Kamera siap? satu...dua...tiga! teriakku
Joko (diperankan oleh Joko) : Pa’e.. (Sambil keluar dari rumah)
Bapak (diperankan oleh Pak Tujanto) : Ono opo Jok? (sambil memberesi kayu bakar)
Joko : Ma’e nang
endi Pa’?
Bapak : Wis lungo
pasar.
Joko : Yo wis yo Pa’,
aku mangkat sekolah sit. (lalu mencium tangan bapaknya)
Bapak : Iyo Le, sing
ati-ati. Sing sregep ben pinter. Ben sesuk cita-citamu kelakon dadi dokter. Ora
koyo Bapakmu. Dadi wong ora nduwe. Isone mung ngangkut sampah.
“Stop. Adegan ayahnya
terlalu panjang. Nasehatnya terlalu banyak. Tak usah dinasehati. Cukup pamitan
dan salaman. Ulangi lagi!” kataku persis seperti sutradara. Padahal baru latihan.
Adegan diulangi.
Joko : Pa’e..
Bapak : Ono opo Jok?
Joko : Ma’e nang
endi Pa’?
Bapak : Wis lungo
pasar.
Joko : Yo wis yo Pa’,
aku mangkat sekolah sit. (lalu mencium tangan ayahnya)
Bapak : (Diam) terus
(nampak bingung apa lagi yang harus dilakukan)
“Stop. Kok jadi begini ya,” kataku
“Malah jadi kaku Pak. Seperti yang awal saja, percakapannya
biarkan apa adanya,” kata Pak Kasmudi
Itulah sekelumit peristiwa pembuatan film indie di
sekolahku. Film indie adalah film independen yang sebagian besar dibuat di luar
studio film besar. Sesuai namanya, film independen ini dibuat secara bebas,
mandiri, dan merdeka. Oleh karena itu, film ini biasanya menggambarkan sesuatu
yang apa adanya (sesuai aslinya).
Ide awal pembuatan film ini berasal dari Bu Titin, guru
Bahasa Indonesia yang diberi tugas oleh Bapak Kepala Sekolah untuk membuat film
dalam rangka lomba di kabupaten. Aku yang tak tahu apa-apa diminta untuk
membantu. Selain aku, ada Pak Kasmudi yang kemungkinan tak tahu apa-apa juga. Para
pemainnya adalah siswa-siswa kelas XI. Ide cerita telah dibuat oleh Bu Titin tapi
skenario, adegan dan percakapan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di
tempat syuting. Di dalam naskah cerita juga tak ada naskah dialog. Kata-kata
dan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa daerah Batang. Urusan bahasa dan kata-kata diserahkan
sepenuhnya kepada para pemain yang lebih tahu tentang Bahasa Jawa daerah Batang
yang mereka gunakan sehari-hari.
Kami bukan pelaku cineas yang telah lama malang melintang di
dunia film. Kami baru saja mencoba membuat film dengan ilmu “kira-kira”. Posisi
kamera, adegan, percakapan, semuanya diatur “kira-kira” yang paling bagus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar