Pagi ini aku keramas memakai sampo yang baru kubeli kemarin sore. Harganya mahal, baunya wangi apel segar. Hasilnya:
"Pak, Rambut Bapak kok njegrig gitu, njijiki Pak," komentar salah satu siswaku di kelas.
"Ah...masa sih?" tanyaku penasaran sambil kupegang rambutku bagian atas. Kurasakan rambutku berdiri. Tak biasanya seperti ini. Rambutku memang sudah agak panjang dibandingkan biasanya, 2 cm di kanan kiri dan belakang dan 5 cm di atas (model militer). Biasanya rambutku tergolong rambut yang penurut alias mudah diatur. Tapi sekarang berubah seperti ini. Tadi pagi juga sudah kusisir rapi. Aku memang tak pernah pakai minyak rambut sejak pengalamanku berganti-ganti minyak rambut dan membuat rambutku meninggalkan dunia hitam alias ber-uban.
"Ini Pak, saya pinjami," kata siswa tadi sambil menyodorkan sebuah cermin kecil dan sisir.
Benar juga rambutku njegrig, menguncung di depan seperti Encep. Ini pasti efek sampo baruku. Wah, kacau. Kusisir pelan-pelan, balik lagi. kusisir lagi, balik lagi. Rambutku membangkang tak mau tidur.
"Haha... dibasahi dulu Pak" kata mereka.
"Sudah lah tak jadi sisiran. Percuma," kataku sambil mengembalikan sisir beserta cerminnya.
Kubiarkan rambutku tetap mendongak ke atas dengan sombongnya. Kulanjutkan pelajaran dengan penuh ketidaknyamanan. 2 jam pelajaran di kelas, rasanya tersiksa tak ada habisnya.
Aku berjanji demi kenyamanan kelas, aku akan memperbaiki penampilanku. Akan kubuang sampo-ku yang mahal itu. dan nanti sore, pasti kucukur rambutku lebih pendek agar dalam kondisi apapun tak njegrig lagi.
Penampilan is important, although it's not the most important.
njegrig : berdiri tegak
njijiki : menjijikan
Jumat, 28 November 2014
Rabu, 26 November 2014
MISUH
Saat aku sedang menerangkan pelajaranku dengan penuh wibawa tentunya dan para siswa pun sedang konsentrasi penuh, tiba-tiba:
"Celeng kamu"
"He...siapa itu?" tanyaku kaget.
"Erdi yang misuh Pak," kata Damar
"Erdi..kenapa kamu misuh-misuh kayak gitu?" tanyaku lebih lanjut
"Damar kurang ajar Pak, pinjam pulpen main rebut aja," jelas Erdi.
"Kamu tahu ga, sekolah ini adalah sekolah yang sopan dan santun, siswa-siswanya dan guru-gurunya tak ada yang bicara tak pantas seperti itu," kataku menjelaskan.
"Tapi saya jengkel Pak," jawab dia membela diri.
"Tapi tak perlu kata-kata seperti itu. Ini sekolah. Tempatkan kata-kata pada tempatnya. Kata-kata tersebut tak pantas diucapkan di sekolah. Celeng alias babi hutan adalah binatang menjijikan, haram, najis,"
"Erdi biasa misuh seperti itu Pak," kata siswa yang lain.
"Apakah benar Erdi, kamu suka misuh seperti itu?" tanyaku
"Iya Pak, tapi cuma kalau lagi jengkel Pak," kata dia
"Ya iya lah, mana ada orang lagi senang, misuh-misuh. Saya tahu misuh adalah salah satu naluri manusia yang paling dasar. Di dunia manapun, kapanpun dan bahasa apapun ada kata-kata pisuhan. Tapi lihatlah situasi, kondisi dan lingkungan. Di pasar atau di terminal, kamu bisa misuh semaumu. Tapi di sekolah kata-katamu yang halus, yang sopan. Binatang najis kok disebut-sebut"
"Sudah biasanya seperti itu sih Pak," jawab Erdi
"Jangan dibiasakan dan jangan diulangi lagi," kataku
"Terus kalau saya mau misuh gimana Pak?" tanya dia mendesak
"Pakai kata-kata yang halus," jawabku
"Contohnya Pak?"
Aku bingung mencari jawaban. Kalau misuh dengan kata "kawan, sayang, manis" namanya bukan misuh. Akhirnya kujawab binatang yang sepadan tapi lebih terhormat.
"Sapi, kambing, atau kucing," jawabku.
"Wedus kamu" pisuh Erdi dengan keras kepada Damar
Aku mengalami gagal rasa. Kurasa-rasakan kualitas rasa antara celeng kamu dan wedus kamu sama. Mau sapi, kambing, kucing atau celeng, tetap saja misuh.
Aku lupa, kenapa aku tak mengajarkan supaya sabar dan jangan misuh.
*) Misuh : Umpatan
Wedus : kambing
"Celeng kamu"
"He...siapa itu?" tanyaku kaget.
"Erdi yang misuh Pak," kata Damar
"Erdi..kenapa kamu misuh-misuh kayak gitu?" tanyaku lebih lanjut
"Damar kurang ajar Pak, pinjam pulpen main rebut aja," jelas Erdi.
"Kamu tahu ga, sekolah ini adalah sekolah yang sopan dan santun, siswa-siswanya dan guru-gurunya tak ada yang bicara tak pantas seperti itu," kataku menjelaskan.
"Tapi saya jengkel Pak," jawab dia membela diri.
"Tapi tak perlu kata-kata seperti itu. Ini sekolah. Tempatkan kata-kata pada tempatnya. Kata-kata tersebut tak pantas diucapkan di sekolah. Celeng alias babi hutan adalah binatang menjijikan, haram, najis,"
"Erdi biasa misuh seperti itu Pak," kata siswa yang lain.
"Apakah benar Erdi, kamu suka misuh seperti itu?" tanyaku
"Iya Pak, tapi cuma kalau lagi jengkel Pak," kata dia
"Ya iya lah, mana ada orang lagi senang, misuh-misuh. Saya tahu misuh adalah salah satu naluri manusia yang paling dasar. Di dunia manapun, kapanpun dan bahasa apapun ada kata-kata pisuhan. Tapi lihatlah situasi, kondisi dan lingkungan. Di pasar atau di terminal, kamu bisa misuh semaumu. Tapi di sekolah kata-katamu yang halus, yang sopan. Binatang najis kok disebut-sebut"
"Sudah biasanya seperti itu sih Pak," jawab Erdi
"Jangan dibiasakan dan jangan diulangi lagi," kataku
"Terus kalau saya mau misuh gimana Pak?" tanya dia mendesak
"Pakai kata-kata yang halus," jawabku
"Contohnya Pak?"
Aku bingung mencari jawaban. Kalau misuh dengan kata "kawan, sayang, manis" namanya bukan misuh. Akhirnya kujawab binatang yang sepadan tapi lebih terhormat.
"Sapi, kambing, atau kucing," jawabku.
"Wedus kamu" pisuh Erdi dengan keras kepada Damar
Aku mengalami gagal rasa. Kurasa-rasakan kualitas rasa antara celeng kamu dan wedus kamu sama. Mau sapi, kambing, kucing atau celeng, tetap saja misuh.
Aku lupa, kenapa aku tak mengajarkan supaya sabar dan jangan misuh.
*) Misuh : Umpatan
Wedus : kambing
Selasa, 25 November 2014
DO'A TITIPAN
Aku terkejut dengan do'a yang dibacakan pada saat upacara memperingati Hari Guru.
Isi do'a yang sangat khusus. Padahal kalimat do'a lainnya hanya menyebut hal-hal yang universal dan umum.
"Benarkah ini teks do'a yang dibaca tadi ?"
"Iya benar," jawab beliau
"Kok tak ada kalimat yang menyebutkan GTT dan PTT ya?" tanyaku curiously alias kepo
"Oh, itu tho, itu do'a titipan dari guru-guru GTT dan pegawai-pegawai PTT tadi pagi. biar didoakan dan di-amin-i oleh orang banyak," jawab beliau.
"Oh gitu, semoga terkabul. Amin".
*) GTT: Guru Tidak Tetap alias guru honorer
PTT: Pegawai Tidak Tetap alias pegawai honorer
"Ya Alloh, jadikanlah para Guru GTT dan pegawai PTT di sekolah ini menjadi PNS"
Isi do'a yang sangat khusus. Padahal kalimat do'a lainnya hanya menyebut hal-hal yang universal dan umum.
Karena penasaran, setelah upacara aku baca teks do'a yang dibacakan tadi. Ada 2 halaman. Aku teliti satu per satu. Ternyata tak ada kalimat yang disebutkan tadi. Aku bertanya kepada Pak Yayan, pembaca do'a tersebut.
"Benarkah ini teks do'a yang dibaca tadi ?"
"Iya benar," jawab beliau
"Kok tak ada kalimat yang menyebutkan GTT dan PTT ya?" tanyaku curiously alias kepo
"Oh, itu tho, itu do'a titipan dari guru-guru GTT dan pegawai-pegawai PTT tadi pagi. biar didoakan dan di-amin-i oleh orang banyak," jawab beliau.
"Oh gitu, semoga terkabul. Amin".
*) GTT: Guru Tidak Tetap alias guru honorer
PTT: Pegawai Tidak Tetap alias pegawai honorer
Senin, 24 November 2014
HP HILANG
Sampai sekarang pikiranku belum tenang. persoalan di kelasku belum selesai. Sabtu kemarin, ada anak kehilangan HPnya saat pelajaran olehraga. Sudah dilakukan penggeledahan tapi tak ditemukan. Para tercuriga juga sudah dipanggil dan dicecar berbagai pertanyaan di ruang BK, tapi tak ada yang mengaku. Dengan cara apalagi? kekerasan? Tak mungkin lah. Ini sekolahan.
Aku sebagai wali kelas merasa terganggu dengan peristiwa ini. Kelas ini dalam tanggung jawabku. Semaksimal mungkin aku harus menyelesaikan persoalan ini. Kalau bisa, menemukan dan mengembalikan HP yang hilang. Ceramah pertaubatan sudah kulakukan di depan kelas, ceramah ancaman juga sudah. Bahkan ceramah tentang keikhlasan kepada anak yang kehilangan HP sudah juga kulakukan.
"Aku belum bisa ikhlas Pak," jawab anak yang kehilangan.
Haruskah aku lewat jalan belakang? Dukun maksudku. Tapi aku tak yakin 100 % pada dukun. Apalagi sekarang, kondisi ekonomi lagi gonjang-ganjing pasca kenaikan BBM, pasti banyak dukun palsu, dukun dadakan, dukun tiban, dukun-dukunan sampai dukun cabul yang hanya ingin cari uang.
Jalan terakhir yang kutempuh adalah do'a. Itu adalah cara satu-satunya dan mungkin juga terakhir yang aku untuk memecahkan persoalan.
Semoga Tuhan memberi petunjuk dan memberi hikmah melalui peristiwa ini.
Jumat, 21 November 2014
BALI (2)
Tepat pukul 08.00 WIB busku berangkat. Ada 3 bus, Bus A, bus B, bus C. Aku mengawali
dengan do’a plus senyum
agar perjalanaan ini penuh dengan keceriaan. Kutempatkan pantatku di kursi dengan
tepat agar bisa duduk senyaman mungkin. Layar TV di depan mulai menyala.
Lagu-lagu nostalgia mengawali pagi yang cerah ini. Pance Pondaag memamerkan
suara khasnya yang melengking. Klik sekali dengan moodku.
“Ganti mas kondektur. Noah aja,” teriak anak-anak dari
belakang.
Mas kondektur tak berkutik. Dari tas CDnya dikeluarkan Noah
terbaru. Tentu saja CD bajakan, harga 5000 per keping atau 4000 kalau beli banyak. Dan moodku patah hati.
Pance pondaag turun panggung. Agak kecewa sih. Tapi apa boleh buat. Aku harus
menyesuaikan diri dengan selera massa. Ku-restart otakku. Kucari gelombang sinyal
baru di moodku. Ketemu. Asyik juga lagu separuh aku-nya Ariel Noah, penyanyi
ganteng, punya suara bagus, disukai banyak cewek dan selalu membuatku iri.
Padahal sebenarnya aku tak perlu iri hanya dengan perbedaan yang sedikit itu.
Semarang dan setelahnya
Pukul 10.00 memasuki Semarang.
Macet adalah adat lama yang masih belum bisa hilang. Noah sudah dari tadi turun
panggung. Kini Agnes Monika sedang tampil. Aku dan sepertinya juga semua
penumpang sudah tak bisa menikmati Agnes Monika yang sedang jingkrak-jingkrak. Kami
mulai gelisah. Pemandangaan kendaraan dan kota Semarang yang macet mempengaruhi
selera kami. Apa boleh buat, kusandarkan kepalaku di sandaran dan kakiku
kuangkat dan lututku bersandar ke kursi kondektur. Terasa lebih nyaman.
Batang-Semarang belum ada pemandangan yang baru karena aku sudah bolak-balik
melalui jalur itu. Aku belum perlu menyalakan kamera digital yang tergantung di
leherku. Memasuki Demak, Kudus, Pati, Rembang aku pasang aksi. Kota yang belum
pernah aku lewati ini tentu saja harus aku abadikan di cameraku walaupun hanya
dari atas bus. Batas kota
Demak yang bertuliskan Demak kota Wali, Terminal bus tipe A Jati di Kudus,
Masjidil Aqso Sunan Ngerang di Pati, Ladang garam, Polsek, pelabuhan nelayan,
dan proyek calon pelabuhan Rembang, tugu perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur
beserta candinya sempat terjepret kameraku
Pukul 13.00 memasuki Jawa Timur
dan transit di Tuban untuk makan siang dan sholat. Perjalanan selanjutnya
melalui Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo tak kulewatkan. Semuanya telah
masuk ke kamera digitalku.
Alas Purwo
Setelah makan malam di Pasuruan
mataku mulai memainkan irama syahdunya. Rasa kantuk karena kenyang tak bisa kucegah. Probolinggo kulewati dengan mata tertutup. Pukul 02.00 aku
terbangun. Kulihat lamat-lamat di sebelah kanan jalan tulisan “Alas Purwo Banyuwangi”.
Semua penumpang telah
KO. Hanya kondektur dan supirnya yang masih terjaga. Dengan “gudang garam” di bibirnya, pak supir nampak sama
sekali tak mengantuk. Padahal
sudah hamper 20 jam menyetir. Bus berjalan di tengah hutan dengan kencang tanpa goncangan. Jalannya
sangat halus. Jalanan yang mulus di Banyuwangi memang sudah kondang sejak Banyuwangi
dipimpin oleh Bupati Abdullah Azwar Anas. Suasana malam di hutan yang terkenal angker ini tidak
mengurangi kecepatan kendaraan. Jalur
alas purwo bahkan berubah
menjadi sirkuit Catalunya bagi supir busku. Pedal gas dipancal pada
kecepatan maksimal. Aku mengurungkan
niatku untuk tidur lagi. Adrenalinku terpancing untuk menikmati
balapan bus ini. Jalur hutan yang mulus meliuk-liuk diterjang. Klakson tak pernah
diam. Lampu dim (high beam) berkedap-kedip memperingatkan kendaraan yang
berpapasan supaya minggir. Tulisan “Jika supir kami ugal-ugalan dan
membahayakan penumpang, telp. 081.....” yang terpampang di depan sudah tak dipedulikan. Kendaraan-kendaraan kecil yang
berpapasan dengan bus kami lebih suka mengalah daripada jadi korban. Inilah alasan mengapa supir bus
malam mempunyai kasta paling
tinggi di dunia per-supir-an.
Keberanian, keterampilan, kecermatan, kenekatan, dan
kegilaan mereka telah teruji.
Ketapang-Gilimanuk
Pukul 03.00 kami menyeberang dari
Ketapang menuju Gilimanuk. Kami naik kapal ferry. Aku memilih duduk di lantai dua sambil menikmati kelap-kelip lampu kapal lainnya. Duduk di kursi panjang dari besi, pantatku pegal, akhirnya aku naik ke atas. Sambil berdiri di geladak bagian depan diterpa angin malam, membayangkan Jack yang bergelayut bersama Rose di Titanic. (Sayang Rose-nya ketinggalan di rumah). Setelah 30 menit berlayar, kami turun dan melanjutkan perjalanan dengan bus kami. Pukul 04.00 kami sholat subuh di masjid tak jauh dari pelabuhan. Pada pukul
06.00, kami transit di rumah makan Soka untuk mandi sekaligus sarapan. Aroma night indian jasmine alias kembang kamboja mulai tercium. Di pintu gerbang, di parkiran, di pintu, di dekat kamar mandi terdapat sesaji dengan aroma khas Bali tersebut. Pemilik
rumah makan ternyata orang Kebumen dan nama Soka diambil dari nama satu wilayah
di Kebumen yang terkenal dengan produk gentengnya yaitu “genteng soka”. Di rumah makan ini, terdapat museum ogoh-ogoh.
Ogoh-ogoh hasil lomba disimpan di museum ini. Alhamdulilah, sampai di tempat
ini rombongan di busku tak ada yang mabuk.
Tanjung Benoa-Nusa Dua
Wisata Paket pertama yaitu ke Tanjung Benoa. Kami melewati jalan tol laut, satu-satunya jalan tol yang
dibangun di atas laut dan satu-satunya jalan tol yang memperbolehkan sepeda
motor untuk melewatinya. Di Tanjung Benoa-Nusa Dua, banyak permainan yang ditawarkan yaitu jet ski, parasailing, Banan Boat, Flying fish, snorkling, Glass Buttom naik perahu motor ke pulau penyu tempat penangkaran penyu
(Deluang Sari Turtle Farm). Biaya permainan ditanggung sendiri. Aku memilih naik perahu motor ke pulau penyu dengan membayar 50 ribu dan 5 ribu tiket masuk. Setelah puas berfoto-foto
dengan penyu, kelelawar, burung rangkong dan ular, kami kembali ke Tanjung Benoa dan acara dilanjutkan makan siang.
Pantai pandawa
Pantai yang indah dengan pegunungan kapur di
belakangnya. Pasir putih dan hmmm… mulai. Para turis yang berjemur dengan
pakaian seadanya menarik perhatianku. Inilah daya tarik
wisata Bali yang sebenarnya (bagi turis lokal): sumur dan susno duaji.
Paragliding, perahu, dan tempat untuk berjemur dan payung sama sekali tak menarik bagiku. Aku hanya jalan-jalan sambil memperhatikan sumur dan susno duaji yang masih tersaji. Pantai, air laut, perahu, warung penjual mie
rebus, nasi goring, kelapa muda sudah ada semua di kotaku, Batang. Buat apa kulirik
lagi.
Garuda Wisnu Kencana
(GWK)
Seni di Bali memang tak pernah ada matinya. Patung GWK walaupun masih setengah jadi ini tetap menarik. Lokasi
yang luas dengan rencana arsitektur yang mengagumkan dari karya seni I Nyoman
Nuarta sudah membentuk. Entah mau dilanjutkan atau tidak karya besar ini. Di area ini, semua bangunannya terbentuk dari gunung kapur yang diukir dan dilubangi. Ckckck..kagum aku. Pentas kecak di ruang teater menyedot perhatian
pengunjung untuk berfoto-foto dengan para penari. Menarik.
Hari ke-2
Tari Barong
Di Batubulan, kami
menonton pentas tari barong. Dialog yang kocak dan melibatkan para penonton
sangat menarik. Tak lupa adegan kelamin tetap menjadi penutupnya. Aku pun menikmatinya sampai selesai.
Cah Ayu
Pusat belanja khusus kacang-kacangan khas Bali
paling lengkap. Walaupun ada produk lain, kacang tetap menjadi andalannya. Pemiliknya, H. Robani menyempatkan untuk menyapa kami. Pengalamannya yang unik dan menarik aku dengarkan dari beliau: dari pedagang asongan kini menjadi juragan. Aku menyempatkan untuk membeli oleh-oleh pie susu dengan berbagai rasa dan kacang juga dengan berbagai rasa. Di
sini, kami juga menjalankan sholat dhuhur dan makan siang.
Pasar Seni Sukawati
Nama sebenarnya adalah Pasar Seni Guwang
(Guwang Art Market) terletak di jalan Guwang Sukawati Gianyar Bali tapi lebih
terkenal dengan nama Pasar Seni Sukawati saja. Di sini, dijual lukisan Bali
dari ukuran kecil sampai besar, dari harga 20 ribuan sampai ratusan juta. Aku
belum tertarik untuk membelinya walaupun lukisannya sangat menarik. Pertimbangannya
hanya satu yaitu karena belum ada tempat di rumahku untuk memajang. Maklum,
rumahku belum sempurna, temboknya masih batu bata merah telanjang, belum di-Iepo. Kaos barong khas Bali berharga 25
ribuan juga dijual di sini. Kualitas bahannya yang tidak terjamin membuatku tak
tertarik untuk membelinya. Aku memilih untuk minum kopi khas Bali di warung
depan pasar di bawah pohon beringin. Rasanya agak pahit, sedikit masam tapi lembut.
“Ah..ini baru Bali,” kataku sambil menyeruput
secangkir kopi panas.
"Ini kopi kintamani", kata pemilik warung.
"Hah, jadi ini dari kotoran anjing?" tanyaku pada pemilik warung karena setahuku kintamani adalah nama anjing ras Bali. Artinya, prosesnya sama dengan kopi luwak yang juga diproses melalui kotorannya?.
"Bukan... kopi ini berasal dari daerah kintamani" jelas pemilik warung. Ternyata kintamani adalah nama kecamatan di kabupaten Bangli dan anjing kintamani juga berasal dari sana.
"Ini kopi kintamani", kata pemilik warung.
"Hah, jadi ini dari kotoran anjing?" tanyaku pada pemilik warung karena setahuku kintamani adalah nama anjing ras Bali. Artinya, prosesnya sama dengan kopi luwak yang juga diproses melalui kotorannya?.
"Bukan... kopi ini berasal dari daerah kintamani" jelas pemilik warung. Ternyata kintamani adalah nama kecamatan di kabupaten Bangli dan anjing kintamani juga berasal dari sana.
Pantai Kuta
Jam 15.30 kami menuju pantai Kuta. Bus diparkir
di depan toko Krisna. Kemudian, penumpang diangkut menggunakan mobil suttle isuzu
warna biru menuju pantai Kuta. Aku tak ikut ke pantai. Hari sudah sore, pasti
jemuran susno duaji telah diangkat oleh pemiliknya. Percuma kan? Aku lebih
memilih untuk masuk ke Toko Krisna untuk membeli oleh-oleh buat istri dan
anak-anakku. Kubeli beberapa kaos. Cenderamata di sini juga sangat menarik. Ada lukisan, patung, gantungan kunci, pin tempelan kulkas, dan cenderamata khas Bali yaitu patung alat kelamin pria dengan berbagai ukuran. Fungsinya? Tak ada. Art is art, jadi buat dipajang aja karena tak mungkin kita memajang yang asli.
Pentas Dangdut
Tak di Batang, tak di Bali. Dangdut tetap di
hati. Di malam terakhir, agen tour kami sengaja menyewa organ tunggal untuk
mengiringi para siswa menyanyi. Lagi-lagi, lagu oplosan, tuku sate, perawan
kalimantan ditampilkan oleh para siswa diiringi goyang dangdut dari
teman-temannya sampai jam 24.00. Meriah.
Aku hanya ikut menikmati pentas dangdut
beberapa lagu. Selanjutnya, aku jalan-jalan menikmati malam di Kantor Bupati atau
pusat pemerintahan Kabupaten Badung (Mangupraja Mandala) yang kebetulan tidak
jauh dari hotel Made Bali di jalan Raya Sempidi-Badung tempat kami menginap. Bangunan yang sangat megah dan luas.
Hari ke-3
Sangeh
Memasuki Sangeh, kami disambut oleh saudara tua
kami (menurut teori Darwin). Sangeh adalah hutan wisata. Di dalamnya terdapat
pohon-pohon pala tua yang dengan ketinggian ratusan meter. Ada pohon lanang
wadon yang menarik perhatian. Dinamakan pohon lanag wadon karena ada 2 pohon
tumbuh berhimpitan dan bagian salah satu pohon berlubang. (mesum again) Di bawah pohon itu, diletakkan sesaji. Lagi-lagi, tour
guide kami memperingatkan untuk tidak mengambil apapun dari hutan ini.
Mitosnya: kalau ada yang mengambil buah atau ranting pohon pala, akan terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Mitos ini didukung dengan cerita tentang
kejadian-kejadian yang pernah dialami oleh turis lokal maupun mancanegara yang entah benar atau tidak. Paling tidak, mitos ini telah menjadi sarana yang ampuh untuk menjaga
kelestarian hutan ini. Tak ada seorang pun yang berani melanggar aturan yang
telah ditetapkan.
Pohon Kelapa cabang
Tiga
Apapun yang unik di Bali bisa dijadikan objek
wisata. Di pinggir jalan sebelah kiri dari Sangeh menuju Bedugul, terdapat
pohon kelapa unik. Pohon kelapa ini bercabang 3. Sampai dilokasi tempat pohon
ini berada, bus melambat untuk member kesempatan kepada kami menyaksikan dan
mengabadikan pohon kelapa ini. Ini adalah salah satu bahan pembicaraan tour guide
juga. Lumayan.
Teman Joger
Salah satu pusat belanja di Bali adalah Joger
dan Teman Joger (cabangnya Joger). Joger berada di Denpasar sedangkan teman joger ada di
Bedugul. Joger adalah singkatan dari Joseph (Joseph Theodorus Wulianandi) dan Gerhard Seeger (temannya pak Joseh yang berasal dari Jerman). Joger kini menjadi salah satu ikon Bali. Produk
yang dihasilkan adalah kaos, sandal, sepatu, tas, dan asesoris dengan kata-kata yang lucu, unik, sekenanya, kadang menipu. Aku pun tertipu, sandal yang aku beli ternyata sandal jelek. Aduh maak..
Bedugul
Bedugul terletak di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan Bali dengan pemandangan alam dan danau yang terletak pada ketinggian 1.240 meter dari permukaan laut, dengan temperatur rata-rata 18 Celcius pada malam hari dan 24 Celcius pada siang hari. Tempat yang asyik untuk berfoto-foto. Sambil makan siang, aku menikmati indahnya danau bedugul. Wilayah bedugul juga penghasil buah-buahan. Tak heran kalau di sekitar bedugul banyak penjual buah.
Pulang
Pulang
Dari bedugul, langsung pulang. Perjalanan panjang
akan kami lalui kembali. Bayangan melelahkan sudah ada di pelupuk mata. Tapi
setelah berpengalaman menikmati perjalan berangkat, hatiku lumayan tenang.
Penyebrangan Gilimanuk-Ketapang kami lalui jam 20.00. Sirkuit Catalunya kembali
menantang adrenalinku. Aku sengaja tak mau memejamkan mata sejak turun dari
ferry di Ketapang. Benar-benar sebuah pertunjukkan tingkat tinggi. Sebuah bus
besar penuh dengan nyawa dibawa meliuk-liuk dengan kecepatan lebih dari 120-an km
/jam. Keluar dari banyuwangi, aku kembali terlelap sampai tiba-tiba terdengar suara "der". Awalnya kukira suara ban bus meletus. Ternyata kaca bus depan dilempar
dengan batu oleh orang tak dikenal. Ada bekas lemparan.
“Untung tak pecah,” kata pak supir.
“Betul-betul
iseng. Yang melempar tadi 2 orang yang berboncengan naik motor, terus ngebut ”
tambah kondektur.
Pak supir
terpaksa menurunkan kecepatan hingga sekitar 60 km /jam sampai tapal batas akhir probolinggo. Menurut pak supir, kejadian tersebut memang sering terjadi di
probolinggo. Keluar dari probolinggo, hatiku tenang. Mataku juga sudah tenang
untuk kembali terpejam. Aku terbangun ketika bus berhenti sekitar jam 3 pagi di
sebuah masjid untuk menunggu waktu sholat subuh dan pak supir minta ijin untuk
memejamkan mata sebentar di bagasi bus.
Sekitar jam
04.30 perjalanan dilanjutkan. Aku kembali memejamkan mata dan terbangun kembali pada jam sarapan pagi di Tuban. Sarapan rawon dan teh panas cukup untuk menyegarkan otakku kembali. Camera digitalku sudah tersimpan rapi di tas. Sudah tak perlu lagi mengambil gambar dalam perjalanan pulang ini. Sambil ngobrol dengan Mas Kondektur dan guyon dengan siswa-siswa, terdengar lagu oplosan, wedus, wis ora ngamen, talining asmoro, cidro, pokoke joged, aku cemburu, buka sitik jos, prei togel, wedi karo bojomu. Rupanya lagu-lagu yang sedang naik daun ini adalah favoritnya mas kondektur. Tiga kali putaran belum juga cukup.
"Asyik juga lagunya"
Aku begitu menikmatinya dan otakku terkontaminasi.
Tepat pukul 15.00 WIB bus kami sampai di Batang. Istri dan
anak-anakku menjemputku. "Asyik juga lagunya"
Aku begitu menikmatinya dan otakku terkontaminasi.
Kuberikan oleh-oleh kaos dan sandal jelek untuk istri dan anak-anakku dan kupersembahkan juga oleh-oleh istimewa dengan suaraku yang merdu :
"Opo ora eman duite, kanggo tuku banyu setan......"
Ayo goyang mang...ser, ser.
Rabu, 19 November 2014
KE BALI LAGI
Untuk kedua kalinya aku harus ke Bali. Kali ini aku
melaksanakan tugas untuk mendampingi siswa XI.
Beda dengan yang pertama yang naik pesawat, kali ini naik bus. Awalnya
aku agak pesimis membayangkan perjalanannya. Naik pesawat hanya 55 menit
sedangkan naik bus membutuhkan waktu sekitar 22 jam alias sehari hampir semalam.
Wow.
Aku harus mempersiapkan diri secara fisik dan mental untuk
perjalanan yang pasti sangat panjang, penat, memusingkan dan menjenuhkan. Kupersiapkan
segalanya, baju untuk 5 hari, sandal, perlengkapan mandi, makanan ringan untuk
sekali perjalanan, air minum anti dehidrasi dan tak lupa minyak wangi. Otakku juga
harus kusetting ulang bahwa wisatanya bukan hanya ke Bali tapi juga wisata ke
semua kota di sepanjang pantai utara. Jadi aku akan menikmati keindahan kota Kendal,
Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya,
Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Banyuwangi. Tak lupa kusiapkan camera
digitalku untuk jeprat-jepret.
Aduh, setting ulang otakku hampir gagal. Bayangan indahnya
kota-kota di pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur hampir sirna. Di otakku hanya terbayang sumur dan susno duaji *) di pantai
Kuta.
*)sumur: s*su dijemur, susno duaji: sus*
nongol dua biji. (istilah mesum ini menjadi istilah pakem bagi tour guide di Bali)
Kamis, 13 November 2014
JUNIAR CANDRA UTAMA
Namanya Juniar Candra Utama. Teman-temannya memanggil Candra. Aku lebih suka memanggilnya Jun. Sekarang dia sudah di kelas XII. Sebentar lagi lulus. Dari namanya, aku tahu ia lahir pada suatu malam di bulan Juni.
Badannya kurus kebanyakan rokok tapi dia
tak pernah terlihat merokok di sekolah. Mudah-mudahan dia konsisten menjadi
siswa yang menaati tata tertib sekolah. Polah lakunya tak pernah diam. Ada saja sesuatu yang bisa dibahas dan
dibicarakan kepada teman-temannya sehingga ia kelihatan menonjol di antara
teman-temannya.
Sebagai anak berzodiak
gemini, dia memang mempunyai kelebihan dalam komunikasi
dan bahasa. Dia pernah naik mimbar untuk mengikuti lomba da’i dalam rangka
peringatan maulid nabi Muhammad SAW di sekolah. Sejak saat itu, teman-temannya memanggilnya “kiai”. Materi dakwahnya
“Manusia berawalan huruf ‘mim’” (manusia= Indonesia, huruf
“mim”= Arab, mungkin jadi ﻤﺎﻨï»ïº´ï»´ïºŽ . Aneh!). Tema ini
telah membawanya menjadi juara harapan 3 (dari 6 peserta). Hehe. Ke-kiai-annya semakin melambung karena
didukung oleh aktivitasnya sebagai muadzin di mushola
sekolah.
Menurut primbon, orang berzodiak gemini ini juga memiliki pesona
alami dan energi karisma yang menarik. Pantas saja, pacarnya lengket banget
kayak permen karet nempel di pantat. Ciie..ciee. (kayak jebakan betmen aja: permen karet ditaruh
di kursi biar diduduki orang kemudian orang itu
teriak-teriak karena permen karetnya tak bisa dilepas dari pantatnya).
Namun, cowok gemini biasanya tidak stabil
dan mudah berubah-ubah.
“Maka hati-hati ya Riz, jangan sampai dia
ke lain hati.” pesanku pada pacarnya.
Hobinya: mendengarkan lagu dangdut sampai bergoyang-goyang. Sekali lagi, hanya mendengarkan, bukan menyanyi. Catatan penting bagi teman-temannya: jangan
sekali-kali memperdengarkan lagu dangdut kepadanya. Pinggulnya paling tak tahan
dengan lagu dangdut. Goyang rock ‘n rollnya telah bekali-kali mengguncang pentas
dangdut 17-an di alun-alun. (Goyangannya memang agak aneh: rock campur salsa campur poco-poco)
Dalam pelajaran, dia mempunyai prinsip sendiri. Entah karena gurunya yang ganteng dan cantik ataukah ada faktor lain, dia suka sekali dengan pelajaran agama dan bahasa jawa. Saking cintanya pada kedua pelajaran tersebut, maka pelajaran yang menurutnya penting hanya agama dan bahasa
jawa. Alasannya, agama memberi petunjuk tentang dunia dan akhirat, dan bahasa
jawa di dalamnya ada ajaran budi pekerti dan sopan santun. Pelajaran yang lain,
tak penting.
“Orang tak
sekolah pun bisa ngitung duit tanpa belajar matematika”, begitu katanya.
Dalam mengikuti pelajaranku juga demikian. Ia lebih memilih tidur daripada tenggorokannya serak hampir putus karena tak bisa mengucapkan "R" Perancis.
Ketika kutanya, “bukankah harus mempelajari
pelajaran yang lain karena mau ujian?”.
“Tak perlu. Kan ada bocoran,” jawabnya
santai menohok jantungku.
Rabu, 12 November 2014
CLOSING MEETING
Closing meeting audit internal ISO 9001:2008 dilaksanakan pada hari Rabu,
12 November 2014 pukul 12.01 WIB. Pidato pengantar disampaikan oleh ketua ISO,
dilanjutkan dengan refleksi dan revisi pelaksanaan audit internal yang telah
dilaksanakan pada tanggal sampai tanggal 27 Oktober sampai dengan 10 Nopember
2014. Hasil audit internal masih banyak kekurangan, termasuk aku. Jadi, harus
melengkapi kekurangannya. Batas waktu untuk melengkapi kekurangan ini adalah
minngu depan. Dengan demikian, mulai hari itu sampai tanggal 19 November 2014
aku harus lembur lagi. Artinya, penyakit Vertiso-ku belum akan berakhir.
Oh...Vertiso..vertiso. Kenapa kau begitu cinta kepadaku ! Padahal aku sudah
bilang ke kamu, aku tak mau dekat-dekat denganmu lagi.
Selasa, 11 November 2014
EFEK RONDA
Hari ini aku mengantuk sekali. Tadi malam aku ronda sampai pagi. Padahal hari ini jadwalku penuh dari jam pertama sampai jam terakhir.
Pada jam pertama dan kedua di kelas X MIIA, aku masih kuat untuk menahan kantuk ini. Tapi energiku lumayan terkuras untuk menahan kantuk ini. Maka, jam pertama ini otot di wajah dan leherku nampak jelas karena berkoar bahasa perancis di depan kelas. Persis seperti penyanyi amatir. Pelajaran awal ini aku akhiri dengan cukup melelahkan dan nafas ngos-ngosan.
Jeda memasuki jam ketiga aku gelontor perutku dengan minuman susu jahe, beli di kantin sekolah. Rasa jahenya ada. Tapi rasa susunya agak aneh, ada sedikit santan campur sedikit lemon. Hasilnya, perutku melilit. Agaknya angin di dalam perutku juga tak betah dan buru-buru ingin keluar dengan suara hampir nylonong begitu saja. Untung bisa kutahan. Nasib..nasib.. mengajarku tertunda karena aku harus ke belakang. Keberuntungan masih menaungiku. WC guru kosong dan masih bersih. Nampaknya belum ada satu makhluk pun yang menyentuhnya. Dengan cukup leluasa dan lega aku memposisikan diri. Dalam 15 menit aku sukses melaksanakan hajat.
Tergesa-gesa aku memasuki kelas XII IPA 1. Sejuknya toilet membantuku untuk memperbaiki penampilanku di depan kelas. Wajah sumringahku berhasil menolongku dari serangan kantuk. Suaraku bisa kugeber sampai batas volume masksimal. Sampai bel istirahat pertama berbunyi.
"Bravo" untuk diriku sendiri.
Memasuki jam ke-5 dan ke-6, aku memasuki kelas X IIS. Udara panas musim kemarau hari ini benar-benar berkompromi dengan rasa kantukku untuk melemahkan sendi-sendiku. Pada awal pelajaran, aku masih sigap. 20 menit berikutnya, aku harus menjaga kelopakku agar tidak jatuh. Berdiri, berputar, berjalan-jalan ke luar ruang sebentar untuk mencari angin adalah caraku untuk menolak rasa ingin tidurku. Mulutku tak bisa kutahan untuk menguap. Memalukan. Akhirnya pada menit ke 60 aku minta ijin ke belakang. Aku harus mencari dukungan toilet lagi supaya kembali segar. Acaraku adalah mencuci mukaku. Ketika kumasuki toilet ternyata sudah berubah. Toliet yang pagi tadi masih segar, sekarang sudah mengeluarkan aroma aslinya. Akhirnya aku urungkan niatku untuk mencari dukungan ke toilet. Westafel di depan ruang guru kujadikan sasaran. Dengan air westafel ditambah segelas air putih, muka dan tenggorokanku kembali segar. Aku kembali ke kelas.
Kondisi jam ke-7 dan ke-8 benar-benar seperti tahun 45. Aku harus berjuang hidup mati untuk mempertahankan kesadaranku. Udara yang semakin panas membuat konsentrasiku hampir hilang. berkali-kali aku minta ijin ke belakang. Cuci muka, minum air putih, cuci muka lagi, minum lagi, sampai kurebahkan kepalaku di atas mejaku di ruang guru sebentar, kembali ke kelas dan ke ruang guru lagi, minum air putih lagi, kurebah kepalaku lagi.
"Bangun Pak, Pulang Pak" kata Pak Ahmad menggoyang-goyangkan pundakku.
Kulihat sekolah sudah sepi.
Pada jam pertama dan kedua di kelas X MIIA, aku masih kuat untuk menahan kantuk ini. Tapi energiku lumayan terkuras untuk menahan kantuk ini. Maka, jam pertama ini otot di wajah dan leherku nampak jelas karena berkoar bahasa perancis di depan kelas. Persis seperti penyanyi amatir. Pelajaran awal ini aku akhiri dengan cukup melelahkan dan nafas ngos-ngosan.
Jeda memasuki jam ketiga aku gelontor perutku dengan minuman susu jahe, beli di kantin sekolah. Rasa jahenya ada. Tapi rasa susunya agak aneh, ada sedikit santan campur sedikit lemon. Hasilnya, perutku melilit. Agaknya angin di dalam perutku juga tak betah dan buru-buru ingin keluar dengan suara hampir nylonong begitu saja. Untung bisa kutahan. Nasib..nasib.. mengajarku tertunda karena aku harus ke belakang. Keberuntungan masih menaungiku. WC guru kosong dan masih bersih. Nampaknya belum ada satu makhluk pun yang menyentuhnya. Dengan cukup leluasa dan lega aku memposisikan diri. Dalam 15 menit aku sukses melaksanakan hajat.
Tergesa-gesa aku memasuki kelas XII IPA 1. Sejuknya toilet membantuku untuk memperbaiki penampilanku di depan kelas. Wajah sumringahku berhasil menolongku dari serangan kantuk. Suaraku bisa kugeber sampai batas volume masksimal. Sampai bel istirahat pertama berbunyi.
"Bravo" untuk diriku sendiri.
Memasuki jam ke-5 dan ke-6, aku memasuki kelas X IIS. Udara panas musim kemarau hari ini benar-benar berkompromi dengan rasa kantukku untuk melemahkan sendi-sendiku. Pada awal pelajaran, aku masih sigap. 20 menit berikutnya, aku harus menjaga kelopakku agar tidak jatuh. Berdiri, berputar, berjalan-jalan ke luar ruang sebentar untuk mencari angin adalah caraku untuk menolak rasa ingin tidurku. Mulutku tak bisa kutahan untuk menguap. Memalukan. Akhirnya pada menit ke 60 aku minta ijin ke belakang. Aku harus mencari dukungan toilet lagi supaya kembali segar. Acaraku adalah mencuci mukaku. Ketika kumasuki toilet ternyata sudah berubah. Toliet yang pagi tadi masih segar, sekarang sudah mengeluarkan aroma aslinya. Akhirnya aku urungkan niatku untuk mencari dukungan ke toilet. Westafel di depan ruang guru kujadikan sasaran. Dengan air westafel ditambah segelas air putih, muka dan tenggorokanku kembali segar. Aku kembali ke kelas.
Kondisi jam ke-7 dan ke-8 benar-benar seperti tahun 45. Aku harus berjuang hidup mati untuk mempertahankan kesadaranku. Udara yang semakin panas membuat konsentrasiku hampir hilang. berkali-kali aku minta ijin ke belakang. Cuci muka, minum air putih, cuci muka lagi, minum lagi, sampai kurebahkan kepalaku di atas mejaku di ruang guru sebentar, kembali ke kelas dan ke ruang guru lagi, minum air putih lagi, kurebah kepalaku lagi.
"Bangun Pak, Pulang Pak" kata Pak Ahmad menggoyang-goyangkan pundakku.
Kulihat sekolah sudah sepi.
Senin, 10 November 2014
RONDA
Ronda adalah salah satu sarana sosial untuk interaksi warga. Dalam satu kelompok ronda akan terjadi pertemanan dan persaudaraan yang lebih. Selain untuk menjaga keamanan lingkungan, ronda adalah sarana untuk berbagi cerita, untuk curhat, untuk memecahkan berbagai persoalan, baik persoalan pribadi, persoalan lingkungan, maupun persoalan negara sekalipun.
Malam ini adalah jadwal rondaku. Aku berangkat pukul 23.00 WIB. Di pos ronda sudah berkumpul Pak Haji Toto, Pak manten Gi*), Pak Seno, dan Mas Slamet. Seperti biasanya, Mas Slamet sudah menyeduh teh dan kopi untuk kami. Sambil menyeruput kopi, aku mendengarkan cerita perjalanan haji Pak Toto dan perjuangan Pak Seno di Timor Timur kala masih aktif di satuan brimob. Pak Gi bercerita tidak kalah menarik. Beliau adalah mantan lurah yang juga makelar tanah yang sering merugi karena saingannya adalah Pak Bupati. Mas Slamet bercerita tentang motornya yang hilang dipinjam oleh tamu hotel tempatnya bekerja. Aku bercerita paling tak menarik karena ceritaku tentang pelajaran bahasa perancis yang mereka tak mengerti.
Malam semakin larut ketika kopi kami sudah dingin dan kami harus berkeliling mengontrol keamanan sembari mengambili jimpitan 500 rupiah di setiap rumah.
*) manten : mantan lurah
Malam ini adalah jadwal rondaku. Aku berangkat pukul 23.00 WIB. Di pos ronda sudah berkumpul Pak Haji Toto, Pak manten Gi*), Pak Seno, dan Mas Slamet. Seperti biasanya, Mas Slamet sudah menyeduh teh dan kopi untuk kami. Sambil menyeruput kopi, aku mendengarkan cerita perjalanan haji Pak Toto dan perjuangan Pak Seno di Timor Timur kala masih aktif di satuan brimob. Pak Gi bercerita tidak kalah menarik. Beliau adalah mantan lurah yang juga makelar tanah yang sering merugi karena saingannya adalah Pak Bupati. Mas Slamet bercerita tentang motornya yang hilang dipinjam oleh tamu hotel tempatnya bekerja. Aku bercerita paling tak menarik karena ceritaku tentang pelajaran bahasa perancis yang mereka tak mengerti.
Malam semakin larut ketika kopi kami sudah dingin dan kami harus berkeliling mengontrol keamanan sembari mengambili jimpitan 500 rupiah di setiap rumah.
*) manten : mantan lurah
Minggu, 09 November 2014
UPACARA HARI PAHLAWAN
Sebelum dimulai, komandan upacara merapikan barisan. Ada 5 barisan peserta upacara yaitu polisi, korpri, OSIS, pramuka, dan tamu undangan. Tentu saja, aku masuk dalam barisan korpri. Komandan upacaranya berseragam polisi lengkap dengan sebuah pedang panjang. Komandan upacara mengeluarkan pedang saat upacara akan dimulai. Baru kali ini, aku melihat pedang polisi dari dekat. Mengkilat, tipis dan lentur seperti pedang samurai.
Inspektur upacaranya (menurut pembawa acara) adalah kapolres Batang. Dari papan nama yang sempat aku lirik ketika beliau memasuki lapangan upacara, namanya Widi Atmoko. Beliau nampak gagah memakai jas hitam dengan berbagai tanda jasa dan lencana di dadanya dan memegang tongkat komando.
Komandan upacara maju beberapa langkap. Pedang diangkat lalu diacungkan ke kanan bawah dan dibalas dengan tangan hormat oleh isnpektur upacara.
"Lapor, upacara ziarah pahlawan dalam rangka memperingati hari pahlawan tanggal 10 november 2014 siap dimulai," lapor komandan upacara
"Laksanakan," perintahnya ketika komandan upacara melapor.
"Laksanakan," jawab komandan upacara
Upacara ini dilaksanakan di halaman makam. Barisan berdiri menghadap ke arah tugu peringatan dan area makam. Walaupun di sekeliling makam ini banyak pepohonan, tapi matahari bulan November tetap menyengat di ubun-ubun. Nyatanya, baru saja upacara dimulai, dua orang peserta upacara pingsan.
Kuperhatikan, ada 2 orang polisi berdiri mematung di kanan dan kiri tugu peringatan. Kasihan yang sebelah kiri, kepanasan tertimpa matahari penuh dari timur. Sedangkan yang sebelah kanan, teduh di bawah bayang-bayang tugu.
Tidak seperti upacara rutin di sekolahku, upacara hari pahlawan tidak ada acara pengibaran bendera, pembacaan teks Pancasila, pembacaan teks pembukaan UUD 45 dan amanat inspektur upacara. Diawali dengan laporan dari komandan upacara kepada isnpektur upacara. Dilanjutkan dengan mengheningkan cipta diiringi lagu syukur, kemudian hormat kepada arwah pahlawan, peletakkan karangan bunga, pembacaan do'a dan diakhiri dengan tabur bunga. Acara tabur bunga ini lakukan oleh inspektur upacara dan para tamu undangan yang terdiri dari para pejabat pemerintah dan para veteran perang. Nampak Bapak Wakil Bupati beserta jajaran dinas kabupaten dan para pejabat militer mengikuti inspektur upacara untuk menabur bunga. Mereka berpakaian jas lengkap. Diiringi lagu "gugur bunga", 4 siswaku membawa nampan berisi bunga untuk ditaburkan oleh para pejabat tersebut. Tentu saja bunga setaman alias berbagai macam bunga ada mawar, melati, cempaka, kantil, dan lain-lain.
Kapan aku bisa menabur bunga di makam pahlawan? Entahlah. Menunggu sampai jadi pejabat. Sepertinya mustahil. Menunggu aku jadi bupati. Lebih mustahil lagi. Selama ini aku hanya bisa menabur bunga di makam simbahku, itupun memakai bunga kamboja yang kupunguti di area makam.
Selesai menabur bunga, upacara pun selesai.
"Upacara telah dilaksanakan. laporan selesai" lapor komandan upacara kepada inspektur upacara.
"Bubarkan," kata inspektur upacara.
"Bubarkan," kata komandan upacara mengulangi kata-kata inspektur upacara.
Pasukan dibubarkan
"Tanpa penghormatan, bubar barisan, jalan"
Pengalaman mengikuti upacara di taman makam pahlawan ini sangat berharga karena tidak semua orang berkesempatan mengikuti upacara seperti ini. Siswa-siswaku juga memanfaatkan momen ini dengan baik. Setelah upacara, mereka tak mau pulang. Kesempatan yang langka ini, mereka manfaatkan untuk bersalaman dengan Bapak Wakil Bupati, berfoto-foto dan ber-selfie ria di taman makam pahlawan.
Hanya di taman makam pahlawan ini mereka bisa nyaman berfoto-foto karena tak mungkin mereka melakukannya di pemakaman umum.
Inspektur upacaranya (menurut pembawa acara) adalah kapolres Batang. Dari papan nama yang sempat aku lirik ketika beliau memasuki lapangan upacara, namanya Widi Atmoko. Beliau nampak gagah memakai jas hitam dengan berbagai tanda jasa dan lencana di dadanya dan memegang tongkat komando.
Komandan upacara maju beberapa langkap. Pedang diangkat lalu diacungkan ke kanan bawah dan dibalas dengan tangan hormat oleh isnpektur upacara.
"Lapor, upacara ziarah pahlawan dalam rangka memperingati hari pahlawan tanggal 10 november 2014 siap dimulai," lapor komandan upacara
"Laksanakan," perintahnya ketika komandan upacara melapor.
"Laksanakan," jawab komandan upacara
Upacara ini dilaksanakan di halaman makam. Barisan berdiri menghadap ke arah tugu peringatan dan area makam. Walaupun di sekeliling makam ini banyak pepohonan, tapi matahari bulan November tetap menyengat di ubun-ubun. Nyatanya, baru saja upacara dimulai, dua orang peserta upacara pingsan.
Kuperhatikan, ada 2 orang polisi berdiri mematung di kanan dan kiri tugu peringatan. Kasihan yang sebelah kiri, kepanasan tertimpa matahari penuh dari timur. Sedangkan yang sebelah kanan, teduh di bawah bayang-bayang tugu.
Tidak seperti upacara rutin di sekolahku, upacara hari pahlawan tidak ada acara pengibaran bendera, pembacaan teks Pancasila, pembacaan teks pembukaan UUD 45 dan amanat inspektur upacara. Diawali dengan laporan dari komandan upacara kepada isnpektur upacara. Dilanjutkan dengan mengheningkan cipta diiringi lagu syukur, kemudian hormat kepada arwah pahlawan, peletakkan karangan bunga, pembacaan do'a dan diakhiri dengan tabur bunga. Acara tabur bunga ini lakukan oleh inspektur upacara dan para tamu undangan yang terdiri dari para pejabat pemerintah dan para veteran perang. Nampak Bapak Wakil Bupati beserta jajaran dinas kabupaten dan para pejabat militer mengikuti inspektur upacara untuk menabur bunga. Mereka berpakaian jas lengkap. Diiringi lagu "gugur bunga", 4 siswaku membawa nampan berisi bunga untuk ditaburkan oleh para pejabat tersebut. Tentu saja bunga setaman alias berbagai macam bunga ada mawar, melati, cempaka, kantil, dan lain-lain.
Kapan aku bisa menabur bunga di makam pahlawan? Entahlah. Menunggu sampai jadi pejabat. Sepertinya mustahil. Menunggu aku jadi bupati. Lebih mustahil lagi. Selama ini aku hanya bisa menabur bunga di makam simbahku, itupun memakai bunga kamboja yang kupunguti di area makam.
Selesai menabur bunga, upacara pun selesai.
"Upacara telah dilaksanakan. laporan selesai" lapor komandan upacara kepada inspektur upacara.
"Bubarkan," kata inspektur upacara.
"Bubarkan," kata komandan upacara mengulangi kata-kata inspektur upacara.
Pasukan dibubarkan
"Tanpa penghormatan, bubar barisan, jalan"
Pengalaman mengikuti upacara di taman makam pahlawan ini sangat berharga karena tidak semua orang berkesempatan mengikuti upacara seperti ini. Siswa-siswaku juga memanfaatkan momen ini dengan baik. Setelah upacara, mereka tak mau pulang. Kesempatan yang langka ini, mereka manfaatkan untuk bersalaman dengan Bapak Wakil Bupati, berfoto-foto dan ber-selfie ria di taman makam pahlawan.
Hanya di taman makam pahlawan ini mereka bisa nyaman berfoto-foto karena tak mungkin mereka melakukannya di pemakaman umum.
MENGAMATI DAN MENANYA
Awal diterapkannya pembelajaran dengan menggunakan Kurikulum 2013 di sekolahku, aku sangat semangat. Kurikulum 2013 menuntut peserta
didik untuk belajar dengan tahap "mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan". Tahapan
ini kupraktekkan dalam sebuah kelas.
Tahap pertama, aku putarkan film tentang dialog sederhana dalam Bahasa Perancis. Aku menyuruh semua siswa untuk mengamati film dan dialog yang ada dalam film.
Tahap kedua, setelah film selesai, aku bertanya kepada siswa, “Ada yang mau ditanyakan?”
Aku pun diam
Tahap pertama, aku putarkan film tentang dialog sederhana dalam Bahasa Perancis. Aku menyuruh semua siswa untuk mengamati film dan dialog yang ada dalam film.
Tahap kedua, setelah film selesai, aku bertanya kepada siswa, “Ada yang mau ditanyakan?”
Semua diam
Aku berkata lagi, “ayo tanyakan
apa yang kalian tidak paham!”
Semua masih diam.
Aku berkata lagi, “kalian paham
dengan film tersebut?”
Serempak mereka menjawab, “tidak”
Aku berkata lagi, “kalau begitu,
tanyakan apa yang kalian tidak paham !”
Semua diam lagi
Aku bertanya, “yang mana yang kalian
tidak paham?”
Semua masih diam juga.
Aku bertanya lagi, “kalau kalian
tidak paham, kenapa tidak bertanya?”
“Kami tidak tahu mau bertanya apa
Bapak,” jawab Gita
Aku pun diam
Sabtu, 08 November 2014
UANG SAKU UPACARA
“Pengumuman. Senin besok, tanggal
10 November 2014, kelas ini ditunjuk untuk mengikuti upacara di Taman makam
Pahlawan dalam rangka memperingati hari pahlawan. Pakaian OSIS lengkap. Untuk
itu, besok Senin kalian tidak perlu ke sekolah. Langsung menuju taman makam
pahlawan pukul 08.00. dan setelah selesai upacara, kalian diperbolehkan pulang
ke rumah masing-masing.” Itulah pengumuman yang aku sampaikan ke kelasku pada
hari Sabtu ini.
“Horeeee”, teriak mereka serempak.
Sudah tidak asing lagi, hal yang
paling disukai oleh siswa sekolah adalah pulang gasik.
"Ada satu lagi, kalian akan mendapatkan uang saku masing-masing 4.000 rupiah”.
"Ada satu lagi, kalian akan mendapatkan uang saku masing-masing 4.000 rupiah”.
“Oh..benarkah Pak?” Tanya salah
seorang siswa dengan wajah melongo
seakan tak percaya.
“Iya, ini uangnya,” kataku sambil
menunjukkan amplop tertutup berisi uang Rp. 152.000 untuk 38 siswa.
“Tapi uang ini akan Bapak bagikan
besok setelah upacara.”
Mungkin tak pernah terbayangkan oleh mereka. Selain akan mendapatkan pengalaman baru yaitu mengikuti upacara ala militer di taman makam pahlawan serta bisa melihat dan bertemu dengan Bupati dan para pejabat kabupaten lainnya, mereka juga berangkat siang, pulang gasik dan mendapat uang saku. Ini sesuatu banget dan sangat “wauw” pastinya. Betul-betul anugerah yang berlipat-lipat.
Berbeda dengan siswa kelas lain yang harus mengikuti upacara di sekolah. Mereka berangkat seperti biasa yaitu pukul 07.00 WIB. Setelah itu, mereka tetap mengikuti pelajaran seperti biasa. Dan tanpa uang saku.
KLIWONAN
Malam Jum’at kliwon itu, aku bersama istri
dan anak-anakku jalan-jalan ke alun-alun untuk mengunjungi kegiatan yang paling
populer di kotaku yaitu kliwonan. Kliwonan adalah kegiatan semacam pasar malam
yang diselenggarakan setiap malam Jum’at kliwon dari sore sampai malam. Ratusan
pedagang tumpah ruah di acara kliwonan ini. Ada pedagang pakaian anak-anak,
pakaian wanita, pakaian dalam, tas, sabuk, dompet, tanaman, ikan, makanan,
sampai berbagai macam odong-odong. Mereka menggelar dagangannya di bawah tarub yang
disewakan oleh pemda atau hanya menggelar dagangannya tanpa tarub alias
beratapkan langit.
Konon, kliwonan bukan hanya sekedar pasar malam. Kliwonan adalah tradisi yang diadakan untuk mengenang leluhur masyarakat Batang yaitu Bahurekso yang pernah bersemedi di sungai Lojahan atau Kramat pada malam Jum’at kliwon untuk mendapatkan kekuatan pada saat akan babad alas (membuka kawasan) Batang.
Selain itu, kliwonan digunakan sebagai sarana ritual ngalap berkah (mencari berkah). Kalau ini, tergantung niat masing-masing. Orang yang ke kliwonan berniat membeli sesuatu, di sini tersedia berbagai macam dagangan. Berkahnya, pilihannya banyak dan bebas menawar harga. Orang yang ke kliwonan berniat hanya untuk jalan-jalan, di sini bertemu banyak orang: aki-aki, bayi, remaja, bujangan, perawan, laki-laki, perempuan, setengah laki-laki, setengah perempuan. Berkahnya, bisa cuci mata.
Kliwonan juga diguanakan untuk melakukan ritual pengobatan anak dan mencari jodoh. Ritual pengobatan anak dan mencari jodoh dilakukan dengan cara mandi gulingan di tempat wudlu masjid agung sebelah selatan, kemudian membuang pakaian bekas yang dipakainya sewaktu ritual gulingan dan membagi-bagikan uang logam serta jajan pasar. Untuk ritual yang satu ini, aku begitu penasaran dan suatu saat aku ingin menyaksikannya. Seheboh apa sih, mandi sambil gulingan? Dan uang logam dan jajan pasarnya itu loh ! Tentu saja, aku tidak akan melakukan ritual pengobatan dan mencari jodoh. Selain anakku tidak ada yang sakit, aku juga sudah punya jodoh. Jodoh satu saja sudah cukup merepotkan.
Ada mitos yang beredar luas bahwa jika berdagang di pasar malam kliwonan akan menjadikan dagangannya laris. Karena itu, banyak pedagang yang nekad untuk berjualan di kliwonan walaupun banyak halangan menghadang: hujan, petir, angin, tak kebagian tempat dan tak kebagian lampu penerang, yang penting bisa berjualan di kliwonan.
Mitos lainnya yaitu makan gemblong dan klepon di kliwonan juga dipercaya akan memanjangkan umur, Tapi sekarang sudah jarang ditemui pedagang gemblong dan klepon. Lebih banyak pedagang roti bakar, roti bandung, martabak telor, fried chicken, molen, dan tahu aci, Mungkin soal makanan mengikuti selera masyarakat. Tak ada gemblong dan klepon, roti bakar dan ayam goreng pun ok.
Ada kepercayaan juga bahwa di antara pengunjung yang datang di pasar malam kliwonan tidak semuanya manusia tetapi juga makhluk halus. Konon katanya, para makhluk halus yang bertempat tinggal di pohon beringin yang ada di tengah-tengah alun-alun turut meramaikan kliwonan dan mendo-mendo (mengubah bentuknya) menjadi manusia biasa. Menurut mitos juga, untuk membuktikan kebenarannya adalah dengan cara melihat dengan kepala terbalik yaitu kaki mengkangkang, badan membungkuk ke bawah, mata melihat ke belakang melalui celah di antara kaki. Dengan cara seperti itu para makhluk halus itu dapat dilihat. Ciri-cirinya adalah tubuhnya melayang dan kakinya tidak menyentuh tanah. Setelah berpikir panjang, aku tak jadi melakukan pembuktian ini. Bayangkan saja, di antara kerumunan banyak orang, kita nunging-nungging hanya untuk melihat sesuatu dari bawah. Apa yang kelihatan? Ah, lebih mengerikan.
Tujuan utamaku ke kliwonan saat itu adalah membeli baju untuk anak. Setelah memilih dan menawar, akhirnya kami mendapatkan apa yang diinginkan. Sambil melihat kanan kiri, istriku rupanya tertarik dengan pakaian dalam. Akhirnya kami mampir lagi untuk memilih barang kesukaan istriku itu. Anak ragilku rewel ketika melihat penjual balon. Akhirnya, sebuah balon seharga 5 ribu kami bawa pulang juga. Kami juga berkeliling untuk menikmati keramaian kliwonan. Sekalian melakukan ritual cuci mata. Yang bening-bening bisa dimanfaatkan untuk cuci mata dengan cepat.
Sampai di bawah pohon beringin, aku merasa ada yang aneh. Lain dari biasanya. Kali ini, aroma di dekat pohon beringin sangat berbeda. Bau pesing yang biasanya tercium di bawah pohon beringin telah hilang. Ah mungkin zat amoniak yang biasanya meruap kini sudah tersedot oleh begitu banyak pengunjung dan aku tak kebagian.
Setelah puas berkeliling, kami pun pulang. Ternyata aku mendapat banyak berkah dari kliwonan yaitu istri dan anak-anakku senang.
Alhamdulillah.
Jumat, 07 November 2014
PERINGATAN TAHUN BARU ISLAM 1436 H
Dalam rangka memperingati Tahun Baru Hijriyah 1436 yang jatuh pada hari Sabtu tanggal 25 Oktober 2014, kali ini
Pemerintah daerah Kabupaten Batang bekerjasama dengan mahasiswa KKN IAIN
Walisongo Semarang mengadakan mujahadah akbar di Masjid Agung Darul Mutaqin
Batang yang akan diselenggarakan pada malam tahun baru. Bapak Bupati Yoyok Riyo Sudibyo mengundang seluruh siswa tingkat SLTP
dan SLTA se-kecamatan Batang untuk turut mensukseskan acara tersebut.
Acara dimulai pukul 19.00 WIB. Untuk menghindari kekacauan, sekolahku menentukan tempat parkir khusus yaitu di depan pendopo kabupaten. Parkiran dadakan yang dikoordinasi oleh Mas Jo, satpam andalan sekolahku awalnya membuat kaget para Satpol PP penjaga pendopo karena parkir dadakan ini tanpa ijin terlebih dahulu. Tapi, dengan penjelasan yang logis, optimis dan ngecupris, akhirnya parkiran dadakan tersebut mendapat restu dari pimpinan satpol PP.
Di parkiran itu juga, aku berrencana mengabsen siswa-siswa kelasku. Tapi ketika kugeledah sakuku, isinya hanya buku tahlil yasin dan peci buluk.
“Perasaan tadi sudah masuk saku deh,” pikirku
“Ya sudah, absennya besok saja di sekolah,” kataku beralasan
“Bapak aneh ya, masak acaranya malam ini di sini, kok absennya
besok di sekolah. Kan jaka sembung sekali alias tak nyambung sama sekali,”
celetuk salah satu siswaku
“Kamu pilih absen apa pahala,” kataku berkelit. Sekali lagi,
aku telah berdosa kepada Tuhan karena pahalanya kupakai sebagai jaminan untuk menghapus
kesalahanku.
Kugiring siswa-siswaku menuju masjid. Tepat pukul 19.00, kami memasuki masjid dan masih kosong. Hanya ada satu layar lebar dan LCD di sebelah kanan mihrab dan 2 buah kamera, satu tepat di sebelah kanan mihrab dan yang satu ada di belakang jauh lurus menghadap mihrab. Beberapa orang sudah duduk bersila di shaf paling depan. Nampak Bapak Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, Bapak Wakil Bupati Sutadi, imam besar Masjid Agung, Bapak KH. Mahbub dan beberapa kiai sepuh sedang berbincang. Aku duduk di shaf ketiga. Sementara siswa-siswaku sudah berpencar mencari tempat sendiri-sendiri yang dianggap paling nyaman. Acara sakral ini dijamin aman. Tak perlu mengawasi siswa dengan ketat karena tak mungkin ada yang mojok berduaan di bawah tiang masjid atau di bawah beduk.
Sekarang, aku bisa duduk dengan tenang dan (seharusnya) berdzikir
dengan khusyuk. Tapi apa boleh buat, aku lebih tertarik memperhatikan layar LCD
di depan sambil sesekali memperhatikan mahasiswi-mahasiswi IAIN.
Tepat pukul 20.00 acara dimulai. Diawali dengan sholat isya berjama’ah, acara dilanjutkan dengan membaca do’a awal tahun, pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mauidhoh hasanah oleh dosen IAIN.
Do’a awal tahun dibacakan oleh ketua takmir masjid dan
ditirukan oleh jama’ah 3 kali. Pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan oleh
salah satu mahasiswa dan saritilawahnya adalah salah satu mahasiswi. Saat
pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an ini, aku sama sekali tak memperhatikan alunan
lagunya atau isi ayatnya tapi lebih memperhatikan metodenya. Baru kali ini aku menemukan
metode membaca Al-Qur’an sekaligus artinya bersama-sama. Ketika sang Qori baru
membaca, sang saritilawah langsung menyahut dengan arti dari ayat yang sedang
dibaca. Yang terjadi, suara bacaan Al-Qur’an bercampur aduk dengan artinya. Telinga
kananku berusaha mendengarkan bacaan Al-Qur’annya, tapi telinga kiriku tak mau
mengalah untuk mendengar artinya juga. Wah, kacau
“Jangan diulang lagi membaca Al-Qur’an seperti ini ya nak,” bisikku hanya bisa keluar di dalam hati.
Acara berikutnya adalah mauidhoh hasanah atau kultum (kuliah tujuh puluh menit) oleh salah satu dosen IAIN. Isinya adalah himbauan supaya anak muda tidak bermalas-malasan.
Acara intinya adalah mujahadah yang dipimpin oleh para mahasiswa IAIN. Bacaan tahlil, tahmid, tasbih dibaca bersama-sama. Setelah selesai bacaan-bacaan ini dibaca, seluruh lampu dimatikan. Di layar muncul prolog tentang seorang ibu yang menderita dan kematian. Pelan-pelan dibacakan riwayat tentang ibu dan kematian dengan nada sedih dan meraung-raung diiringi lagu Ummi-nya Hadad Alwi. Isak tangis (yang sengaja dibuat-buat pastinya) mulai muncul dari pembawa acara. Beberapa jam’ah siswa dan siswi mulai larut dalam suasana sedih ini. Suara isak mulai muncul dari beberapa sudut.
Lagi-lagi, aku tak bisa dibujuk untuk ikut menangis. Aku lebih
terbujuk untuk mendengarkan lagu “Ummi” yang dinyanyikan oleh salah satu
mahasiswi.
“Suaranya merdu”
Kamis, 06 November 2014
GUS DUR
Entah ada ikatan apa aku dengan Gus Dur. Pada tahun 1998 tepatnya tanggal 20 Mei ketika Soeharto sudah tidak takut patheken (ora dadi presiden yo ora patheken) alias mengundurkan diri, partai-partai politik berdiri bagai jamur di musim hujan. Ada yang beraliran nasionalis, agamis atau bahkan beraliran tak jelas. Yang pasti semuanya berusaha merebut suara para konstituen yang sangat beragam. Ibarat makanan, para pemilih disuguhi banyak makanan dan dipersilahkan memilih sesuai dengan seleranya masing-masing. Begitu pula Gus Dur ketua PBNU yang mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan harapan aspirasi umat NU bisa terwakili dengan partai baru itu tanpa menyeret NU ke dalam kancah politik. PKB ibarat rumah bagi para santri dan kyai. Sebagai wujud dukungannya, di mana-mana para santri membuat laskar. Para santri di pondokku juga tak mau ketinggalan untuk mendirikan sebuah laskar. Saat itulah aku menggambar wajah Gus Dur di sebuah kertas HVS, aku menulisinya "THE NEXT GENERATION". Tadinya berniat untuk kutawarkan sebagai simbol laskar dan disablon di kaos laskar. Tapi proposalku gagal karena nama laskarnya adalah "Laskar Wahid Hasyim" sesuai nama pondokku. Entah feeling atau harapan, tulisan "THE NEXT GENERATION" kumaksudkan bahwa beliau yang akan dan berharap menjadi pemimpin masa depan. Karena gagal jadi gambar kaos, akhirnya kufotocopy gambar itu sebanyak 20 lembar dan kubagikan kepada teman-teman berharap karyaku ini ditempel di mana-mana. Seperti kampanye atau hanya sekedar pamer bahwa gambarku bagus. Kenyataannya, gambar Gus Dur karyaku dikoleksi oleh banyak temanku. Walaupun ada pula yang tak tertarik untuk sekedar melihatnya. Mungkin pikirnya, gambar Gus Dur yang lebih bagus banyak. Tak apalah yang penting pada saat itu aku merasa puas dengan hasil karyaku. Toh, tak kuperjualbelikan.
Hari berganti hari. Kondisi Indonesia masih kacau. Sosial politik dan keamanan masih belum sepenuhnya terkendali. Nilai rupiah terhadap dollar naik turun begitu cepat. Presiden BJ Habibi sebagai pengganti Soeharto memutuskan untuk mempercepat pemilu. Dianggap masih menjadi kaki tangan Soeharto, pertanggungjawaban beliau ditolak mentah-mentah oleh MPR dan kemudian diadakan pemilihan presiden. Tarik ulur calon presiden oleh partai politik akhirnya menempatkan Megawati dan Gus Dur menjadi calon presiden. Saat itu pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR melalui voting. Proses pemilihan ini disiarkan langsung oleh berbagai stasiun televisi. Pasar taruhan dibuka, baik yang lima ribuan di kalangan tukang becak di perempatan maupun di pasar taruhan gelap yang uangnya milyaran. Setelah melalui pemungutan suara secara tertutup kemudian kotak suara dibuka dan satu per satu suara dihitung. Ealah kok Gus Dur menang dan jadi presiden beneran. Edan tenan Gus Dur iki.
Setelah beliau jadi presiden, di kalangan pondok pesantren di Yogyakarta dibentuk pasukan khusus pengawal Gus Dur yaitu pasukan Sirrulloh. Sesuai namanya yang berarti rahasia Alloh, pasukan ini bergerak di bawah tanah dan tidak boleh terlihat dan terdeteksi oleh orang lain. Tujuannya adalah mengawal dan menjamin keamanan Gus Dur selama di Yogyakarta. Pembentukan pasukan ini terjadi di Masjid jami' Gaten kompleks Pondok Pesantren Wahid Hasyim. Masing-masing pondok pesantren di seluruh Yogyakarta mengutus 2 santrinya untuk menjadi anggota pasukan ini, termasuk pondok pesantrenku. Semua orang berharap diutus oleh Mbah Kyai untuk bergabung dengan pasukan ini. Ketika di masjid sudah mulai ramai dengan datangnya para santri dari berbagai pondok pesantren se-Yogyakarta, salah satu satu teman santriku, Muta'alim tiba-tiba datang ke kamarku.
"Bas, sampeyan sama Sulthon disuruh ikut ke masjid mewakili pondok jadi pasukan Sirrulloh, "
Tentu saja penunjukan ini mengagetkanku dan Sulthon. Tak hanya aku dan Sulthon yang kaget, para pengurus dan usdtadz juga. Tak terbersit sedikitpun aku akan menjadi pasukan pengawal Gus Dur ini. Selain aku tak berminat kepada hal-hal yang berbau kekerasan aku juga sama sekali tidak bisa bela diri. Pokoknya, aku ini manusia rumahan yang pendiam, kalem, dan manis. Akan tetapi karena ini adalah perintah kyai maka aku harus mematuhinya. Aku tergabung menjadi pasukan Sirrulloh, pasukan rahasia pengawal Gus Dur.
Di masjid aku mendapatkan pengarahan semacam pembekalan serta ijazah-ijazah yang harus diamalkan. Tentu saja ijazah-ijazah tersebut adalah ilmu untuk melindungi, membela diri, ilmu untuk berperang dan untuk menyelamatkan orang lain. Ada ilmu menembak hanya dengan melempat batu, mengebom, menjatuhkan pesawat, membuat gempa bumi, menyamar dan menghilang. Komplit. Lelakon untuk mengamalkan ijazah ini sangat berat. Aku harus puasa ngebleng (siang malam) , wiridan ribuan kali, kungkum di kali, bergantung di pohon dan lain sebagainya. Karena itulah, ilmu yang kusukai adalah menghilang, menghilang dari masjid secara diam-diam dan pergi ke warung Mbah Karto, soalnya aku lapar. Tapi aku tak berdaya. Aku harus mengikuti pendadaran sampai selesai. Apa kata dunia kalau aku kabur dan tidak memanfaatkan moment yang semua orang justru ingin ikut.
Awal tahun 2000 karena aku harus konsentrasi mengerjakan skripsi maka aku terpaksa kos walaupun kegiatan di pondok masih kerap kuikuti. Tak lupa kupasang gambar Gus Dur bertuliskan "THE NEXT GENERATION" di kamarku. Kupaku dengan mantap dan kencang.
Pada suatu siang di awal Januari 2001, sepulangku dari kampus, tak ada angin tak ada hujan, gambar Gus Dur jatuh.
"Mak deg" aku terhenyak. Jantung berdetak kencang. Aku heran aku begitu tersentak dengan peristiwa ini. Kertas jatuh itu biasa, mungkin terkena angin sedikit, mungkin pakunya kendor, mungkin ada cicak lewat dan menabraknya. Banyak hal yang sebenarnya bisa menjadi alasan logis kenapa gambar Gus Dur jatuh. Tapi entah mengapa jantungku berdebar kencang. Seperti ada firasat "apakah Gus Dur akan turun dari presiden?". Aku hanya berdoa semoga firasatku salah.
Setelah beberapa bulan ternyata firasatku benar-benar nyata. Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan. Sebagai anggota pasukan pengawal beliau, aku tak terima. Walaupun ilmu menghilangku belum kukuasai dengan sempurna tapi jiwa korsa terhadap institusiku tetap terjaga. Aku tinggal menunggu sewaktu-waktu pimpinan kami menyuruh kami bergerak, aku akan bergerak. Tapi Gus Dur justru melarang kami bergerak. "Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dipertahankan mati-matian, apalagi sampai menumpahkan darah orang Indonesia. Nanti sejarah akan membuktikan kebenarannya," kata beliau. Lagi-lagi aku bilang, "edan tenan Gus Dur ini".
OBROLAN MALAM JUM'AT
Peserta tahlilan rutin malam Jum'at ini berkurang. Peserta biasanya adalah 17 orang. Bapak-bapak semua. Tapi malam ini hanya 14 orang yang hadir. Maklum saja, malam ini adalah malam Jum'at kliwon. Mungkin 3 orang yang tidak hadir, Pak Gito, Pak Fais, Pak Nana sedang ngalap berkah di kliwonan. Kliwonan adalah kegiatan semacam pasar malam di alun-alun Batang yang diselenggarakan setiap malam Jum'at kliwon. (Suatu saat kliwonan ini akan aku bahas lebih lengkap)
Kembali ke tahlilan. Acara yang dimulai ba'da shalat isya ini baru selesai pada pukul 20.00 WIB. Sudah 3 minggu ini, tahlilan selalu diakhiri dengan teh hangat dan snack. Alhamdulillah, ada saja yang menyumbang snack dan minuman. Biasanya sih, tahlilan berjalan tanpa ada minum dan makanan. Mudah-mudahan sumbangan ini menjadi pahala bagi yang menyumbang.
Aku sebagai peserta yang paling muda lebih banyak mendengarkan dan berbicara sedikit saja. Pembicaraanku pun lebih berupa kalimat pertanyaan dan nge-gong-i (mengiyakan/mendukung dengan kalimat praktis dan sedikit striptis)
Awalnya aku cukup konsentrasi mendengarkan obrolan tersebut. Tapi ahaii, konsentrasiku mendadak berkurang melihat pisang rebus, martabak telor, dan lemper yang semakin menipis dan teh hangat semakin dingin dan semakin kering. Segera tak kusia-siakan kesempatan untuk menghabiskan pisang rebus yang tinggal sebiji di depanku.
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00
"Allohumma shali 'ala Muhammmad." teriak Pak Heri
"Allohumma shali 'alaih."
Kembali ke tahlilan. Acara yang dimulai ba'da shalat isya ini baru selesai pada pukul 20.00 WIB. Sudah 3 minggu ini, tahlilan selalu diakhiri dengan teh hangat dan snack. Alhamdulillah, ada saja yang menyumbang snack dan minuman. Biasanya sih, tahlilan berjalan tanpa ada minum dan makanan. Mudah-mudahan sumbangan ini menjadi pahala bagi yang menyumbang.
Setelah tahlilan, kami tidak langsung pulang. Sambil nge-teh dan nyenek, kami mengadakan acara selanjutnya
yaitu OMJ (Obrolan Malam Jum'at). Selalu ada topik hangat yang menjadi bahan pembicaraan dalam acara ini. Topik malam ini adalah Susi Pudjiastuti, sang menteri perikanan dan kelautan yang nyentrik. Masing-masing ingin urun rembug mengenai Susi, dari rokoknya, pesawatnya, suaminya yang bule, anaknya yang cantik, sekolahnya yang tidak lulus, jariknya yang buat lap muka, sampai isu-isu yang sedikit miring ataupun miring sekali yang melatarbelakangi pengangkatannya menjadi menteri.Sambil nge-teh hangat dan makan snack, semuanya dikupas tuntas di acara OMJ pasca tahlilan di mushalaku. Tentu saja dalam acara ini, tak ada yang boleh mengaku bahwa pendapatnya paling valid dan paling benar karena referensi obrolan ini berasal dari TV dan koran yang sama. Semuanya sepakat. Dan walaupun tak ada narasumber yang didatangkan secara langsung maupun dihubungi lewat teleconference, acara ini tetap gayeng. Yang pasti, lebih seru daripada acara di TV One dan Metro TV
yaitu OMJ (Obrolan Malam Jum'at). Selalu ada topik hangat yang menjadi bahan pembicaraan dalam acara ini. Topik malam ini adalah Susi Pudjiastuti, sang menteri perikanan dan kelautan yang nyentrik. Masing-masing ingin urun rembug mengenai Susi, dari rokoknya, pesawatnya, suaminya yang bule, anaknya yang cantik, sekolahnya yang tidak lulus, jariknya yang buat lap muka, sampai isu-isu yang sedikit miring ataupun miring sekali yang melatarbelakangi pengangkatannya menjadi menteri.Sambil nge-teh hangat dan makan snack, semuanya dikupas tuntas di acara OMJ pasca tahlilan di mushalaku. Tentu saja dalam acara ini, tak ada yang boleh mengaku bahwa pendapatnya paling valid dan paling benar karena referensi obrolan ini berasal dari TV dan koran yang sama. Semuanya sepakat. Dan walaupun tak ada narasumber yang didatangkan secara langsung maupun dihubungi lewat teleconference, acara ini tetap gayeng. Yang pasti, lebih seru daripada acara di TV One dan Metro TV
Aku sebagai peserta yang paling muda lebih banyak mendengarkan dan berbicara sedikit saja. Pembicaraanku pun lebih berupa kalimat pertanyaan dan nge-gong-i (mengiyakan/mendukung dengan kalimat praktis dan sedikit striptis)
Awalnya aku cukup konsentrasi mendengarkan obrolan tersebut. Tapi ahaii, konsentrasiku mendadak berkurang melihat pisang rebus, martabak telor, dan lemper yang semakin menipis dan teh hangat semakin dingin dan semakin kering. Segera tak kusia-siakan kesempatan untuk menghabiskan pisang rebus yang tinggal sebiji di depanku.
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00
"Allohumma shali 'ala Muhammmad." teriak Pak Heri
"Allohumma shali 'alaih."
Sabtu, 01 November 2014
KURSI BUS
Setelah transit sebentar di Sokaraja, aku naik bus menuju
desaku. Bus AKDP Purwokerto-Wonosobo itu penuh sesak. Aku sebenarnya lebih
nyaman berdiri di depan pintu. Selain aku dapat bernafas lega kena angin, aku
juga bisa memandang hijaunya sawah di sebelah kiri jalan. Tapi kondektur
mendesakku untuk bergeser ke tengah. Terpaksa deh, aku bergeser agak ke tengah.
Aku bersandar ke sandaran salah satu kursi. Tanganku bergelayut di besi panjang
berwarna khrom di bagian tengah atas bus. Untuk sementara waktu, aku berdiri
dengan nyaman walaupun kakiku tak bisa berkutik. Kulihat, sang pengamen sudah
mulai jreng jreng memetik gitarnya menyanyikan lagunya Ebit G Ade, penyanyi kebanggaan masyarakat Banjarnegara dan sekitarnya. Sampai di Kalimanah, seorang penumpang berdiri.
Bapak-bapak setengah baya yang duduk di kursi tempat aku bersandar mencari
celah untuk keluar.
“Permisi, Mas”, kata beliau
Rupanya beliau mau turun. Ah, rejeki memang tak ke mana, pikirku. Dengan pelan tapi pasti pantatku dan punggungku kugeser menempati kursi Bapak tadi. Lega. Aku bisa dengan nyaman menikmati perjalanan. Sebentar kulirik penumpang di sebelahku. Seorang anak muda sibuk dengan gadgetnya. Sampai di terminal Purbalingga, penumpang bertukar naik turun. Penumpang yang akan melakukan perjalanan menuju Pemalang harus turun dan naik bus jurusan Pemalang. Penumpang yang akan melanjutkan ke kota harus turun dan naik angkot ke arah kota. Aku tetap teguh di tempat dudukku. Tujuanku adalah Bajong, sebuah desa di sebelah timur kota Purbalingga. Belum ada semenit bus beranjak dari terminal, kulihat seorang perempuan muda dengan perut buncit berdiri di tempatku berdiri tadi. Agaknya, perempuan itu tengah hamil tua. Dari pakaiannya dan lencana korpri di dada kirinya, aku memastikan ia seorang pegawai negeri. Awalnya, aku berpikiran untuk menawarkan tempat dudukku kepadanya. Tapi pikiranku bimbang. Atas dasar apa aku harus memberikan kursiku kepadanya? Sudah menjadi hukum di dalam transportasi umum, kursi ini adalah hakku untuk mendudukinya karena aku adalah orang terdekat dengan pemilik kursi sebelumnya dan tak ada seorang pun yang protes atas penempatanku di kursi ini. Dan kini, ketika giliranku duduk belum ada 10 menit, aku harus memberikan hakku kepada seseorang yang belum aku kenal hanya karena dia hamil. Toh dia juga tidak pernah menghiba untuk dikasihani. Dia juga tidak terlihat menderita karena keadaannya. Melihat raut wajahnya yang nampak gembira, aku yakin dia cukup kuat, bangga dan bahagia dengan takdirnya sebagai seorang wanita yang hamil. Tapi entah siapa yang membisiki aku, setan atau malaikat, bahwa kursiku bisa ditukar dengan surga.
“Dengan kebaikan hatimu sedikit saja, Tuhan akan memberikan surga kepadamu” begitu bisikan di telingaku. Aku lupa di telinga kanan atau telinga kiri.
Tapi aku segera menampik bisikan itu. Aku pikir, pasti Tuhan akan marah ketika aku meminta surga hanya dengan menukar sebuah kursi bus kota yang sudah agak butut itu. Beberapa saat, tak ada alasan apapun untuk memberikan kursiku kepada perempuan itu. Aku mencoba berpikir ulang. Belum juga kutemukan alasan kuat untuk itu. Sampai aku teringat ibuku. Dan akhirnya:
“Ibu, silahkan duduk. Biar saya yang berdiri,” kataku menawarkan kursiku kepadanya.
Aku sempat kaget dengan jawaban yang disampaikannya .
Sang Ibu pun tak berkutik dengan tawaranku. Dengan senyum pula dia duduk dengan mantap.
“Permisi, Mas”, kata beliau
Rupanya beliau mau turun. Ah, rejeki memang tak ke mana, pikirku. Dengan pelan tapi pasti pantatku dan punggungku kugeser menempati kursi Bapak tadi. Lega. Aku bisa dengan nyaman menikmati perjalanan. Sebentar kulirik penumpang di sebelahku. Seorang anak muda sibuk dengan gadgetnya. Sampai di terminal Purbalingga, penumpang bertukar naik turun. Penumpang yang akan melakukan perjalanan menuju Pemalang harus turun dan naik bus jurusan Pemalang. Penumpang yang akan melanjutkan ke kota harus turun dan naik angkot ke arah kota. Aku tetap teguh di tempat dudukku. Tujuanku adalah Bajong, sebuah desa di sebelah timur kota Purbalingga. Belum ada semenit bus beranjak dari terminal, kulihat seorang perempuan muda dengan perut buncit berdiri di tempatku berdiri tadi. Agaknya, perempuan itu tengah hamil tua. Dari pakaiannya dan lencana korpri di dada kirinya, aku memastikan ia seorang pegawai negeri. Awalnya, aku berpikiran untuk menawarkan tempat dudukku kepadanya. Tapi pikiranku bimbang. Atas dasar apa aku harus memberikan kursiku kepadanya? Sudah menjadi hukum di dalam transportasi umum, kursi ini adalah hakku untuk mendudukinya karena aku adalah orang terdekat dengan pemilik kursi sebelumnya dan tak ada seorang pun yang protes atas penempatanku di kursi ini. Dan kini, ketika giliranku duduk belum ada 10 menit, aku harus memberikan hakku kepada seseorang yang belum aku kenal hanya karena dia hamil. Toh dia juga tidak pernah menghiba untuk dikasihani. Dia juga tidak terlihat menderita karena keadaannya. Melihat raut wajahnya yang nampak gembira, aku yakin dia cukup kuat, bangga dan bahagia dengan takdirnya sebagai seorang wanita yang hamil. Tapi entah siapa yang membisiki aku, setan atau malaikat, bahwa kursiku bisa ditukar dengan surga.
“Dengan kebaikan hatimu sedikit saja, Tuhan akan memberikan surga kepadamu” begitu bisikan di telingaku. Aku lupa di telinga kanan atau telinga kiri.
Tapi aku segera menampik bisikan itu. Aku pikir, pasti Tuhan akan marah ketika aku meminta surga hanya dengan menukar sebuah kursi bus kota yang sudah agak butut itu. Beberapa saat, tak ada alasan apapun untuk memberikan kursiku kepada perempuan itu. Aku mencoba berpikir ulang. Belum juga kutemukan alasan kuat untuk itu. Sampai aku teringat ibuku. Dan akhirnya:
“Ibu, silahkan duduk. Biar saya yang berdiri,” kataku menawarkan kursiku kepadanya.
“Silahkan Bapak tetap duduk di kursi Bapak. Itu hak Bapak.
Biar saya yang berdiri saja”
“Nggak apa-apa Bu, silahkan,” kataku lebih lanjut
“Maaf Bapak, bukannya saya menolak. Tapi biarlah anak saya
ini nanti bangga kepada ibunya yang kuat tanpa belas kasihan dari orang lain.” kata dia.
Aku sempat kaget dengan jawaban yang disampaikannya .
“Maaf Bu, sama sekali bukan karena kasihan kepada Ibu. Justru
karena saya mengagumi seorang ibu seperti ibu. Dalam keadaan hamil besar masih
bisa bekerja menjalankan kewajiban tanpa mengeluh, tanpa minta belas
kasihan kepada siapapun. Ibu hebat. Sebagai hadiah, sekali lagi saya tawarkan
Ibu untuk duduk,” kataku, tentu saja dengan senyum.
Sang Ibu pun tak berkutik dengan tawaranku. Dengan senyum pula dia duduk dengan mantap.
“Terima kasih Bapak,” kata dia, “Tapi Bapak tidak bermaksud
menukar kursi ini dengan surga kan?”
Langganan:
Postingan (Atom)