alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 21 November 2014

BALI (2)

Tepat pukul 08.00 WIB busku berangkat. Ada 3 bus, Bus A, bus B, bus C. Aku mengawali dengan doa plus senyum agar perjalanaan ini penuh dengan keceriaan. Kutempatkan pantatku di kursi dengan tepat agar bisa duduk senyaman mungkin. Layar TV di depan mulai menyala. Lagu-lagu nostalgia mengawali pagi yang cerah ini. Pance Pondaag memamerkan suara khasnya yang melengking. Klik sekali dengan moodku.

“Ganti mas kondektur. Noah aja,” teriak anak-anak dari belakang.

Mas kondektur tak berkutik. Dari tas CDnya dikeluarkan Noah terbaru. Tentu saja CD bajakan, harga 5000 per keping atau  4000 kalau beli banyak. Dan moodku patah hati. Pance pondaag turun panggung. Agak kecewa sih. Tapi apa boleh buat. Aku harus menyesuaikan diri dengan selera massa. Ku-restart otakku. Kucari gelombang sinyal baru di moodku. Ketemu. Asyik juga lagu separuh aku-nya Ariel Noah, penyanyi ganteng, punya suara bagus, disukai banyak cewek dan selalu membuatku iri. Padahal sebenarnya aku tak perlu iri hanya dengan perbedaan yang sedikit itu.

Semarang dan setelahnya
Pukul 10.00 memasuki Semarang. Macet adalah adat lama yang masih belum bisa hilang. Noah sudah dari tadi turun panggung. Kini Agnes Monika sedang tampil. Aku dan sepertinya juga semua penumpang sudah tak bisa menikmati Agnes Monika yang sedang jingkrak-jingkrak. Kami mulai gelisah. Pemandangaan kendaraan dan kota Semarang yang macet mempengaruhi selera kami. Apa boleh buat, kusandarkan kepalaku di sandaran dan kakiku kuangkat dan lututku bersandar ke kursi kondektur. Terasa lebih nyaman. Batang-Semarang belum ada pemandangan yang baru karena aku sudah bolak-balik melalui jalur itu. Aku belum perlu menyalakan kamera digital yang tergantung di leherku. Memasuki Demak, Kudus, Pati, Rembang aku pasang aksi. Kota yang belum pernah aku lewati ini tentu saja harus aku abadikan di cameraku walaupun hanya dari atas bus. Batas kota Demak yang bertuliskan Demak kota Wali, Terminal bus tipe A Jati di Kudus, Masjidil Aqso Sunan Ngerang di Pati, Ladang garam, Polsek, pelabuhan nelayan, dan proyek calon pelabuhan Rembang, tugu perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur beserta candinya sempat terjepret kameraku
Pukul 13.00 memasuki Jawa Timur dan transit di Tuban untuk makan siang dan sholat. Perjalanan selanjutnya melalui Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo tak kulewatkan. Semuanya telah masuk ke kamera digitalku.

Alas Purwo
Setelah makan malam di Pasuruan mataku mulai memainkan irama syahdunya. Rasa kantuk karena kenyang tak bisa kucegah. Probolinggo kulewati dengan mata tertutup. Pukul 02.00 aku terbangun. Kulihat lamat-lamat di sebelah kanan jalan tulisan “Alas Purwo Banyuwangi”. Semua penumpang telah KO. Hanya kondektur dan supirnya yang masih terjaga. Dengan gudang garam” di bibirnya, pak supir nampak sama sekali tak mengantuk. Padahal sudah hamper 20 jam menyetir. Bus berjalan di tengah hutan dengan kencang tanpa goncangan. Jalannya sangat halus. Jalanan yang mulus di Banyuwangi memang sudah kondang sejak Banyuwangi dipimpin oleh Bupati Abdullah Azwar Anas. Suasana malam di hutan yang terkenal angker ini tidak mengurangi kecepatan kendaraan. Jalur alas purwo bahkan berubah menjadi sirkuit Catalunya bagi supir busku. Pedal gas dipancal pada kecepatan maksimal. Aku mengurungkan niatku untuk tidur lagi. Adrenalinku terpancing untuk menikmati balapan bus ini. Jalur hutan yang mulus meliuk-liuk diterjang. Klakson tak pernah diam. Lampu dim (high beam) berkedap-kedip memperingatkan kendaraan yang berpapasan supaya minggir. Tulisan “Jika supir kami ugal-ugalan dan membahayakan penumpang, telp. 081.....” yang terpampang di depan sudah tak dipedulikan. Kendaraan-kendaraan kecil yang berpapasan dengan bus kami lebih suka mengalah daripada jadi korban. Inilah alasan mengapa supir bus malam mempunyai kasta paling tinggi di dunia per-supir-an. Keberanian, keterampilan, kecermatan, kenekatan, dan kegilaan mereka telah teruji.

Ketapang-Gilimanuk
Pukul 03.00 kami menyeberang dari Ketapang menuju Gilimanuk. Kami naik kapal ferry. Aku memilih duduk di lantai dua sambil menikmati kelap-kelip lampu kapal lainnya. Duduk di kursi panjang dari besi, pantatku pegal, akhirnya aku naik ke atas. Sambil berdiri di geladak bagian depan diterpa angin malam, membayangkan Jack yang bergelayut bersama Rose di Titanic. (Sayang Rose-nya ketinggalan di rumah). Setelah 30 menit berlayar, kami turun dan melanjutkan perjalanan dengan bus kami. Pukul 04.00 kami sholat subuh di masjid tak jauh dari pelabuhan. Pada pukul 06.00, kami transit di rumah makan Soka untuk mandi sekaligus sarapan. Aroma night indian jasmine alias kembang kamboja mulai tercium. Di pintu gerbang, di parkiran, di pintu, di dekat kamar mandi terdapat sesaji dengan aroma khas Bali tersebut. Pemilik rumah makan ternyata orang Kebumen dan nama Soka diambil dari nama satu wilayah di Kebumen yang terkenal dengan produk gentengnya yaitu “genteng soka”. Di rumah makan ini, terdapat museum ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh hasil lomba disimpan di museum ini. Alhamdulilah, sampai di tempat ini rombongan di busku tak ada yang mabuk.

Tanjung Benoa-Nusa Dua
Wisata Paket pertama yaitu ke Tanjung Benoa. Kami melewati jalan tol laut, satu-satunya jalan tol yang dibangun di atas laut dan satu-satunya jalan tol yang memperbolehkan sepeda motor untuk melewatinya. Di Tanjung Benoa-Nusa Dua, banyak permainan yang ditawarkan yaitu jet ski, parasailing, Banan Boat, Flying fish, snorkling, Glass Buttom naik perahu motor ke pulau penyu tempat penangkaran penyu (Deluang Sari Turtle Farm). Biaya permainan ditanggung sendiri. Aku memilih naik perahu motor ke pulau penyu  dengan membayar 50 ribu dan 5 ribu tiket masuk. Setelah puas berfoto-foto dengan penyu, kelelawar, burung rangkong dan ular, kami kembali ke Tanjung Benoa dan acara dilanjutkan makan siang.

Pantai pandawa
Pantai yang indah dengan pegunungan kapur di belakangnya. Pasir putih dan hmmm… mulai. Para turis yang berjemur dengan pakaian seadanya menarik perhatianku. Inilah daya tarik wisata Bali yang sebenarnya (bagi turis lokal): sumur dan susno duaji. Paragliding, perahu, dan tempat untuk berjemur dan payung sama sekali tak menarik bagiku. Aku hanya jalan-jalan sambil memperhatikan sumur dan susno duaji yang masih tersaji. Pantai, air laut, perahu, warung penjual mie rebus, nasi goring, kelapa muda sudah ada semua di kotaku, Batang. Buat apa kulirik lagi.

Garuda Wisnu Kencana (GWK)
Seni di Bali memang tak pernah ada matinya. Patung GWK walaupun masih setengah jadi ini tetap menarik. Lokasi yang luas dengan rencana arsitektur yang mengagumkan dari karya seni I Nyoman Nuarta sudah membentuk. Entah mau dilanjutkan atau tidak karya besar ini. Di area ini, semua bangunannya terbentuk dari gunung kapur yang diukir dan dilubangi. Ckckck..kagum aku. Pentas kecak di ruang teater menyedot perhatian pengunjung untuk berfoto-foto dengan para penari. Menarik.

Hari ke-2
Tari Barong
Di Batubulan, kami menonton pentas tari barong. Dialog yang kocak dan melibatkan para penonton sangat menarik. Tak lupa adegan kelamin tetap menjadi penutupnya. Aku pun menikmatinya sampai selesai.

Cah Ayu
Pusat belanja khusus kacang-kacangan khas Bali paling lengkap. Walaupun ada produk lain, kacang tetap menjadi andalannya. Pemiliknya, H. Robani menyempatkan untuk menyapa kami. Pengalamannya yang unik dan menarik aku dengarkan dari beliau: dari pedagang asongan kini menjadi juragan. Aku menyempatkan untuk membeli oleh-oleh pie susu dengan berbagai rasa dan kacang juga dengan berbagai rasa. Di sini, kami juga menjalankan sholat dhuhur dan makan siang.

Pasar Seni Sukawati
Nama sebenarnya adalah Pasar Seni Guwang (Guwang Art Market) terletak di jalan Guwang Sukawati Gianyar Bali tapi lebih terkenal dengan nama Pasar Seni Sukawati saja. Di sini, dijual lukisan Bali dari ukuran kecil sampai besar, dari harga 20 ribuan sampai ratusan juta. Aku belum tertarik untuk membelinya walaupun lukisannya sangat menarik. Pertimbangannya hanya satu yaitu karena belum ada tempat di rumahku untuk memajang. Maklum, rumahku belum sempurna, temboknya masih batu bata merah telanjang, belum di-Iepo. Kaos barong khas Bali berharga 25 ribuan juga dijual di sini. Kualitas bahannya yang tidak terjamin membuatku tak tertarik untuk membelinya. Aku memilih untuk minum kopi khas Bali di warung depan pasar di bawah pohon beringin. Rasanya agak pahit, sedikit masam tapi lembut. 
“Ah..ini baru Bali,” kataku sambil menyeruput secangkir kopi panas.
"Ini kopi kintamani", kata pemilik warung. 
"Hah, jadi ini dari kotoran anjing?" tanyaku pada pemilik warung karena setahuku kintamani adalah nama anjing ras Bali. Artinya, prosesnya sama dengan kopi luwak yang juga diproses melalui kotorannya?.
"Bukan... kopi ini berasal dari daerah kintamani" jelas pemilik warung. Ternyata kintamani adalah nama kecamatan di kabupaten Bangli dan anjing kintamani juga berasal dari sana.

Pantai Kuta
Jam 15.30 kami menuju pantai Kuta. Bus diparkir di depan toko Krisna. Kemudian, penumpang diangkut menggunakan mobil suttle isuzu warna biru menuju pantai Kuta. Aku tak ikut ke pantai. Hari sudah sore, pasti jemuran susno duaji telah diangkat oleh pemiliknya. Percuma kan? Aku lebih memilih untuk masuk ke Toko Krisna untuk membeli oleh-oleh buat istri dan anak-anakku. Kubeli beberapa kaos. Cenderamata  di sini juga sangat menarik. Ada lukisan, patung, gantungan kunci, pin tempelan kulkas, dan cenderamata khas Bali yaitu patung alat kelamin pria dengan berbagai ukuran. Fungsinya? Tak ada. Art is art, jadi buat dipajang aja  karena tak mungkin kita memajang yang asli.

Pentas Dangdut
Tak di Batang, tak di Bali. Dangdut tetap di hati. Di malam terakhir, agen tour kami sengaja menyewa organ tunggal untuk mengiringi para siswa menyanyi. Lagi-lagi, lagu oplosan, tuku sate, perawan kalimantan ditampilkan oleh para siswa diiringi goyang dangdut dari teman-temannya sampai jam 24.00. Meriah.
Aku hanya ikut menikmati pentas dangdut beberapa lagu. Selanjutnya, aku jalan-jalan menikmati malam di Kantor Bupati atau pusat pemerintahan Kabupaten Badung (Mangupraja Mandala) yang kebetulan tidak jauh dari hotel Made Bali di jalan Raya Sempidi-Badung tempat kami menginap. Bangunan yang sangat megah dan luas.

Hari ke-3
Sangeh
Memasuki Sangeh, kami disambut oleh saudara tua kami (menurut teori Darwin). Sangeh adalah hutan wisata. Di dalamnya terdapat pohon-pohon pala tua yang dengan ketinggian ratusan meter. Ada pohon lanang wadon yang menarik perhatian. Dinamakan pohon lanag wadon karena ada 2 pohon tumbuh berhimpitan dan bagian salah satu pohon berlubang. (mesum again) Di bawah pohon itu, diletakkan sesaji. Lagi-lagi, tour guide kami memperingatkan untuk tidak mengambil apapun dari hutan ini. Mitosnya: kalau ada yang mengambil buah atau ranting pohon pala, akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Mitos ini didukung dengan cerita tentang kejadian-kejadian yang pernah dialami oleh turis lokal maupun mancanegara yang entah benar atau tidak. Paling tidak, mitos ini telah menjadi sarana yang ampuh untuk menjaga kelestarian hutan ini. Tak ada seorang pun yang berani melanggar aturan yang telah ditetapkan.

Pohon Kelapa cabang Tiga
Apapun yang unik di Bali bisa dijadikan objek wisata. Di pinggir jalan sebelah kiri dari Sangeh menuju Bedugul, terdapat pohon kelapa unik. Pohon kelapa ini bercabang 3. Sampai dilokasi tempat pohon ini berada, bus melambat untuk member kesempatan kepada kami menyaksikan dan mengabadikan pohon kelapa ini. Ini adalah salah satu bahan pembicaraan tour guide juga. Lumayan.

Teman Joger
Salah satu pusat belanja di Bali adalah Joger dan Teman Joger (cabangnya Joger). Joger berada di Denpasar sedangkan teman joger ada di Bedugul. Joger adalah singkatan dari Joseph (Joseph Theodorus Wulianandi) dan Gerhard Seeger (temannya pak Joseh yang berasal dari Jerman). Joger kini menjadi salah satu ikon Bali.  Produk yang dihasilkan adalah kaos, sandal, sepatu, tas, dan asesoris dengan kata-kata yang lucu, unik, sekenanya, kadang menipu. Aku pun tertipu, sandal yang aku beli ternyata sandal jelek. Aduh maak..

Bedugul
Bedugul terletak di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan Bali dengan pemandangan alam dan danau yang terletak pada ketinggian 1.240 meter dari permukaan laut, dengan temperatur rata-rata 18 Celcius pada malam hari dan 24 Celcius pada siang hari. Tempat yang asyik untuk berfoto-foto. Sambil makan siang, aku menikmati indahnya danau bedugul. Wilayah bedugul juga penghasil buah-buahan. Tak heran kalau di sekitar bedugul banyak penjual buah.

Pulang
Dari bedugul, langsung pulang. Perjalanan panjang akan kami lalui kembali. Bayangan melelahkan sudah ada di pelupuk mata. Tapi setelah berpengalaman menikmati perjalan berangkat, hatiku lumayan tenang. Penyebrangan Gilimanuk-Ketapang kami lalui jam 20.00. Sirkuit Catalunya kembali menantang adrenalinku. Aku sengaja tak mau memejamkan mata sejak turun dari ferry di Ketapang. Benar-benar sebuah pertunjukkan tingkat tinggi. Sebuah bus besar penuh dengan nyawa dibawa meliuk-liuk dengan kecepatan lebih dari 120-an km /jam. Keluar dari banyuwangi, aku kembali terlelap sampai tiba-tiba terdengar suara "der". Awalnya kukira suara ban bus meletus. Ternyata kaca bus depan dilempar dengan batu oleh orang tak dikenal. Ada bekas lemparan.

“Untung tak pecah,” kata pak supir.

“Betul-betul iseng. Yang melempar tadi 2 orang yang berboncengan naik motor, terus ngebut ” tambah kondektur.

Pak supir terpaksa menurunkan kecepatan hingga sekitar 60 km /jam sampai tapal batas akhir probolinggo. Menurut pak supir, kejadian tersebut memang sering terjadi di probolinggo. Keluar dari probolinggo, hatiku tenang. Mataku juga sudah tenang untuk kembali terpejam. Aku terbangun ketika bus berhenti sekitar jam 3 pagi di sebuah masjid untuk menunggu waktu sholat subuh dan pak supir minta ijin untuk memejamkan mata sebentar di bagasi bus.

Sekitar jam 04.30 perjalanan dilanjutkan. Aku kembali memejamkan mata dan terbangun kembali pada jam sarapan pagi di Tuban. Sarapan rawon dan teh panas cukup untuk menyegarkan otakku kembali. Camera digitalku sudah tersimpan rapi di tas. Sudah tak perlu lagi mengambil gambar dalam perjalanan pulang ini. Sambil ngobrol dengan Mas Kondektur dan guyon dengan siswa-siswa, terdengar lagu oplosan, wedus, wis ora ngamen, talining asmoro, cidro, pokoke joged, aku cemburu, buka sitik jos, prei togel, wedi karo bojomu. Rupanya lagu-lagu yang sedang naik daun ini adalah favoritnya mas kondektur. Tiga kali putaran belum juga cukup.
"Asyik juga lagunya" 
Aku begitu menikmatinya dan otakku terkontaminasi. 

Tepat pukul 15.00 WIB bus kami sampai di Batang. Istri dan anak-anakku menjemputku. 
Kuberikan oleh-oleh kaos dan sandal jelek untuk istri dan anak-anakku dan kupersembahkan juga oleh-oleh istimewa dengan suaraku yang merdu :
"Opo ora eman duite, kanggo tuku banyu setan......"
Ayo goyang mang...ser, ser.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar