Tepat pukul 08.00 WIB busku berangkat. Ada 3 bus, Bus A, bus B, bus C. Aku mengawali
dengan do’a plus senyum
agar perjalanaan ini penuh dengan keceriaan. Kutempatkan pantatku di kursi dengan
tepat agar bisa duduk senyaman mungkin. Layar TV di depan mulai menyala.
Lagu-lagu nostalgia mengawali pagi yang cerah ini. Pance Pondaag memamerkan
suara khasnya yang melengking. Klik sekali dengan moodku.
“Ganti mas kondektur. Noah aja,” teriak anak-anak dari
belakang.
Mas kondektur tak berkutik. Dari tas CDnya dikeluarkan Noah
terbaru. Tentu saja CD bajakan, harga 5000 per keping atau 4000 kalau beli banyak. Dan moodku patah hati.
Pance pondaag turun panggung. Agak kecewa sih. Tapi apa boleh buat. Aku harus
menyesuaikan diri dengan selera massa. Ku-restart otakku. Kucari gelombang sinyal
baru di moodku. Ketemu. Asyik juga lagu separuh aku-nya Ariel Noah, penyanyi
ganteng, punya suara bagus, disukai banyak cewek dan selalu membuatku iri.
Padahal sebenarnya aku tak perlu iri hanya dengan perbedaan yang sedikit itu.
Semarang dan setelahnya
Pukul 10.00 memasuki Semarang.
Macet adalah adat lama yang masih belum bisa hilang. Noah sudah dari tadi turun
panggung. Kini Agnes Monika sedang tampil. Aku dan sepertinya juga semua
penumpang sudah tak bisa menikmati Agnes Monika yang sedang jingkrak-jingkrak. Kami
mulai gelisah. Pemandangaan kendaraan dan kota Semarang yang macet mempengaruhi
selera kami. Apa boleh buat, kusandarkan kepalaku di sandaran dan kakiku
kuangkat dan lututku bersandar ke kursi kondektur. Terasa lebih nyaman.
Batang-Semarang belum ada pemandangan yang baru karena aku sudah bolak-balik
melalui jalur itu. Aku belum perlu menyalakan kamera digital yang tergantung di
leherku. Memasuki Demak, Kudus, Pati, Rembang aku pasang aksi. Kota yang belum
pernah aku lewati ini tentu saja harus aku abadikan di cameraku walaupun hanya
dari atas bus. Batas kota
Demak yang bertuliskan Demak kota Wali, Terminal bus tipe A Jati di Kudus,
Masjidil Aqso Sunan Ngerang di Pati, Ladang garam, Polsek, pelabuhan nelayan,
dan proyek calon pelabuhan Rembang, tugu perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur
beserta candinya sempat terjepret kameraku
Pukul 13.00 memasuki Jawa Timur
dan transit di Tuban untuk makan siang dan sholat. Perjalanan selanjutnya
melalui Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo tak kulewatkan. Semuanya telah
masuk ke kamera digitalku.
Alas Purwo
Setelah makan malam di Pasuruan
mataku mulai memainkan irama syahdunya. Rasa kantuk karena kenyang tak bisa kucegah. Probolinggo kulewati dengan mata tertutup. Pukul 02.00 aku
terbangun. Kulihat lamat-lamat di sebelah kanan jalan tulisan “Alas Purwo Banyuwangi”.
Semua penumpang telah
KO. Hanya kondektur dan supirnya yang masih terjaga. Dengan “gudang garam” di bibirnya, pak supir nampak sama
sekali tak mengantuk. Padahal
sudah hamper 20 jam menyetir. Bus berjalan di tengah hutan dengan kencang tanpa goncangan. Jalannya
sangat halus. Jalanan yang mulus di Banyuwangi memang sudah kondang sejak Banyuwangi
dipimpin oleh Bupati Abdullah Azwar Anas. Suasana malam di hutan yang terkenal angker ini tidak
mengurangi kecepatan kendaraan. Jalur
alas purwo bahkan berubah
menjadi sirkuit Catalunya bagi supir busku. Pedal gas dipancal pada
kecepatan maksimal. Aku mengurungkan
niatku untuk tidur lagi. Adrenalinku terpancing untuk menikmati
balapan bus ini. Jalur hutan yang mulus meliuk-liuk diterjang. Klakson tak pernah
diam. Lampu dim (high beam) berkedap-kedip memperingatkan kendaraan yang
berpapasan supaya minggir. Tulisan “Jika supir kami ugal-ugalan dan
membahayakan penumpang, telp. 081.....” yang terpampang di depan sudah tak dipedulikan. Kendaraan-kendaraan kecil yang
berpapasan dengan bus kami lebih suka mengalah daripada jadi korban. Inilah alasan mengapa supir bus
malam mempunyai kasta paling
tinggi di dunia per-supir-an.
Keberanian, keterampilan, kecermatan, kenekatan, dan
kegilaan mereka telah teruji.
Ketapang-Gilimanuk
Pukul 03.00 kami menyeberang dari
Ketapang menuju Gilimanuk. Kami naik kapal ferry. Aku memilih duduk di lantai dua sambil menikmati kelap-kelip lampu kapal lainnya. Duduk di kursi panjang dari besi, pantatku pegal, akhirnya aku naik ke atas. Sambil berdiri di geladak bagian depan diterpa angin malam, membayangkan Jack yang bergelayut bersama Rose di Titanic. (Sayang Rose-nya ketinggalan di rumah). Setelah 30 menit berlayar, kami turun dan melanjutkan perjalanan dengan bus kami. Pukul 04.00 kami sholat subuh di masjid tak jauh dari pelabuhan. Pada pukul
06.00, kami transit di rumah makan Soka untuk mandi sekaligus sarapan. Aroma night indian jasmine alias kembang kamboja mulai tercium. Di pintu gerbang, di parkiran, di pintu, di dekat kamar mandi terdapat sesaji dengan aroma khas Bali tersebut. Pemilik
rumah makan ternyata orang Kebumen dan nama Soka diambil dari nama satu wilayah
di Kebumen yang terkenal dengan produk gentengnya yaitu “genteng soka”. Di rumah makan ini, terdapat museum ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh hasil lomba disimpan di museum ini. Alhamdulilah, sampai di tempat
ini rombongan di busku tak ada yang mabuk.
Tanjung Benoa-Nusa Dua
Wisata Paket pertama yaitu ke Tanjung Benoa. Kami melewati jalan tol laut, satu-satunya jalan tol yang
dibangun di atas laut dan satu-satunya jalan tol yang memperbolehkan sepeda
motor untuk melewatinya. Di Tanjung Benoa-Nusa Dua, banyak permainan yang ditawarkan yaitu jet ski, parasailing, Banan Boat, Flying fish, snorkling, Glass Buttom naik perahu motor ke pulau penyu tempat penangkaran penyu
(Deluang Sari Turtle Farm). Biaya permainan ditanggung sendiri. Aku memilih naik perahu motor ke pulau penyu dengan membayar 50 ribu dan 5 ribu tiket masuk. Setelah puas berfoto-foto
dengan penyu, kelelawar, burung rangkong dan ular, kami kembali ke Tanjung Benoa dan acara dilanjutkan makan siang.
Pantai pandawa
Pantai yang indah dengan pegunungan kapur di
belakangnya. Pasir putih dan hmmm… mulai. Para turis yang berjemur dengan
pakaian seadanya menarik perhatianku. Inilah daya tarik
wisata Bali yang sebenarnya (bagi turis lokal): sumur dan susno duaji.
Paragliding, perahu, dan tempat untuk berjemur dan payung sama sekali tak menarik bagiku. Aku hanya jalan-jalan sambil memperhatikan sumur dan susno duaji yang masih tersaji. Pantai, air laut, perahu, warung penjual mie
rebus, nasi goring, kelapa muda sudah ada semua di kotaku, Batang. Buat apa kulirik
lagi.
Garuda Wisnu Kencana
(GWK)
Seni di Bali memang tak pernah ada matinya. Patung GWK walaupun masih setengah jadi ini tetap menarik. Lokasi
yang luas dengan rencana arsitektur yang mengagumkan dari karya seni I Nyoman
Nuarta sudah membentuk. Entah mau dilanjutkan atau tidak karya besar ini. Di area ini, semua bangunannya terbentuk dari gunung kapur yang diukir dan dilubangi. Ckckck..kagum aku. Pentas kecak di ruang teater menyedot perhatian
pengunjung untuk berfoto-foto dengan para penari. Menarik.
Hari ke-2
Tari Barong
Di Batubulan, kami
menonton pentas tari barong. Dialog yang kocak dan melibatkan para penonton
sangat menarik. Tak lupa adegan kelamin tetap menjadi penutupnya. Aku pun menikmatinya sampai selesai.
Cah Ayu
Pusat belanja khusus kacang-kacangan khas Bali
paling lengkap. Walaupun ada produk lain, kacang tetap menjadi andalannya. Pemiliknya, H. Robani menyempatkan untuk menyapa kami. Pengalamannya yang unik dan menarik aku dengarkan dari beliau: dari pedagang asongan kini menjadi juragan. Aku menyempatkan untuk membeli oleh-oleh pie susu dengan berbagai rasa dan kacang juga dengan berbagai rasa. Di
sini, kami juga menjalankan sholat dhuhur dan makan siang.
Pasar Seni Sukawati
Nama sebenarnya adalah Pasar Seni Guwang
(Guwang Art Market) terletak di jalan Guwang Sukawati Gianyar Bali tapi lebih
terkenal dengan nama Pasar Seni Sukawati saja. Di sini, dijual lukisan Bali
dari ukuran kecil sampai besar, dari harga 20 ribuan sampai ratusan juta. Aku
belum tertarik untuk membelinya walaupun lukisannya sangat menarik. Pertimbangannya
hanya satu yaitu karena belum ada tempat di rumahku untuk memajang. Maklum,
rumahku belum sempurna, temboknya masih batu bata merah telanjang, belum di-Iepo. Kaos barong khas Bali berharga 25
ribuan juga dijual di sini. Kualitas bahannya yang tidak terjamin membuatku tak
tertarik untuk membelinya. Aku memilih untuk minum kopi khas Bali di warung
depan pasar di bawah pohon beringin. Rasanya agak pahit, sedikit masam tapi lembut.
“Ah..ini baru Bali,” kataku sambil menyeruput
secangkir kopi panas.
"Ini kopi kintamani", kata pemilik warung.
"Hah, jadi ini dari kotoran anjing?" tanyaku pada pemilik warung karena setahuku kintamani adalah nama anjing ras Bali. Artinya, prosesnya sama dengan kopi luwak yang juga diproses melalui kotorannya?.
"Bukan... kopi ini berasal dari daerah kintamani" jelas pemilik warung. Ternyata kintamani adalah nama kecamatan di kabupaten Bangli dan anjing kintamani juga berasal dari sana.
"Ini kopi kintamani", kata pemilik warung.
"Hah, jadi ini dari kotoran anjing?" tanyaku pada pemilik warung karena setahuku kintamani adalah nama anjing ras Bali. Artinya, prosesnya sama dengan kopi luwak yang juga diproses melalui kotorannya?.
"Bukan... kopi ini berasal dari daerah kintamani" jelas pemilik warung. Ternyata kintamani adalah nama kecamatan di kabupaten Bangli dan anjing kintamani juga berasal dari sana.
Pantai Kuta
Jam 15.30 kami menuju pantai Kuta. Bus diparkir
di depan toko Krisna. Kemudian, penumpang diangkut menggunakan mobil suttle isuzu
warna biru menuju pantai Kuta. Aku tak ikut ke pantai. Hari sudah sore, pasti
jemuran susno duaji telah diangkat oleh pemiliknya. Percuma kan? Aku lebih
memilih untuk masuk ke Toko Krisna untuk membeli oleh-oleh buat istri dan
anak-anakku. Kubeli beberapa kaos. Cenderamata di sini juga sangat menarik. Ada lukisan, patung, gantungan kunci, pin tempelan kulkas, dan cenderamata khas Bali yaitu patung alat kelamin pria dengan berbagai ukuran. Fungsinya? Tak ada. Art is art, jadi buat dipajang aja karena tak mungkin kita memajang yang asli.
Pentas Dangdut
Tak di Batang, tak di Bali. Dangdut tetap di
hati. Di malam terakhir, agen tour kami sengaja menyewa organ tunggal untuk
mengiringi para siswa menyanyi. Lagi-lagi, lagu oplosan, tuku sate, perawan
kalimantan ditampilkan oleh para siswa diiringi goyang dangdut dari
teman-temannya sampai jam 24.00. Meriah.
Aku hanya ikut menikmati pentas dangdut
beberapa lagu. Selanjutnya, aku jalan-jalan menikmati malam di Kantor Bupati atau
pusat pemerintahan Kabupaten Badung (Mangupraja Mandala) yang kebetulan tidak
jauh dari hotel Made Bali di jalan Raya Sempidi-Badung tempat kami menginap. Bangunan yang sangat megah dan luas.
Hari ke-3
Sangeh
Memasuki Sangeh, kami disambut oleh saudara tua
kami (menurut teori Darwin). Sangeh adalah hutan wisata. Di dalamnya terdapat
pohon-pohon pala tua yang dengan ketinggian ratusan meter. Ada pohon lanang
wadon yang menarik perhatian. Dinamakan pohon lanag wadon karena ada 2 pohon
tumbuh berhimpitan dan bagian salah satu pohon berlubang. (mesum again) Di bawah pohon itu, diletakkan sesaji. Lagi-lagi, tour
guide kami memperingatkan untuk tidak mengambil apapun dari hutan ini.
Mitosnya: kalau ada yang mengambil buah atau ranting pohon pala, akan terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Mitos ini didukung dengan cerita tentang
kejadian-kejadian yang pernah dialami oleh turis lokal maupun mancanegara yang entah benar atau tidak. Paling tidak, mitos ini telah menjadi sarana yang ampuh untuk menjaga
kelestarian hutan ini. Tak ada seorang pun yang berani melanggar aturan yang
telah ditetapkan.
Pohon Kelapa cabang
Tiga
Apapun yang unik di Bali bisa dijadikan objek
wisata. Di pinggir jalan sebelah kiri dari Sangeh menuju Bedugul, terdapat
pohon kelapa unik. Pohon kelapa ini bercabang 3. Sampai dilokasi tempat pohon
ini berada, bus melambat untuk member kesempatan kepada kami menyaksikan dan
mengabadikan pohon kelapa ini. Ini adalah salah satu bahan pembicaraan tour guide
juga. Lumayan.
Teman Joger
Salah satu pusat belanja di Bali adalah Joger
dan Teman Joger (cabangnya Joger). Joger berada di Denpasar sedangkan teman joger ada di
Bedugul. Joger adalah singkatan dari Joseph (Joseph Theodorus Wulianandi) dan Gerhard Seeger (temannya pak Joseh yang berasal dari Jerman). Joger kini menjadi salah satu ikon Bali. Produk
yang dihasilkan adalah kaos, sandal, sepatu, tas, dan asesoris dengan kata-kata yang lucu, unik, sekenanya, kadang menipu. Aku pun tertipu, sandal yang aku beli ternyata sandal jelek. Aduh maak..
Bedugul
Bedugul terletak di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan Bali dengan pemandangan alam dan danau yang terletak pada ketinggian 1.240 meter dari permukaan laut, dengan temperatur rata-rata 18 Celcius pada malam hari dan 24 Celcius pada siang hari. Tempat yang asyik untuk berfoto-foto. Sambil makan siang, aku menikmati indahnya danau bedugul. Wilayah bedugul juga penghasil buah-buahan. Tak heran kalau di sekitar bedugul banyak penjual buah.
Pulang
Pulang
Dari bedugul, langsung pulang. Perjalanan panjang
akan kami lalui kembali. Bayangan melelahkan sudah ada di pelupuk mata. Tapi
setelah berpengalaman menikmati perjalan berangkat, hatiku lumayan tenang.
Penyebrangan Gilimanuk-Ketapang kami lalui jam 20.00. Sirkuit Catalunya kembali
menantang adrenalinku. Aku sengaja tak mau memejamkan mata sejak turun dari
ferry di Ketapang. Benar-benar sebuah pertunjukkan tingkat tinggi. Sebuah bus
besar penuh dengan nyawa dibawa meliuk-liuk dengan kecepatan lebih dari 120-an km
/jam. Keluar dari banyuwangi, aku kembali terlelap sampai tiba-tiba terdengar suara "der". Awalnya kukira suara ban bus meletus. Ternyata kaca bus depan dilempar
dengan batu oleh orang tak dikenal. Ada bekas lemparan.
“Untung tak pecah,” kata pak supir.
“Betul-betul
iseng. Yang melempar tadi 2 orang yang berboncengan naik motor, terus ngebut ”
tambah kondektur.
Pak supir
terpaksa menurunkan kecepatan hingga sekitar 60 km /jam sampai tapal batas akhir probolinggo. Menurut pak supir, kejadian tersebut memang sering terjadi di
probolinggo. Keluar dari probolinggo, hatiku tenang. Mataku juga sudah tenang
untuk kembali terpejam. Aku terbangun ketika bus berhenti sekitar jam 3 pagi di
sebuah masjid untuk menunggu waktu sholat subuh dan pak supir minta ijin untuk
memejamkan mata sebentar di bagasi bus.
Sekitar jam
04.30 perjalanan dilanjutkan. Aku kembali memejamkan mata dan terbangun kembali pada jam sarapan pagi di Tuban. Sarapan rawon dan teh panas cukup untuk menyegarkan otakku kembali. Camera digitalku sudah tersimpan rapi di tas. Sudah tak perlu lagi mengambil gambar dalam perjalanan pulang ini. Sambil ngobrol dengan Mas Kondektur dan guyon dengan siswa-siswa, terdengar lagu oplosan, wedus, wis ora ngamen, talining asmoro, cidro, pokoke joged, aku cemburu, buka sitik jos, prei togel, wedi karo bojomu. Rupanya lagu-lagu yang sedang naik daun ini adalah favoritnya mas kondektur. Tiga kali putaran belum juga cukup.
"Asyik juga lagunya"
Aku begitu menikmatinya dan otakku terkontaminasi.
Tepat pukul 15.00 WIB bus kami sampai di Batang. Istri dan
anak-anakku menjemputku. "Asyik juga lagunya"
Aku begitu menikmatinya dan otakku terkontaminasi.
Kuberikan oleh-oleh kaos dan sandal jelek untuk istri dan anak-anakku dan kupersembahkan juga oleh-oleh istimewa dengan suaraku yang merdu :
"Opo ora eman duite, kanggo tuku banyu setan......"
Ayo goyang mang...ser, ser.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar