alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 06 Maret 2015

"KIRA-KIRA” SUTRADARA

Kamera siap? satu...dua...tiga! teriakku
Joko (diperankan oleh Joko)     : Pa’e.. (Sambil keluar dari rumah)
Bapak (diperankan oleh Pak Tujanto) : Ono opo Jok? (sambil memberesi kayu bakar) 
Joko       : Ma’e nang endi Pa’?
Bapak    : Wis lungo pasar.
Joko       : Yo wis yo Pa’, aku mangkat sekolah sit. (lalu mencium tangan bapaknya)
Bapak    : Iyo Le, sing ati-ati. Sing sregep ben pinter. Ben sesuk cita-citamu kelakon dadi dokter. Ora koyo Bapakmu. Dadi wong ora nduwe. Isone mung ngangkut sampah.

“Stop. Adegan ayahnya terlalu panjang. Nasehatnya terlalu banyak. Tak usah dinasehati. Cukup pamitan dan salaman. Ulangi lagi!” kataku persis seperti sutradara. Padahal baru latihan.

Adegan diulangi.
Joko       : Pa’e..
Bapak    : Ono opo Jok?
Joko       : Ma’e nang endi Pa’?
Bapak    : Wis lungo pasar.
Joko       : Yo wis yo Pa’, aku mangkat sekolah sit. (lalu mencium tangan ayahnya)
Bapak    : (Diam) terus (nampak bingung apa lagi yang harus dilakukan)

“Stop. Kok jadi begini ya,” kataku

“Malah jadi kaku Pak. Seperti yang awal saja, percakapannya biarkan apa adanya,” kata Pak Kasmudi

Itulah sekelumit peristiwa pembuatan film indie di sekolahku. Film indie adalah film independen yang sebagian besar dibuat di luar studio film besar. Sesuai namanya, film independen ini dibuat secara bebas, mandiri, dan merdeka. Oleh karena itu, film ini biasanya menggambarkan sesuatu yang apa adanya (sesuai aslinya).

Ide awal pembuatan film ini berasal dari Bu Titin, guru Bahasa Indonesia yang diberi tugas oleh Bapak Kepala Sekolah untuk membuat film dalam rangka lomba di kabupaten. Aku yang tak tahu apa-apa diminta untuk membantu. Selain aku, ada Pak Kasmudi yang kemungkinan tak tahu apa-apa juga. Para pemainnya adalah siswa-siswa kelas XI. Ide cerita telah dibuat oleh Bu Titin tapi skenario, adegan dan percakapan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di tempat syuting. Di dalam naskah cerita juga tak ada naskah dialog. Kata-kata dan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa daerah Batang. Urusan bahasa dan kata-kata diserahkan sepenuhnya kepada para pemain yang lebih tahu tentang Bahasa Jawa daerah Batang yang mereka gunakan sehari-hari.

Kami bukan pelaku cineas yang telah lama malang melintang di dunia film. Kami baru saja mencoba membuat film dengan ilmu “kira-kira”. Posisi kamera, adegan, percakapan, semuanya diatur “kira-kira” yang paling bagus.

Aku pun menjadi “kira-kira” sutradara. Kenapa aku? Awalnya karena tak ada satu orang pun yang memberi aba-aba ketika adegan dimulai dan diakhiri. Akhirnya, tanpa sengaja, aku memberi aba-aba: “kamera siap?” tanyaku kepada kameramen. Setelah kameramen menyatakan siap, aku lanjutkan “satu dua tiga” (seharusnya kata “tiga” diganti “action”). Pada akhir adegan juga aku bilang "stop" (seharusnya "cut"). Aku lupa. Untuk pengambilan gambar selanjutnya pasti kuganti dengan “action” dan "cut", agar menjadi “beneran” sutradara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar