Awal bertemu di pojok utara alun-alun. Sinar
purnama yang malam itu terang benderang menyapu wajahnya yang begitu rupawan.
Dia memperkenalkan diri dengan nama Ratih. Keramaian malam Jum’at Kliwon di
alun-alun ini nampak sama sekali tak mengganggunya. Dengan tenang dia bercerita
tentang asal-usulnya.
“Aku dari utara,” katanya, ”aku sudah lama tak
mengunjungi kliwonan. Karena kabar dari adik-adikku lah yang membuatku akhirnya
ke sini.”
Aku diam menyimak perkataannya. Tak ada
pertanyaan atau tanggapan apapun dari mulutku. Entahlah, aku begitu terpesona
dengan wajahnya. Ucapan apapun yang keluar dari bibirnya nampak indah. Seperti
nyanyian kidung keraton yang mendayu-dayu.
“Kata adik-adikku beringin tempat kami dulu
bermain telah tumbang dan terbelah menjadi empat,” katanya melanjutkan,
”makanya aku ke sini. Hanya ingin melihat bekas tempat bermain kami. Ternyata
benar. Tempat bermain kami kini berantakan.”
Dia pun mengajakku mengitari beringin yang
telah tumbang itu. Batangnya masih dibiarkan condong ke empat arah dan hanya ditopang
dengan beberapa batang bambu. Cabang-cabangnya telah dipangkas rapi.
“Dulu aku sering berayun-ayun dengan akar
gantungnya bersama adik-adikku. Main petak umpet di sela-sela batangnya.”
Tanpa terasa malam semakin larut.
“Adik-adikku telah selesai memberesi
dagangannya. Aku pamit dulu. Kapan-kapan kita bertemu lagi,” kata dia
“Ayo kak kita pulang,” kata mereka. Pakaian mereka
seragam, kebaya hitam dengan jarik batik kawung. Mereka mengikat rinjing
bambu dengan seutas selendang di gendongan mereka.
Seperti tak rela berpisah, aku mengikuti Ratih
menuju ke utara menyeberangi jalan pantura yang telah sepi. Sampai di dekat
rel kereta, tiba-tiba badanku ditarik dengan keras sampai aku terjerembab ke
belakang.
“Sampeyan nggak lihat ada kereta
lewat,” bentak seorang laki-laki paruh baya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar