Lek-lekan adalah aktivitas "melek" (tidak tidur) semalam suntuk.
Aktivitas ini sudah menjadi tradisi orang Jawa pada waktu-waktu tertentu. Tradisi lek-lekan yang biasa dilakukan adalah:
- Malam 1 suro. Pada malam ini, orang melakukan lek-lekan dengan cara semedi, kungkum, tapa bisu atau hal-hal lain yang berkaitan dengan perenungan diri sendiri, alam semesta dan Tuhan. Aktivitas ini dikaitkan dengan mencari wangsit, ilham dan wahyu.
- Malam akad nikah. Lek-lekan ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di rumah mempelai putri. Tujuannya adalah untuk meramaikan suasana supaya ada kegembiraan sebelum dan sesudah upacara pernikahan. Aktivitas ini dilakukan oleh para kerabat dan tetangga sekitar. Aktivitas lek-lekan ini dilaksanakan dengan mengobrol, ngopi, makan makanan ringan, bermain catur, remi, dan lain sebagainya.
- Malam pemilihan kepala desa. Orang melakukan lek-lekan karena pada malam ini biasanya ada “ndaru” yang turun rumah ke calon kepala desa terpilih. “Ndaru” adalah sinar biru kehijau-hijauan yang entah datang dari mana terbang di angkasa dan jatuh di rumah salah satu calon yang dipercaya akan menang. Nah, orang yang lek-lekan ini biasanya menunggu “ndaru” itu karena dia bisa menentukan salah satu calon untuk taruhan.
- Malam togel. Lek-lekan dilakukan dimanapun untuk menentukan angka yang akan dipasang dalam togel. Apabila lek-lekan dilakukan di pinggir jalan raya artinya dia menentukan angka togel lewat nomor kendaraan yang lewat. Apabila lek-lekan dilakukan sambil nonton bola, dia akan menentukan angka togel lewat skor pertandingan bola tersebut. Apabila lek-lekan dilakukan di kuburan, dia akan menentukan angka togel dari jenis hantu yang muncul. Apabila lek-lekan sambil mengikuti orang gila, dia akan menentukan angka togel dari kata-kata yang keluar dari orang gila tersebut. Apabila lek-lekan dilakukan sambil tidur, dia berharap angka togel keluar lewat mimpi. Saat dia bangun, dia pasang togel sudah telat.
- Malam Ujian Nasional. Lek-lekan ini pada awalnya bertujuan untuk menjaga naskah ujian yang ada di sekolah. Itu terjadi pada tahun sebelum ada istilah “Ujian Nasional” karena pada saat itu naskah soal sudah dikirim ke sekolah masing-masing sebelum dilaksanakan ujian. Namun ketika ada “Ujian Nasional”, naskah soal disimpan di sub rayon (kantor dinas pendidikan atau salah satu sekolah yang ditunjuk) yang sudah dijaga oleh kepala sekolah yang piket dan beberapa orang polisi. Anehnya, di masing-masing sekolah (termasuk sekolahku) tetap dilaksanakan lek-lekan padahal tidak ada lagi naskah soal yang harus dijaga. Lalu, menjaga apa? “Menjaga hatimu,” jawabku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar