Dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriyah 1436 yang jatuh pada hari Sabtu tanggal 25 Oktober 2014, kali ini
Pemerintah daerah Kabupaten Batang bekerjasama dengan mahasiswa KKN IAIN
Walisongo Semarang mengadakan mujahadah akbar di Masjid Agung Darul Mutaqin
Batang yang akan diselenggarakan pada malam tahun baru. Bapak Bupati Yoyok Riyo Sudibyo mengundang seluruh siswa tingkat SLTP
dan SLTA se-kecamatan Batang untuk turut mensukseskan acara tersebut.
Acara dimulai pukul 19.00 WIB. Untuk menghindari kekacauan, sekolahku menentukan tempat parkir khusus yaitu di depan pendopo kabupaten. Parkiran dadakan yang dikoordinasi oleh Mas Jo, satpam andalan sekolahku awalnya membuat kaget para Satpol PP penjaga pendopo karena parkir dadakan ini tanpa ijin terlebih dahulu. Tapi, dengan penjelasan yang logis, optimis dan ngecupris, akhirnya parkiran dadakan tersebut mendapat restu dari pimpinan satpol PP.
Di parkiran itu juga, aku berrencana mengabsen siswa-siswa kelasku. Tapi ketika kugeledah sakuku, isinya hanya buku tahlil yasin dan peci buluk.
“Perasaan tadi sudah masuk saku deh,” pikirku
“Ya sudah, absennya besok saja di sekolah,” kataku beralasan
“Bapak aneh ya, masak acaranya malam ini di sini, kok absennya
besok di sekolah. Kan jaka sembung sekali alias tak nyambung sama sekali,”
celetuk salah satu siswaku
“Kamu pilih absen apa pahala,” kataku berkelit. Sekali lagi,
aku telah berdosa kepada Tuhan karena pahalanya kupakai sebagai jaminan untuk menghapus
kesalahanku.
Kugiring siswa-siswaku menuju masjid. Tepat pukul 19.00, kami memasuki masjid dan masih kosong. Hanya ada satu layar lebar dan LCD di sebelah kanan mihrab dan 2 buah kamera, satu tepat di sebelah kanan mihrab dan yang satu ada di belakang jauh lurus menghadap mihrab. Beberapa orang sudah duduk bersila di shaf paling depan. Nampak Bapak Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, Bapak Wakil Bupati Sutadi, imam besar Masjid Agung, Bapak KH. Mahbub dan beberapa kiai sepuh sedang berbincang. Aku duduk di shaf ketiga. Sementara siswa-siswaku sudah berpencar mencari tempat sendiri-sendiri yang dianggap paling nyaman. Acara sakral ini dijamin aman. Tak perlu mengawasi siswa dengan ketat karena tak mungkin ada yang mojok berduaan di bawah tiang masjid atau di bawah beduk.
Sekarang, aku bisa duduk dengan tenang dan (seharusnya) berdzikir
dengan khusyuk. Tapi apa boleh buat, aku lebih tertarik memperhatikan layar LCD
di depan sambil sesekali memperhatikan mahasiswi-mahasiswi IAIN.
Tepat pukul 20.00 acara dimulai. Diawali dengan sholat isya berjama’ah, acara dilanjutkan dengan membaca do’a awal tahun, pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mauidhoh hasanah oleh dosen IAIN.
Do’a awal tahun dibacakan oleh ketua takmir masjid dan
ditirukan oleh jama’ah 3 kali. Pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan oleh
salah satu mahasiswa dan saritilawahnya adalah salah satu mahasiswi. Saat
pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini, aku sama sekali tak memperhatikan alunan
lagunya atau isi ayatnya tapi lebih memperhatikan metodenya. Baru kali ini aku menemukan
metode membaca Al-Qur’an sekaligus artinya bersama-sama. Ketika sang Qori baru
membaca, sang saritilawah langsung menyahut dengan arti dari ayat yang sedang
dibaca. Yang terjadi, suara bacaan Al-Qur’an bercampur aduk dengan artinya. Telinga
kananku berusaha mendengarkan bacaan Al-Qur’annya, tapi telinga kiriku tak mau
mengalah untuk mendengar artinya juga. Wah, kacau
“Jangan diulang lagi membaca Al-Qur’an seperti ini ya nak,” bisikku hanya bisa keluar di dalam hati.
Acara berikutnya adalah mauidhoh hasanah atau kultum (kuliah tujuh puluh menit) oleh salah satu dosen IAIN. Isinya adalah himbauan supaya anak muda tidak bermalas-malasan.
Acara intinya adalah mujahadah yang dipimpin oleh para mahasiswa IAIN. Bacaan tahlil, tahmid, tasbih dibaca bersama-sama. Setelah selesai bacaan-bacaan ini dibaca, seluruh lampu dimatikan. Di layar muncul prolog tentang seorang ibu yang menderita dan kematian. Pelan-pelan dibacakan riwayat tentang ibu dan kematian dengan nada sedih dan meraung-raung diiringi lagu Ummi-nya Hadad Alwi. Isak tangis (yang sengaja dibuat-buat pastinya) mulai muncul dari pembawa acara. Beberapa jam’ah siswa dan siswi mulai larut dalam suasana sedih ini. Suara isak mulai muncul dari beberapa sudut.
Lagi-lagi, aku tak bisa dibujuk untuk ikut menangis. Aku lebih
terbujuk untuk mendengarkan lagu “Ummi” yang dinyanyikan oleh salah satu
mahasiswi.
“Suaranya merdu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar