“Permisi, Mas”, kata beliau
Rupanya beliau mau turun. Ah, rejeki memang tak ke mana, pikirku. Dengan pelan tapi pasti pantatku dan punggungku kugeser menempati kursi Bapak tadi. Lega. Aku bisa dengan nyaman menikmati perjalanan. Sebentar kulirik penumpang di sebelahku. Seorang anak muda sibuk dengan gadgetnya. Sampai di terminal Purbalingga, penumpang bertukar naik turun. Penumpang yang akan melakukan perjalanan menuju Pemalang harus turun dan naik bus jurusan Pemalang. Penumpang yang akan melanjutkan ke kota harus turun dan naik angkot ke arah kota. Aku tetap teguh di tempat dudukku. Tujuanku adalah Bajong, sebuah desa di sebelah timur kota Purbalingga. Belum ada semenit bus beranjak dari terminal, kulihat seorang perempuan muda dengan perut buncit berdiri di tempatku berdiri tadi. Agaknya, perempuan itu tengah hamil tua. Dari pakaiannya dan lencana korpri di dada kirinya, aku memastikan ia seorang pegawai negeri. Awalnya, aku berpikiran untuk menawarkan tempat dudukku kepadanya. Tapi pikiranku bimbang. Atas dasar apa aku harus memberikan kursiku kepadanya? Sudah menjadi hukum di dalam transportasi umum, kursi ini adalah hakku untuk mendudukinya karena aku adalah orang terdekat dengan pemilik kursi sebelumnya dan tak ada seorang pun yang protes atas penempatanku di kursi ini. Dan kini, ketika giliranku duduk belum ada 10 menit, aku harus memberikan hakku kepada seseorang yang belum aku kenal hanya karena dia hamil. Toh dia juga tidak pernah menghiba untuk dikasihani. Dia juga tidak terlihat menderita karena keadaannya. Melihat raut wajahnya yang nampak gembira, aku yakin dia cukup kuat, bangga dan bahagia dengan takdirnya sebagai seorang wanita yang hamil. Tapi entah siapa yang membisiki aku, setan atau malaikat, bahwa kursiku bisa ditukar dengan surga.
“Dengan kebaikan hatimu sedikit saja, Tuhan akan memberikan surga kepadamu” begitu bisikan di telingaku. Aku lupa di telinga kanan atau telinga kiri.
Tapi aku segera menampik bisikan itu. Aku pikir, pasti Tuhan akan marah ketika aku meminta surga hanya dengan menukar sebuah kursi bus kota yang sudah agak butut itu. Beberapa saat, tak ada alasan apapun untuk memberikan kursiku kepada perempuan itu. Aku mencoba berpikir ulang. Belum juga kutemukan alasan kuat untuk itu. Sampai aku teringat ibuku. Dan akhirnya:
“Ibu, silahkan duduk. Biar saya yang berdiri,” kataku menawarkan kursiku kepadanya.
“Silahkan Bapak tetap duduk di kursi Bapak. Itu hak Bapak.
Biar saya yang berdiri saja”
“Nggak apa-apa Bu, silahkan,” kataku lebih lanjut
“Maaf Bapak, bukannya saya menolak. Tapi biarlah anak saya
ini nanti bangga kepada ibunya yang kuat tanpa belas kasihan dari orang lain.” kata dia.
Aku sempat kaget dengan jawaban yang disampaikannya .
“Maaf Bu, sama sekali bukan karena kasihan kepada Ibu. Justru
karena saya mengagumi seorang ibu seperti ibu. Dalam keadaan hamil besar masih
bisa bekerja menjalankan kewajiban tanpa mengeluh, tanpa minta belas
kasihan kepada siapapun. Ibu hebat. Sebagai hadiah, sekali lagi saya tawarkan
Ibu untuk duduk,” kataku, tentu saja dengan senyum.
Sang Ibu pun tak berkutik dengan tawaranku. Dengan senyum pula dia duduk dengan mantap.
“Terima kasih Bapak,” kata dia, “Tapi Bapak tidak bermaksud
menukar kursi ini dengan surga kan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar