Karena hari Senin harus dikumpulkan ke Dinas
Pendidikan Kabupaten, maka pada Hari Minggu aku pergi ke sekolah untuk menyelesaikan sebuah
pekerjaan.
Aku pun pergi ke rumah Pak Soleh, sang penjaga
sekolah untuk meminjam kunci ruang guru tapi Pak Soleh nampak kebingungan. Rupanya
ada yang dia sembunyikan.
“Maaf Pak, kondisinya berantakan. Belum saya
bersihkan”, kata Pak Soleh
“Lha emang kenapa?” tanyaku penasaran.
“Bapak tunggu di sini. Saya bersihkan dulu ya
Pak,” jawab Pak Soleh.
Karena penasaran, aku mengikuti Pak Soleh ke
sekolah. Sesampai di sekolah, kondisinya seperti yang dikatakan oleh Pak Soleh.
Papan pengumuman ambruk, bangku panjang melintang tidak pada tempatnya. Yang
lebih mengejutkan lagi adalah kondisi salah satu ruang kelas. Meja dan kursinya
jungkir balik, banyak cairan di lantai dan bau bekas muntah-muntahan.
“Kenapa ini Pak Soleh?” tanyaku.
“Sebenarnya saya tak mau cerita kepada Bapak.
Begini Pak, kejadian ini sudah rutin terjadi. Setiap malam Minggu ada yang
pinjam ruang kelas untuk mabuk-mabukan. Saya tak berani menolaknya. Bapak tahu
sendiri, mereka penguasa di wilayah ini. Saya juga tak mau cerita kepada Bapak.
Saya takut Bapak marah. Biarlah saya yang menanggung sendiri. Setiap hari Minggu
saya mengalah untuk membersihkan semuanya. Pada hari Senin ruang kelas sudah
bersih dan siap untuk belajar kembali, “ jelas Pak Soleh.
“Kenapa Pak Soleh takut ngomong kepada saya?
Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Kita bisa atasi bersama,” kataku
“Iya Pak. Maafkan saya. Sekarang saya mau
membersihkan ruang kelas dulu Pak,”
Pak Soleh bergegas mengambil kain pel dan
ember. Tak tahan dengan bau muntah-muntahan, aku lebih memilih masuk ke ruang guru untuk mengerjakan tugasku.
Aku tak bisa konsentrasi mengerjakan tugasku.
Sampai Pak Soleh selesai membersihkan ruang kelas, aku belum juga menyelesaikan
tugasku.
“Bapak belum selesai?” tanya Pak Soleh
“Belum, tinggal dulu saja. Nanti kuncinya saya
antar ke rumah,” kataku
“Nggak papa Pak. Saya tunggu. Bapak mau saya
buatin kopi?” tanya Pak Soleh
“Boleh,” jawabku
Pak Soleh pergi ke dapur untuk membuatkan kopi
hitam kesukaanku. 20 menit kemudian, Pak Soleh datang.
“Ini Pak kopinya,”
“Lho kok cuma satu. Pak Soleh nggak bikin
sekalian?” tanyaku
“Saya baru saja ngopi di rumah Pak,”
Pak Soleh menemaniku sambil ngobrol. Ia
bercerita lagi tentang ruang kelas yang dipakai untuk mabuk-mabukan.
“Kita laporkan polisi saja Pak?” kataku
memberikan ide kepada Pak Soleh.
“Percuma Pak. Polisi juga sudah tahu kalau di lingkungan
sini pusatnya miras. Toh tak ada tindakan. Katanya sih mereka sudah setor.
Kalau Bapak melaporkan, saya khawatir Bapak yang diancam,” kata Pak Soleh
panjang lebar.
“Terus gimana penyelesaiannya Pak Soleh?
Tanyaku
“Saya bingung Pak,” jawab Pak Soleh tak ada
ide.
Aku sendiri bingung juga bagaimana cara
mengatasi persoalan ini.
- Lapor ke polisi?
Sangat beresiko
- Hadapi sendiri?
Lebih beresiko
- Diberi suap supaya
mereka mau pergi? Aku tak punya uang
- Didekati? Emang
cewek
- Ikut mabuk? Sudah
gila
Berhari-hari aku memikirkan ide untuk menyelesaikan
persoalan ini sampai suatu hari Mas Tri, salah satu staf TU mengajakku untuk
nonton bola bersama di sekolah.
“Ide ini cukup cemerlang tapi resikonya?” Aku
masih gamang dengan ide ini. Dengan melaksanakan ide ini artinya aku harus
berani berhadapan dengan mereka. Siapkah aku? Beranikah aku?
“Baiklah, akan kucoba. Apapun resikonya,”
kataku mantap.
Pada suatu malam minggu, aku mengajak Mas Tri
ke sekolah. Kebetulan, pertandingan antara Liga Inggris akan disiarkan
langsung pada pukul 21.00 tepat. Pukul
20.00, aku ngampiri Mas Tri.
Pukul 20.15, kami sampai di sekolah. Lampu
remang-remang di halaman depan menyambut kami. Kulihat ada seorang pria
setengah baya sedang duduk di bangku panjang. Tak jelas wajahnya. Dia nampak
kaget melihat kedatangan kami. Padahal kami juga kaget.
“Eh, Bapak. Kok malam-malam?” sapa dia
basa-basi
“Iya, mau lembur,” jawabku. Rupanya dia tahu siapa
aku.
Kulihat di bangku panjang, telah berjejer
botol-botol minuman. Aku merinding juga. Pertarungan dimulai. Aku berusaha tenang.
“Apa ini?” tanyaku
“Nggak apa-apa Pak. Ini milik teman-teman,”
jawab dia gugup
Nah, aku mulai berada di atas angin. Dia gugup, aku
tenang. Dia sendirian, aku berdua. Kuambil salah satu botol. Kulihat tempelan
kertasnya. Kubaca merknya. Kulihat gambarnya. Nampak merk dan gambarnya tidak
sesuai. Merknya miring tapi gambarnya sama sekali tak miring. Kucari tanggal
kadaluwarsanya, tak ada. Pria itu semakin kikuk. Kuletakkan kembali botol itu. Aku
tak bertanya lagi. Aku tak mau membuatnya semakin tertekan dan merasa teraniaya.
Doa orang teraniaya makbul. Cukup kubiarkan dia semakin kikuk. Aku membuka
pintu ruang guru. Kunyalakan lampu ruang guru dan juga lampu semua kelas. Suasana
menjadi terang benderang. Kunyalakan televisi 14 inc. Kukeraskan volumenya
sehingga volume suaraku juga lebih kukeraskan saat mengobrol dengan Mas Tri.
Kupastikan aku menikmati suasana ini. Akulah yang kini berpesta. Akulah
penguasa sekolah ini. Bukan kalian wahai para pecundang. Kalau mau ikut
berpesta silahkan ikuti aturanku.
Tiba-tiba, ada suara beberapa orang di luar. Nampaknya
teman-teman pria separuh baya tadi mulai datang. Kubiarkan saja. Aku sudah tak
peduli dengan mereka. Kini adrenalinku sedang naik. Berapapun jumlah mereka,
aku tak takut lagi. Apapun yang mereka mau, akan kuhadapi.
Beberapa menit kemudian suasana di luar
kembali lengang. Aku malah penasaran. Aku keluar. Tak ada orang lagi.
Botol-botol minuman di atas bangku ikut menghilang.
Sejak saat itu, setiap malam minggu aku berpesta
bola di sekolah. Mereka menghilang dan Pak Soleh tak lagi repot membersihkan
ruang kelas setiap Hari Minggu.