Suryadi keluar dari Mushola.
“Iya”, jawab Pak Suryadi lemah.
“Bapak mau saya buatkan kopi?”, Tanya Pak Narto karena biasanya Pak Suryadi minta dibuatkan kopi jika sedang lembur.
“Ya boleh” jawab Pak Suryadi.

Pak Suryadi kembali ke ruangannya. Badannya kembali setengah direbahkan di kursi. Dipandanginya foto-foto guru karyawan di papan struktur organisasi sekolah, satu per satu. Kemudian matanya beralih ke sebuah grafik di sebelah kanan papan struktur tersebut, grafik kelulusan. Grafik yang terbuat dari whiteboard dengan tulisan hitam dan gambar batang grafik berwarna biru dan merah menunjukkan tingkat kelulusan sekolahnya dari tahun 2004. Sekolah ini meluluskan siswanya pertama kali pada tahun 2004. Batang grafik biru menunjukkan jumlah peserta ujian, sedangkan batang grafik merah menunjukkan jumlah kelulusan. Dari tahun ke tahun batang grafik biru sama tingginya dengan batang grafik merah, artinya angka kelulusannya adalah 100 %. Grafik itu juga kelihatan rapi dan indah membentuk sebuah tanjakan dari kiri ke kanan menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah siswanya meningkat. Di bawahnya terdapat nama dan tanda tangan kepala sekolah, Sartono, S.Pd. Nama dan tanda tangan ini memang belum sempat dirubah walaupun sudah 9 bulan kepala sekolahnya ganti, toh tidak pernah dipertanyakan atau dipermasalahkan oleh pengawas diknas yang hampir sebulan sekali datang ke sekolah. Pak Sartono diangkat menjadi PNS di sekolah negeri di kabupaten kota sejak pertengahan bulan Agustus tahun lalu setelah 4 tahun menjadi Guru Bantu. Pak Suryadi yang dianggap paling senior di antara guru-guru yang lain diangkat menjadi kepala sekolah oleh Yayasan pemilik sekolah ini.

Pak Suryadi sedang memandangi angka-angka di bawah batang-batang grafik ketika pintu diketuk. Pak Suryadi sudah menduga Pak Narto yang mengetuk pintu.

“Masuk Pak Narto”, kata Pak Suryadi
“Ini kopinya pak !” kata Pak Narto sambil meletakkan kopi di meja.
“Terima kasih”, kata Pak Suryadi

Setelah Pak Narto keluar, kembali Pak Suryadi memandangi grafik tersebut. Tahun 2004, jumlah peserta ujian ada 32, berhasil lulus 32. Tahun 2005, jumlah pesertanya 47, berhasil lulus 47. Tahun 2006, jumlah pesertanya 52, berhasil lulus 52. Tahun 2007, jumlah pesertanya 73, berhasil lulus 73. Ia membayangkan, besok ketika dua batang grafik biru dan merah ditambahkan di belakang batang grafik terakhir, grafik ini tidak akan indah lagi untuk dipandang. Bahkan sekarang, grafik ini sudah tidak indah lagi karena hari ini, tepatnya pukul 09.00 tadi pagi kelulusan telah diumumkan.

Tadi pagi, tepat pukul 09.00, 81 wali dan orang tua siswa berkumpul di sebuah aula yang terbuat dari dua ruang kelas yang dinding penyekatnya dilepas untuk dijadikan aula. Pengumuman kelulusan di dalam amplop tertutup siap dibagikan oleh masing-masing wali kelas, Pak Yono sebagai wali kelas Kelas XII Akuntansi dan Bu Tini sebagai Wali Kelas XII Penjualan setelah sebelumnya Pak Suryadi memberikan pidato pengantar. Walaupun pengumuman kelulusan diambil oleh orang tua atau wali tapi para siswa tetap ikut ke sekolah padahal mereka sudah dilarang ke sekolah sesuai himbauan dari kepala Dinas Pendidikan  dan Kebudayaan kabupaten agar setiap sekolah mengurangi konsentrasi massa pada hari pengumuman ujian. Sudah dapat diduga, setelah acara penyerahan hasil kelulusan selesai, para siswa menyerbu orang tua masing-masing. Mereka tidak sabar ingin mengetahui hasil ujian. Dari 81 siswa kelas XII, 48 diantaranya gagal. Mereka harus mengulang ujian tahun depan atau terpaksa mengikuti ujian Paket C. Mengetahui mereka gagal, mereka berteriak-teriak, bahkan ada yang mengamuk. Sebagian besar yang lain hanya menangis. Petugas dari kepolisian yang diundang oleh pihak sekolah untuk ikut mengamankan jalannya pengumuman kelulusan turut menenangkan siswa.

Di ruang guru, para guru hanya melongok lewat jendela kaca. Wajah-wajah mereka nampak lesu. Mereka tidak mau keluar karena tidak mau terlibat dalam kejadian-kejadian di luar. Mereka nampak terpukul dengan hasil ujian tahun ini. Di pojok belakang, Bu Tri menangis karena pada mata pelajaran matematika yang diampunya banyak siswa yang gagal. Bu endah yang duduk di sampingnya berusaha menenangkannya.

“Sudahlah bu, ini bukan salah Bu Tri. Kita hanya bisa menjalankan keputusan.” kata bu Endah dengan wajah yang nampak sedih.

“Ya, keputusan edan”, sahut Pak Rohadi dengan nada tinggi. Pak Rohadi adalah salah seorang guru yang tidak setuju dengan keputusan Pak Suryadi.

Tiga bulan yang lalu, di dalam rapat pembentukan Panitia Ujian Nasional, Pak Suryadi memutuskan untuk melaksanakan Ujian Nasional tahun ini secara bersih, tidak ada lagi bocoran kepada siswa. Keputusan ini menimbulkan pro kontra di antara para guru. Ada yang mendukungnya, ada yang menentangnya termasuk Pak Andi.

“Siswa sekolah swasta di daerah seperti sekolah kita ini rata-rata di bawah standar, tidak mungkin mereka mampu melampaui standar kelulusan dengan nilai minimal 4,25 dan rata-rata 5,25. Tahun lalu saja kita sudah keteteran menghadapi Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dengan standar 4,25 dan rata-rata 5.00. Lagi pula, beban siswa juga bertambah dengan mata pelajaran produktif dimasukkan ke Ujian Nasional. Walaupun kita sudah mengadakan les, try out dan segala tetek bengeknya, saya belum percaya siswa kita dapat lulus ujian. Lihat latar belakang mereka. Mereka masuk ke sini juga karena tidak dapat masuk di sekolah negeri atau sekolah swasta favorit. Kalau tidak kita bantu, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Toh saya yakin, setelah lulus sebagian besar tidak melanjutkan ke perguruan tinggi tapi cari kerja. Jadi nilai tidak menjadi tuntutan, yang penting lulus. Ini pertimbangan kemanusiaan. Lagi pula, hampir seluruh sekolah swasta di kabupaten ini membocorkan Ujian Nasional, kalau kita tidak ikut-ikutan, kita hancur sendirian. Seandainya tahun ini siswa kita banyak yang tidak lulus, saya yakin tahun depan tidak ada siswa SMP yang mau mendaftar di sekolah ini” kata Pak Andi dengan menggebu-gebu.

Pendapat Pak Andi banyak mendapat dukungan dari rekan-rekan guru. Pak Suryadi mencoba untuk memberikan alasan terhadap keputusannya.

“Memang benar pendapat Pak Andi, kita tidak boleh membiarkan siswa kita tidak lulus tapi cara yang kita tempuh jangan sampai merusak mental siswa. Kita dapat melihat, siswa kelas XII kita sekarang ini sama sekali tak punya semangat untuk belajar. Mereka semua sudah tahu kakak kelasnya dulu mendapat bocoran. Mereka yakin bahwa mereka juga akan mendapat bocoran. Mereka tidak lagi memikirkan ujian, apalagi punya semangat untuk belajar. Lalu, apakah kita akan biarkan hal semacam ini berlangsung terus. Mereka lulus tapi ilmu mereka nol. Lalu, tujuan pendidikan di sekolah kita apa? Hanya untuk memberikan ijazah? Kalau hanya itu urusannya, kenapa kita repot-repot mengajar mereka, mendidik mereka tiap hari. Kita dirikan saja sekolah yang menerima siswa kelas 1 lalu kita suruh mereka menunggu 3 tahun lagi untuk ikut ujian. Tidak usah berangkat sekolah, tidak usah belajar yang penting bayar SPP dan dijamin lulus ujian. Kita juga tidak perlu ruang kelas, tidak perlu membeli peralatan, tidak perlu capek-capek mengajar di depan kelas dan tiap bulan kita gajian. Apa itu yang diharapkan? Pembelajaran tanpa ruh, tanpa nilai, tanpa perjuangan, tanpa moral? Akan kita cekoki seperti itukah anak-anak kita? Benar….selama ini siswa kita tidak ada yang pernah mengulang ujian. Hasilnya bagus. Tapi lihatlah siswa kelas 1 dan 2. mereka tak punya ruh, tak punya semangat untuk belajar. Apakkah akan kita biarkan hal itu terus berlanjut?. Kita memang sekolah kecil. Siswa kita baru sedikit. Kita hidup tidak punya pengaruh, kita mati juga tak ada yang peduli. Tapi minimal kita punya nilai, nilai moral”, kata Pak Suryadi penuh percaya diri.

Itulah alasan Pak Suryadi menetapkan bahwa Ujian tahun ini tidak ada bantuan kepada siswa. Kebiasaan yang telah dilakukan sejak empat tahun yang lalu, tahun ini tidak akan diulangi lagi.

Pak Suryadi teringat saat baru dua tahun mengajar di sekolah ini. Untuk menghadapi ujian, selain dibentuk Panitia Ujian, dibentuk pula Tim Sukses. Ia diangkat menjadi anggota Tim Sukses Ujian Nasional untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tugas Tim Sukses adalah menyukseskan pelaksanaan ujian nasional, yaitu siswa lulus. Tim Sukses terdiri dari sembilan orang guru dan tiga orang karyawan. Pada hari pelaksanaan Ujian Nasional, Tim ini berada di ruang khusus. Pada pukul 08.00, ketika Ujian Nasional dimulai, sisa soal yang ada di ruang sekretariat, diambil dan diserahkan kepada Tim Sukses. Dua orang Tim Sukses, yaitu guru yang pelajarannya sedang diujikan pada hari itu bertugas untuk mengerjakan soal tersebut. Anggota tim yang lain menulis hasil pekerjaan dan membuat kunci jawaban. Pada pukul 10.00, ketika bel berbunyi tanda waktu ujian habis, Lembar jawab peserta ujian yang telah dimasukkan ke dalam amplop dan dikumpulkan di ruang sekretariat dibongkar lagi di ruang khusus. Saat inilah yang paling menegangkan. Tim Sukses hanya mempunyai waktu satu jam untuk menyelesaikan tugasnya. Lembar jawab ini harus sudah diserahkan ke Panitia Sub Rayon pada pukul 11.00. Jawaban yang salah dihapus kemudian diperbaiki sesuai kunci jawaban. Untuk Bahasa Indonesia, jawaban yang perlu diperbaiki cukup 23 dari 60 soal, Matematika 12 dari 30 soal, Bahasa Inggris 19 dari 50 soal karena standar kelulusan adalah 3.75. Hanya untuk mencapai nilai lulus.

“Tidak wajar kalau nilainya terlalu tinggi. Ini kan sekolah swasta”, kata Pak Sartono.

 Aneh memang, nilai moral dan etika masih dipertimbangkan saat melakukan tindakan di luar etika dan moral. Tentu saja, siswa tidak tahu bahwa mereka telah dibantu mengerjakan ujian.

Pak Suryadi jadi teringat pada berita di koran satu setengah bulan yang lalu, ketika beberapa orang guru yang sedang membetulkan lembar jawab ujian siswa digerebek oleh Pasukan Detasemen Khusus 88 Antiteror, satuan elit polisi yang bertugas mengejar dan menangkap teroris. Ia tidak bisa membayangkan seandainya kesialan itu terjadi pada dirinya empat tahun yang lalu.

Pada tahun berikutnya, teknik yang digunakan masih hampir sama seperti tahun sebelumnya. Hanya saja standar kelulusan dinaikkan menjadi 4.00 dan rata-rata 4.50. Nampaknya tahun ini, pemerintah terutama panitia rayon sudah mulai curiga adanya beberapa kecurangan. Untuk itu, dibuat aturan baru tentang waktu pengumpulan. Pengumpulan soal dari sekolah ke Panitia Sub Rayon dipercepat maksimal pukul 10.30. Untuk itu, Tim Sukses yang disiapkan pada tahun ini lebih banyak karena harus bekerja lebih cepat. Hasilnya sama dengan tahun sebelumnya. Tak ada siswa yang mengulang ujian.

Satu tahun kemudian, muncul aturan baru tentang Ujian Nasional. Sisa soal harus disimpan dalam amplop tertutup dan tidak boleh dipegang oleh Panitia Sekolah, Soal diantar ke sekolah pada hari pelaksanaan oleh kurir silang dan setelah selesai ujian, amplop tempat lembar jawab dilem di Ruang Ujian dan dibawa langsung oleh kurir silang tanpa melalui Panitia Sekolah. Standar Kelulusan juga naik menjadi 4.00 untuk nilai minimal dan rata-rata minimal 5.00. Dengan adanya aturan yang ketat ini, Tim Sukses mencari alternative lain untuk membantu siswa. Setelah melalui beberapa kali pembahasan akhirnya diputuskan untuk membantu siswa secara langsung. Sebelum pelaksanaan, siswa dikumpulkan untuk membahas rencana ini. Saat itulah siswa menyadari sekaligus heran, was-was, namun agak tenang memikirkan kelulusan. Sebagian besar menyambut dengan semangat rencana tersebut kecuali beberapa siswa yang “agak berpikir” (istilah untuk siswa yang rajin belajar). Skenario disusun begitu rapi. Sepuluh menit setelah bel tanda mulai mengerjakan berbunyi, salah seorang siswa yang telah ditentukan bertugas membawa beberapa lembar soal ujian ke WC, tempat yang paling aman untuk melakukan kegiatan yang paling pribadi sekalipun. Salah seorang Panitia mengambilnya di WC di tempat yang telah ditentukan. Di ruang khusus, Tim Sukses telah siap bekerja. Jawaban ditulis di kertas sobekan kecil-kecil. Jawaban ini menggunakan tulisan tangan, tidak menggunakan komputer atau difotocopi untuk meminimalisir resiko apabila pengawas ujian berhasil menyita bocoran. Dengan tulisan tangan, Panitia Sekolah beralasan bahwa contekan ini adalah tulisan siswa sendiri. Kunci jawaban dibuat rangkap 8 untuk setiap ruang agar merata. Tepat pada pukul 09.00, kepala sekolah mengadakan inspeksi di setiap ruangan, meneliti penulisan nomor peserta dan identitas siswa di lembar jawab sambil memberikan jawaban kepada siswa. Sampai hari terakhir, skenario ini berhasil dengan gemilang. Pada hari terakhir, siswa dikumpulkan untuk dibriefing agar tidak membocorkan kejadian-kejadian selama Ujian kepada siapapun.

“Ini demi kalian dan demi nama baik kalian sendiri” tegas kepala sekolah saat itu.

Berganti tahun, standar kelulusan pun turut berganti. Tahun berikutnya, nilai minimum ditetapkan 4.25 dengan rata-rata 5.00. Aturan Ujian pun semakin diperketat. Pada tahun ini, terdapat dua jenis soal Ujian Nasional, soal genap dan soal ganjil. Peserta Ujian yang bernomor genap mengerjakan soal ujian genap dan sebaliknya. Selain kurir silang, dibentuk Tim Pemantau Independen. Tim ini diambil dari unsur pemerintah dan perguruan tinggi. Ruang Ujian juga harus steril. Siapapun tidak diperbolehkan masuk Ruang Ujian selama ujian berlangsung selain peserta dan pengawas. Skenariopun ditinjau ulang, kepala sekolah tidak mungkin lagi melakukan inspeksi. Tim Sukses pun semakin berat karena harus mengerjakan 2 soal dalam waktu yang cepat. Ada beberapa strategi yang siap dijalankan oleh Tim Sukses. Pengambilan soal dari Ruang Ujian tidak mungkin dilakukan hanya oleh satu orang karena harus ada yang membawa soal genap dan ganjil dan tidak boleh dalam satu ruang, terlalu riskan. Untuk memasukkan jawaban, ada beberapa alternative. Salah satunya yang ekstrim adalah mengebor tembok Ruang Ujian. Lubang pun dipaskan dengan posisi duduk siswa yang telah ditentukan untuk menyebarkan jawaban. Tapi hal ini juga menemui kendala karena posisi ruang yang tidak memungkinkan. Untuk itu, ada dua cara yang ditempuh. Dua ruang Ujian yang berada di belakang dibor. Dua ruang lainnya yang berada di depan, siswa harus keluar untuk mengambil jawaban yang telah disiapkan di WC.

Pada pukul 08.15, Dwi Lestari dari Ruang 01 membawa keluar soal ganjil dan Pujiawati dari ruang 02 membawa keluar soal genap ke WC dan disisipkan di belakang tempat sabun. Pengawas Ujian mengikuti sampai di depan WC tapi mereka tidak masuk ke WC. Pak Narto ditugasi mengambil soal tersebut dan dibawa ke ruang khusus. Di ruang khusus, Tim Sukses telah siap bekerja. Pekerjaan harus sudah selesai pada jam 09.00. Pada jam 09.15, Sobari dari Ruang 01, Susi Indahsari dari Ruang 02 sudah keluar ke WC. Untuk dua ruang belakang, urusan Pak Narto. Sambil membersih sampah atau rumput di dekat tempat parkir sepeda, ia memasukkan jawaban dari lubang yang disediakan. Tiga hari Ujian Nasional sukses.

Empat kali ujian, empat kali itu juga Pak Suryadi menjadi Tim Sukses. Ada perasaan bahwa tindakan itu tidak sesuai dengan bisikan hati kecilnya. Masih terngiang kata-kata salah seorang dosennya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan di kota Yogyakarta.

“Ruh seorang guru ada pada sikap dan moralnya untuk siap digugu dan ditiru oleh peserta didiknya”.

Namun pada kenyataannya, sudah empat kali, ia tak bisa menolak perintah atasan. Ia harus mempertimbangkan kelangsungan pencahariannya. Ia tak punya keahlian yang lain. Keahlian satu-satunya yang dimiliki dan telah dicita-citakan sejak kecil adalah guru, sesuai dengan title “Sarjana Pendidikan” yang tertulis di ijasah S1-nya. Sebenarnya sudah berkali-kali ia mencoba bicara dengan Pak Sartono tapi jawabannya selalu sama.

“Ini Sekolah Kejuruan. Siswa kita dididik untuk ahli di bidang Akuntansi dan Penjualan, bukan ahli Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Kalau mereka sudah kompeten di bidangnya, kenapa tidak boleh lulus?” kata Pak Sartono saat itu.

Ketika Pak Suryadi diangkat menjadi kepala sekolah, ia berusaha memperbaiki kebijakan yang telah dijalankan bertahun-tahun itu. Namun ia juga tidak gegabah, ia harus mempersiapkan siswa-siswi kelas XII dengan matang. Kegiatan les dan tambahan pelajaran untuk kelas XII diperbanyak. Try out diadakan beberapa kali untuk menguji kemampuan. Melihat kegiatan belajar, les, tambahan pelajaran dan try out kelas XII, Pak Suryadi optimis dan bertekad untuk melepas siswa dalam menghadapi Ujian Nasional tahun ini. Tekad ini sudah disampaikan jauh-jauh hari baik kepada guru maupun kepada siswa agar persiapan mereka serius. Namun nampaknya banyak guru yang belum percaya bahwa kebijakan ini benar-benar akan diterapkan.

Pada saat Rapat Pembentukan Panitia Ujian Nasional, Pak Suryadi menyatakan :
“Tahun ini tidak ada Tim Sukses”

Di tengah-tengah dilema antara kesuksesan dan kegagalan siswa, beberapa guru memilih diam. Pihak yang paling was-was adalah guru tiga bidang studi materi Ujian Nasional. Mereka merasa yang paling bertanggungjawab atas kesuksesan dan kegagalan siswa. Namun pertanggungjawaban mereka agak ringan ketika Pak Suryadi mengatakan :
“Saya yang akan bertanggung jawab”.

Harapan dan kenyataan kadang seperti langit dan bumi.


Pukul 17.00. Pak Suryadi masih duduk tertunduk di atas kursi tuanya. Kopinya dingin belum tersentuh. Tak terasa air mata Pak Suryadi meleleh membasahi pipinya. Kebimbangan dan keraguan merasuk ke dalam hatinya. Kepalanya seakan ditusuk-tusuk paku untuk berpikir ulang tentang kebijakan yang telah dia putuskan. Kebenaran yang diyakininya selama ini seakan menjadi samar-samar. Melihat kejadian tadi pagi, benar-benar membuat dia bimbang akan kata-kata para pujangga bahwa kebenaran itu pahit. Saat ini, kebenaran yang diyakininya adalah tidak hanya pahit seperti buah mahoni atau batang pohon brotowali tapi pahit seperti gas beracun di ruang eksekusi yang menyesakkan paru-paru, jantung dan otaknya. Sejarah tidak bisa diulang tapi kebenarannya bisa dipertimbangkan kembali. Sesal tiada guna. Kenyataan harus dihadapi, siswa-siswanya telah gagal menghadapi Ujian Nasional. Tapi Keberaniannya menghadapi kenyataan kini hanya di angan-angan. Keberanian menghadapi isak tangis siswa-siswanya ternyata hanya bayangan. Keberanian menghadapi ketidakpercayaan dari rekan-rekannya kini telah melayang. Akankah ia berani menghadapi vonis Yayasan yang menyatakan bahwa ia gagal dan harus mundur dari jabatannya, bahkan dari profesinya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar