Dusun yang pertama kali kuhapal di kepalaku ketika aku
memulai hidup di Batang adalah Krengseng. Dusun ini masuk wilayah desa
Rowobelang, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang.
Tanpa sanak tanpa saudara, aku menginjakkan kaki di kota
Batang untuk bertugas sebagai guru PNS. Saat aku pertama kali menghadap kepala
sekolah yaitu Drs. Miswadi, M.Pd. untuk menyerahkan surat tugas di sekolah
baruku. Saat itu, Bapak Miswadi menghendakiku untuk langsung bertugas.
“Maaf Pak, saya belum punya kos di Batang. Ini saja tadi
pagi saya langsung dari Kebumen, kalau misalnya ditunda minggu depan bagaimana?”
kataku mencoba menawar.
“Kalau ditunda berarti ini mau pulang lagi ke Kebumen? Terus
besok kalau ke sini lagi, belum punya kos lagi. Mending hari ini langsung tugas
saja sambil mencari kos,” kata beliau.
Kemudian beliau memanggil salah satu stafnya yaitu Mas
Slamet. Beliau menanyakan kepada Mas Slamet apakah di rumahnya masih ada kamar
kosong. Kemudian Mas Slamet meninggalkan kami beberapa saat. Aku dan Bapak
Miswadi ngobrol ngalor ngidul sampai Mas Slamet datang.
“Ada Pak. Tapi belum ditata. Nanti siang insyalloh sudah
siap,” kata Mas Slamet.
Setelah sekolah usai, aku diantar Mas Slamet ke rumahnya di
dusun Krengseng, ke arah selatan dari sekolahku. Aku dipersilahkan menengok
kamar untukku. Aku berkenalan dengan ayah dan ibunya Mas Slamet, Bapak dan Ibu
Alwi. Ternyata Mas Slamet sudah berumah tangga dan tinggal di rumah sendiri.
Sedangkan Bapak dan Ibu Alwi hanya tinggal berdua saja di rumah itu.
Putra-putranya telah berumah tangga semua dan telah menempati rumah
sendiri-sendiri. Jadi, rumah orang tua Mas Slamet ini bukan kos-kosan. Hanya kebetulan rumahnya besar dan mempunyai beberapa kamar yang sudah kosong.
Sejak hari itu, aku mulai mengenal Batang. Dimulai dari
sebuah dusun yang ternyata cukup sederhana dan terpencil. Mata pencaharian masyarakatnya
adalah petani dan pedagang. Kehidupan keagamaannya sangat kental karena ada banyak
mushola dan TPQ yang berdiri di dusun ini. Dusun ini terpisah dari dusun yang
lain dan terpisah dari pusat kota. Padahal dusun ini hanya sekitar 3 kilometer
dari alun-alun Batang.
Ketersendirian dusun ini sangat terasa ketika malam
mulai tiba. Selepas isya, para penduduk sudah mulai melepas lelah di
pembaringannya. Untuk keluar dari dusun ini, harus melewati hutan sengon, kebun
rambutan, kebun singkong, kebun tebu tanpa penerang. Lampu pertama yang terlihat saat keluar dari
dusun ini adalah lampu di depan sekolahku (sekitar 500 meter dari dusun ini).
Kemudian masih melewati beberapa kebun lagi sebelum sampai di jalan Pemuda.
Benar-benar jauh dari keramaian kota, jauh dari kebisingan. Ketika malam mulai
larut, hanya jangkrik dan teman-temannya menjadi satu-satunya hiburanku. Semalam,
aku serasa hidup di tengah belantara.
Di waktu pagi hari berikutnya, aku benar-benar merasakan kesegaran.
Mentari menyambutku dengan penuh senyum. Air bening dari sumur sedalam kurang
lebih 14 meter menyegarkan tubuhku. Burung-burung berkicau gembira, berloncatan
dari dahan ke dahan dan terbang mengejar kekasihnya. Para lelaki mengangkat
cangkul ke ladang dan para perempuan menggendong rinjing bambu ke pasar. Mereka
menyapa ramah dengan senyum begitu ikhlas. Anak-anak berjalan kaki dan
bersepeda berangkat sekolah dengan gembira. Aku sangat menikmati kehidupan
bersama manusia-manusia bersahaja.
Hanya sepuluh hari aku tinggal di dusun ini dan bergelut dengan kehidupan
sederhana ini sampai aku menemukan rumah kontrakan. Rasanya tak sanggup melepas perpisahan dan melupakan
dusun yang indah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar