Pak Taufiq adalah tetanggaku dan juga rekan guru di sekolah. Seminggu yang lalu aku sudah mendapat undangan pernikahan putra pertamanya sekaligus tasyakuran pernikahan putri keduanya yang telah menikah lebih dahulu. Sebagai tetangga yang baik, aku berusaha ikut meramaikan dan menyukseskan acara pernikahan tersebut. Aku diminta ikut menjadi panitia.
Tadi malam, aku sudah menerima seragam batik khas Batang. Batik berwarna gelap (hanya ada warna hitam, coklat tua dan sedikit putih) ini tak sempat aku cuci karena tak mungkin kering sampai besok pagi. Aroma malam-nya masih menyengat.
Pada hari ini tanggal 21 Februari 2015 adalah hari H acara pernikahan dan tepat pukul 11.00 WIB acara dimulai. Oleh karena itu, aku harus minta ijin ke kepala sekolah karena pada pukul 10.00 aku harus sudah meninggalkan sekolah dan memberikan tugas kepada siswa-siswa yang aku ajar.
Aku bersama Pak Sutisna bertugas menerima "tamu tersesat". Maksudnya begini: karena acara mantenan ini membutuhkan tempat yang luas, tarub/ tobong didirikan dengan menutup jalan di depan rumah Pak Taufiq. Biasanya, jalan menuju rumah Pak Taufiq bisa ditempuh dari barat dan timur. tapi karena jalan ditutup maka pintu masuk ke tempat acara dibuat di barat. Di pintu masuk/barat itulah yang terdapat among tamu/ penerima tamu beserta buku tamu, tempat kado dan kotak amplop. Sedangkan di sebelah timur hanya ada perlengkapan makan, dan berbagai perkakas lainnya serta hanya ada "jalan tikus" untuk para seksi konsumsi. Namun demikian, karena rumah Pak Taufiq biasanya bisa dicapai melalui 2 jalan tersebut, maka dipastikan banyak tamu yang tersesat melalui jalan timur /belakang. Tugasku lah untuk mengarahkan atau mengantar para tamu yang tersesat ke jalan yang benar.
Benar saja. Ketika acara dimulai, banyak tamu yang melalui jalan sebelah timur. Dengan sopan aku menyapa mereka:
"Bapak/ Ibu, meniko mios wingking. Menawi Bapak/ Ibu ngersa'aken mios ngajeng, Bapak/ Ibu saged muter." (silahkan translete di google ya..)
Banyak tamu yang memilih muter karena mereka berkepentingan untuk lebih taat aturan atau lebih formal. Akan tetapi, banyak juga yang memilih tetap lewat pintu belakang, melalui jalan tikus karena untuk menuju ke jalan barat harus muter sejauh 500 meter.
Sebagai penerima tamu, aku bersikap profesional. Pelayanan prima tetap aku utamakan. Aku juga mengatur parkir sepeda motor dan mobil. Bahkan ketika ada tamu yang ingin BAB (Buang Air Besar), aku persilahkan untuk menunaikan hajatnya di rumahku. Tak mungkin lah BAB di rumah shohibul hajat.
Ketika mereka pulang, aku ucapkan:
"Maturnuwun Bapak/ Ibu. Ngaturaken sugeng kondur."
Pada pukul 12.30 WIB, Pak Daroni sebagai koordinator penerima tamu memintaku bergantian dengan Pak Sutisna untuk makan siang dan sholat dhuhur.
Tugas kami berakhir seiring berakhirnya acara pada pukul 14.00 WIB. Saat itu, aku baru teringat bahwa aku belum kondangan alias belum memasukkan amplop ke kotaknya. Amplop yang sudah kutulisi nama lengkapku dan nama sekolahku masih meringkuk di saku. Aku segera menuju ke pintu barat/ pintu depan. Ternyata tempat kado, buku tamu dan kotak amplop sudah dirapikan dan dimasukkan ke dalam rumah. Para penerima tamu pun sudah tak ada.
Lha terus, kondanganku gimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar