alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 28 Maret 2015

NILAI UJIAN SEKOLAH

Kemarin, Hari Kamis tanggal 26 Maret 2015 adalah hari terakhir Ujian Sekolah. Mata pelajaran yang diujikan hanya satu. Untuk itu, kegiatan pada hari itu, dilanjutkan dengan koreksi bersama Ujian Sekolah.

Koreksi Ujian Sekolah dilakukan bersama-sama dalam satu ruangan. Masing-masing mata pelajaran dikoreksi oleh 2 orang guru. Jadi ada 38 guru yang mengoreksi untuk 19 mata pelajaran.

Sebelumnya, salah satu panitia Ujian Sekolah mengumumkan bahwa nilai Ujian Sekolah ini juga harus dikirim ke panitia tingkat pusat melalui panitia tingkat provinsi setelah sebelumnya nilai raport semester 3,4,5 juga dikirim.

Aku jadi bertanya-tanya. (Siapa tahu ada yang bisa menjawab). Untuk apa nilai Ujian Sekolah dan nilai raport semester 3, 4, dan 5 dikirimkan ke panitia UN pusat? Bukankah, kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan formal ditentukan oleh satuan pendidikan berdasarkan rapat Dewan Guru.*) Apakah ini tidak menyebabkan persaingan antar sekolah karena seakan-akan nilai raport dan nilai Ujian sekolah akan dilombakan di tingkat pusat.



*) VII.2. Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan nomor 0031/P/BSNP/III/2015 tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2014/2015.

HARI AIR

Tanggal 24 Maret kemarin pukul 23.00, aku menerima sms dari Kemkominfo yang isinya: Dalam rangka HARI AIR DUNIA 22 Maret 2015, ayo menjadi Generasi Peduli dengan melestarikan air.
Setiap tanggal 22 Maret memang selalu diperingati sebagai Hari Air Sedunia (World Day for Water). 

Inisiatif peringatan ini di umumkan pada Sidang Umum PBB ke-47 tanggal 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Dengan perayaan ini, ita disadarkan pada pentingnya air bersih.

Menurut berita, di seluruh dunia, kebutuhan air bersih mutlak diperlukan untuk memberikan jaminan akan kelangsungan hidup rakyatnya. Kekurangan air bersih telah mengancam kesehatan masyarakat, mengancam stabilitas politik, dan juga mengancam lingkungan.

Setelah membaca sms dari Kemkominfo, aku malah bingung. Bagaimana cara melestarikan air?

Menurut lembaga masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup, cara melestarikan air adalah sebagai berikut:

1. Hemat air.
Pasti. Aku sekarang sedang irit air PAM karena rata-rata aku membayar rekening PDAM Rp. 90.000,-. Karena itu, aku sekarang memakai air sumur. Terbukti irit. Irit biaya maksudnya karena aku sekarang hanya membayar rekening PDAM hanya Rp. 40.000,-. Apakah irit air? Tidak sama sekali.

2. Tidak mencemari air.
Ini yang tak mungkin aku lakukan. Pembuangan air sisa sabun, dapur, dan toilet masuk ke sungai. Pasti sungainya tercemar oleh zat-zat berbahaya. Solusinya? Haruskah aku mandi tak pakai sabun, mencuci pakaian tak memakai detergen, mencuci piring tak memakai pembersih. Terus terang, aku tak berani. Jangankan tak pakai sabun. Mandi sehari 2 kali memakai sabun mandi yang paling wangi saja, keringatku masih mencemari lingkungan. Apalagi tak pakai sabun. Hii....mengerikan.

Please, tolonglah Pak Presiden, Pak Wakil Presiden, Pak Menteri, atau Pak siapa sajalah, beri aku solusi agar air pembuangan kamar mandi, dapur dan toiletku tidak mencemari sungai. Bagaimana air yang mengalir ke selokan sudah bersih kembali. Soalnya, itu saluran selokan se-RT sudah dari sononya menuju ke sungai. Aku tak bisa berbuat apapun.

Sedangkan menurut UUD 45, urusan air adalah urusan sampeyan-sampeyan semua. Pasal 33 kan sudah mengatakan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, silahkan airnya dikuasai, dikelola, dilestarikan, dibersihkan oleh negara, aku sebagai salah satu rakyat juga berhak memakai, menggunakan dan memanfaatkannya. Jangan sebaliknya ya, airnya dikuasai, rakyat membeli, pengelolanya kaya raya.

Konon, saat ini perusahaan di bawah pengelolaan pemerintah baru bisa melayani 10 juta sambungan rumah atau 60 juta orang atau 25 % dari total penduduk. Volume yang dikelola adalah 3,2 miliar liter air. Sedangkan air bersih yang dikelola oleh swasta dalam bentuk air kemasan adalah sebesar 20,3 miliar liter. Banyak perusahaan besar yang mencari untung sebesar-besarnya dengan air.

Seandainya pemerintah menguasai seluruh pengelolaan air kemudian mengelolanya dengan baik menjadi saja air yang benar-benar bersih dan siap minum dan melayani seluruh penduduk di Indonesia dengan gratis, tentu tak perlu ada perusahaan swasta yang mengelola air.

Aku pun tak perlu mengelola air sendiri dengan membuat sumur dan tak perlu anakku mengatakan:


“Pa, sekarang kita mempunyai perusahaan air sendiri ya?”

Jumat, 27 Maret 2015

UJIAN BAHASA PERANCIS (MUDAH ATAU SULIT)

Ujian Bahasa Perancis diujikan pada hari terakhir yaitu pada hari Kamis tanggal 26 Maret 2015. Tak disangka, soal yang seharusnya dikerjakan dalam waktu 90 menit, dalam waktu 30 menit sudah ada siswa yang selesai dan keluar dari ruang ujian. Kejadian ini menimbulkan kecurigaan.

“Wah, nggak beres nih Bahasa Perancis,” komentar salah satu guru.

Aku pun menjadi merasa dicurigai. Agak malu juga. Tapi setelah dipikir-pikir ternyata betul-betul malu.

Aku mempunyai dua alternatif mengapa para siswa keluar lebih awal: (1) soalnya terlalu mudah atau (2) soalnya terlalu sulit. Kalau terlalu mudah, wajar mereka keluar lebih awal dan alhamdulillah karena itu artinya siswa-siswaku benar-benar memahami dan menguasai Bahasa Perancis. Kalau terlalu sulit, juga wajar mereka keluar lebih awal. Aku pernah mengajarkan kepada mereka, mengerjakan soal tes atau ujian harus jujur pada diri sendiri. Kalau tak bisa mengerjakan soal, tinggalkan saja dan tidak perlu mencari jawaban dari teman atau mencontek.

Walaupun aku sudah menenangkan diri dengan 2 alternatif tersebut tapi malunya tetap tak bisa ditutupi. Padahal aku merasa bahwa aku sudah membuat soal dengan hati-hati dan kuperhatikan betul tingkat kesulitan soal (susah, sedang, mudah).

Dengan kejadian ini, aku sekarang memahami mengapa dalam tata tertib peserta Ujian Nasional tahun 2015 (Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan nomor 0031/P/BSNP/III/2015 tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2014/2015) nomor 16 berbunyi: “yang telah selesai mengerjakan soal sebelum waktu UN berakhir tidak diperbolehkan meninggalkan ruangan sebelum berakhirnya waktu ujian”.

Rupanya ini juga untuk menghindari rasa malu.

Rabu, 25 Maret 2015

BELUM MANDI

Pagi ini, aku berangkat sekolah tidak mandi. Gara-garanya adalah air PAM mati. Air yang tersisa hanya satu ember dan dipakai anakku. Sebenarnya di mushola ada kamar mandi dan pasti ada airnya karena mushola menggunakan air sumur. Tapi karena belum pernah mandi di mushola, aku lebih memilih menahan diri untuk tak mandi. Lagian, pasti antri. Untuk menutupi bau yang pasti tak wangi, aku menggunakan minyak wangi. Minyak wangi yang tak pernah kupakai. Minyak wangi ini dibelikan istriku. Minyak wangi khusus pria, merk terkenal. Yang iklannya ada cowok pakai minyak wangi ini dan semua cewek ikut. Katanya baunya enak. Aku sebenarnya tak suka pakai minyak wangi. Jadi minyak wangi ini masih utuh. Tapi apa boleh buat, pagi ini aku terpaksa memakainya.

Sekali kusemprot, baunya menohok hidung.

"Kok nggak enak Ma!" kataku pada istriku.
"Nggak enak gimana? Wangi sekali. Segaaar.." kata istriku.
"Baunya nyegrak," kataku
"Ini memang minyak wangi khusus pria. Jadi yang bisa merasakan wanginya adalah perempuan," kata istriku membela.

Iya mungkin. Buktinya aku memang lebih menyukai minyak wangi yang dipakai oleh istriku, minyak wangi khusus perempuan.

Dengan wangi-wangian seperti ini, aku jadi percaya diri memasuki ruang kelas walaupun tak mandi.

"Wuih, Pak guru pakai minyak wangi. Enak sekali baunya. Minyak wangi apa Pak?" kata Sinta

Aku hanya tersenyum menanggapi pujian itu.

"Tumben Pak, pakai minyak wangi. Minyak wangi mahal ini, minyak wangi khusus pria," kata Ita sambil mengendus-endus bau minyak wangiku.
"Aku tahu, aku tahu, ini gara-gara air PAM mati kan Pak," teriak Indra, siswa yang rumahnya satu komplek denganku.
"He, sama-sama tidak mandi dilarang buka rahasia ya," teriakku juga.

"Ooo... belum mandiiii," teriak anak sekelas serempak.

Minggu, 22 Maret 2015

KRENGSENG

Dusun yang pertama kali kuhapal di kepalaku ketika aku memulai hidup di Batang adalah Krengseng. Dusun ini masuk wilayah desa Rowobelang, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang.

Tanpa sanak tanpa saudara, aku menginjakkan kaki di kota Batang untuk bertugas sebagai guru PNS. Saat aku pertama kali menghadap kepala sekolah yaitu Drs. Miswadi, M.Pd. untuk menyerahkan surat tugas di sekolah baruku. Saat itu, Bapak Miswadi menghendakiku untuk langsung bertugas.

“Maaf Pak, saya belum punya kos di Batang. Ini saja tadi pagi saya langsung dari Kebumen, kalau misalnya ditunda minggu depan bagaimana?” kataku mencoba menawar.
“Kalau ditunda berarti ini mau pulang lagi ke Kebumen? Terus besok kalau ke sini lagi, belum punya kos lagi. Mending hari ini langsung tugas saja sambil mencari kos,” kata beliau.

Kemudian beliau memanggil salah satu stafnya yaitu Mas Slamet. Beliau menanyakan kepada Mas Slamet apakah di rumahnya masih ada kamar kosong. Kemudian Mas Slamet meninggalkan kami beberapa saat. Aku dan Bapak Miswadi ngobrol ngalor ngidul sampai Mas Slamet datang.

“Ada Pak. Tapi belum ditata. Nanti siang insyalloh sudah siap,” kata Mas Slamet.

Setelah sekolah usai, aku diantar Mas Slamet ke rumahnya di dusun Krengseng, ke arah selatan dari sekolahku. Aku dipersilahkan menengok kamar untukku. Aku berkenalan dengan ayah dan ibunya Mas Slamet, Bapak dan Ibu Alwi. Ternyata Mas Slamet sudah berumah tangga dan tinggal di rumah sendiri. Sedangkan Bapak dan Ibu Alwi hanya tinggal berdua saja di rumah itu. Putra-putranya telah berumah tangga semua dan telah menempati rumah sendiri-sendiri. Jadi, rumah orang tua Mas Slamet ini bukan kos-kosan. Hanya kebetulan rumahnya besar dan mempunyai beberapa kamar yang sudah kosong.

Sejak hari itu, aku mulai mengenal Batang. Dimulai dari sebuah dusun yang ternyata cukup sederhana dan terpencil. Mata pencaharian masyarakatnya adalah petani dan pedagang. Kehidupan keagamaannya sangat kental karena ada banyak mushola dan TPQ yang berdiri di dusun ini. Dusun ini terpisah dari dusun yang lain dan terpisah dari pusat kota. Padahal dusun ini hanya sekitar 3 kilometer dari alun-alun Batang. 

Ketersendirian dusun ini sangat terasa ketika malam mulai tiba. Selepas isya, para penduduk sudah mulai melepas lelah di pembaringannya. Untuk keluar dari dusun ini, harus melewati hutan sengon, kebun rambutan, kebun singkong, kebun tebu tanpa penerang.  Lampu pertama yang terlihat saat keluar dari dusun ini adalah lampu di depan sekolahku (sekitar 500 meter dari dusun ini). Kemudian masih melewati beberapa kebun lagi sebelum sampai di jalan Pemuda. Benar-benar jauh dari keramaian kota, jauh dari kebisingan. Ketika malam mulai larut, hanya jangkrik dan teman-temannya menjadi satu-satunya hiburanku. Semalam, aku serasa hidup di tengah belantara.

Di waktu pagi hari berikutnya, aku benar-benar merasakan kesegaran. Mentari menyambutku dengan penuh senyum. Air bening dari sumur sedalam kurang lebih 14 meter menyegarkan tubuhku. Burung-burung berkicau gembira, berloncatan dari dahan ke dahan dan terbang mengejar kekasihnya. Para lelaki mengangkat cangkul ke ladang dan para perempuan menggendong rinjing bambu ke pasar. Mereka menyapa ramah dengan senyum begitu ikhlas. Anak-anak berjalan kaki dan bersepeda berangkat sekolah dengan gembira. Aku sangat menikmati kehidupan bersama manusia-manusia bersahaja. 

Hanya sepuluh hari aku tinggal di dusun ini dan bergelut dengan kehidupan sederhana ini sampai aku menemukan rumah kontrakan. Rasanya tak sanggup melepas perpisahan dan melupakan dusun yang indah ini.

Sabtu, 21 Maret 2015

KEMIN

Setiap jum'at pagi, pukul 06.00 sampai 07.00, acara di sekolahku adalah olahraga bagi guru dan staf TU. Berbagai aktifitas kesehatan kami lakukan sebelum mengajar yang dimulai pada pukul 07.30. Kadang senam, volleyball, basketball, atau jalan-jalan ke luar sekolah.

Acara yang paling aku sukai adalah jalan-jalan. Berkeliling menghirup udara segar di lingkungan sekitar sekolah sekalian melihat-lihat tumbuh-tumbuhan yang hijau. Sebagian besar wilayah di sekitar sekolah kami adalah hutan tanaman rakyat. Ada jati, sengon, atau tanaman perkebunan lainnya seperti kebun rabutan, singkong dan tebu.

Suatu ketika, sembari melintasi kebun tebu, Bu Kandriyah berkata kepadaku:

"Pak, ini bau kemin kalau ingin tahu," kata beliau. Beliau menunjukkan kepadaku karena aku memang dikategorikan sebagai guru baru di sekolah ini dan bukan berasal dari kota ini.
"Kemin? Apa itu Bu?" tanyaku. Aku benar-benar tak tahu kosa kata itu.
"Hmm... apa ya," kata beliau nampak ragu untuk mengucapkannya.
"Apa Bu?" tanyaku semakin penasaran.
"Celeng Pak," kata beliau tampak kikuk.
"O...celeng," kataku sambil mengendus-endus bau yang mungkin beda dengan yang lain. Memang tercium bau agak penguk seperti bau tikus got/wirog.
"Bau penguk ini ya Bu?" tanyaku penasaran.
"Iya benar. Ini artinya ada kemin di sekitar sini Pak. Mungkin baru melintasi daerah sini. Atau mungkin ada sarangnya di kebun tebu ini," kata beliau menjelaskan.

Aku belum bisa membayangkan, wilayah sekolahku ternyata masih berupa alam liar. Masih ada binatang yang masuk kerajaan animali, filum chordata, kelas mammalia, ordo artiodactyla, famili suidae, genus sus, spesies sus verrucosus di sekitar sekolahku.

Bahkan kata Pak Sanyar, penjaga malam di sekolah kami, pada malam hari hewan bernama latin sus scrofa yang merupakan nenek moyangnya babi ini sering melintas di jalan depan sekolah kami.

Aku jadi merinding.

Jumat, 20 Maret 2015

LUWAK

Pagi ini kulihat meja komputer di ruang guru berantakan. Cover printer pecah. Kertas berserakan. Jejak kecil nampak jelas di atas meja. Saat kulihat, ternyata plafon jebol. Kata Pak Tris, staf Tata Usaha bagian bersih-bersih, itu adalah ulah luwak.

“Tadi pagi saya menyapu, ada luwak lari keluar lewat pintu,” kata Pak Tris.

Di sekolah kami, plafon jebol karena luwak tidak hanya sekali ini, tapi sudah berkali-kali. Para keluarga luwak membangun sarangnya di atas plafon. Dari baunya, semua orang sudah paham itu luwak. Sisa bau wangi khas daun pandan dari tubuh bernama latin paradoxurus hermaproditus ini masih tertinggal di tempat jatuhnya luwak.

Kejadian ini membuat kami sedikit repot karena printer rusak dan kertas dan dokumen di atas meja komputer berantakan. Untuk mengusir luwak agar tak bersarang di plafon masih mustahil. Selain, luwak tersebut masih liar, keberadaannya di atas plafon seringkali tidak diketahui karena mereka adalah binatang nocturnal yang aktif pada malam hari. Untuk menangkapnya juga sangat sulit. Beberapa kali Pak Tris dan teman-temannya mencoba mengintai dan menyergap, tak pernah berhasil.

“Masuk ke plafonnya juga entah lewat mana, mungkin bisa membuka genting,” tambah Pak Tris.

Itulah resiko letak sekolah yang berada di tengah hutan dan jauh dari pemukiman penduduk. Kami harus hidup berdampingan dengan binatang liar, salah satunya adalah luwak.

Kamis, 19 Maret 2015

PERTANYAAN TABU

Setelah salam pembuka dan apersepsi, aku memulai pelajaranku.

“Hari ini, kita akan membuat teks tentang memperkenalkan orang lain. Sekarang perkenalkan orang tua kalian, ayah dan ibu kalian. Mon pere s’appelle bla bla bla, Ma mere s’appelle bla bla bla. Umur mereka, il a bla bla bla ans dan elle a bla bla bla  ans. Jangan lupa sebutkan profesinya. Il est bla bla bla, elle est bla bla bla. Kemudian sebutkan penghasilan mereka. Il gagne bla bla bla rupiah par mois. Elle gagne bla bla bla rupiah par mois.”

Mereka semua diam tak menulis. Hanya saling tengok dengan temannya.

“Kenapa diam? Ayo ditulis!” suruhku

“Kata Bu Sosiologi, kita tidak boleh menanyakan umur dan profesi, penghasilan, berat badan dan sifat. Itu tidak sopan Pak,” katanya lagi
“Itu kan kalau baru kenal. Kalau sudah kenal ya boleh-boleh saja,” kataku membela diri.

Mereka diam dengan jawabanku. Kemudian ada salah satu anak yang berkata:

“Saya mau tanya boleh Pak?
“Boleh, silahkan? Jawabku
“Gaji Bapak per bulan berapa Pak?”

Aku terkejut dengan pertanyaan seperti itu. Aku bingung menjawabnya. Terus terang agak ragu untuk menjawabnya. Aku pikir ada benarnya juga kata Bu Sosiologi.

Sebenarnya aku akan menjawab: “Jangan tanya gaji lah. Nggak enak saya menjawabnya”, tapi pasti mereka akan berkata: “kan kita sudah kenal Pak” dan aku pasti dituduh tidak konsisten. Maka dengan berat hati dan demi mulusnya acara aku mengajar, aku menjawab juga.

“Gaji saya sekitar Rp. 3.000.000,-. Sekarang perkenalkan orang tua kalian masing-masing. Kerjakan,” perintahku
“Siap Pak,” jawab mereka


*)NB: bla bla bla maksudnya titik titik titik, diisi sesui dengan identitas masing-masing

Rabu, 18 Maret 2015

WISATA GALANGAN KAPAL

Sejak peristiwa demonstrasi nelayan tanggal 3 Maret 2015, nama "Batang" mulai muncul. Demonstrasi yang menuntut pembatalan pelarangan penggunaan cantrang itu menjadi heboh karena terjadi bentrok antara polisi dan nelayan serta perusakan sarana umum. Di mana-mana muncul #saveBatang menyaingi #saveKPK. Orang bertanya-tanya di mana Batang? mengapa demo nelayan juga terjadi di Batang? Apakah di Batang ada nelayan? ada ikan? ada cantrang? Orang sibuk browsing tentang Batang.

Kini, giliran pemerintah lah yang menangkap rasa penasaran ini. Pemerintah wajib mengkampanyekan dan mengangkat potensi Batang, pantai, nelayan, perikanan, cantrang dan industri yang sebenarnya sudah mendunia tapi masih tersembunyi yaitu galangan kapal. Batang adalah salah satu tempat pembuatan kapal kayu terbaik di Indonesia. Banyak perusahaan pembuatan / galangan kapal kayu yang berdiri di Batang. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak saja memproduksi kapal nelayan, tapi juga kapal penumpang dan kapal pesiar dari kayu dengan berbagai ukuran. Pembuatan kapal ini tidak hanya melayani kebutuhan lokal, tapi juga nasional dan internasional.

Dengan adanya potensi ini, aku usulkan kepada siapa saja yang membaca blog ini. Potensi galangan atau pembuatan kapal kayu jangan hanya menjadi milik para pengusaha kapal dan para tukang kayunya. Devisa atau hasil yang diperoleh bukan hanya dari penjualan kapal-kapal tersebut. Potensi galangan kapal bisa digunakan untuk wisata edukasi.  Wisata ini meliputi segala seluk beluk tentang pembuatan kapal kayu di Batang. Menarikkah? Pasti. Aku saja belum pernah melihat secara langsung cara membuat kapal yang sebenarnya. Dengan wisata ini,  para wisatawan berkesempatan melihat cara pembuatan kapal cara menjalankan /operasi kapal, beberapa jenis kapal yang diproduksi oleh galangan kapal di Batang, dan peralatan dan perlengkapan kapal /nelayan seperti cantrang, payang, dan sebagainya. Ketika wisatawan datang, pasti akan muncul beberapa usaha lainnya. Pedagang makanan minuman, pedagang oleh-oleh khas Batang, tukang parkir, pemandu wisata, dan sebagainya. Dan seperti di Hollywood, Amerika Serikat yang menyediakan kerajinan miniatur piala oscar, di Borobudur menyediakan miniatur candi borobudur, di Prambanan menyediakan miniatur candi prambanan, dan di monas menyediakan miniatur monas. Di Batang belum ada pembuat kerajinan miniatur kapal kayu. Nah, dengan wisata edukasi galangan kapal ini, potensi pembuatan kerajinan miniatur kapal kayu pasti akan muncul.

Wahai pemerintah, berilah sarana untuk wisata galangan kapal ini. Perbaikilah jalan menuju tempat-tempat galangan kapal, ajaklah para pengusaha kapal untuk menangkap potensi ini.

Wahai pengusaha kapal, bukalah perusahaan panjenengan semua, berilah kesempatan orang lain untuk menyaksikan pembuatan kapal-kapal di tempat panjenengan.

Wahai para pengusaha kuliner, pengusaha batik, pengusaha hotel, monggo bersama-sama memikirkan potensi Batang untuk wisata lokal dan internasional.

Wahai para pemuda, persiapkan diri Anda semua. Berpikir kreatiflah dengan potensi Anda di bidang ketrampilan, teknologi, kerajinan, kesenian dan lain-lain.

Wahai masyarakat Batang, tunjukkan potensi Anda semua. Tunjukkan keramahan Anda. Berilah kenyamanan dan keamanan kepada para tamu yang akan datang ke tempat Anda.

Begitu saja usulku. Semoga ada yang membaca kemudian mengusulkan kepada yang bersangkutan dan merealisasikan demi Batang yang lebih maju.

DIMANA BATANG?

“Bapak tinggal di mana?” tanya seseorang yang mengajakku berkenalan di Jakarta.
“Di Batang,” jawabku
“Sumatera ya?” kata dia
“Bukan, di Jawa Tengah,” jawabku lagi.
“Jawa Tengah? Di sebelah mana ya?” tanya dia kembali.
“Sebelah timur Pekalongan,” kataku sambil menyebut tetangga kabupaten yang lebih dulu terkenal dengan batiknya.
“Kecamatan ya?” tanya dia penasaran
“Bukan. Kabupaten tersendiri, Kabupaten Batang.”
“o...Saya baru tahu.”


Aduh, capek deh. Tapi aku  menarik nafas lega, akhirnya tempat tinggalku terdeteksi juga. Aku baru sadar ternyata tempat tinggalku belum dikenal orang, ternyata tempat tinggalku di wilayah antah berantah, entah dimana, bahkan mungkin belum muncul di peta, atau mungkin di planet lain. 

Omegat.

Selasa, 17 Maret 2015

PAK ROSIDI

Sore ini, ketika aku kembali lagi ke sekolah untuk melakukan absensi dengan finger print, kulihat Pak Rosidi sedang membersihkan tanaman di dalam pot. Beberapa pot tanaman dibersihkan, disiram dan dipupuk. Karena rasa cintanya pada tanaman, Pak Rosidi selalu merawat dan memantau perkembangan tanaman-tanaman miliknya yang telah disumbangkan ke sekolah. Salah satunya adalah pandan bali atau dragon blood tree. Tanaman yang bernama latin dracaena draco dan termasuk keluarga agavaceae ini sedang dibersihkan daun keringnya dan diberi tambahan pupuk.

"Kok belum pulang Pak?" sapaku
"Iya nih, mau nge-les-i anak," jawab beliau.
"Anak kelas berapa Pak?" tanyaku
"Kelas XII, itu sudah kumpul di mushola."
"Kok nggak di rumah saja Pak?" tanya Bu Tarmi yang sejak tadi juga ikut memperhatikan beliau membersihkan tanaman.
"Di rumah juga boleh. Di sekolah juga boleh. Semaunya anak saja Bu. Pokoknya 24 jam, kalau mereka mau, saya siap memberikan tambahan pelajaran matematika.

Aku tertegun dengan jawaban beliau. Kata-kata "24 jam" artinya beliau siap memberikan ilmunya untuk anak didiknya kapanpun. Inilah guru sejati. Guru yang benar-benar mendidik muridnya sepenuh jiwa tanpa kenal lelah, tanpa mengharap imbalan dan tentu saja tanpa tanda jasa. Ia hanya ingin anak didiknya bisa dan bisa.

Bapak berbintang cancer yang wajahnya mirip dengan Komisaris Jenderal Bahrodin Haiti dan sering dipanggil "Kak Ros" oleh rekan-rekan guru ini memang sangat mencintai matematika. Keilmuannya di bidang matematika tidak diragukan lagi. Beliau menguasai matematika dari hulu sampai ke hilir. Beliau selalu memberikan rumus-rumus praktis, ringan dan mudah kepada siapapun yang membutuhkan atau menanyakan. Akupun pernah diberikan rumus praktik kwadrat yang ternyata sangat berguna untuk anakku.

Pembawaannya yang kalem membuat murid-muridnya terkadang sembrono memanggilnya "Om". Tapi beliau tak marah dengan panggilan tersebut. Beliau hanya tersenyum.

Mudah-mudahan beliau selalu diberi kesehatan dan umur panjang sehingga ilmunya masih bisa ditularkan kepada semua orang.


Ini orang yang mirip dengan beliau

BERHENTI MEROKOK

1111 adalah sebuah angka cantik. 1-1-11 atau 1 Januari 2011 adalah salah satu tanggal yang bersejarah dalam hidupku.

Hampir 20 tahun, tepatnya mulai tahun 1993 aku tak bisa putus dari merokok. Alasan awal aku merokok adalah sosialisasi. Lingkungan dan teman-temanku merokok. Agar aku bisa luwes bergaul maka aku merokok. Awalnya pahit tapi lama-lama aku kecanduan. Setelah aku bisa merokok, rasa pede-ku tumbuh. Aku pun bisa lebih luwes bergaul. Setiap bertemu dengan teman, aku bisa menawarkan sesuatu yang pantas ditawarkan yaitu rokok. Rokok juga bisa untuk penanda sembuh dari sakit. Selama sakit, orang menjadi tak enak merokok. Kalau merokok sudah mulai enak berarti tanda-tanda sakitnya mulai sembuh.

Bertahun-tahun merokok membuat aku tak bisa lepas dari benda tersebut. Tiada hari tanpa rokok. Prinsipku, lebih baik tak makan dari pada tak merokok. Kegiatan harian yang wajib disertai rokok adalah nongkrong di toilet dan setelah makan. Ni’matul udud ba’da dahar.

Pernah beberapa kali ada keinginan untuk berhenti merokok karena batuk dan dada sesak. Tapi setelah batuk dan sesak didadaku sembuh, aku mulai merokok lagi. Bahkan setelah berumah tangga dan istriku memintaku untuk berhenti merokok, aku tak bisa. Mengurangi pun tidak.

Suatu saat aku ingin berhenti merokok karena dadaku kembali sesak. Kali ini agak parah dan agak lama. Tapi aku masih tak bisa menghentikan sama sekali. Aku hanya bertekad menguranginya. Untuk menetapkan tekadku, aku mengadakan perjanjian dengan anak pertamaku (8 th): kalau aku ketahuan merokok, anakku boleh menjewerku. Namun demikian, aku tak kapok. Aku lebih memilih dijewer oleh anakku daripada mematikan rokokku. Padahal dadaku dan nafasku sudah mengkip-mengkip. Aku tetap merokok.


Pada bulan Desember 2010, aku benar-benar bertekad menghentikan rokok. Alasannya bukan karena dadaku sesak tapi karena aku tak bisa membelikan susu untuk anakku (3 th). Mengerikan. Pada bulan itu, aku harus hutang ke tetangga untuk membeli susu untuk anakku. Kebutuhan susu untuk anakku adalah Rp. 200.000 per bulan, sementara aku merokok sehari 1 bungkus seharga Rp. 12.000,- atau Rp. 360.000 per bulan. Aku mencoba logis, dengan tak merokok, aku pasti bisa membelikan anakku susu. Akhirnya pada tanggal 1 Januari 2011 aku berhenti merokok, sebuah perbuatan yang sangat berat. 2 bulan awal, aku menjadi setengah gila. Tapi ini harus kulakukan demi susu anakku. Aku hanya bisa mengambil hikmahnya saja: sebenarnya ini cara Tuhan menyelamatkan aku.

Sabtu, 14 Maret 2015

EVADIR

Evadir atau evaluasi diri adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menilai apakah perangkat, sarana dan kegiatan yang dilakukan olehnya memenuhi standar operasional pelaksanaan (SOP) guru atau belum. Ada 25 hal yang harus dinilai dan dievaluasi. Evaluasi diri kali ini adalah evaluasi terhadap pelaksanaan tugas guru pada semester yang lalu yaitu semester gasal tahun pelajaran 2014/2015.

Anehnya, evaluasi diri ini diuji bukan oleh diri guru sendiri tapi akan diuji atau dievaluasi pada hari Senin tanggal 16 Maret 2015 oleh pengawas sekolah. Pengawas sekolah akan memeriksa perangkat beserta bukti fisik dari 25 hal tersebut. Satu per satu guru akan ditanya dan harus bisa membuktikan terpenuhinya 25 hal tersebut beserta bukti fisiknya. Pada semester yang lalu aku sudah mengikuti evadir dan mendapatkan nilai C (artinya: Cukup memalukan).


Untuk itu, pada hari-hari ini aku dan semua guru sibuk menata, mencari, dan membuat bukti fisik mengenai tugas yang telah kami lakukan pada semester kemarin. Jurnal siswa, agenda mengajar, jurnal penilaian, remidial, pengayaan, jurnal siswa kami siapkan sebaik-baiknya. Beberapa kekurangan kami sempurnakan. Agenda harian, absensi siswa, soal ulangan harian, kisi-kisi, bukti hasil ulangan, analisis nilai, program remidial, dan program pengayaan, proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) kami persiapkan sebaik-baiknya.


Dan demi nilai, aku mengerjakan evadir ini tidak hanya di rumah tapi juga di sekolah. Karena itu, maaf, beberapa hari ini aku tak mengajar di kelas.



Para siswa pasti senang.

BUDAYA MALU

Papan besar semacam billboard berukuran 1 x 2 meter terpasang di sebelah pintu masuk ruang guru. Di papan ini tertulis 11 budaya malu bagi aparatur pemerintah di Kabupaten Batang. Budaya malu yang ditulis berdasarkan SK Bupati Nomor 061/233/2014 ini setiap hari kulihat. 11 budaya malu tersebut adalah sebagai berikut :

1.         malu tidak menjaga nama baik dan korps aparatur pemerintah.
2.         malu untuk bekerja tanpa program.
3.         malu bekerja tanpa pertanggungjawaban.
4.         malu pekerjaan terbengkalai.
5.         malu sering tak masuk kerja tanpa alasan.
6.         malu sering minta ijin tidak masuk kerja.
7.         malu sering meninggalkan kerja tanpa alasan penting.
8.         malu terlambat masuk kantor.
9.         malu tidak ikut apel.
10.      malu pulang sebelum waktunya.
11.      malu berpakaian seragam rapi dan tanpa atribut lengkap.

Dengan 11 budaya malu ini diharapkan bisa mendorong PNS untuk menjadi lebih baik.

Namun, terus terang saja, selama ini aku hanya melihatnya. Tadi aku baru membacanya secara detail karena aku akan menuliskan 11 budaya malu itu di blog ini.

Aku jadi malu.

Selasa, 10 Maret 2015

SALAM KOMANDO

Khutbah Jum'ah berakhir dan muadzin mengumandangkan "iqomah". Aku segera berdiri. Dari belakangku, seseorang maju di shafku dan berdiri di sampingku.

"Pak Bas," sapa dia lirih sambil tersenyum. Aku lupa namanya. Tapi aku tak mungkin lupa wajahnya. Dia adalah salah satu mantan muridku, lulus 3 tahun yang lalu. Badannya tinggi besar dan rambutnya cepak model militer.

Secara spontan dia mengajakku salaman. Aku pun mengulurkan tanganku. Pada saat aku akan menarik tanganku kembali (aku kira sudah selesai), dia melanjutkan dengan menggenggam tanganku di bagian ibu jariku. (posisi seperti mau lomba panco). Aku dengan sigap melayaninya. Kugenggam juga ibu jarinya dengan erat. Tiba-tiba, dia menarik tangannya ke posisi semula dan kembali bersalaman seperti umumnya.

"Eh, Maaf Pak," kata dia sambil mencium tanganku, nampak kikuk.
"Nggak apa-apa. Tak ada yang salah," kataku sambil senyum dan menepuk pundaknya.

(Kataku dalam hati: "Emang lu doang yang bisa salam komando. Gue juga bisa")

Sayang, aku tak sempat mengobrol lebih lanjut dengannya karena sholat Jum'at sudah dimulai.

Jumat, 06 Maret 2015

"KIRA-KIRA” SUTRADARA

Kamera siap? satu...dua...tiga! teriakku
Joko (diperankan oleh Joko)     : Pa’e.. (Sambil keluar dari rumah)
Bapak (diperankan oleh Pak Tujanto) : Ono opo Jok? (sambil memberesi kayu bakar) 
Joko       : Ma’e nang endi Pa’?
Bapak    : Wis lungo pasar.
Joko       : Yo wis yo Pa’, aku mangkat sekolah sit. (lalu mencium tangan bapaknya)
Bapak    : Iyo Le, sing ati-ati. Sing sregep ben pinter. Ben sesuk cita-citamu kelakon dadi dokter. Ora koyo Bapakmu. Dadi wong ora nduwe. Isone mung ngangkut sampah.

“Stop. Adegan ayahnya terlalu panjang. Nasehatnya terlalu banyak. Tak usah dinasehati. Cukup pamitan dan salaman. Ulangi lagi!” kataku persis seperti sutradara. Padahal baru latihan.

Adegan diulangi.
Joko       : Pa’e..
Bapak    : Ono opo Jok?
Joko       : Ma’e nang endi Pa’?
Bapak    : Wis lungo pasar.
Joko       : Yo wis yo Pa’, aku mangkat sekolah sit. (lalu mencium tangan ayahnya)
Bapak    : (Diam) terus (nampak bingung apa lagi yang harus dilakukan)

“Stop. Kok jadi begini ya,” kataku

“Malah jadi kaku Pak. Seperti yang awal saja, percakapannya biarkan apa adanya,” kata Pak Kasmudi

Itulah sekelumit peristiwa pembuatan film indie di sekolahku. Film indie adalah film independen yang sebagian besar dibuat di luar studio film besar. Sesuai namanya, film independen ini dibuat secara bebas, mandiri, dan merdeka. Oleh karena itu, film ini biasanya menggambarkan sesuatu yang apa adanya (sesuai aslinya).

Ide awal pembuatan film ini berasal dari Bu Titin, guru Bahasa Indonesia yang diberi tugas oleh Bapak Kepala Sekolah untuk membuat film dalam rangka lomba di kabupaten. Aku yang tak tahu apa-apa diminta untuk membantu. Selain aku, ada Pak Kasmudi yang kemungkinan tak tahu apa-apa juga. Para pemainnya adalah siswa-siswa kelas XI. Ide cerita telah dibuat oleh Bu Titin tapi skenario, adegan dan percakapan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di tempat syuting. Di dalam naskah cerita juga tak ada naskah dialog. Kata-kata dan bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa daerah Batang. Urusan bahasa dan kata-kata diserahkan sepenuhnya kepada para pemain yang lebih tahu tentang Bahasa Jawa daerah Batang yang mereka gunakan sehari-hari.

Kami bukan pelaku cineas yang telah lama malang melintang di dunia film. Kami baru saja mencoba membuat film dengan ilmu “kira-kira”. Posisi kamera, adegan, percakapan, semuanya diatur “kira-kira” yang paling bagus.

Aku pun menjadi “kira-kira” sutradara. Kenapa aku? Awalnya karena tak ada satu orang pun yang memberi aba-aba ketika adegan dimulai dan diakhiri. Akhirnya, tanpa sengaja, aku memberi aba-aba: “kamera siap?” tanyaku kepada kameramen. Setelah kameramen menyatakan siap, aku lanjutkan “satu dua tiga” (seharusnya kata “tiga” diganti “action”). Pada akhir adegan juga aku bilang "stop" (seharusnya "cut"). Aku lupa. Untuk pengambilan gambar selanjutnya pasti kuganti dengan “action” dan "cut", agar menjadi “beneran” sutradara.

MENGEJA BATANG


Setelah menyusuri jalan Yos Sudarso dari arah utara, (jangan menduga yang tidak-tidak ya… Swear aku bukan dari Bong Chino. Aku hanya mencari kuliner untuk tajilan yasinan di musholaku), aku berhenti di lampu merah. Tepat di depanku adalah alun-alun Batang, alun-alun yang baru saja direnovasi sehingga nampak semakin indah dan megah.

Tiba-tiba di sebelahku berhenti sebuah sepeda motor yang dinaiki oleh seorang ibu bersama anak perempuannya yang berumur sekitar 5 tahun. Anak itu duduk di depan.

“Ma, itu tulisan apa?” tanya si anak sambil menunjuk huruf yang berjajar dari timur ke barat di alun-alun. Huruf-huruf yang membentuk sebuah kata itu tetap kelihatan jelas di malam hari karena selain ukurannya yang besar, di tepi huruf terdapat lampu selang LED berwarna biru mengikuti bentuk huruf. Indah sekali.

“Coba dieja!” suruh ibunya
“b-a ba, t-a ta, n-g. Ma, n-g dibaca apa sih?” tanya anak itu kesulitan mengeja 2 huruf konsonan berdampingan di akhir tulisan tersebut.
“Coba dibaca yang depan dulu!” kata ibunya
“Bata, ditambah n-g. Batang ya Ma?” tebak anak itu.
“Betul, kamu pintar,” kata sang ibu.
“Hore, aku bisa membaca huruf n-g. ng…ng, batang” teriak si anak sambil terus mengucapkan “ng..ng..ng” dari rongga hidungnya.

Ternyata selain berfungsi untuk penanda, ikon, dan identitas kota, tulisan BATANG di alun-alun itu berfungsi untuk melatih anak membaca konsonan nasal atau sengau “ng”. Salut.

Kamis, 05 Maret 2015

DEMO NELAYAN

Pada tanggal 3 Maret 2015 nelayan Batang melakukan demo di gedung DPRD Kabupaten Batang mengenai penolakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Dalam demo ini terjadi tindakan anarkis dengan merusak prasarana umum serta terjadi bentrok dan aksi pukul antara polisi dan para nelayan.

Bukan demo ini yang aku risaukan tapi efek demo tersebut terhadap siswa-siswaku. Di antara mereka ada yang anak nelayan dan ada anak polisi. Tadi siang, di kelasku terjadi perdebatan antara anak nelayan yang menyalahkan polisi dan anak polisi yang menyalahkan nelayan.

"Memangnya kemarin kamu ikut demo?" tanyaku kepada Nasrul si anak nelayan
"Tidak Pak," jawab Nasrul
"Terus kamu juga ikut mengamankan jalannya demo?" tanyaku kepada Ardi si anak polisi
"Tidak Pak," jawab Ardi
"Kok kalian tahu?" tanyaku lagi.
"Katanya sih Pak"

"Nah kan. Kalian tidak usah ikut-ikutan. Biar pihak berwenang yang menyelesaikan. Saya yakin urusan ini akan segera selesai. Mereka pasti berdamai. Kenapa? Lha yang didemo di Jakarta, kok kita, sesama saudara yang bertengkar? Aneh," kataku.

"Mudah-mudahan peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi. Dan kalian sebagai generasi muda harus bisa mengambil pelajaran dari peristiwa ini untuk membangun kota kalian ini menjadi lebih maju," lanjutku dengan penuh optimisme.

Sip kan kata-kataku?

PASCA PRA-UN

Pra-UN adalah uji oba Ujian atau semacam try out menjelang Ujian Nasional. Pra-UN di sekolahku dilaksanakan dari hari Senin-Rabu, tanggal 2-5 Maret 2015. Setelah 3 hari melaksanakan Pra-UN, para siswa kelas XII tetap menjalankan aktivitas belajarnya seperti biasa.

Pada saat aku masuk kelas, mereka mencegatku.

"Pak refresing sih Pak, kami capek 3 hari menjalani Pra-UN. Masa hari ini kami diajar juga," kata salah satu siswa.
"Iya Pak," kata yang lain menimpali.
"Kalian ini aneh. Kalau mau refresing kenapa kalian berangkat ke sekolah?" tanyaku
"Nanti kalau bolos, kami dihukum Pak."
"Kan pakai surat ijin. Tulis surat yang menyatakan bahwa hari ini saya tidak masuk sekolah karena kelelahan dan butuh istirahat," lanjutku
"Kalau anak sekelas ijin semua ya pasti dikira kami kongkalingkong. Pasti dihukum juga."
"Ya sudah, resiko kalian. Karena kalian berangkat sekolah ya kalian harus siap menerima pelajaran," jawabku sambil melanjutkan pelajaran.

Kulihat mereka nampak "hidup segan dan mati pun tak mau". Ada yang mengantuk. Ada yang melamun. Ada yang ngobrol dengan temannya. Apa boleh buat, aku tetap menunaikan tugasku dan melanjutkan pelajaran. Sama sekali tak nyaman mengajar dengan kondisi seperti ini. Tapi aku harus bertahan dengan suasana seperti ini karena ini kewajiban.

Empat puluh lima menit berjalan, semakin parah.

Aku menyadari bahwa mereka memang betul-betul jenuh dan stress, secara psikis butuh refreshing. Mereka butuh penyegaran otak setelah 3 hari berturut-turut menjalankan Pra-Un. Tapi bagaimana caranya? Diliburkan? Bukan solusi. Di rumah belum tentu bisa refreshing dan memulihkan otak. Sekolah seharusnya mempunyai program refreshing dan memulihkan otak pasca Pra-UN. Dengan cara apa? Refreshing biasanya dilakukan dengan terapi yang menyenangkan: jalan-jalan, makan bersama, ngobrol bareng, nge-game, mendengarkan musik dan lain-lain. Tapi ini harus dikoordinasi agar tujuan pemulihan kesegaran otak benar-benar terwujud bersama-sama, tidak bisa dilakukan secara separatis.

Aku yakin tidak hanya siswa-siswa di kelasku ini saja yang mengalami kejenuhan. Kelas lain pun pasti demikian. Tapi aku heran mengapa para guru tidak pernah membicarakannya. Apakah mereka tidak mengalami apa yang aku alami sekarang ini? Atau mereka sudah tahu cara menyegarkan otak para siswa Atau aku saja yang tak bisa membuat para siswa tidak jenuh dan tidak dalam menerima pelajaran? Atau aku saja yang tidak mempunyai tips untuk memulihkan psikis dan menyegarkan otak para siswa?

Ternyata benar. Hanya aku yang tak tahu cara menyegarkan otak para siswa. Hanya aku yang tidak bisa mengobati kejenuhan para siswa karena hanya aku yang mengajar di kelas. Kelas lainnya kosong. Tak ada yang mengajar. Oooo..aku baru paham. Begitu ya caranya.

Minggu, 01 Maret 2015

BAGUETTE DAN BURJO

Setelah semalam berjuang dengan penuh keringat untuk menggerogoti baguette, akhirnya aku menyerah. Kusimpan sisa baguette-ku di kulkas supaya tidak dihabiskan tikus.

Pagi ini, aku masih teringat baguette-ku yang masih meringkuk di kulkas. Rasa penasaranku belum hilang. Kali ini sepertinya akan berhasil. Aku teringat burjo alias bubur kacang ijo. Biasanya burjo dicampur dengan roti tawar. Aku segera meluncur burjo hangat untuk sarapan pagi.

Kusajikan buburku. Kupotong-potong lagi baguette-ku. Kucelupkan. Kutunggu sampai meresap.
Kucicipi pelan-pelan.

Berhasil. Buburku berkolaborasi dengan baguette secara sempurna.

BAGUETTE

Tadi sore aku menemani istri ke sebuah toko roti membelikan burger untuk anak-anakku. Pada awalnya, aku tak tertarik untuk membeli. Aku hanya melihat-lihat saja. Tapi ketika kulihat sepotong roti yang panjangnya sekitar 70 cm, aku mendekatinya. Kubaca tulisannya: Baguette, French bread. Wow... ada baguette, roti Perancis. Keren. Aku tergoda untuk membelinya. Walaupun aku sudah tahu tentang baguette dan sudah menjelaskannya kepada siswa-siswaku dengan mantap tapi aku belum tahu rasa dan bentuk yang sebenarnya.  Aku hanya tahu lewat buku, majalah dan internet.

Di toko ini, ada 2 jenis baguette, yang panjang dan yang pendek. Aku memilih yang pendek berukuran 30 cm, yang di wadahnya tertulis: half french bread. Namanya juga mencicipi. Jangan yang besar, cukup yang kecil saja.

Sampai rumah kubuka baguette-ku. Benar juga menurut cerita bahwa baguette itu keras dan alot. Aku potong sedikit. Kucicipi. Rasanya tawar khas roti dan alotnya minta ampun. Lalu aku mencoba menaati aturan. Cara makan baguette adalah dipotong-potong lalu di siram dengan sop. Aku pun membeli sop kesukaanku, sop balungan. Sop dengan potongan tulang sapi dan sisa-sisa dagingnya menjadi soto favoritku. Rasanya enak. Kaldunya legit.

Baguette kuambil 1/4. Lalu kupotong kecil-kecil. Sekarang, ada 4 potong di dalam mangkok. lalu kusiram denga sop balungan-ku. Kutunggu sampai meresap. Kemudian kusendok, kucicipi dan kurasakan sensasinya di lidah. Kukunyah pelan-pelan. 10 detik kudiamkan baguette-ku meresap dan hancur di lidah. Rasanya aneh. Rasa rotinya hilang. Rasa sopnya juga hilang. Aroma daging sapinya masih ada. Tapi rasa kecut alias masam sangat tajam, seperti rasa tomat yang terlalu banyak. Kusendok lagi baguettenya. Masih sama. Mungkin yang ketiga beda. Sama saja. Potongan terakhir kusendok. Sama. Teksturnya serupa pangsit basah di dalam bakso Malang. Ternyata, baguette tak cocok dimakan menggunakan sop. Lha kok orang Perancis memakannya dengan sop. Pasti ada yang keliru nih. Sop balunganku yang keliru atau lidahku yang salah? Mungkin sop Perancis beda dengan sop Indonesia.

Kucoba dengan yang lain. Siapa tahu cocok. Aku membeli soto. Juga soto kesukaanku yaitu Soto Madura. Mungkin enak. Langkahnya kubalik. Kutaruh soto di mangkok, lalu 1/4 baguette yang telah kupotong kecil-kecil kumasukkan ke adonan soto. Sepotong baguette kucicipi. Tak ada rasa roti. Hanya murni rasa soto. Sama saja. Tak cocok lagi.

Kesimpulanku: Tak ada yang pas untuk dicampur dengan baguette ini. Sementara baguette-ku terbaring kaku di atas meja menunggu aksi si pemilik.

Akhirnya, malam ini aku sibuk dengan kegiatan baruku. Di pojok dapur, aku menggerogoti baguette alot sambil cengar-cengir.