alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Rabu, 18 Februari 2015

TOILET (Sebuah Cerpen)

Matahari memperlihatkan wajah garangnya. Tatapannya mengeringkan semua tanaman. Angin yang baru beranjak bangun, terbirit-birit menyelinap ke sudut-sudut gelap, bersembunyi dari sorot mata sang penguasa siang. Pohon randu menyeringai menahan pedih. Kulitnya pecah-pecah. Daunnya telah lama menyerah dan gugur ke bumi. Di halaman depan, aglonema hanya menyisakan selembar daunnya yang menguning. Hanya kaktus dan adenium yang masih gagah menatap matahari. Cadangan air dan makanan yang disimpan pada saat musim hujan masih banyak. Mereka adalah tanaman padang pasir serupa unta. Akhir September memang puncaknya musim kemarau.

Sekolah sudah usai sejak pukul 13.30 WIB. Para siswa dan para guru telah pulang. Mas Tri masih sibuk memasukkan data ke dalam komputer. Mas Tri adalah salah satu staf Tata Usaha di sekolah kami. Nama lengkapnya adalah Tri Raharjo Saputro, tapi aku biasa memanggilnya Mas Tri. Wajahnya yang hitam didukung oleh tulang rahang dan dagu yang menonjol semakin legam terterpa angin kering musim kemarau. Tugasnya mengolah data sekolah di komputer.

Sementara itu, Mas Nung masih sibuk mengambil gelas-gelas teh yang sudah kosong. Setelah para guru pulang, giliran Mas Nung lah yang mencuci dan merapikan gelas-gelas tersebut. Mas Nung adalah nama panggilan. Nama sebenarnya adalah Nurcholis. Selain menyiapkan minuman untuk para guru, tugasnya juga menyapu ruang kelas serta merawat tanaman yang ada di halaman. Gayanya santai namun tak pernah berhenti sebelum pekerjaannya selesai. Tipe seorang pekeja keras. Maka tidak aneh, rangkap jabatan sering diembannya. Selain sebagai tukang kebun di sekolah, ia merangkap sebagai tukang mengantar undangan tahlil, rapat RT, sunatan, pernikahan dan berita kematian di lingkungan RTnya. Bola matanya sering terlihat kemerahan karena kebiasaannya begadang sampai pagi untuk memelototi jagoannya di Liga Inggris, Manchester United.

“Jangan diambil dulu Mas !” sergahku ketika Mas Nung mau mengambil gelas di mejaku. Memang separuh gelas teh belum sempat kuminum sampai siang ini. Biasanya cuaca sepanas ini, aku sudah nambah air putih dari dispenser di pojok ruang guru. Namun, seharian ini, aku malas menghabiskan tehku. Pikiranku masih teringat kejadian tadi pagi. Di salah satu kamar kecil teronggok kotoran tanpa disiram.

“Tidak sopan, buang air besar tidak disiram” teriak Bu Tuti geram melihat seonggok benda beraroma menyengat itu pertama kali. 

Pengetahuan Bu Tuti terhadap kondisi kamar kecil memang terdepan karena kebiasaannya melampiaskan HIV (Hasrat Ingin Vivis) paling awal. Ia sudah menahan HIV-nya sebelum sampai di sekolah karena ia kedinginan sepanjang jalan. Rumahnya yang jauh dan harus tepat waktu sampai di sekolah menjadi alasannya untuk rela menerobos udara pagi pantai selatan. Sesampainya di sekolah, selalu tergopoh-gopoh pergi ke belakang. Tak terkalahkan.

Di sekolah kami hanya tersedia dua kamar kecil tanpa ada kloset untuk buang air besar. Kalau ada yang mau buang air besar, maka harus pergi ke toilet di kantor yayasan yang terletak di seberang jalan. Di sana ada 3 toilet.

“Mas Tri, sudah selesai kerjaannya?” tanyaku membuka percakapan.
“Belum boss, sebentar lagi,” Mas Tri selalu memanggilku boss.
“Emang ada apa boss?” tanya dia.
“Enggak, kalau sudah selesai ikut aku ya !” kataku
“Kemana? Bakso ya boss?” Tanya dia.
“bukan bakso, tapi semen,” jawabku
“Semen? Buat apa boss?” Alisnya meringkuk penuh rasa ingin tahu.
“Ada deh, pokoknya ikut !” tegasku.

Setelah Mas Tri menyelesaikan pekerjaannya, aku memboncengkannya dengan Astrea Grand butut tahun 1995 menuju ke toko bangunan. Aku membeli beberapa bahan bangunan.

“1 sack semen, 1 buah kloset, 2 kardus keramik, 1 batang peralon 3 dim segera diantar”, teriak pelayan toko bangunan kepada supir yang sejak tadi terkantuk-kantuk di depan toko.

“Siapa yang mengerjakan boss?” Tanya Mas Tri.
“Kita…. aku, kamu sama Mas Nung”.
“Emang bisa?” Tanya Mas Tri ragu.
“Bisa” kataku meyakinkan.

Sampai di sekolah, kami berganti pakaian, lepas baju, lepas sepatu, tinggal celana dan kaos singlet yang menempel di badan.

“Lha pasirnya mana boss?” Tanya Mas Tri.
“Waduh iya, lupa. Gimana nih? Telepon Mas Tono !” suruhku kepada Mas Tri untuk menelepon Sartono, supir truk pasir yang biasa mengantar pasir di wilayah sekitar sekolah.
“Nggak kebanyakan boss? Wong cuma pasang kloset, pasirnya kok satu truk?” sergah Mas Tri.
“Ambil di halaman kantor yayasan saja pak !” sela Mas Nung tiba-tiba.

Ide cemerlang. Di halaman kantor yayasan, masih ada pasir sisa membangun pagar keliling bulan kemarin. Aku menyuruh Mas Nung meminjam gerobak, cangkul dan sekop ke Pak RT.

Terik matahari semakin menusuk-nusuk. Panasnya menembus ubun-ubun. Kepalaku kututupi topi. Pasir bercampur batu kerokos kukeruk. Keras dan padat karena tiap hari dilewati mobil dan sepeda motor. Debu menyeruak ke mana-mana. Hidung tanpa masker ini terasa kenyang menyedot kotoran-kotoran terbang ini. Keringat mengucur deras membasahi kaos dan celana sampai ke dalam. Akhirnya kami berhasil mendapatkan 2 onggok pasir.

Dengan langkah terseok-seok, kami mendorong gerobak yang lajunya naik turun bak goyang ngebor ala Inul Daratista karena ban luar sebelah kanan sudah pecah sehingga muncul tonjolan besar seperti bisul dari ban dalam. Mas Nung di depan. Tugasnya adalah menarik, mengendalikan dan mengarahkan kemana gerobak berjalan. Otot lengannya kelihatan menonjol lebih besar. Sementara aku dan Mas Tri mendorong dari belakang. Doronganku kusesuaikan dengan kembang kempis paru-paruku. Kadang dorong, kadang lepas, dorong lagi, bahkan kadang badanku yang sengaja kusandarkan ke gerobak. Jarak 50 meter dari halaman kantor yayasan ke sekolah seakan menjadi beribu-ribu kilometer. Dua kali pulang pergi dengan delapan kali berhenti kami lewati untuk mengangkut 2 gerobak pasir.

Setelah semua bahan terkumpul, mulailah pekerjaan kami.

Pekerjaan pertama adalah memasang peringatan di pintu kamar kecil: “DITUTUP UNTUK SEMENTARA”. Tulisan ini sengaja dicetak computer dengan huruf Arial Black berukuran 70 dengan posisi Landscape kertas ukuran F4. Tulisan ini ditempel tepat di tengah pintu kamar kecil.

Pekerjaan kedua adalah membongkar lantai. Bau amoniaknya menyeruak ke mana-mana. Sisa air di sudut kamar mandi juga menyiprat sampai ke wajah. Kami bertahan karena siapa tahu kasiatnya bisa menjadi obat penghalus wajah sehingga tidak perlu repot-repot masker-an. Lebar dan panjang kamar kecil itu dengan penuh presisi. Ukuran ini tidak boleh main-main karena meleset sedikit, kami harus memotong keramik berkali-kali. Sementara Mas Nung menyiapkan adonan semen, pasir dan air.

Pekerjaan ketiga adalah istirahat dan minum. Karena bukan tukang profesional, harus ada distribusi air untuk mengganti keringat. Inilah alasan kami sering berhenti dan minum agar tidak mengalami dehidrasi. Minumnya seadanya, kadang kopi, kadang teh, kadang hanya air putih. Untuk beli kopi instan atau teh celup dan gula pasir, kami arisan. Besarnya sesuai dengan kemampuan masing-masing dan ikhlas. Karena harus ikhlas, hari berikutnya Mas Tri dan Mas Nung lebih memilih tidak membawa dompet.

“Nggak minta guru-guru yang lain supaya membantu Boss?” Tanya Mas Tri saat istirahat.
“Nggak lah, nggak enak. nggak ada bayarannya,”, lanjutku

Mas Tri dan Mas Nung hanya mengangguk-anggukan kepala seakan memahami kondisi sekolah atau mungkin memahami takdir mereka yang sedang apes. Tak bisa menolak perintah kepala sekolah dan tak ada harapan mendapat uang tambahan.

Mulai hari itu, setiap usai sekolah, kami berganti baju dan bersiap menjadi tukang bangunan. Karena dana sekolah yang tipis kami tidak berani memanggil tukang. Lagi pula, tak ada tukang yang mau bekerja hanya setengah hari karena pada pagi hari masih ada kegiatan pembelajaran. Selama 1 minggu kami menjadi tukang. Referensi kami tentang pemasangan kloset dan keramik yang terbatas, hanya bertanya ke sana ke mari.

Alur terakhir dari pembuatan WC adalah septic tank. Untuk membuat septic tank dibutuhkan buis beton dan tenaga ahli pemasangannya. Ini artinya, harus memanfaatkan salah satu wali siswa yang menjadi pengusaha buis beton untuk mengirim 6 buis beton berdiameter 80 cm dan ketinggian 1 meter dengan catatan “hutang, menunggu ada tambahan dana di kas sekolah. Pembuatan septic tank ini dilakukan pada hari minggu karena dibutuhkan waktu seharian dan tidak boleh mengganggu kegiatan belajar siswa. Dua lubang septic tank digali: satu sebagai tempat penghancuran dan satunya sebagai tempat peresapan. Seharian ini kami istirahat. Kami hanya menjadi mandor sambil minum kopi karena pekerjaan sepenuhnya ditangani oleh dua orang ahli WC.

Tepat pada hari Senin, setelah upacara bendera, tanda “DITUTUP UNTUK SEMENTARA” dilepas. Kamar kecil lengkap dengan klosetnya sudah jadi. Tak ada peresmian, tak ada gunting pita karena keburu dipakai. Lagi-lagi, Bu Tuti adalah pemakai pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar