Malam sudah larut. Suasana telah sepi. Dua orang
mengendap-endap di sebelah utara gedung sekolah. Kepala keduanya ditutupi
sarung. Hanya matanya yang kelihatan. Gerak-geriknya mencurigakan. Salah
satunya membawa sebuah linggis. Mereka berdua mendekati pintu samping yang
terbuat dari besi. Benar saja, mereka mulai mencongkel gembok besar di pintu tersebut
dan “krakkk”
“Astaghfirullahhh....” aku terbangun. Ternyata hanya mimpi.
Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 03.00.
Jarang aku bermimpi sampai
terbangun seperti ini.
“Jangan-jangan...,” tiba-tiba jantungku berdebar kencang.
Aku segera meloncat dari tempat tidur. Segera kupakai celana
panjang dan jaket. Kusambar kunci motor. Kubiarkan istriku dan anak-anakku yang
masih nampak pulas di tempat tidur. Aku segera mengeluarkan sepeda motorku.
Segera kekebut menuju sekolahku.
Sampai di sekolahku, suasananya sangat sepi. Hanya lampu
bohlam 25 watt yang menerangi halaman depan sekolahku. Kuparkir sepeda motorku
di halaman depan. Tentu saja, aku tak bisa masuk ke ruang guru karena Pak Soleh
lah yang membawa kunci semua ruang. Aku segera menuju ke samping. Nampak warung
seberang jalan masih ramai. Benar kata orang, warung itu buka 24 jam. Pagi
sampai siang, warung itu adalah tempat jajan bagi siswa-siswaku. Pada malam
hari, warung itu tempat jajan para lelaki. Kulihat mereka duduk-duduk sambil
tertawa-tawa. Kudekati pintu samping yang terbuat dari kisi-kisi besi. Lampu
jalan tampak terang. Aku bisa dengan jelas melihat pintu dan gemboknya.
Kuperiksa gemboknya. Ternyata masih terkunci. Kuintip ke dalam. Nampak
lorong-lorong kelas yang gelap. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Sekali
lagi kuperiksa gemboknya. Kali ini, sengaja kubentur-benturkan gembok itu ke
pintunya sehingga menimbulkan suara agak kencang. Para lelaki di waraung itu
diam sejenak dan menengok ke arahku. Dengan sorot lampu jalan yang begitu
terang, mereka pasti dengan mudah mengenali wajahku.
Setelah memastikan aman,
aku berjalan menuju warung tersebut.
“Wah...pada begadang nih,” sapaku. Ada sekitar 15 pria muda
dan setengah baya. Ada yang sedang bermain kartu. Ada yang main catur. Sebagian
besar memegang botol minuman.
“Ehh..Pak Guru, kok malam-malam ke sekolah Pak Guru,” kata
salah satu pria separuh baya sambil melempar salah satu kartu remi-nya.
“Iya... mampir sebentar. Wah, sampai pagi ini ya?” kataku
“Biasa Pak Guru, kegiatan orang-orang nggak punya kerjaan.
Mari.. ngopi-ngopi dulu Pak Guru!”
“Terima kasih.. cuma sebentar kok. Silahkan
dilanjutkan,” kataku
Aku kembali ke depan. Kuamati semua gedung sekolah, pintu,
jendela, papan pengumuman, dan tanaman-tanaman yang tertata rapi. Semua nampak
sepi dan remang-remang. Aku duduk di bangku panjang menghadap ke timur. Persis
di depanku, di seberang jalan adalah pintu gerbang makam desa. Makamnya 50
meter menjorok ke arah timur. Jalan dari pintu gerbang sampai ke kompleks makam
diapit oleh kebun pisang dan rambutan. Di atas pemakaman malah nampak terang.
Terlihat bayangan batu nisan saling menyembul. Konon, di jalan makam tersebut
sering muncul hantu tanpa kepala. Kemana kepalanya? Berayun-ayun di tangan kanannya
dengan leher yang masih meneteskan darah. Akan tetapi, malam ini tak ada
tanda-tanda hantu itu muncul.
Di bangku panjang ini, ditemani nyamuk-nyamuk nakal,
kurenungi kembali makna mimpiku sampai azan subuh sayup-sayup berkumandang di
kejauhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar