alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Selasa, 17 Maret 2015

BERHENTI MEROKOK

1111 adalah sebuah angka cantik. 1-1-11 atau 1 Januari 2011 adalah salah satu tanggal yang bersejarah dalam hidupku.

Hampir 20 tahun, tepatnya mulai tahun 1993 aku tak bisa putus dari merokok. Alasan awal aku merokok adalah sosialisasi. Lingkungan dan teman-temanku merokok. Agar aku bisa luwes bergaul maka aku merokok. Awalnya pahit tapi lama-lama aku kecanduan. Setelah aku bisa merokok, rasa pede-ku tumbuh. Aku pun bisa lebih luwes bergaul. Setiap bertemu dengan teman, aku bisa menawarkan sesuatu yang pantas ditawarkan yaitu rokok. Rokok juga bisa untuk penanda sembuh dari sakit. Selama sakit, orang menjadi tak enak merokok. Kalau merokok sudah mulai enak berarti tanda-tanda sakitnya mulai sembuh.

Bertahun-tahun merokok membuat aku tak bisa lepas dari benda tersebut. Tiada hari tanpa rokok. Prinsipku, lebih baik tak makan dari pada tak merokok. Kegiatan harian yang wajib disertai rokok adalah nongkrong di toilet dan setelah makan. Ni’matul udud ba’da dahar.

Pernah beberapa kali ada keinginan untuk berhenti merokok karena batuk dan dada sesak. Tapi setelah batuk dan sesak didadaku sembuh, aku mulai merokok lagi. Bahkan setelah berumah tangga dan istriku memintaku untuk berhenti merokok, aku tak bisa. Mengurangi pun tidak.

Suatu saat aku ingin berhenti merokok karena dadaku kembali sesak. Kali ini agak parah dan agak lama. Tapi aku masih tak bisa menghentikan sama sekali. Aku hanya bertekad menguranginya. Untuk menetapkan tekadku, aku mengadakan perjanjian dengan anak pertamaku (8 th): kalau aku ketahuan merokok, anakku boleh menjewerku. Namun demikian, aku tak kapok. Aku lebih memilih dijewer oleh anakku daripada mematikan rokokku. Padahal dadaku dan nafasku sudah mengkip-mengkip. Aku tetap merokok.


Pada bulan Desember 2010, aku benar-benar bertekad menghentikan rokok. Alasannya bukan karena dadaku sesak tapi karena aku tak bisa membelikan susu untuk anakku (3 th). Mengerikan. Pada bulan itu, aku harus hutang ke tetangga untuk membeli susu untuk anakku. Kebutuhan susu untuk anakku adalah Rp. 200.000 per bulan, sementara aku merokok sehari 1 bungkus seharga Rp. 12.000,- atau Rp. 360.000 per bulan. Aku mencoba logis, dengan tak merokok, aku pasti bisa membelikan anakku susu. Akhirnya pada tanggal 1 Januari 2011 aku berhenti merokok, sebuah perbuatan yang sangat berat. 2 bulan awal, aku menjadi setengah gila. Tapi ini harus kulakukan demi susu anakku. Aku hanya bisa mengambil hikmahnya saja: sebenarnya ini cara Tuhan menyelamatkan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar