Entah ada ikatan apa aku dengan Gus Dur. Pada tahun 1998 tepatnya tanggal 20 Mei ketika Soeharto sudah tidak takut patheken (ora dadi presiden yo ora patheken) alias mengundurkan diri, partai-partai politik berdiri bagai jamur di musim hujan. Ada yang beraliran nasionalis, agamis atau bahkan beraliran tak jelas. Yang pasti semuanya berusaha merebut suara para konstituen yang sangat beragam. Ibarat makanan, para pemilih disuguhi banyak makanan dan dipersilahkan memilih sesuai dengan seleranya masing-masing. Begitu pula Gus Dur ketua PBNU yang mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan harapan aspirasi umat NU bisa terwakili dengan partai baru itu tanpa menyeret NU ke dalam kancah politik. PKB ibarat rumah bagi para santri dan kyai. Sebagai wujud dukungannya, di mana-mana para santri membuat laskar. Para santri di pondokku juga tak mau ketinggalan untuk mendirikan sebuah laskar. Saat itulah aku menggambar wajah Gus Dur di sebuah kertas HVS, aku menulisinya "THE NEXT GENERATION". Tadinya berniat untuk kutawarkan sebagai simbol laskar dan disablon di kaos laskar. Tapi proposalku gagal karena nama laskarnya adalah "Laskar Wahid Hasyim" sesuai nama pondokku. Entah feeling atau harapan, tulisan "THE NEXT GENERATION" kumaksudkan bahwa beliau yang akan dan berharap menjadi pemimpin masa depan. Karena gagal jadi gambar kaos, akhirnya kufotocopy gambar itu sebanyak 20 lembar dan kubagikan kepada teman-teman berharap karyaku ini ditempel di mana-mana. Seperti kampanye atau hanya sekedar pamer bahwa gambarku bagus. Kenyataannya, gambar Gus Dur karyaku dikoleksi oleh banyak temanku. Walaupun ada pula yang tak tertarik untuk sekedar melihatnya. Mungkin pikirnya, gambar Gus Dur yang lebih bagus banyak. Tak apalah yang penting pada saat itu aku merasa puas dengan hasil karyaku. Toh, tak kuperjualbelikan.
Hari berganti hari. Kondisi Indonesia masih kacau. Sosial politik dan keamanan masih belum sepenuhnya terkendali. Nilai rupiah terhadap dollar naik turun begitu cepat. Presiden BJ Habibi sebagai pengganti Soeharto memutuskan untuk mempercepat pemilu. Dianggap masih menjadi kaki tangan Soeharto, pertanggungjawaban beliau ditolak mentah-mentah oleh MPR dan kemudian diadakan pemilihan presiden. Tarik ulur calon presiden oleh partai politik akhirnya menempatkan Megawati dan Gus Dur menjadi calon presiden. Saat itu pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR melalui voting. Proses pemilihan ini disiarkan langsung oleh berbagai stasiun televisi. Pasar taruhan dibuka, baik yang lima ribuan di kalangan tukang becak di perempatan maupun di pasar taruhan gelap yang uangnya milyaran. Setelah melalui pemungutan suara secara tertutup kemudian kotak suara dibuka dan satu per satu suara dihitung. Ealah kok Gus Dur menang dan jadi presiden beneran. Edan tenan Gus Dur iki.
Setelah beliau jadi presiden, di kalangan pondok pesantren di Yogyakarta dibentuk pasukan khusus pengawal Gus Dur yaitu pasukan Sirrulloh. Sesuai namanya yang berarti rahasia Alloh, pasukan ini bergerak di bawah tanah dan tidak boleh terlihat dan terdeteksi oleh orang lain. Tujuannya adalah mengawal dan menjamin keamanan Gus Dur selama di Yogyakarta. Pembentukan pasukan ini terjadi di Masjid jami' Gaten kompleks Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Masing-masing pondok pesantren di seluruh Yogyakarta mengutus 2 santrinya untuk menjadi anggota pasukan ini, termasuk pondok pesantrenku. Semua orang berharap diutus oleh Mbah Kyai untuk bergabung dengan pasukan ini. Ketika di masjid sudah mulai ramai dengan datangnya para santri dari berbagai pondok pesantren se-Yogyakarta, salah satu satu teman santriku, Muta'alim tiba-tiba datang ke kamarku.
"Bas, sampeyan sama Sulthon disuruh ikut ke masjid mewakili pondok jadi pasukan Sirrulloh, "
Tentu saja penunjukan ini mengagetkanku dan Sulthon. Tak hanya aku dan Sulthon yang kaget, para pengurus dan usdtadz juga. Tak terbersit sedikitpun aku akan menjadi pasukan pengawal Gus Dur ini. Selain aku tak berminat kepada hal-hal yang berbau kekerasan aku juga sama sekali tidak bisa bela diri. Pokoknya, aku ini manusia rumahan yang pendiam, kalem, dan manis. Akan tetapi karena ini adalah perintah kyai maka aku harus mematuhinya. Aku tergabung menjadi pasukan Sirrulloh, pasukan rahasia pengawal Gus Dur.
Di masjid aku mendapatkan pengarahan semacam pembekalan serta ijazah-ijazah yang harus diamalkan. Tentu saja ijazah-ijazah tersebut adalah ilmu untuk melindungi, membela diri, ilmu untuk berperang dan untuk menyelamatkan orang lain. Ada ilmu menembak hanya dengan melempat batu, mengebom, menjatuhkan pesawat, membuat gempa bumi, menyamar dan menghilang. Komplit. Lelakon untuk mengamalkan ijazah ini sangat berat. Aku harus puasa ngebleng (siang malam) , wiridan ribuan kali, kungkum di kali, bergantung di pohon dan lain sebagainya. Karena itulah, ilmu yang kusukai adalah menghilang, menghilang dari masjid secara diam-diam dan pergi ke warung Mbah Karto, soalnya aku lapar. Tapi aku tak berdaya. Aku harus mengikuti pendadaran sampai selesai. Apa kata dunia kalau aku kabur dan tidak memanfaatkan moment yang semua orang justru ingin ikut.
Awal tahun 2000 karena aku harus konsentrasi mengerjakan skripsi maka aku terpaksa kos walaupun kegiatan di pondok masih kerap kuikuti. Tak lupa kupasang gambar Gus Dur bertuliskan "THE NEXT GENERATION" di kamarku. Kupaku dengan mantap dan kencang.
Pada suatu siang di awal Januari 2001, sepulangku dari kampus, tak ada angin tak ada hujan, gambar Gus Dur jatuh.
"Mak deg" aku terhenyak. Jantung berdetak kencang. Aku heran aku begitu tersentak dengan peristiwa ini. Kertas jatuh itu biasa, mungkin terkena angin sedikit, mungkin pakunya kendor, mungkin ada cicak lewat dan menabraknya. Banyak hal yang sebenarnya bisa menjadi alasan logis kenapa gambar Gus Dur jatuh. Tapi entah mengapa jantungku berdebar kencang. Seperti ada firasat "apakah Gus Dur akan turun dari presiden?". Aku hanya berdoa semoga firasatku salah.
Setelah beberapa bulan ternyata firasatku benar-benar nyata. Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan. Sebagai anggota pasukan pengawal beliau, aku tak terima. Walaupun ilmu menghilangku belum kukuasai dengan sempurna tapi jiwa korsa terhadap institusiku tetap terjaga. Aku tinggal menunggu sewaktu-waktu pimpinan kami menyuruh kami bergerak, aku akan bergerak. Tapi Gus Dur justru melarang kami bergerak. "Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dipertahankan mati-matian, apalagi sampai menumpahkan darah orang Indonesia. Nanti sejarah akan membuktikan kebenarannya," kata beliau. Lagi-lagi aku bilang, "edan tenan Gus Dur ini".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar