alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Kamis, 28 April 2016

Fiksi: RATIH

Awal bertemu di pojok utara alun-alun. Sinar purnama yang malam itu terang benderang menyapu wajahnya yang begitu rupawan. Dia memperkenalkan diri dengan nama Ratih. Keramaian malam Jum’at Kliwon di alun-alun ini nampak sama sekali tak mengganggunya. Dengan tenang dia bercerita tentang asal-usulnya.

“Aku dari utara,” katanya, ”aku sudah lama tak mengunjungi kliwonan. Karena kabar dari adik-adikku lah yang membuatku akhirnya ke sini.”

Aku diam menyimak perkataannya. Tak ada pertanyaan atau tanggapan apapun dari mulutku. Entahlah, aku begitu terpesona dengan wajahnya. Ucapan apapun yang keluar dari bibirnya nampak indah. Seperti nyanyian kidung keraton yang mendayu-dayu.

“Kata adik-adikku beringin tempat kami dulu bermain telah tumbang dan terbelah menjadi empat,” katanya melanjutkan, ”makanya aku ke sini. Hanya ingin melihat bekas tempat bermain kami. Ternyata benar. Tempat bermain kami kini berantakan.”

Dia pun mengajakku mengitari beringin yang telah tumbang itu. Batangnya masih dibiarkan condong ke empat arah dan hanya ditopang dengan beberapa batang bambu. Cabang-cabangnya telah dipangkas rapi.

“Dulu aku sering berayun-ayun dengan akar gantungnya bersama adik-adikku. Main petak umpet di sela-sela batangnya.”

Tanpa terasa malam semakin larut.

“Adik-adikku telah selesai memberesi dagangannya. Aku pamit dulu. Kapan-kapan kita bertemu lagi,” kata dia
“Ayo kak kita pulang,” kata mereka. Pakaian mereka seragam, kebaya hitam dengan jarik batik kawung. Mereka mengikat rinjing bambu dengan seutas selendang di gendongan mereka.

Seperti tak rela berpisah, aku mengikuti Ratih menuju ke utara menyeberangi jalan pantura yang telah sepi. Sampai di dekat rel kereta, tiba-tiba badanku ditarik dengan keras sampai aku terjerembab ke belakang.


Sampeyan nggak lihat ada kereta lewat,” bentak seorang laki-laki paruh baya.

Fiksi: LAIN PULAU LAIN HANTUNYA

Tour leader menghimbau untuk sarapan pagi terlebih dahulu sebelum mandi. Akan tetapi, karena aku sudah menahan isi perut sejak semalam, aku memilih untuk tidak mengindahkan himbauan tersebut. Begitu bus berhenti di rumah makan Soka Indah, aku segera mengambil perlengkapan mandi, handuk, baju ganti dan bergegas menuju kamar mandi, tentu saja aku mencari kamar mandi yang ada toiletnya.

Sederetan kamar mandi berada di area belakang. Kulihat ada sekitar 20 kamar mandi berderet dan kutengok satu per satu tapi tanpa toilet. Maka, aku kembali ke pintu masuk dan bertanya kepada seorang perempuan penjaga tiket.

“Mba, toiletnya mana?” tanyaku
“Deretan yang paling ujung Pak,” jawabnya.

Di deretan ini ada 5 kamar mandi yang ada toiletnya. Aku segera memilih yang paling bersih. Pilihanku jatuh pada kamar mandi nomor 2 dari ujung. Aku segera masuk. Ternyata tak ada kuncinya. Aku keluar lagi dan memilih kamar mandi yang lain. Kondisinya kurang lebih sama, bahkan lebih buruk. Aku kembali ke kamar mandi semula.

Aku segera berjongkok. Beberapa menit setelah jongkok, perasaanku tak enak. Kulihat ke atasku. Tepat di atasku, muncul sesosok kepala. Kulit coklat tua, Rambut gimbal, mata melotot, hidung  mancung dan gigi taring menyeringai. Sekejap kuamati. Sepertinya aku pernah melihatnya, bahkan berfoto bersama di panggung tari kecak kompleks GWK (Garuda Wisnu Kencana). Dia tak memandang ke arahku. Mungkin malu sendiri melihatku yang setengah telanjang. Beberapa detik kemudian, dia menghilang. Aku meneruskan hajatku sampai selesai diteruskan dengan mandi.

Sekarang badanku terasa segar. Seperti tersadar dari hipnotis, aku bertanya-tanya.

“Tadi itu apa? Barong atau Leak? Kenapa muncul di kamar mandi?”

Oooo iya. Aku baru sadar, ini Bali. Di sini hanya ada barong atau leak. Tak ada pocong, gendurwo, kuntilanak atau wewe.


Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain pulau lain hantunya.

CERITA RINGAN : PESTA MIRAS VS PESTA BOLA

Karena hari Senin harus dikumpulkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten, maka pada Hari Minggu aku pergi ke sekolah untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan.

Aku pun pergi ke rumah Pak Soleh, sang penjaga sekolah untuk meminjam kunci ruang guru tapi Pak Soleh nampak kebingungan. Rupanya ada yang dia sembunyikan.

“Maaf Pak, kondisinya berantakan. Belum saya bersihkan”, kata Pak Soleh
“Lha emang kenapa?” tanyaku penasaran.
“Bapak tunggu di sini. Saya bersihkan dulu ya Pak,” jawab Pak Soleh.

Karena penasaran, aku mengikuti Pak Soleh ke sekolah. Sesampai di sekolah, kondisinya seperti yang dikatakan oleh Pak Soleh. Papan pengumuman ambruk, bangku panjang melintang tidak pada tempatnya. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kondisi salah satu ruang kelas. Meja dan kursinya jungkir balik, banyak cairan di lantai dan bau bekas muntah-muntahan.

“Kenapa ini Pak Soleh?” tanyaku.
“Sebenarnya saya tak mau cerita kepada Bapak. Begini Pak, kejadian ini sudah rutin terjadi. Setiap malam Minggu ada yang pinjam ruang kelas untuk mabuk-mabukan. Saya tak berani menolaknya. Bapak tahu sendiri, mereka penguasa di wilayah ini. Saya juga tak mau cerita kepada Bapak. Saya takut Bapak marah. Biarlah saya yang menanggung sendiri. Setiap hari Minggu saya mengalah untuk membersihkan semuanya. Pada hari Senin ruang kelas sudah bersih dan siap untuk belajar kembali, “ jelas Pak Soleh.
“Kenapa Pak Soleh takut ngomong kepada saya? Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Kita bisa atasi bersama,” kataku
“Iya Pak. Maafkan saya. Sekarang saya mau membersihkan ruang kelas dulu Pak,”

Pak Soleh bergegas mengambil kain pel dan ember. Tak tahan dengan bau muntah-muntahan, aku lebih memilih masuk ke ruang guru untuk mengerjakan tugasku.

Aku tak bisa konsentrasi mengerjakan tugasku. Sampai Pak Soleh selesai membersihkan ruang kelas, aku belum juga menyelesaikan tugasku.

“Bapak belum selesai?” tanya Pak Soleh
“Belum, tinggal dulu saja. Nanti kuncinya saya antar ke rumah,” kataku
“Nggak papa Pak. Saya tunggu. Bapak mau saya buatin kopi?” tanya Pak Soleh
“Boleh,” jawabku

Pak Soleh pergi ke dapur untuk membuatkan kopi hitam kesukaanku. 20 menit kemudian, Pak Soleh datang.

“Ini Pak kopinya,”
“Lho kok cuma satu. Pak Soleh nggak bikin sekalian?” tanyaku
“Saya baru saja ngopi di rumah Pak,”

Pak Soleh menemaniku sambil ngobrol. Ia bercerita lagi tentang ruang kelas yang dipakai untuk mabuk-mabukan.

“Kita laporkan polisi saja Pak?” kataku memberikan ide kepada Pak Soleh.
“Percuma Pak. Polisi juga sudah tahu kalau di lingkungan sini pusatnya miras. Toh tak ada tindakan. Katanya sih mereka sudah setor. Kalau Bapak melaporkan, saya khawatir Bapak yang diancam,” kata Pak Soleh panjang lebar.
“Terus gimana penyelesaiannya Pak Soleh? Tanyaku
“Saya bingung Pak,” jawab Pak Soleh tak ada ide.

Aku sendiri bingung juga bagaimana cara mengatasi persoalan ini.


  • Lapor ke polisi? Sangat beresiko
  • Hadapi sendiri? Lebih beresiko
  • Diberi suap supaya mereka mau pergi? Aku tak punya uang
  • Didekati? Emang cewek
  • Ikut mabuk? Sudah gila

Berhari-hari aku memikirkan ide untuk menyelesaikan persoalan ini sampai suatu hari Mas Tri, salah satu staf TU mengajakku untuk nonton bola bersama di sekolah.

“Ide ini cukup cemerlang tapi resikonya?” Aku masih gamang dengan ide ini. Dengan melaksanakan ide ini artinya aku harus berani berhadapan dengan mereka. Siapkah aku? Beranikah aku?
“Baiklah, akan kucoba. Apapun resikonya,” kataku mantap.

Pada suatu malam minggu, aku mengajak Mas Tri ke sekolah. Kebetulan, pertandingan antara Liga Inggris akan disiarkan langsung pada pukul 21.00 tepat.  Pukul 20.00, aku ngampiri Mas Tri.
Pukul 20.15, kami sampai di sekolah. Lampu remang-remang di halaman depan menyambut kami. Kulihat ada seorang pria setengah baya sedang duduk di bangku panjang. Tak jelas wajahnya. Dia nampak kaget melihat kedatangan kami. Padahal kami juga kaget.

“Eh, Bapak. Kok malam-malam?” sapa dia basa-basi
“Iya, mau lembur,” jawabku. Rupanya dia tahu siapa aku.

Kulihat di bangku panjang, telah berjejer botol-botol minuman. Aku merinding juga. Pertarungan dimulai. Aku berusaha tenang.

“Apa ini?” tanyaku
“Nggak apa-apa Pak. Ini milik teman-teman,” jawab dia gugup

Nah, aku mulai berada di atas angin. Dia gugup, aku tenang. Dia sendirian, aku berdua. Kuambil salah satu botol. Kulihat tempelan kertasnya. Kubaca merknya. Kulihat gambarnya. Nampak merk dan gambarnya tidak sesuai. Merknya miring tapi gambarnya sama sekali tak miring. Kucari tanggal kadaluwarsanya, tak ada. Pria itu semakin kikuk. Kuletakkan kembali botol itu. Aku tak bertanya lagi. Aku tak mau membuatnya semakin tertekan dan merasa teraniaya. Doa orang teraniaya makbul. Cukup kubiarkan dia semakin kikuk. Aku membuka pintu ruang guru. Kunyalakan lampu ruang guru dan juga lampu semua kelas. Suasana menjadi terang benderang. Kunyalakan televisi 14 inc. Kukeraskan volumenya sehingga volume suaraku juga lebih kukeraskan saat mengobrol dengan Mas Tri. Kupastikan aku menikmati suasana ini. Akulah yang kini berpesta. Akulah penguasa sekolah ini. Bukan kalian wahai para pecundang. Kalau mau ikut berpesta silahkan ikuti aturanku.

Tiba-tiba, ada suara beberapa orang di luar. Nampaknya teman-teman pria separuh baya tadi mulai datang. Kubiarkan saja. Aku sudah tak peduli dengan mereka. Kini adrenalinku sedang naik. Berapapun jumlah mereka, aku tak takut lagi. Apapun yang mereka mau, akan kuhadapi.

Beberapa menit kemudian suasana di luar kembali lengang. Aku malah penasaran. Aku keluar. Tak ada orang lagi. Botol-botol minuman di atas bangku ikut menghilang.


Sejak saat itu, setiap malam minggu aku berpesta bola di sekolah. Mereka menghilang dan Pak Soleh tak lagi repot membersihkan ruang kelas setiap Hari Minggu.

Rabu, 27 April 2016

MELI

(huruf ‘e’ dibaca seperti huruf ‘e’ pada kata ‘sedang’)


“Wah telone meli,” kata Bu Ike (nama samaran) di arisan Dasa Wisma di rumahku mengomentari singkong rebus yang disajikan oleh istriku.

Aku yang penasaran dengan kata-kata tersebut menanyakan arti kata “meli” tersebut.

“Apa itu ‘meli’ bu?”

Bu Ike yang ditanya malah kelihatan bingung dan nampak ragu-ragu mau menjawabnya.

“Hmm.... ‘meli’ itu salah satu contoh penyandra yaitu menggambarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang mirip dengannya. Karena bentuknya yang lonjong panjang dan teksturnya yang sangat kenyal, beda dengan telo yang mempur, maka telo ini dikatakan ‘meli’. Contoh penyandra yang sering kita dengar yaitu drijine ‘mucuk ri’ berasal dari kata ‘pucuk ri’, artinya jarinya seperti pucuk duri, panjang dan lentik.,” jelasnya.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya atau desa mawa cara, negara mawa tata yang mempunyai arti masing-masing daerah mempunyai tatanan, aturan, hukum, adat istiadat, budaya, kebiasaan, bahasanya masing-masing, maka istilah untuk singkong atau ketela pohon di setiap daerah juga berbeda-beda. Di daerah Banyumas dan sekitarnya, istilah singkong disebut boled, ada “boled buket dan boled genyeh”. Di daerah Kebumen dan sekitarnya, ada istilah “budin mempur  dan budin kacel”. Sedangkan di sini, ada istilah “telo mempur dan telo meli”.


“Jadi kata ‘meli’ berasal dari kata apa Bu?” desakku kepada Bu Ike.

Senin, 18 April 2016

BULE MAKAN DURIAN

Di depan Teman Joger yang berlokasi di Jalan Raya Denpasar-Bedugul km 37,5 banyak penjual durian. Aku tengah sibuk memilih durian, ketika 2 orang bule (laki-laki dan perempuan muda) turun dari sepeda motor mampir di warung durian ini. Pakaiannya rapi. Sang perempuan memakai celana panjang abu-abu dengan T-Shirt warna putih. Sang laki-laki memakai celana ¾ warna cream, kaos warna putih, memakai kacamata dan menggendong tas ransel. Nampak sekali berpendidikan. Dengan bahasa Inggris, sang bule meminta sedikit durian. Sang penjual nampak bingung. Bukan karena tak paham dengan bahasanya atau isyaratnya tapi karena baru kali ini ada bule membeli duriannya.

Sang bule tak mau membeli durian utuh. Dia ingin durian yang telah dikupas. Sang penjual mengerti dan dengan sigap melayani mereka. Dia pilihkan durian yang benar-benar matang dan dibuka. Sang turis memberikan uang Rp. 10.000 dan mengambil separoh belahan durian. Separoh lagi dikembalikan.

Mencari meja yang kosong, mereka berdua membawa durian tersebut. Dicium sebentar kemudian dicicipinya sedikit demi sedikit. Hanya berkali-kali matanya menerawang ke atas seakan-akan membayangkan rasanya. Awalnya, aku mengira mereka akan membuat ekspresi yang aneh sebagaimana bule makan durian. Anehnya, mereka biasa saja. Tanpa ekspresi. Tak ada kesan enak atau tidak enak. Datar saja. Dari separoh buah durian, mereka hanya makan beberapa biji dan masih menyisakan beberapa biji yang lain di atas meja. Tak ada rasa jijik dan rasa suka di wajah mereka. Kalem sekali.


Rupanya mereka hanya ingin mencicipi buah yang dikenal dengan “The king of fruit” tersebut secara akademis. Tak perlu ekspresi.

DAPODIK YANG SEDIKIT BERMASALAH

Surat Keputusan tentang Penerima Tunjangan Profesi (SKTPTP) baru keluar pada tanggal 06 April 2016. SKTPTP bertanggal 29 Februari 2016 itu ditandatangani oleh Kepala atas nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dari 29 penerima tunjangan profesi di sekolahku, hanya ada 12 nama (tidak termasuk namaku) yang telah tercantum dalam SK tersebut.

Menurut info.gtk.kemdikbud.go.id, guru-guru yang belum tercantum dalam SK tersebut masih bermasalah dengan jam mengajar yang tidak linear dan tugas tambahan yang belum masuk dalam data. Data yang terdapat di website tersebut berasal dari dapodik yang diupload oleh operator masing-masing sekolah. Siapakah operator di sekolahku? Aku.

Sebagai operator dapodik, pagi ini aku dicecar pertanyaan oleh rekan-rekan guru mengapa nama-nama mereka tidak muncul dalam SK tersebut dan mengapa mata pelajaran yang mereka ampu tidak linear. Dan mengapa dalam data tersebut sekolahku tidak terimbas Kurikulum 2013, padahal sekolah kami telah menggunakan kurikulum 2013 sejak awal. Kesalahan siapa ini?

Aku berusaha menjelaskan bahwa data di dapodik sudah lengkap semua dan sudah divalidasi. Perihal mata pelajaran yang tidak linier aku tidak tahu mengapa bisa begitu. Perihal sekolah kami tidak terimbas Kurikulum 2013 juga aku tidak bisa mengubah data kurikulum.

Menurut harian Kompas hari Senin, 11 April 2016, halaman 12, dalam berita berjudul “TUNJANGAN PROFESI: DATA POKOK PENDIDIKAN DIKELUHKAN”, para guru mengeluhkan pendataan jumlah jam mata pelajaran yang tidak dianggap linear oleh sistem dapodik pendidikan menengah. Dapodik masih kacau balau dan belum bisa menjadi acuan. Para guru, terutama yang pembelajarannya memakai Kurikulum 2013 dirugikan. Mata pelajaran peminatan tidak diakui. Jam mengajar di sekolah lain juga tidak diakui. Dengan kejadian ini, maka banyak guru yang tunjangan profesinya terancam tidak keluar. Bahkan, sampai sekarang belum ada definisi yang jelas mengenai “linear” tersebut.


Dengan berita tersebut, aku sedikit terselamatkan. Kesalahan tentang mata pelajaran yang tidak linear dan penggunaan kurikulum bukan kesalahan operator tapi kesalahan sistem dapodik. Di satu sisi, hatiku tenang, tapi di sisi lain, namaku yang belum keluar di SKTPTP jelas membuat hatiku tak tenang.

Minggu, 17 April 2016

OLEH-OLEH DURIAN

Kesukaan istriku terhadap durian termasuk tinggi. Maka tak heran, ketika aku ke Bali, bukan pie, salak bali, kacang, atau kaos joger yang dipesan tapi durian. Durian adalah king of fruit. Rasa creamy dan karamel ditambah aroma khas tiada duanya yang menyeruk dari durian membuat ketagihan. Kenapa beli durian harus di Bali? Alasan pertama bukan “rasa” karena variasi rasa durian di seluruh Indonesia sangat istimewa termasuk durian Bali tapi karena “harga”. Harga durian di Bali tergolong murah. Mungkin karena durian bukan komoditas utama untuk diperjualbelikan kepada turis asing sehingga harga durian menjadi murah. Rata-rata orang bule tidak suka durian. Padahal sasaran utama penjualan adalah turis asing.

Mengapa orang bule tidak suka durian? Aroma menjadi alasan utama ketidaksukaan mereka. Aroma durian sangat menyengat. Anthony Bourdain, seorang chef dari Amerika mengatakan bahwa setelah makan durian nafas Anda akan berbau seperti habis berciuman dengan nenek yang sudah meninggal. Dalam film Julia Robert, 'Eat, Pray, Love,' durian disebut "berbau seperti kaki nenek".  Seorang video jockey dari New York Times, Thomas Fuller, menyebutkan bahwa bau durian seperti bangkai, sulit dibawa, dan jika pun bisa diangkut rasanya seperti membawa senjata Zaman Pertengahan. Jurnalis Amerika Serikat dari abad 19 bernama Bayard Taylor malah pernah menulis, "Memakannya seperti mengorbankan harga diri." (sumber: http://www.feed.id/article/mengapa-bule-benci-durian-150309b.html)

Itu pendapat orang bule. Bagi orang Asia, terutama Indonesia, aroma durian justru menjadi daya tarik utama selain rasa. Bahkan aku akan menyimpan kulit durian di kolong tempat tidur beberapa hari setelah memakan isinya untuk menikmati aromanya.


Walaupun sudah bukan puncak musim, sejak menginjakkan kaki di Bedugul, aku sudah menyasar durian. Kulihat sudah jarang. Kalaupun ada, duriannya sudah kurang menarik. Di Bedugul, aku tak berminat membeli durian. Di depan teman Joger, jalan raya bedugul banyak penjual buah. Banyak bergelantungan durian. Buahnya kecil-kecil. Setelah kupilih-pilih, banyak durian yang sudah terlalu matang. Kata penjualnya, durian ini akan dibuat dodol. Tempat ketiga yang aku sasar adalah Sangeh. Durian Sangeh terkenal besar-besar. Turun dari bus, aku melirik lapak durian. Ada 5 buah durian besar-besar. Tapi lirikanku hanya sekedar lirikan, para supir dan kondektur langsung menyasarnya tanpa menawar. Aku terlambat. Harapan terakhirku adalah pasar Sukowati. Di depan pasar, terdapat banyak penjual durian. Aku pun menawar 2 buah durian besar. Harga disepakati adalah Rp. 60.000. Cukup untuk oleh-oleh istri.

Sabtu, 16 April 2016

LEGIAN

Lampu kerlap-kerlip di setiap pub, bar dan diskotik. Dentuman musik menggelegar sampai di jalanan. Pria wanita berpesta ria. Sebagian besar berkulit putih. Pakaiannya pun ala mereka. Seadanya. Kaos singlet dan celana pendek. Kadang laki-laki telanjang dada dan perempuan tanpa bra atau hanya bra saja. Ada sebagian wajah asia tapi mereka hanya melayani: menjadi pelayan bar, keamanan, atau tukang parkir.

Berbagai macam minuman tersedia: sebagian besar adalah bir. Minum bir layaknya minum es teh plastikan pakai sedotan.

Anehnya, tak ada yang nampak garuk-garuk digigit nyamuk. Padahal ketika aku ronda, berbagai macam perlengkapan telah aku sediakan: autan, sarung, kaos kaki. Itu saja masih harus dibantu dengan tepukan-tepukan tangan untuk menangkis nyamuk yang berseliweran. Kesimpulan: tak ada nyamuk di legian.


Itulah pesta. Aku pingin tapi aku hanya bisa memandang karena aku masih balsem-an.

KE PANTAI LULURAN BALSEM

“Biasanya orang ke pantai, memakai kacamata hitam, celana pendek dan luluran krim anti UV. Lha Bapak malah pakai jaket, celana panjang dan luluran balsem,” kata salah siswaku tertawa-tawa meledekku.

Efek kelelahan melakukan perjalanan Batang-Bali membuatku jetleg (walaupun naik bus, kukatakan jetleg karena di kaca depan bus-ku tertulis “jetbus”). Kepalaku pusing, badanku agak meriang, bagian leher terasa kaku dan pegal. Semakin pusing apabila terkena angin AC. Maka, tak ada yang bisa kulakukan kecuali memakai jaket tebal dan balsem walaupun hari ini kami mau ke pantai Kuta dan pantai Pandawa.


“Sak karepmu le ngomong nok. Aku pusing.”

BATANG SUDAH TERKENAL

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB (Waktu Indonesia bagian Bali). Tinggal aku dan Mas Eko yang bertahan kungkum di kolam renang ukuran 5 x 15 meter ini. Rasa capek seharian berkeliling ke Bedugul dan Joger terobati dengan air hangat tapi agak asin ini. Kolam ini mempunyai kedalaman 1,5 - 1,8 meter.

Di seberang kolam ini ada rumah “penjaga hotel”.  Seorang laki-laki yang baru turun dari mobil dan berjalan menyusuri tepi kolam menyempatkan menyapa kami berdua sebelum masuk rumah tersebut.

“Bapak-bapak rombongan dari mana?” tanya dia sambil berdiri di tepi kolam
“Dari Batang,” jawabku.
“Oh, yang bupatinya sering masuk tivi ya?” lanjutnya dengan wajah sumringah seakan telah mengenal kami begitu lama.
“Iya. Pak Yoyok namanya,” jawabku tak kalah sumringah
“Mantan TNI kan ya dia?”
“Iya, pensiun dini,”
“Wah, hebat dia. Bisa dapat Bung Hatta award,”
“Iya,” jawabku
“Berarti di Kabupaten Batang sudah tidak ada korupsi ya? Menjadi Kabupaten yang bersih,”
“Insyaalloh,” jawabku menutup percakapan.

Batang kini mulai terkenal. Aku sudah tidak lagi menerangkan panjang lebar tentang kabupatenku apabila ada orang yang bertanya. Pak Yoyok telah berhasil “jualan Batang

TO BE FOREIGN TOURIST

Rumah Makan Soka Indah pukul 06.30 pagi.

Kumasuki salah satu kamar mandi yang berjejer rapi. Kutunaikan hajatku untuk membersihkan seluruh badanku. Keringat yang telah menggumpal jadi daki kugosok sampai licin. Kupakai minyak wangi dan kuganti pakaianku yang telah kupakai sehari semalam.

Selesai mandi, aku menghabiskan sepiring nasi dengan sayur asam, tempe, dan ayam, serta berfoto-foto bersama teman-teman pendamping, dan aku kembali ke bus. Perjalanan sebentar lagi dilanjutkan menuju Bedugul.

Satu per satu siswaku mulai kembali ke bus.

“Woow, sexy sekali kamu ya. Kayak turis asing,” sapaku ke salah satu siswa yang baru saja memasuki pintu bus. Celana pendek berbalut T-Shirt putih dipadu dengan sepatu casual warna biru. Kakinya terlihat jenjang dari bawah sampai pangkal paha. Lehernya terlihat semampai dengan rambut yang berderai.

Yang disapa hanya senyam-senyum. Aku lupa namanya. Perubahan penampilan seperti ini benar-benar membuatku pangling. Aku mungkin akan mengenalinya lagi tatkala dia memakai jilbab seperti sebelumnya.

GARIS JALAN

Aku tersentak dan terbangun. Bus yang aku naiki mengerem mendadak. Tidak hanya aku, para penumpang lain pun banyak yang terhenyak kaget. Jam menunjukkan pukul 01.30 WIB. Kulihat dari kaca jendela nama “Situbondo” di salah satu papan nama salah satu toko kecil. Rupanya kami telah sampai di Situbondo, salah satu kota di Jawa Timur. Suasana telah lengang. Hanya beberapa lampu di depan rumah dan toko yang menemani kami. Beberapa mobil bersimpangan dengan bus kami. Garis jalan terlihat jelas karena ada titik sinar yang memancar dari setiap ujung garis putus-putus yang ada di tengah jalan.

“Di garis-garis jalan kok menyala. Itu lampu ya?” tanya salah satu siswa yang duduk di jok belakangku kepada teman di sampingnya.
“Bukan. Kalau lampu, keinjak roda ya pecah. Kabelnya juga dari mana?” jawab siswa di sampingnya
“Terus apa?”
“Itu stiker seperti yang ditempel di rompi polisi atau tukang parkir. Jadi kalau kena sinar, akan menyala,” jawabnya lagi dengan mantap.
“Kok jalan yang sini nggak ada stikernya ya?” tanya dia setelah kami melewati jalan yang agak terang.
“Mungkin kertas stikernya sudah habis,”


Sang penanya pun diam dan tidur kembali dengan puas, sepuas dia telah mendapatkan penjelasan tentang stiker. Sedangkan aku kembali tidur dalam kebingunganku.

DANGDUT BANYUWANGIAN

Bus berangkat pukul 07.00 tepat. Sepanjang perjalanan aku melihat pemandangan yang sudah pernah aku lihat sebelumnya. Rasanya agak bosan. Akhirnya, aku memilih menikmati perjalanan dengan menonton musik di layar televisi yang tergantung di bus bagian depan, musik dangdut banyuwangian. Running text yang ada di bagian bawah layar tertulis “Tasyakuran khitanan.., Pernikahan..., dan acara-acara keluarga lainnya”.

Walaupun ada permintaan untuk menggantinya dari para penumpang di belakang, Pak kondektur enggan untuk menggantinya. Nampaknya, dia sedang gandrung dengan jenis musik tersebut. Dari bibirnya, mengalir suara lirih mengikuti kalimat-kalimat dalam lagu itu.

Langit hang dadi saksi, bumi milu nyakseni
Suci lan putihe, tulus lan ikhlase
Welas sun nyang riko..
Paran tah paran maning, hang nggawe atin riko
Magih mangu mangu, sing gelem telikas nompo welas isun..
Ngelayung biso isun dung sing biso nduweni,
Biso sun linglung, koyo wong edan turun..
Serange atinisun, serange welas isun,
Nemen nyang riko, nyang riko nyang riko..

Ada beberapa kata yang belum aku pahami dari lagu berjudul “Edan Turun” ini. Hanya celetukan sang MC yang paling jelas aku pahami.

“Ayo goyang semuanya”


Maka aku tak segan-segan mengikuti perintahnya, tangan dan badanku agak sedikit kugoyang mengikuti irama. Ser...ser.

KE BALI LAGI (LAGI-LAGI KE BALI)

Pada hari minggu tanggal 10 April 2016 aku ditawari untuk mendampingi para siswa ke Bali mengikuti kegiatan Bali Overland Tour tahun ini yang akan berlangsung pada tanggal 12-16 April 2016.

“Ada salah satu pendamping yang mengundurkan diri, njenengan bersedia menggantikannya mendampingi siswa ke Bali Pak?” tanya Bu Arie selaku Waka Kesiswaan.

Sebelum mengiyakan, aku minta ijin ke istri dan anak-anakku. Mereka membolehkan dengan syarat membelikan oleh-oleh. Anak pertamaku minta oleh-oleh pie dan kacang. Anak keduaku minta oleh-oleh baju dan permen. Istriku minta oleh-oleh durian. Selain ijin ke istri dan anak-anakku, aku juga harus ijin ke Bu Yeni selaku Waka Kurikulum. Maklum, aku kan asistennya. Seperti halnya istri dan anak-anakku, Bu Yeni juga mengijinkan dengan syarat yang sama.

“Jangan lupa oleh-olehnya”


Akhirnya, aku ke Bali lagi.

Selasa, 05 April 2016

LEK-LEKAN

Lek-lekan adalah aktivitas "melek" (tidak tidur) semalam suntuk. Aktivitas ini sudah menjadi tradisi orang Jawa pada waktu-waktu tertentu. Tradisi lek-lekan yang biasa dilakukan adalah:
  1. Malam 1 suro. Pada malam ini, orang melakukan lek-lekan dengan cara semedi, kungkum, tapa bisu atau hal-hal lain yang berkaitan dengan perenungan diri sendiri, alam semesta dan Tuhan. Aktivitas ini dikaitkan dengan mencari wangsit, ilham dan wahyu.
  2. Malam akad nikah. Lek-lekan ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di rumah mempelai putri. Tujuannya adalah untuk meramaikan suasana supaya ada kegembiraan sebelum dan sesudah upacara pernikahan. Aktivitas ini dilakukan oleh para kerabat dan tetangga sekitar. Aktivitas lek-lekan ini dilaksanakan dengan mengobrol, ngopi, makan makanan ringan, bermain catur, remi, dan lain sebagainya.
  3. Malam pemilihan kepala desa. Orang melakukan lek-lekan karena pada malam ini biasanya ada “ndaru” yang turun rumah ke calon kepala desa terpilih. “Ndaru” adalah sinar biru kehijau-hijauan yang entah datang dari mana terbang di angkasa dan jatuh di rumah salah satu calon yang dipercaya akan menang. Nah, orang yang lek-lekan ini biasanya menunggu “ndaru” itu karena dia bisa menentukan salah satu calon untuk taruhan.
  4. Malam togel. Lek-lekan dilakukan dimanapun untuk menentukan angka yang akan dipasang dalam togel. Apabila lek-lekan dilakukan di pinggir jalan raya artinya dia menentukan angka togel lewat nomor kendaraan yang lewat. Apabila lek-lekan dilakukan sambil nonton bola, dia akan menentukan angka togel lewat skor pertandingan bola tersebut. Apabila lek-lekan dilakukan di kuburan, dia akan menentukan angka togel dari jenis hantu yang muncul. Apabila lek-lekan sambil mengikuti orang gila, dia akan menentukan angka togel dari kata-kata yang keluar dari orang gila tersebut. Apabila lek-lekan dilakukan sambil tidur, dia berharap angka togel keluar lewat mimpi. Saat dia bangun, dia pasang togel sudah telat.
  5. Malam Ujian Nasional. Lek-lekan ini pada awalnya bertujuan untuk menjaga naskah ujian yang ada di sekolah. Itu terjadi pada tahun sebelum ada istilah “Ujian Nasional” karena pada saat itu naskah soal sudah dikirim ke sekolah masing-masing sebelum dilaksanakan ujian. Namun ketika ada “Ujian Nasional”, naskah soal disimpan di sub rayon (kantor dinas pendidikan atau salah satu sekolah yang ditunjuk) yang sudah dijaga oleh kepala sekolah yang piket dan beberapa orang polisi. Anehnya, di masing-masing sekolah (termasuk sekolahku) tetap dilaksanakan lek-lekan padahal tidak ada lagi naskah soal yang harus dijaga. Lalu, menjaga apa? “Menjaga hatimu,” jawabku. 

Senin, 04 April 2016

PETUGAS PENGAMBIL SOAL

Hari ini, 4 April 2016 Ujian Nasional untuk tingkat SMA telah dimulai. Bersama Pak Uji, aku ditunjuk menjadi petugas pengambil soal ke panitia Sub Rayon. Karena pengambilan soal dilakukan pada pukul 05.30 maka aku harus bersiap-siap lebih awal. Bangun lebih awal, mandi lebih awal, berdandan lebih awal. Sayangnya, tak bisa sarapan lebih awal karena nasi di rumah belum matang dan belum ada warung makan buka.

Pagi pukul 05.25, tanpa sarapan, aku sudah berangkat ke sekolah. Dari sekolah, dengan menggunakan toyota altis hitam milik Pak Uji, aku bersama Pak Uji mengambil soal ke sub rayon. Di Sub rayon, kami bertemu dengan pengambil soal dari sekolah-sekolah lain yang juga berkepentingan sama. Sebelum soal diterima, kami harus menandatangani berita acara, menyerahkan surat tugas dan SPPD. Setelah soal kami terima, soal tersebut harus kami cek terlebih dahulu sebelum meninggalkan tempat. Ada 4 kardus berisi soal Bahasa Indonesia 2 kardus (IPA dan IPS), Kimia (IPA) 1 kardus dan Geografi (IPS) 1 kardus. Masing-masing kardus berisi 7 amplop soal sesuai dengan jumlah ruang. Dan amplop-amplop tersebut masih tersegel dengan rapi serta terbungkus plastik sangat rapat. Jadi tak mungkin ada yang tercecer dan bocor. Dijamin aman.

Menjadi pengambil soal tak ada suatu yang istimewa karena prosedurnya jelas. Walaupun begitu aku masih agak gagap untuk melakukannya karena baru pertama kali aku menjadi petugas pengambil soal. Sementara Pak Uji yang setiap penyelenggaraan Ujian Nasional selalu menjadi pengambil soal sudah hapal langkah-langkah yang harus beliau tempuh termasuk cara memarkir mobilnya agar posisinya pas untuk mengangkut soal.


Kardus-kardus soal dimasukkan ke bagasi. Kami melaju dengan kencang tanpa pengawalan khusus dengan sirene yang meraung-raung sebagaimana pembawa barang yang bertuliskan “rahasia negara”. Sepanjang jalan, warung-warung makan mulai buka. Aku berharap-harap cemas akankah Pak Uji membelokkan mobilnya ke salah satunya sebentar saja. Bisakah?

Jumat, 01 April 2016

SEBUAH CERITA RINGAN: TERLAMBAT TUJUH MENIT

Sita setengah berlari-lari tergopoh-gopoh memasuki pintu gerbang. Tak lupa tangannya menyambar pucu-pucuk daun tetehan yang masih diselimuti embun di balik pintu gerbang. Kebiasaan yang tak bisa dihilangkan sejak ia bersekolah di sini. Di lobi, Pak Bejo sedang membaca koran.

“Selamat pagi Pak,” sapa Sita
“Selamat Pagi,” jawab Pak Bejo

“Tujuh menit ya Pak?” tanya Sita sambil memandang jam dinding di atas Pak Bejo. Jarum panjang sudah 2 langkah melewati angka 1, jarum pendek masih tegar berada di angka 7.

“Sita, kamu terlambat kenapa?” tanya Pak Bejo

“Bangun kesiangan Pak,” jawab Sita sambil memilih jenis hukuman di “Daftar Sanksi Siswa Terlambat” yang ditempel di sebuah whiteboard di dinding. Masing-masing ada 20 jenis hukuman untuk keterlambatan 1-5 menit, 5-10 menit, 10-15 menit dan >15 menit. Tinggal pilih.

“Saya pilih membantu Mas Nung Pak,” kata Sita
“Ok, silahkan!”

Sita segera melepaskan jaket dan tas punggungnya. “Titip ya Pak,” kata Sita sambil meletakannya di bangku panjang Pak Bejo. Sita segera menuju taman di sebelah kanan sekolah.

“Mas Nung... masih ada yang bisa kubantu?” sapa Sita
“Pilih menggantikan Mas Nung mencabuti rumput atau mengaduk kompos?” tanya Mas Nung
“Ada yang lebih bersih nggak?” tanya Sita
“Ada. Mengantar surat ke kecamatan,” jawab Mas Nung
“Jauh amat, nggak mau ah,”
“Hmmm.... kamu cukur bonsai di pojok itu saja, jenggotnya sudah mulai gondrong. Guntingnya di kotak alat. Hati-hati ya, jangan sampai pethak,” suruh Mas Nung

“Ok..” Sita mengambil gunting pohon di kotak alat. Ia aga ragu. Ia belum pernah memotong tanaman. Pelan-pelan, ia mulai memotong tunas-tunas hijau muda yang baru tumbuh sekitar 10 centimeter. Ia hanya memotong daun-daun mudanya untuk mengikuti pola daun tua yang sudah berbentuk. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati karena ia, bahkan semua siswa tahu bonsai itu adalah bonsai kesayangan Mas Nung. Kurang lebih 30 menit, pekerjaannya selesai.

“Sudah selesai Mas Nung,” kata Sita

Mas Nung mendekat dan memeriksa hasil kerja Sita. Kanan kiri atas bawah.

“Bagus, rapi. Kamu punya bakat juga Sita,”
“Iya dong, siapa dulu.... Sita” kata Sita senang.
“Terima kasih, besok terlambat lagi ya,” canda Mas Nung
“Huh, enak aja,” jawab Sita sambil cuci tangan.

Sita kembali ke depan menghadap Pak Bejo.

“Sudah selesai Sita? Besok jangan terlambat lagi ya..nih,” kata Pak Bejo sambil menyerahkan sesobek kertas buram berukuran 10 x 15 cm. Tak ada tulisan apapun di atas kertas tersebut, hanya ada tanda tangan Pak Bejo. Tanda tangan yang sederhana dan mantap.

“Iya Pak. Terima kasih,” kata Sita sambil merenggut tas dan jaketnya.

#
“Tok....tok ...tok, assalamu’alaikum...,” kata Sita sambil membuka pintu.
“Wa’alaikum salam,” jawab Bu Tuti dan teman-temannya

Sita menyerahkan kertas sobekan dari Pak Bejo kepada Bu Tuti.

“Silahkan duduk Sita. Nanti kamu pelajari materi yang ketinggalan ya,” kata Bu Tuti

“Iya Bu, jawab Sita.

SEBUAH CERITA RINGAN: MIMPI

Malam sudah larut. Suasana telah sepi. Dua orang mengendap-endap di sebelah utara gedung sekolah. Kepala keduanya ditutupi sarung. Hanya matanya yang kelihatan. Gerak-geriknya mencurigakan. Salah satunya membawa sebuah linggis. Mereka berdua mendekati pintu samping yang terbuat dari besi. Benar saja, mereka mulai mencongkel gembok besar di pintu tersebut dan “krakkk”

“Astaghfirullahhh....” aku terbangun. Ternyata hanya mimpi. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 03.00. 

Jarang aku bermimpi sampai terbangun seperti ini.

“Jangan-jangan...,” tiba-tiba jantungku berdebar kencang.

Aku segera meloncat dari tempat tidur. Segera kupakai celana panjang dan jaket. Kusambar kunci motor. Kubiarkan istriku dan anak-anakku yang masih nampak pulas di tempat tidur. Aku segera mengeluarkan sepeda motorku. Segera kekebut menuju sekolahku.

Sampai di sekolahku, suasananya sangat sepi. Hanya lampu bohlam 25 watt yang menerangi halaman depan sekolahku. Kuparkir sepeda motorku di halaman depan. Tentu saja, aku tak bisa masuk ke ruang guru karena Pak Soleh lah yang membawa kunci semua ruang. Aku segera menuju ke samping. Nampak warung seberang jalan masih ramai. Benar kata orang, warung itu buka 24 jam. Pagi sampai siang, warung itu adalah tempat jajan bagi siswa-siswaku. Pada malam hari, warung itu tempat jajan para lelaki. Kulihat mereka duduk-duduk sambil tertawa-tawa. Kudekati pintu samping yang terbuat dari kisi-kisi besi. Lampu jalan tampak terang. Aku bisa dengan jelas melihat pintu dan gemboknya. Kuperiksa gemboknya. Ternyata masih terkunci. Kuintip ke dalam. Nampak lorong-lorong kelas yang gelap. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Sekali lagi kuperiksa gemboknya. Kali ini, sengaja kubentur-benturkan gembok itu ke pintunya sehingga menimbulkan suara agak kencang. Para lelaki di waraung itu diam sejenak dan menengok ke arahku. Dengan sorot lampu jalan yang begitu terang, mereka pasti dengan mudah mengenali wajahku. 

Setelah memastikan aman, aku berjalan menuju warung tersebut.

“Wah...pada begadang nih,” sapaku. Ada sekitar 15 pria muda dan setengah baya. Ada yang sedang bermain kartu. Ada yang main catur. Sebagian besar memegang botol minuman.
“Ehh..Pak Guru, kok malam-malam ke sekolah Pak Guru,” kata salah satu pria separuh baya sambil melempar salah satu kartu remi-nya.
“Iya... mampir sebentar. Wah, sampai pagi ini ya?” kataku
“Biasa Pak Guru, kegiatan orang-orang nggak punya kerjaan. Mari.. ngopi-ngopi dulu Pak Guru!”
“Terima kasih.. cuma sebentar kok. Silahkan dilanjutkan,” kataku

Aku kembali ke depan. Kuamati semua gedung sekolah, pintu, jendela, papan pengumuman, dan tanaman-tanaman yang tertata rapi. Semua nampak sepi dan remang-remang. Aku duduk di bangku panjang menghadap ke timur. Persis di depanku, di seberang jalan adalah pintu gerbang makam desa. Makamnya 50 meter menjorok ke arah timur. Jalan dari pintu gerbang sampai ke kompleks makam diapit oleh kebun pisang dan rambutan. Di atas pemakaman malah nampak terang. Terlihat bayangan batu nisan saling menyembul. Konon, di jalan makam tersebut sering muncul hantu tanpa kepala. Kemana kepalanya? Berayun-ayun di tangan kanannya dengan leher yang masih meneteskan darah. Akan tetapi, malam ini tak ada tanda-tanda hantu itu muncul.


Di bangku panjang ini, ditemani nyamuk-nyamuk nakal, kurenungi kembali makna mimpiku sampai azan subuh sayup-sayup berkumandang di kejauhan.