alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Selasa, 22 Agustus 2023

MELBOURNE

"Gkhaaoook...Gkhaaoook."

Pagiku di kota Melbourne disambut dengan teriakan burung gagak yang memekakkan telinga. Mereka bertengger di atas pohon-pohon tua yang daunnya sedang rontok di musim dingin ini. Suaranya yang serak-serak basah mengalahkan suara burung lain yang berkeliaran.
Dengan suhu 10 derajat Celcius dan hujan tipis, kami jalan-jalan di sekitar hotel. Gedung-gedung tua menghiasi kota Melbourne. Dingin dan eksotis. Dan kami tidak berani jalan terlalu jauh dari hotel. Takut hilang.

KELAS INKLUSI


"Tenang saja, kalian di sini bisa minum apa saja. Ada teh, kopi, susu. Mau apa?" tawar Bu Juni, salah satu guru inklusi asal Jakarta yang sudah merantau di Australia selama 10 tahun.
Aku memilih minum kopi untuk menghilangkan rasa kantuk setelah seharian beraktifitas masuk ke beberapa kelas. Kami diajak Bu Juni ke ruang inklusi ini agar kami bisa ngobrol sepuas hati dalam bahasa Indonesia dan tentang perkembangan sekolah Indonesia.
"Kami di sini bertugas memastikan anak-anak berkebutuhan khusus bisa mandiri dan bisa bergaul dengan yang lain tanpa diskriminasi. Di ruang inklusi ini ada kurang lebih 20 guru inklusi. Mereka mendampingi para siswa berkebutuhan khusus di kelas-kelas. Apabila ada anak yang mengharuskan mereka belajar di luar kelas karena suatu hal, mereka akan kami bawa ke sini. Di sini mereka bisa belajar atau beristirahat sesuai dengan kebutuhannya," jelas Bu Juni panjang lebar.
Kami hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan dari Bu Juni. Ruangan ini mempunyai fasilitas lengkap, ruang belajar, ruang istirahat, toilet, dapur, termasuk minuman dan makanan yang selalu tersedia untuk kebutuhan sehari-hari.
"Bagaimana pendidikan inklusi di Indonesia?" tanya Bu Juni lebih lanjut.
Kami diam seribu bahasa. (Tanyakanlah kepada rumput yang bergoyang).
# foto Walabi (binatang khas Australia) di padang rumput yang bergoyang.

KANGURU

"Kalau ingin melihat kanguru sesungguhnya ya kanguru yang dilepas liar. Mereka berdiri, berlari, makan, dan beraktifitas sebagaimana kanguru. Tapi resikonya bisa diserang, ditendang, dan ditinju. Kalau lihatnya di kebun binatang, kanguru ya pasti malas-malasan. Cuma tidur. Karena makanan mereka sudah dipenuhi," jelas Bu Lenny kepada kami.

Dan sampai saat ini kami belum berhasil melihat kanguru di alam liar. Kami hanya bisa melihat kanguru yang sedang tidur di salah satu kandang di Crocodlus Park Darwin.

FOTO

Untuk menghangatkan badan setelah beberapa jam di ruang ber-AC, kami mengikuti Pak Martin yang pada jam istirahat melaksanakan tugas "duty", di Indonesia namanya "piket" di sekitar lapangan rugby. Ada tribun yang bisa digunakan untuk duduk-duduk dan tidak panas karena beratap paranet yang melindungi orang-orang di bawahnya dari sengatan matahari. Di sinilah beberapa siswa beristirahat, makan, minum dan bermain pada jam istirahat.

Dengan mengenakan rompi warna orange, Pak Martin harus mengawasi para siswa yang sedang beristirahat, . Ada beberapa guru yang melaksanakan "duty" pada setiap jam istirahat. Ada yang di kantin, ada yang di halaman tengah, ada yang di bagian belakang yaitu di sekitar lapangan rugby ini.
"Ikut foto..ikut foto," teriak anak-anak kelas 7 ketika Pak Martin akan mengambil foto aku dan Bu Arie di atas tribun. Mereka serta merta berlari dan berdiri di belakang kami.
"Tidak boleh. Kalian tidak boleh ikut foto. Kalian dilarang ikut foto," kata Pak Martin.
"Yachhh.." sahut mereka kecewa mendengar kata-kata Pak Martin. Mereka meninggalkan kami dan kembali ke tempat semula.
Begitulah kondisi perlindungan anak di Australia. Sejak awal menjalani program BRIDGE ini kami dilarang mengambil foto para siswa kecuali dengan ijin tertulis dari orang tua mereka. Para guru di MacKillop Catholic College Palmerston NT juga telah memahami hak-hak mereka untuk tidak difoto. Oleh karena itu, para guru pun tidak boleh sembarangan mengambil foto mereka.
Tapi namanya anak-anak. Mereka ternyata tidak berbeda dengan anak-anak Indonesia yang ingin eksis, ingin diambil fotonya, ingin foto mereka dipamerkan ke orang lain dan dilihat oleh orang lain.
Apa boleh buat, mereka dalam perlindungan undang-undang negara. Kasihan deh mereka!
# Keterangan foto : 1) aku pinjam rompi Pak Martin untuk berfoto, 2) foto Bu Arie, aku dan Bu Lenny di tribun lapangan rugby.

MENGINJAKAN KAKI DI MELBOURNE

Tiba di kota Melbourne pada pukul 23.45 waktu setempat, kami akan dijemput oleh Shopie. Kami telah diberi foto Shopie sebelumnya agar bisa mengenalinya ketika sampai Melbourne.

"Saya tunggu di tempat pengambilan koper," Sophie mengirimkan pesan lewat WA ketika kami baru saja turun dari pesawat.
Suhu udara menunjukkan angka 10 derajat Celcius. Di tempat pengambilan koper kami tengak-tengok mencari Shopie. Satu per satu wajah kami "penthelengi". Wajahnya sama semua. Bule semua.
"Pusing aku."
Sesaat kemudian kami berhasil mendapatkan koper kami.
"Basuki? Arie? I'am Shopie," kata seorang perempuan tuba-tiba memperkenalkan diri.
"Nice to meet you," kata kami berkenalan dan berjabat tangan. Kemudian dia mengantar kami ke tempat parkir untuk membawa kami ke hotel. Sebelum sampai hotel, dia menawari kami untuk membeli makanan atau minuman untuk sekedar mengganjal perut saat di hotel.
"Noodle?" tanya dia.
"That's good. I like it," jawabku dengan penuh semangat membayangkan mie goreng atau mie rebus di tengah malam yang sangat dingin ini.
Beberapa menit kami melintasi jalanan Melbourne yang lengang, kami mampir di sebuah toko makanan. Dilayani seorang laki-laki, kami memasuki toko ini dan memilih makanan yang kami suka.
"This is noodle," kata Shopie menunjukkan ke sebuah rak makanan.
Sumpah, yang kupikirkan sejak tadi adalah mie rebus Jawa atau mie goreng pedas di sebuah warung mie. Ternyata kami harus memilih mie instan yang sekarang ada di depan kami. Setelah tertegun beberapa saat, aku memilih jalan aman dengan mengambil dua bungkus Indomie goreng gelas pedas. Itung-itung melepas rasa kangen dengan Indonesia. Indomie sangat terkenal di Australia.
Benar saja, udara dingin membuatku lapar. Sesampainya di kamar nomor 222 hotel Best Western, aku langsung merebus air untuk membuat dua mie gelas dan segelas kopi. Lumayan nikmat.
Setelah sholat, sikat gigi, dan berganti pakaian dengan jaket tebal, celana training dan kaos kaki tebal, aku segera merebahkan diri dan tidur.

SERASA NAIK BIS COYO

Jumat ini, 11 Agustus 2023 kunjungan ke sekolah mitra telah selesai. Saya dan Bu Arie harus melanjutkan perjalanan ke Melbourne. Kami akan menjalani perjalanan yang lumayan panjang. Penerbangan dari Darwin menggunakan Virgin Australia pada pukul 18.55 dan direncanakan mendarat di Melbourne pada pukul 23.45.

Pada pukul 16.00 Bu Lenny menjemputku dari rumah Pak Martin dan selanjutnya mengantar kami ke bandara.
Pada pukul 18.40 kami sudah harus memasuki pesawat dan say bye bye kepada Bu Lenny. Aku duduk di kursi 30E dan Bu Arie duduk di kursi 30F.
Tepat pada pukul 18.55, pesawat take off meninggalkan kota Darwin. Pemandangan senja kota Darwin yang sangat indah kami dapatkan dari atas pesawat.
"Senang naik pesawat Pak Bas?" tanya Bu Arie memotong kegiatanku yang sedang asyik memfoto kota Darwi dari atas.
"Senang. Apalagi gratis," jawabku singkat.
"Terus apa yang paling menyenangkan ketika naik pesawat?" tanya Bu Arie lagi.
"Cepat dan nyaman. Tapi ada yang nggak enak ketika naik pesawat yaitu sebelum pesawat take off, lalu saat landing yaitu ketika roda menyentuh tanah sampai pesawat berhenti. Juga saat pesawat menerobos awan, rasanya glodak-glodak kayak naik gerobak," jawabku.
"Kalau aku malah paling suka kalau pas glodak-glodak kayak gitu," kata Bu Arie.
"Hah, kenapa?" tanyaku kaget setengah tak percaya.
"Serasa naik bis Coyo Batang-Semarang," jawab Bu Arie.
Di dalam hati, aku cuma bisa ngomong "Sumpah, ndeso!"

KELAS RUGBY

Pagi ini, Pak Mattew, pelatih rugby MacKilllop memberikan oleh-oleh kepada kami berupa dua buah bola rugby, kaos team rugby MacKillop dan botol minuman.

"Kami akan memperkenalkan rugby di sekolah kami," kata Bu Arie.
Kemudian kami juga diminta menonton secara langsung latihan team rugby MacKillop. Kebetulan pagi ini MacKillop mengundang mantan pemain rugby nasional bernama Radike Samo untuk melatih team rugby MacKillop.
Kami datang ke lapangan rugby dan di kejauhan melihat Pak Mattew bersama Radike dan anak-anak yang tergabung dalam team rugby melakukan pemanasan dan nampak kecil.
Sebelum latihan dimulai, Bu Lenny meminta Radike untuk berfoto bersama kami.
"Ten dollar," kata Pak Mattew becanda.
Kami berdiri berjajar untuk berfoto dengan Radike
"Wah, tinggi sekali," kataku dalam hati
"Berapa tinggi Radike?" tanya Bu Arie kepada Pak Mattew.
"Dengan rambutnya, Radike mempunyai tinggi dua meter lebih?" jawab Pak Mattew.
"Wow, rambutnya menambah ketinggian."

MASUK KELAS MUSIK


Masih dengan guru yang sama kita masuk ke ruang musik. Selain guru dance, ternyata Bu Catherine juga guru musik.
Ruang musik sangat luas. Ada 12 siswa yang mengikuti kelas ini. Mereka mengambil sendiri-sendiri kursi yang sudah disediakan di pojok ruang, stand buku lagi yang ada di dekat pintu dan alat musik yang disimpan di lemari. Ada piano di tengah ruangan, drum. membranofon, darbuka, dan cajon. Alat musik yang lain tersimpan di lemari-lemari besi yang berjajar rapi.
Hari ini ada 4 anak memainkan trompet, 3 orang memainkan klarinet, 1 orang memainkan flute, dan 4 orang memainkan saxophone. Semuanya alat musik tiup. Mereka memainkan lagu yang sama dengan not balok. Bu Catherine sibuk membetulkan permainan nada yang kurang sesuai, memberikan contoh cara meniup yang baik, membetulkan peralatan yang lepas, rusak dan siap dengan minyak ditangannya untuk melumasi peralatan musik.
Sungguh guru yang multi talenta.
# maaf dilarang memfoto aktifitas kelas. Jadi foto bersama Pak Chee di taman Cullen Bay Marin.

KELAS DANCE

 Masuk ruang dance serasa masuk ruang teater. Dengan tembok warna hitam, lantai dari papan kayu warna hitam juga, dinding cermin di bagian depan, dan lampu sorot di atasnya, siswa kelas 7 mengikuti arahan dari Ibu Caterine.

Sebelum membentuk formasi, mereka melakukan pemanasan. Ketika formasi dimulai, para siswa mengikuti dengan baik karena Caterine memakai clip on sehingga suaranya dapat didengar dengan baik. Beberapa formasi dan gerakan diperagakan oleh Caterine diikuti oleh seluruh siswa.
Walaupun ruangan cukup dingin, Bu Caterine dan para siswa keringetan.
Kelas yang menarik.

NGANTUK

Catatan hari Kamis, 10 Agustus 2023

Pagi ini rasanya ngantuk sekali. Semalam kurang bisa tidur. Setelah tadi malam bertanding catur di Chess.Com melawan Ben dan aku kalah, aku masuk kamar pukul 22.30. Belum begitu malam karena di Darwin, awal waktu subuh adalah 05.49 dan matahari terbit pukul 07.02. Masih cukup waktu untuk tidur. Masalahnya, setelah masuk kamar aku tak bisa tidur.
Di dalam mobil yang aku naiki bersama Pak Martin, aku berkali-kali menguap. Tanah yang kering musim kemarau dan pohon-pohon eukaliptus yang mendominasi tanaman di sepanjang jalan nampak murung. Di beberapa tempat, batang pohon dan tanah di sekitarnya nampak menghitam. Katanya, semak-semak di sekitar pohon banyak yang terbakar karena udara panas dan kering beberapa waktu yang lalu.
Di pagi hari, burung-burung paruh bengkok mulai nampak beterbangan. Mereka bergerombol. Pada jam masuk kerja seperti ini, jalanan menuju sekolah nampak lengang. Mobil yang melintas sedikit. Sebaliknya, mobil yang menuju ke arah kota Darwin lumayan ramai. Maaf, saya sebut mobil saja karena di sini sangat sulit bertemu sepeda motor. Kadang terlihat sepeda motor dengan cc besar (minimal 250 cc) atau Harley Davidson melintas di jalanan di akhir pekan atau hari libur hanya untuk jalan-jalan.
Mendekati sekolah, terlihat anak-anak berjalan kaki dan naik sepeda menuju ke arah sekolah. Sebagian diantar oleh orang tua. Naik mobil juga. Sebagian naik bus umum
Kurang lebih 25 menit kami menempuh perjalanan menuju ke sekolah. Tempat parkir mobil ditempati oleh guru dan sebagian siswa. Ada beberapa siswa yang membawa mobil. Mereka diperkenankan naik mobil setelah mendapatkan SIM di umur 16 tahun dan dua tahun pertama mobil mereka diberi tanda huruf "P" di mobilnya. Menandakan mereka baru mendapatkan licence untuk menyetir.
Memasuki sekolah, guru harus absen terlebih dahulu di ruang administrasi. Dengan tablet yang tersedia aku memasukan nama depan, nama belakang, memilih sebagai visitor, berfoto, tanda tangan, selesai. Guru yang lain cukup memasukan empat angka, nomor absen mereka.
Selesai presensi, kami menuju ruang guru dan aku harus menunggu Pak Martin yang membuka pintu dengan men-scan kartu yang digantung di lehernya. Masuk ruang guru, Pak Martin memasukkan bekal kami untuk makan siang ke dalam kulkas. Dan kami menunggu bel masuk pada pukul 08.25.
Hari ini aku akan masuk ke kelas Pak Martin dan Bu Arie masuk ke kelas Bu Lenny.

SAMBUTAN

Kegiatan kunjungan kami ke sekolah mitra MacKillop Catholic College Palmerston NT di Australia disambut oleh kepala sekolah yaitu Mr. Lucas Hurley di ruang kerjanya. Beliau begitu antusias menerima kunjungan kami.

Souvernir yang kami bawa berupa baju adat Batang dan buku untuk sekolah diterima dengan baik. Kemeja batik sebagai hadiah untuknya langsung dicoba. Kami yang tadinya khawatir kemeja itu itu tidak pas ternyata sangat pas dengan badannya yang gempal dan atletis.
"Terima kasih," kata beliau mencoba menggunakan Bahasa Indonesia.
Selanjutnya baju adat dan buku yang kami berikan untuk sekolah "Father Gerry Remie Center Library" diarsipkan di perpustakaan sekolah. Kami diminta ke perpustakaan untuk memastikan bahwa nama-nama baju adat yang kami bawa benar.
"It's lurik. It's stagen. It's jarik," terang Bu Arie satu per satu di dampingi Bu Lenny, guru mitra kami
Selanjutnya, kami berkeliling ke laboratorium IPA, ruang komputer, ruang teater, ruang dance, ruang gym, ruang musik. Fasilitas yang sangat lengkap.
"Hallo apa kabar?" sapa Pak Mattew, salah satu guru pengganti di ruang gym yang sedang memanfaatkan jam tidak mengajarnya untuk berolahraga menggunakan alat gym.
"Baik," jawab kami.
Beliau begitu antusias ngobrol dengan kami karena bisa berbahasa Indonesia dan pernah tinggal di Yogyakarta serta mempunyai saudara angkat di Wonosari Gunung Kidul bernama Pak Arif dan Ibu Sriatun dan sudah tidak pernah bertemu selama 15 tahun.
"Ayo ke Indonesia lagi!" ajak kami.
"Kapan-kapan," jawabnya.

PALATES OF INDIA

Sore ini, aku diajak mencicipi makanan India oleh Pak Martin. Pak Martin suka sekali dengan masakan India.

Sebelumnya, Pak Martin membelikan sepatu baru untuk Ben di Big W yang ada di Gateway Shopping Center Palmerston yang tutup pada pukul 19.00 waktu Darwin. Memasuki Gateway pada pukul 17.00, banyak toko yang mulai di oleh pemiliknya. Toko-toko di Darwin pada umumnya tutup pada pukul 17.00.
Setelah mendapatkan sepatu full hitam yang pas untuk Ben yang sekarang duduk di kelas X, kami segera menuju tempat parkir. Di tempat parkir, banyak burung Kakaktua putih berjambul turun ke tanah. Betapa tak ada yang boleh mengganggu burung-burung ini.
Segera kami meluncur ke Palates of India,
Disambut orang India asli, nampaknya mereka sudah sangat mengenal Pak Martin. Mereka berbincang dengan sangat akrab. Kami dipersilakan memilih tempat duduk dan disodori daftar menu yang akan kami pesan. Aku mengikuti pesanan Pak Martin saja karena aku tidak tahu nama menu-menu masakan India.
Diawali dengan suguhan air mineral dalam botol kaca coklat tua, kami harus menunggu agak lama pesanan kami.
Dan taraaa...
Masakan India datang. Entah apa namanya. Tapi ini vegetabel. Ada kentangnya. Bahan yang lain aku tak tahu. Aku tak sempat mengacak-ngacak makanannya. Malu-maluin. Wong tinggal makan saja kok pakai ribet.
Rasanya mantap. Pak Martin memang mempunyai selera yang tinggi.

BUKU SEHARGA NASI GORENG

Aku mulai memahami mengapa tingkat literasi di Australia nomor 4 dunia, karena harga buku di Australia adalah sekitar 10-20$ AUD untuk buku setebal novel "Laskar Pelangi" atau lebih tebal lagi. itu adalah harga untuk sekali makan di Australia. Bandingkan dengan harga nasi goreng yang 16,5$AUD.
Di Indonesia, sekali makan kurang lebih Rp.10.000 sampai Rp.20.000. Harga buku kurang lebih Rp. 100.000.
Seandainya harga buku Rp. 10.000- Rp. 20.000 saja.
Semua tangg

HARI PERTAMA DI SEKOLAH

Batik merah, celana hitam dan sepatu kets putih sudah kukenakan. Alat tulis, buku, satu air minum, sepasang pakaian adat Batang, dan 6 buku "Kelasku (mungkin) Surgaku" sudah kumasukkan ke dalam tas. Tak lupa pizza sisa tadi malam

Aroma kopi hitam dari biji original yang digiling dan diseduh begitu harum datang dari dapur. Pak Martin sedang menyiapkan kopi dan roti selai untuk sarapan kami. Sementara Ben menyiapkan sarapannya sendiri yaitu sereal.
Pukul 07.45 kami berangkat. Sekolah masuk pukul 08.30.
Setibanya di sekolah, aku mengikuti Pak Martin menuju meja kerjanya. Sebuah ruang guru yang sangat nyaman. Berkarpet tebal, ber-AC, ada pantry, kulkas, mesin fotocopy, dan meja dan kursi guru yang besar. Oh iya, tidak semua orang bisa masuk ruang guru karena untuk membukanya harus men-scan kartu yang hanya dimiliki oleh para guru. Berkenalan dengan beberapa guru yang ternyata berasal dari beberapa negara: Malaysia, Kenya, Nepal, dan tentu saja dari Indonesia. Tentu saja menggunakan Bahasa Inggris kecuali orang Indonesia yang begitu senang bertemu dengan saudaranya seperti melepas dahaga.
Hari ini aku masuk ke kelas Pak Martin. Tidak untuk mengajar tapi belajar tentang metode pembelajaran. Pukul 08.20, warning bell berbunyi. Sepuluh menit lagi masuk. Lima belas menit pertama adalah Homeform, kegiatan berdoa, presensi, dan motivasi yang dilakukan oleh semacam wali kelas. Siswa-siswa homeform Pak Martin tidak berasal dari satu kelas. Mereka berasal dari berbagai kelas. Setelah mereka melakukan presensi, berdoa dan mendapat motivasi, mereka akan kembali ke kelas amsing-masing.
Dilanjutkan dengan Jam pertama. Ruang Pak Martin berada di ruang Bahasa dan Pak Martin mempunyai ruang tersendiri untuk Bahasa Prancis. Karpet warna biru seperti seragam siswa MacKillop, 30 kursi dan 15 meja siswa, televisi besar layar datar berada di depan. Di sebelah kanan dan kirinya adalah whiteboard untuk menulis. Di dindingnya, tertempel gambar dan poster tentang Prancis. Sangat menarik.
"Bathroom Mister," tiba-tiba salah satu siswa meminta ijin ke toilet.
Pak Martin memberikan gantungan ID Card yang berisi tulisan Pass Hall. Itu adalah tanda siswa sudah diijinkan oleh guru kelas untuk keluar kelas dan tidak akan ditegur oleh kepala sekolah atau guru yang lain. Gantungan ini hanya satu. Jadi, ijin ke toilet tidak boleh rombongan.
Siswa yang ijin pun dipantau oleh pegawai administrasi. Dengan perangkat telepon yang tersambung ke setiap kelas, guru di kelas akan mendapatkan telepon dari pegawai administrasi untuk memastikan siswanya mendapatkan ijin untuk ke toilet. Tidak ke kantin.
Setelah ke toilet, siswa akan mengembalikan ID card tersebut.
"Mister, internetnya tak jalan," lapor salah satu siswa ketika sedang mengerjakan tugas dengan laptop-nya.
Kendala internet tidak hanya ada di Indonesia. Wi-Fi di sini terkadang mati. Pak Martin dengan senang hati memberikan Wi-Fi dari handphonenya.
Kelas Pak Martin hanya sedikit. Untuk jam pertama, hanya ada 3 siswa di kelasnya, 1 siswa laki-laki, dan 2 siswa perempuan. Mereka menggunakan seragam sekolah, kemeja atau kaos yang tidak sama namun dengan dominasi warna biru dan bercelana pendek warna biru tua.
Pada jam kedua, ada 10 siswa, 3 siswa laik-laki dan 7 siswa perempuan.
Jam ketiga, Pak Martin mengajar Bahasa Inggris . Siswanya hanya 7 orang, 3 siswa laki-laki dan 4 siswa perempuan. Pada jam ini, tidak hanya aku, Bu Arie juga mengikuti kelas ini.
Dengan siswa yang sedikit, Pak Martin memberikan perhatian penuh kepada para siswanya. Pak Martin mendatangi siswa-siswanya untuk berdiskusi, mengarahkan dan memberikan solusi yang diperlukan. Permasalahan pribadi siswa pun Pak Martin tahu dan berusaha memberikan solusi dan pemecahan masalah. Siswa nampak senang dengan Pak Martin. Inikah yang dinamakan individual learning atau pembelajaran berdiferensiasi?

PIZZA

Pak Martin benar-benar baik. Dia membelikan pizza untuk makan malam kami. Masing-masing satu kotak. Pizza yang sangat besar untukku. Pizza vegetable. Isinya sayuran, kacang, jamur, dan lainnya. Rasanya tak kalah dengan pizza daging.

Tapi, nasi goreng di perutku belum mau memberi ruang yang banyak. Jadi, hanya 3 potong yang aku makan. Sisanya disimpan di kulkas untuk besok.

HALAL FOOD

Untuk menyambut kami guru-guru Indonesia (aku dan Bu Arie) yang akan bekerjasama dalam bingkai Bridge, maka guru-guru MacKillop Catholic College Palmerston NT melakukan sambutan dengan makan siang di Ayuriz Cafe di kompleks pertokoan pusat kota Darwin. Aku datang bersama Pak Martin dan Ben, anaknya Pak Martin. Bu Arie datang bersama Bu Lenny. Bu Candice datang bersama Pak Mattew. Sedangkan Ibu Bee tidak bisa hadir karena sedang punya bayi.

Menu yang tersedia tentu saja menu masakan Indonesia: bakso , soto, mie goreng, nasi goreng, ayam goreng, dan lain-lain. Pemiliknya adalah orang Indonesia tepatnya orang Surabaya yang telah tinggal selama lebih dari 30 tahun. Sayangnya ketika aku mau minta foto, pengunjung sedang ramai. Aku gagal mendapatkan foto bersama pemilik Ayuriz Cafe ini.
Ketika aku disuruh memilih menu, aku benar-benar bingung. Semua makanan tersebut hampir tiap hari aku makan. Harapanku mereka menyambut kami dengan makanan khas Australia, misalnya sate kanguru, soto daging kanguru, burung unta bakar, telur asin burung unta, burung emu geprek, atau kasuari goreng. Tapi jangan buaya goreng. It's not halal.
Namun apa boleh buat, ini warung makan masakan Indonesia. Jadi aku tetap harus memilih masakan Indonesia.
"Siapa tahu nasi goreng Australia berbeda dengan nasi goreng Indonesia," kataku dalam hati sambil memantapkan niat untuk memesan nasi goreng mawut.
Beberapa saat kami menunggu pesanan tiba-tiba ada yang menyapaku.
"Selamat siang. Apakah Bapak dari Indonesia?" tanya seorang perempuan yang sedang menikmati ayam penyet.
"Iya benar. Ibu orang Indonesia?" tanyaku balik.
"Iya. Saya Yuli dari Ambon," jawabnya sambil memperkenalkan dua temannya yang berasal dari Kupang.
Bertemu orang Indonesia di rantau seperti hujan salju di gurun sahara di siang bolong. Mak nyes. Aku sangat merindukan obrolan dalam Bahasa Indonesia setelah dua hari aku begitu kelelahan berbicara dan mendengarkan bahasa Inggris Australia.
Setelah pesanan datang, aku mencicipi nasi goreng mawut dengan lauk ayam goreng.
"Kok rasanya sama. Nggak ada bedanya dengan nasi goreng Indonesia," kataku masih dalam hati.
Setelah merenung beberapa saat dan kutimbang-timbang, akhirnya kutemukan perbedaan yang sangat jauh.
"Harga nasi goreng di Indonesia cuma Rp. 12.000. Harga nasi goreng di Australia adalah 16,5 $ AUD alias Rp 165.000."
Nah lho.

CROCODYLUS PARK

Hari Senin, 7 Agustus 2023 adalah picnic day bagi sekolah-sekolah di seluruh Northern Territory, tidak di seluruh wilayah Australia. Maka, pada hari Senin kemarin, anak-anak sekolah, guru-gurunya, dan staf administrasinya libur.

"Tiwas adoh-adoh diparani, malah prei," kataku dalam hati.
Untuk mengisi hari libur ini, Pak Martin dan Ben putranya mengajakku mengunjungi CROCODYLUS PARK, sebuah taman untuk penangkaran buaya. Lokasinya tidak jauh dari rumah Pak Martin. Tapi jangan tanya arahnya ya, aku masih belum paham. Tunggu kalau sudah sebulan di sini dan aku sudah paham, akan kuajak kalian kalian berkeliling Darwin. Tenang saja, Darwin adalah kota kecil yang lengang dan tidak begitu padat.
Hari Senin diawali dengan sarapan, bukan senyuman karena senyuman tak membuat kita kenyang. Sarapan roti selai dan kopi hitam sebelumnya, kami berangkat pukul 10.00 menuju CROCODYLUS PARK. Tiketnya seharga 18$ untuk dewasa dan 12$ untuk anak-anak. Semua Pak Martin yang bayar. Untukku gratis. Jadi, kalau Anda ke CROCODYLUS PARK, ajaklah Pak Martin. 🤭😁
Masuk sebuah ruangan, beli tiket dilayani oleh seorang perempuan dengan wajah Asia, lalu masuk menuju taman buaya. Ada bermacam-macam buaya. Buaya air asin, buaya Amerika, buaya phillipina, aligator dan lain-lain. Ada pertunjukan memberi makan buaya dan memegang buaya. Dan musium buaya tempat kita belajar tentang asal-usul buaya dan jenis-jenis buaya. Semuanya tentang buaya kecuali "buaya darat". Selain buaya, terdapat binatang-binatang lainnya seperti kerbau, banteng, ular, kanguru, monyet, burung unta, dan lain-lain.
Sangat menarik.