alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 21 Februari 2015

LURUH (Sebuah Cerpen tahun 2011)

Cahaya matahari yang memantul dari kaca jendela buram masuk ke sela-sela pelupuk mataku. Riuh pekat terdengar samar-samar dan semakin melengang. Sisa sedu sedan yang tertahan masih terasa di tenggorokan. Terasa tangan lembut membelai rambutku yang panjang sebahu. Pelan-pelan kubuka kelopak yang terasa lengket menahan air mata. Nampak bayangan senyum dan tatapan lembut ibu Maryatun, wali kelasku yang sesaat mengalirkan kesejukan di kerongkonganku. Tubuhku masih lemas. Aku berusaha bangkit namun tenagaku seakan terkuras di pangkuan ibu Maryatun.
“Kamu sudah sadar, Arini”, kata-kata lembut mengalir pelan dari bibir ibu Maryatun.
“Bu…..” kataku lirih.
Hanya itu kata-kataku yang keluar saat ibu Maryatun berusaha mengangkatku ke pelukannya. Pundaknya yang lembut sekarang menumpu kepalaku yang masih terasa berat.
“Sabar ya Rin..” kembali kata-kata ibu Maryatun terucap.
Kembali kuingat-ingat beberapa saat lalu, ketika kubaca surat pengumuman hasil ujian yang menyatakan aku tidak lulus. Tiba-tiba aku tak kuat menahan lututku. Otot dan tulangku seakan luruh dan saat itu bayangan gelap tiba-tiba menerpaku.
Kini, terdengar langkah kering ketika kulihat pak Suko masuk membawakan segelas teh. Tubuhku masih terasa nyaman bersandar di pelukan ibu Maryatun.
“Minum dulu, Rin”, sela ibu  Maryatun.
Kulihat ibu Maryatun menyodorkan segelas teh hangat buatan Pak Suko. Jarum jam di diding kelasku menunjukkan jam 10 lebih 5 menit. Masih pagi tapi suasana di sekolah sudah lengang. Hanya bangku-bangku kosong dan kursi yang masih terbujur kaku tempat aku berbaring. Para siswa sudah pulang.
Kucoba berdiri untuk melangkah. Ibu Maryatun membantu mangangkat tubuhku. Kulangkahkan kaki bimbang. Kuberhenti di pintu. Mataku menatap lapangan. Di atas rumputnya nampak kertas berserakan. Rumput yang biasanya berpendar bias cahaya matahari sejengkal tombak tertiup sepoi-sepoi angin, pagi ini nampak muram. Masih ada bayangan barisan abu-abu putih berbanjar menghadap tiang bendera. Masih terdengar lagu “Syukur” ciptaan H. Mutahar mendayu-dayu  Masih ada desir kebanggaan menatap sang saka dengan kepala tegap, tangan menghormat dan menyanyikan Indonesia Raya.
Dan hari ini, aku sudah habis. Gairah, semangat dan rasa banggaku lepas terdampar di atas rerumputan kusam dan tiang bendera kosong. Nampaknya  Pak Suko lupa mengibarkan sang merah putih tadi pagi. Hanya getir di dadaku yang mendesak-desak menohok ulu hati menyisakan rasa ngilu sampai ke hidung dan mataku. Masih terasa sisa air keluar dari hidung dan mataku.
Aku masih terpaku di pintu ketika tiba-tiba hamparan hijau di depanku menjadi gelap. Kutatap kembali, semakin gelap. Langit juga berubah menjadi gelap. Angin semilir berhenti, lengang dan senyap. Matahari seakan terbenam dengan cepat. Merah ufuk barat mulai menghitam dan semakin hitam. Gelap.
#
Pelan-pelan mataku mulai kubuka. Aku berada di sebuah ruang yang seluruhnya berwarna putih.
“Hahaha..... aku benar-benar di sini,” tawaku. Aku begitu senang dengan warna putih, warna kesukaanku. Warna yang sangat intim dengan cita-citaku, dokter. Tak sia-sia aku menjadi siswa teladan. Tak sia-sia aku belajar keras. Kini cita-citaku telah tercapai.
“Suster tolong, siapkan suntikan,” kataku kepada seorang perawat yang ada disampingku.
“Maaf mba, mba-nya tidak perlu disuntik. Cukup minum obat,” jawab perawat tersebut.
“Aku kan dokter. Kenapa suster tidak menuruti perintahku,” kataku kesal. Aku bangkit dari tidurku.
“Maaf mba, mba masih sakit, harus istirahat dan tidak boleh banyak bergerak,” kata perawat itu sambil mencoba membaringkanku lagi.
“Aku tidak sakit. Aku yang harus memeriksa orang sakit, hahaha” kataku sambil tertawa karena aku begitu bangga ada di ruang ini dan ada perawat yang siap mendampingiku.
“Mba minum obat ini dulu ya...” kata perawat itu sambil menyodorkan beberapa butir obat. Di kemasannya tertulis risperidon, klorpromazin dan haloperidol.
“Ayo mba diminum” katanya. Tangan kirinya memegang segelas air putih.
“Hahaha.... aku tidak sakit, kamu itu aneh. Kamu tak pantas jadi suster. Sana pergi saja kamu. Hahaha,” kataku mengusir perawat itu. Dia segera meninggalkanku sendiri.
#

Aku kini sendiri. Bergelut dengan bayangan-bayangan aneh yang mengajakku tertawa dan mengajakku menangis di dalam sunyi, sunyi, semakin sunyi dan tak terkendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar