Batik merah, celana hitam dan sepatu kets putih sudah kukenakan. Alat tulis, buku, satu air minum, sepasang pakaian adat Batang, dan 6 buku "Kelasku (mungkin) Surgaku" sudah kumasukkan ke dalam tas. Tak lupa pizza sisa tadi malam
Aroma kopi hitam dari biji original yang digiling dan diseduh begitu harum datang dari dapur. Pak Martin sedang menyiapkan kopi dan roti selai untuk sarapan kami. Sementara Ben menyiapkan sarapannya sendiri yaitu sereal.
Setibanya di sekolah, aku mengikuti Pak Martin menuju meja kerjanya. Sebuah ruang guru yang sangat nyaman. Berkarpet tebal, ber-AC, ada pantry, kulkas, mesin fotocopy, dan meja dan kursi guru yang besar. Oh iya, tidak semua orang bisa masuk ruang guru karena untuk membukanya harus men-scan kartu yang hanya dimiliki oleh para guru. Berkenalan dengan beberapa guru yang ternyata berasal dari beberapa negara: Malaysia, Kenya, Nepal, dan tentu saja dari Indonesia. Tentu saja menggunakan Bahasa Inggris kecuali orang Indonesia yang begitu senang bertemu dengan saudaranya seperti melepas dahaga.
Hari ini aku masuk ke kelas Pak Martin. Tidak untuk mengajar tapi belajar tentang metode pembelajaran. Pukul 08.20, warning bell berbunyi. Sepuluh menit lagi masuk. Lima belas menit pertama adalah Homeform, kegiatan berdoa, presensi, dan motivasi yang dilakukan oleh semacam wali kelas. Siswa-siswa homeform Pak Martin tidak berasal dari satu kelas. Mereka berasal dari berbagai kelas. Setelah mereka melakukan presensi, berdoa dan mendapat motivasi, mereka akan kembali ke kelas amsing-masing.
Dilanjutkan dengan Jam pertama. Ruang Pak Martin berada di ruang Bahasa dan Pak Martin mempunyai ruang tersendiri untuk Bahasa Prancis. Karpet warna biru seperti seragam siswa MacKillop, 30 kursi dan 15 meja siswa, televisi besar layar datar berada di depan. Di sebelah kanan dan kirinya adalah whiteboard untuk menulis. Di dindingnya, tertempel gambar dan poster tentang Prancis. Sangat menarik.
"Bathroom Mister," tiba-tiba salah satu siswa meminta ijin ke toilet.
Pak Martin memberikan gantungan ID Card yang berisi tulisan Pass Hall. Itu adalah tanda siswa sudah diijinkan oleh guru kelas untuk keluar kelas dan tidak akan ditegur oleh kepala sekolah atau guru yang lain. Gantungan ini hanya satu. Jadi, ijin ke toilet tidak boleh rombongan.
Siswa yang ijin pun dipantau oleh pegawai administrasi. Dengan perangkat telepon yang tersambung ke setiap kelas, guru di kelas akan mendapatkan telepon dari pegawai administrasi untuk memastikan siswanya mendapatkan ijin untuk ke toilet. Tidak ke kantin.
Setelah ke toilet, siswa akan mengembalikan ID card tersebut.
"Mister, internetnya tak jalan," lapor salah satu siswa ketika sedang mengerjakan tugas dengan laptop-nya.
Kendala internet tidak hanya ada di Indonesia. Wi-Fi di sini terkadang mati. Pak Martin dengan senang hati memberikan Wi-Fi dari handphonenya.
Kelas Pak Martin hanya sedikit. Untuk jam pertama, hanya ada 3 siswa di kelasnya, 1 siswa laki-laki, dan 2 siswa perempuan. Mereka menggunakan seragam sekolah, kemeja atau kaos yang tidak sama namun dengan dominasi warna biru dan bercelana pendek warna biru tua.
Pada jam kedua, ada 10 siswa, 3 siswa laik-laki dan 7 siswa perempuan.
Jam ketiga, Pak Martin mengajar Bahasa Inggris . Siswanya hanya 7 orang, 3 siswa laki-laki dan 4 siswa perempuan. Pada jam ini, tidak hanya aku, Bu Arie juga mengikuti kelas ini.
Dengan siswa yang sedikit, Pak Martin memberikan perhatian penuh kepada para siswanya. Pak Martin mendatangi siswa-siswanya untuk berdiskusi, mengarahkan dan memberikan solusi yang diperlukan. Permasalahan pribadi siswa pun Pak Martin tahu dan berusaha memberikan solusi dan pemecahan masalah. Siswa nampak senang dengan Pak Martin. Inikah yang dinamakan individual learning atau pembelajaran berdiferensiasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar