Matahari
memperlihatkan wajah garangnya. Tatapannya mengeringkan semua tanaman. Angin yang baru beranjak bangun, terbirit-birit menyelinap
ke sudut-sudut gelap, bersembunyi dari sorot mata sang penguasa siang. Pohon randu menyeringai menahan pedih. Kulitnya
pecah-pecah. Daunnya telah lama menyerah dan gugur
ke bumi. Di halaman
depan, aglonema hanya menyisakan selembar daunnya yang menguning.
Hanya kaktus dan adenium yang masih gagah menatap matahari. Cadangan
air dan makanan yang disimpan pada saat musim hujan masih banyak. Mereka adalah tanaman padang pasir serupa unta. Akhir
September memang puncaknya musim kemarau.
Sekolah sudah usai sejak pukul 13.30 WIB. Para siswa dan para guru telah pulang. Mas Tri
masih sibuk memasukkan data ke dalam komputer. Mas Tri adalah salah satu staf
Tata Usaha di sekolah kami. Nama lengkapnya adalah Tri Raharjo Saputro, tapi
aku biasa memanggilnya Mas Tri. Wajahnya yang hitam didukung oleh tulang rahang
dan dagu yang menonjol semakin legam terterpa angin
kering musim kemarau. Tugasnya mengolah data sekolah di komputer.
Sementara itu, Mas Nung
masih sibuk mengambil gelas-gelas teh yang sudah kosong. Setelah para guru
pulang, giliran Mas Nung lah yang mencuci dan merapikan gelas-gelas tersebut. Mas
Nung adalah nama panggilan. Nama sebenarnya adalah Nurcholis. Selain menyiapkan
minuman untuk para guru, tugasnya juga menyapu ruang kelas serta merawat
tanaman yang ada di halaman. Gayanya santai namun tak pernah berhenti sebelum
pekerjaannya selesai. Tipe seorang pekeja keras. Maka tidak aneh, rangkap
jabatan sering diembannya. Selain sebagai tukang kebun di sekolah, ia merangkap
sebagai tukang mengantar undangan tahlil, rapat RT, sunatan, pernikahan dan
berita kematian di lingkungan RTnya. Bola matanya
sering terlihat kemerahan karena
kebiasaannya begadang sampai pagi untuk memelototi jagoannya di Liga Inggris,
Manchester United.
“Jangan
diambil dulu Mas !” sergahku ketika Mas Nung mau mengambil gelas di mejaku.
Memang separuh gelas teh belum sempat kuminum sampai siang ini. Biasanya cuaca
sepanas ini, aku sudah nambah air putih dari dispenser di pojok ruang guru.
Namun, seharian ini, aku malas menghabiskan tehku. Pikiranku masih teringat
kejadian tadi pagi. Di salah satu kamar kecil teronggok kotoran tanpa disiram.
“Tidak sopan,
buang air besar tidak disiram” teriak Bu Tuti geram melihat seonggok benda beraroma
menyengat itu pertama kali.
Pengetahuan Bu Tuti terhadap kondisi kamar kecil memang terdepan karena kebiasaannya melampiaskan HIV (Hasrat Ingin Vivis) paling awal.
Ia sudah menahan HIV-nya sebelum sampai di sekolah karena ia kedinginan
sepanjang jalan. Rumahnya yang jauh dan harus tepat waktu sampai di sekolah
menjadi alasannya untuk rela menerobos udara pagi pantai selatan. Sesampainya
di sekolah, selalu tergopoh-gopoh pergi ke belakang. Tak terkalahkan.
Di sekolah
kami hanya tersedia dua kamar kecil tanpa ada kloset untuk buang air besar.
Kalau ada yang mau buang air besar, maka harus pergi ke toilet di kantor yayasan
yang terletak di seberang jalan. Di sana ada 3 toilet.
“Mas Tri,
sudah selesai kerjaannya?” tanyaku membuka percakapan.
“Belum
boss, sebentar lagi,” Mas Tri selalu memanggilku boss.
“Emang ada
apa boss?” tanya dia.
“Enggak,
kalau sudah selesai ikut aku ya !” kataku
“Kemana?
Bakso ya boss?” Tanya dia.
“bukan
bakso, tapi semen,”
jawabku
“Semen? Buat
apa boss?” Alisnya meringkuk penuh rasa ingin tahu.
“Ada deh,
pokoknya ikut !” tegasku.
Setelah Mas
Tri menyelesaikan pekerjaannya, aku memboncengkannya dengan Astrea Grand butut tahun
1995 menuju ke toko bangunan. Aku membeli beberapa bahan
bangunan.
“1 sack
semen, 1 buah kloset, 2 kardus keramik, 1 batang peralon 3 dim segera diantar”,
teriak pelayan toko bangunan kepada
supir yang sejak tadi terkantuk-kantuk di depan toko.
“Siapa yang
mengerjakan boss?” Tanya Mas Tri.
“Kita….
aku, kamu sama Mas Nung”.
“Emang
bisa?” Tanya Mas Tri ragu.
“Bisa”
kataku meyakinkan.
Sampai di
sekolah, kami berganti pakaian, lepas baju, lepas sepatu, tinggal celana dan
kaos singlet yang menempel di badan.
“Lha
pasirnya mana boss?” Tanya Mas Tri.
“Waduh iya,
lupa. Gimana nih? Telepon Mas Tono !” suruhku kepada Mas Tri untuk menelepon
Sartono, supir truk pasir yang biasa mengantar pasir di wilayah sekitar sekolah.
“Nggak
kebanyakan boss? Wong cuma pasang kloset, pasirnya kok satu truk?” sergah Mas
Tri.
“Ambil di
halaman kantor yayasan saja pak !” sela Mas Nung tiba-tiba.
Ide
cemerlang. Di halaman kantor yayasan, masih ada pasir sisa membangun pagar
keliling bulan kemarin. Aku
menyuruh Mas Nung meminjam gerobak, cangkul dan
sekop ke Pak RT.
Terik
matahari semakin menusuk-nusuk. Panasnya menembus ubun-ubun. Kepalaku kututupi topi. Pasir
bercampur batu kerokos kukeruk. Keras dan padat karena tiap hari dilewati mobil dan sepeda motor. Debu menyeruak ke mana-mana.
Hidung tanpa masker ini terasa kenyang menyedot kotoran-kotoran terbang ini. Keringat
mengucur deras membasahi kaos dan celana sampai ke dalam. Akhirnya kami
berhasil mendapatkan 2 onggok pasir.
Dengan
langkah terseok-seok, kami mendorong gerobak yang lajunya naik turun bak goyang
ngebor ala Inul Daratista karena ban luar sebelah kanan sudah pecah sehingga
muncul tonjolan besar seperti bisul dari ban dalam. Mas Nung di depan. Tugasnya adalah menarik, mengendalikan dan
mengarahkan kemana gerobak berjalan. Otot
lengannya kelihatan menonjol lebih besar. Sementara aku dan Mas Tri mendorong
dari belakang. Doronganku kusesuaikan dengan kembang kempis paru-paruku. Kadang
dorong, kadang lepas, dorong lagi,
bahkan kadang badanku yang sengaja kusandarkan ke gerobak. Jarak 50 meter dari
halaman kantor yayasan ke sekolah seakan menjadi beribu-ribu kilometer. Dua
kali pulang pergi dengan delapan kali berhenti kami lewati untuk mengangkut 2
gerobak pasir.
Setelah
semua bahan terkumpul, mulailah pekerjaan kami.
Pekerjaan
pertama adalah memasang peringatan di pintu kamar kecil: “DITUTUP UNTUK
SEMENTARA”. Tulisan ini sengaja dicetak computer dengan huruf Arial Black berukuran
70 dengan posisi Landscape kertas ukuran F4. Tulisan ini ditempel tepat di
tengah pintu kamar kecil.
Pekerjaan
kedua adalah membongkar lantai. Bau
amoniaknya menyeruak
ke mana-mana. Sisa air di sudut kamar mandi juga menyiprat sampai ke wajah. Kami
bertahan karena siapa tahu kasiatnya bisa menjadi obat penghalus wajah sehingga
tidak perlu repot-repot masker-an. Lebar
dan panjang kamar kecil itu dengan penuh presisi. Ukuran ini tidak boleh main-main karena
meleset sedikit, kami harus memotong keramik berkali-kali. Sementara Mas Nung
menyiapkan adonan semen, pasir dan air.
Pekerjaan
ketiga adalah istirahat dan minum. Karena bukan tukang profesional, harus ada distribusi air untuk mengganti keringat.
Inilah alasan kami sering berhenti dan minum agar tidak mengalami dehidrasi.
Minumnya seadanya, kadang kopi, kadang teh, kadang hanya air putih. Untuk beli kopi instan atau teh celup dan gula pasir,
kami arisan. Besarnya sesuai dengan kemampuan masing-masing dan ikhlas. Karena
harus ikhlas, hari berikutnya Mas Tri dan Mas Nung lebih memilih tidak membawa
dompet.
“Nggak
minta guru-guru yang lain supaya membantu Boss?” Tanya Mas Tri saat istirahat.
“Nggak lah,
nggak enak. nggak ada
bayarannya,”, lanjutku
Mas Tri dan
Mas Nung hanya mengangguk-anggukan kepala seakan memahami kondisi sekolah atau mungkin
memahami takdir mereka yang sedang apes. Tak bisa menolak perintah kepala
sekolah dan tak ada harapan mendapat uang tambahan.
Mulai hari itu,
setiap usai sekolah, kami berganti baju dan bersiap menjadi tukang bangunan.
Karena dana sekolah yang tipis kami
tidak berani memanggil tukang. Lagi pula, tak ada tukang yang mau bekerja hanya
setengah hari karena pada pagi hari masih ada
kegiatan pembelajaran. Selama 1 minggu kami menjadi
tukang. Referensi kami tentang pemasangan kloset dan keramik yang terbatas,
hanya bertanya ke sana ke mari.
Alur
terakhir dari pembuatan WC adalah septic tank. Untuk membuat septic tank dibutuhkan buis beton
dan tenaga ahli pemasangannya. Ini artinya, harus memanfaatkan salah satu wali
siswa yang menjadi pengusaha buis beton
untuk mengirim 6 buis beton
berdiameter 80 cm dan ketinggian 1 meter dengan catatan “hutang”, menunggu ada
tambahan dana di kas sekolah. Pembuatan septic tank
ini dilakukan pada hari minggu karena dibutuhkan waktu seharian dan tidak boleh
mengganggu kegiatan belajar siswa. Dua lubang septic tank digali: satu sebagai tempat penghancuran dan satunya
sebagai tempat peresapan. Seharian ini kami istirahat. Kami hanya menjadi
mandor sambil minum kopi karena pekerjaan sepenuhnya ditangani oleh dua orang
ahli WC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar