alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Minggu, 22 Maret 2015

KRENGSENG

Dusun yang pertama kali kuhapal di kepalaku ketika aku memulai hidup di Batang adalah Krengseng. Dusun ini masuk wilayah desa Rowobelang, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang.

Tanpa sanak tanpa saudara, aku menginjakkan kaki di kota Batang untuk bertugas sebagai guru PNS. Saat aku pertama kali menghadap kepala sekolah yaitu Drs. Miswadi, M.Pd. untuk menyerahkan surat tugas di sekolah baruku. Saat itu, Bapak Miswadi menghendakiku untuk langsung bertugas.

“Maaf Pak, saya belum punya kos di Batang. Ini saja tadi pagi saya langsung dari Kebumen, kalau misalnya ditunda minggu depan bagaimana?” kataku mencoba menawar.
“Kalau ditunda berarti ini mau pulang lagi ke Kebumen? Terus besok kalau ke sini lagi, belum punya kos lagi. Mending hari ini langsung tugas saja sambil mencari kos,” kata beliau.

Kemudian beliau memanggil salah satu stafnya yaitu Mas Slamet. Beliau menanyakan kepada Mas Slamet apakah di rumahnya masih ada kamar kosong. Kemudian Mas Slamet meninggalkan kami beberapa saat. Aku dan Bapak Miswadi ngobrol ngalor ngidul sampai Mas Slamet datang.

“Ada Pak. Tapi belum ditata. Nanti siang insyalloh sudah siap,” kata Mas Slamet.

Setelah sekolah usai, aku diantar Mas Slamet ke rumahnya di dusun Krengseng, ke arah selatan dari sekolahku. Aku dipersilahkan menengok kamar untukku. Aku berkenalan dengan ayah dan ibunya Mas Slamet, Bapak dan Ibu Alwi. Ternyata Mas Slamet sudah berumah tangga dan tinggal di rumah sendiri. Sedangkan Bapak dan Ibu Alwi hanya tinggal berdua saja di rumah itu. Putra-putranya telah berumah tangga semua dan telah menempati rumah sendiri-sendiri. Jadi, rumah orang tua Mas Slamet ini bukan kos-kosan. Hanya kebetulan rumahnya besar dan mempunyai beberapa kamar yang sudah kosong.

Sejak hari itu, aku mulai mengenal Batang. Dimulai dari sebuah dusun yang ternyata cukup sederhana dan terpencil. Mata pencaharian masyarakatnya adalah petani dan pedagang. Kehidupan keagamaannya sangat kental karena ada banyak mushola dan TPQ yang berdiri di dusun ini. Dusun ini terpisah dari dusun yang lain dan terpisah dari pusat kota. Padahal dusun ini hanya sekitar 3 kilometer dari alun-alun Batang. 

Ketersendirian dusun ini sangat terasa ketika malam mulai tiba. Selepas isya, para penduduk sudah mulai melepas lelah di pembaringannya. Untuk keluar dari dusun ini, harus melewati hutan sengon, kebun rambutan, kebun singkong, kebun tebu tanpa penerang.  Lampu pertama yang terlihat saat keluar dari dusun ini adalah lampu di depan sekolahku (sekitar 500 meter dari dusun ini). Kemudian masih melewati beberapa kebun lagi sebelum sampai di jalan Pemuda. Benar-benar jauh dari keramaian kota, jauh dari kebisingan. Ketika malam mulai larut, hanya jangkrik dan teman-temannya menjadi satu-satunya hiburanku. Semalam, aku serasa hidup di tengah belantara.

Di waktu pagi hari berikutnya, aku benar-benar merasakan kesegaran. Mentari menyambutku dengan penuh senyum. Air bening dari sumur sedalam kurang lebih 14 meter menyegarkan tubuhku. Burung-burung berkicau gembira, berloncatan dari dahan ke dahan dan terbang mengejar kekasihnya. Para lelaki mengangkat cangkul ke ladang dan para perempuan menggendong rinjing bambu ke pasar. Mereka menyapa ramah dengan senyum begitu ikhlas. Anak-anak berjalan kaki dan bersepeda berangkat sekolah dengan gembira. Aku sangat menikmati kehidupan bersama manusia-manusia bersahaja. 

Hanya sepuluh hari aku tinggal di dusun ini dan bergelut dengan kehidupan sederhana ini sampai aku menemukan rumah kontrakan. Rasanya tak sanggup melepas perpisahan dan melupakan dusun yang indah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar