Cahaya matahari yang memantul dari kaca jendela buram masuk ke sela-sela
pelupuk mataku. Riuh pekat terdengar samar-samar dan semakin melengang. Sisa
sedu sedan yang tertahan masih terasa di tenggorokan. Terasa tangan lembut
membelai rambutku yang panjang sebahu. Pelan-pelan kubuka kelopak yang terasa
lengket menahan air mata. Nampak bayangan senyum dan tatapan lembut ibu Maryatun,
wali kelasku yang sesaat mengalirkan kesejukan di kerongkonganku. Tubuhku masih
lemas. Aku berusaha bangkit namun tenagaku seakan terkuras di pangkuan ibu
Maryatun.
“Kamu sudah sadar, Arini”, kata-kata lembut mengalir pelan dari bibir ibu
Maryatun.
“Bu…..” kataku lirih.
Hanya itu kata-kataku yang keluar saat ibu Maryatun berusaha mengangkatku
ke pelukannya. Pundaknya yang lembut sekarang menumpu kepalaku yang masih
terasa berat.
“Sabar ya Rin..” kembali kata-kata ibu Maryatun terucap.
Kembali kuingat-ingat beberapa saat lalu, ketika kubaca surat pengumuman hasil ujian yang menyatakan aku tidak lulus.
Tiba-tiba aku tak kuat
menahan lututku. Otot dan tulangku seakan luruh dan saat itu bayangan gelap
tiba-tiba menerpaku.
Kini, terdengar langkah kering ketika kulihat pak Suko masuk
membawakan segelas teh. Tubuhku masih terasa nyaman bersandar di pelukan ibu
Maryatun.
“Minum dulu, Rin”, sela ibu
Maryatun.
Kulihat ibu Maryatun menyodorkan segelas teh hangat buatan Pak Suko. Jarum
jam di diding kelasku menunjukkan jam 10 lebih 5 menit. Masih pagi tapi suasana
di sekolah sudah lengang. Hanya bangku-bangku kosong dan kursi yang masih
terbujur kaku tempat aku berbaring. Para siswa sudah pulang.
Kucoba berdiri untuk melangkah. Ibu Maryatun membantu mangangkat tubuhku.
Kulangkahkan kaki bimbang. Kuberhenti di pintu. Mataku menatap lapangan. Di atas rumputnya nampak kertas
berserakan. Rumput yang
biasanya berpendar bias cahaya matahari sejengkal tombak tertiup sepoi-sepoi
angin, pagi ini nampak muram. Masih
ada bayangan barisan abu-abu
putih berbanjar menghadap tiang bendera. Masih terdengar lagu
“Syukur” ciptaan H. Mutahar mendayu-dayu Masih ada desir kebanggaan menatap sang saka dengan kepala
tegap, tangan menghormat dan menyanyikan Indonesia Raya.
Dan hari ini, aku sudah habis. Gairah, semangat dan rasa banggaku lepas
terdampar di atas rerumputan kusam dan tiang bendera kosong. Nampaknya Pak Suko lupa mengibarkan sang merah putih
tadi pagi. Hanya getir di dadaku yang mendesak-desak menohok ulu hati
menyisakan rasa ngilu sampai ke hidung dan mataku. Masih terasa sisa air keluar
dari hidung dan mataku.
Aku
masih terpaku di pintu ketika tiba-tiba hamparan hijau di depanku menjadi gelap. Kutatap kembali,
semakin gelap. Langit juga berubah menjadi gelap. Angin semilir
berhenti, lengang dan senyap. Matahari seakan terbenam dengan cepat. Merah ufuk
barat mulai menghitam dan semakin hitam. Gelap.
#
Pelan-pelan
mataku mulai kubuka. Aku berada di sebuah ruang yang seluruhnya berwarna putih.
“Hahaha.....
aku benar-benar di sini,” tawaku. Aku begitu senang dengan warna putih, warna
kesukaanku. Warna yang sangat intim dengan cita-citaku, dokter. Tak sia-sia aku
menjadi siswa teladan. Tak sia-sia aku belajar keras. Kini cita-citaku telah
tercapai.
“Suster
tolong, siapkan suntikan,” kataku kepada seorang perawat yang ada disampingku.
“Maaf
mba, mba-nya tidak perlu disuntik. Cukup minum obat,” jawab perawat tersebut.
“Aku
kan dokter. Kenapa suster tidak menuruti perintahku,” kataku kesal. Aku bangkit
dari tidurku.
“Maaf
mba, mba masih sakit, harus istirahat dan tidak boleh banyak bergerak,” kata perawat
itu sambil mencoba membaringkanku lagi.
“Aku
tidak sakit. Aku yang harus memeriksa orang sakit, hahaha” kataku sambil
tertawa karena aku begitu bangga ada di ruang ini dan ada perawat yang siap
mendampingiku.
“Mba
minum obat ini dulu ya...” kata perawat itu sambil menyodorkan beberapa butir
obat. Di kemasannya tertulis risperidon, klorpromazin dan
haloperidol.
“Ayo
mba diminum” katanya. Tangan kirinya memegang segelas air putih.
“Hahaha....
aku tidak sakit, kamu itu aneh. Kamu tak pantas jadi
suster. Sana pergi saja kamu. Hahaha,” kataku mengusir perawat itu. Dia segera
meninggalkanku sendiri.
#
Aku
kini sendiri. Bergelut dengan bayangan-bayangan aneh yang mengajakku
tertawa dan mengajakku menangis di dalam sunyi, sunyi, semakin sunyi dan
tak terkendali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar