alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Kamis, 28 April 2016

Fiksi: RATIH

Awal bertemu di pojok utara alun-alun. Sinar purnama yang malam itu terang benderang menyapu wajahnya yang begitu rupawan. Dia memperkenalkan diri dengan nama Ratih. Keramaian malam Jum’at Kliwon di alun-alun ini nampak sama sekali tak mengganggunya. Dengan tenang dia bercerita tentang asal-usulnya.

“Aku dari utara,” katanya, ”aku sudah lama tak mengunjungi kliwonan. Karena kabar dari adik-adikku lah yang membuatku akhirnya ke sini.”

Aku diam menyimak perkataannya. Tak ada pertanyaan atau tanggapan apapun dari mulutku. Entahlah, aku begitu terpesona dengan wajahnya. Ucapan apapun yang keluar dari bibirnya nampak indah. Seperti nyanyian kidung keraton yang mendayu-dayu.

“Kata adik-adikku beringin tempat kami dulu bermain telah tumbang dan terbelah menjadi empat,” katanya melanjutkan, ”makanya aku ke sini. Hanya ingin melihat bekas tempat bermain kami. Ternyata benar. Tempat bermain kami kini berantakan.”

Dia pun mengajakku mengitari beringin yang telah tumbang itu. Batangnya masih dibiarkan condong ke empat arah dan hanya ditopang dengan beberapa batang bambu. Cabang-cabangnya telah dipangkas rapi.

“Dulu aku sering berayun-ayun dengan akar gantungnya bersama adik-adikku. Main petak umpet di sela-sela batangnya.”

Tanpa terasa malam semakin larut.

“Adik-adikku telah selesai memberesi dagangannya. Aku pamit dulu. Kapan-kapan kita bertemu lagi,” kata dia
“Ayo kak kita pulang,” kata mereka. Pakaian mereka seragam, kebaya hitam dengan jarik batik kawung. Mereka mengikat rinjing bambu dengan seutas selendang di gendongan mereka.

Seperti tak rela berpisah, aku mengikuti Ratih menuju ke utara menyeberangi jalan pantura yang telah sepi. Sampai di dekat rel kereta, tiba-tiba badanku ditarik dengan keras sampai aku terjerembab ke belakang.


Sampeyan nggak lihat ada kereta lewat,” bentak seorang laki-laki paruh baya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar