alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Selasa, 22 Agustus 2023

MELBOURNE

"Gkhaaoook...Gkhaaoook."

Pagiku di kota Melbourne disambut dengan teriakan burung gagak yang memekakkan telinga. Mereka bertengger di atas pohon-pohon tua yang daunnya sedang rontok di musim dingin ini. Suaranya yang serak-serak basah mengalahkan suara burung lain yang berkeliaran.
Dengan suhu 10 derajat Celcius dan hujan tipis, kami jalan-jalan di sekitar hotel. Gedung-gedung tua menghiasi kota Melbourne. Dingin dan eksotis. Dan kami tidak berani jalan terlalu jauh dari hotel. Takut hilang.

KELAS INKLUSI


"Tenang saja, kalian di sini bisa minum apa saja. Ada teh, kopi, susu. Mau apa?" tawar Bu Juni, salah satu guru inklusi asal Jakarta yang sudah merantau di Australia selama 10 tahun.
Aku memilih minum kopi untuk menghilangkan rasa kantuk setelah seharian beraktifitas masuk ke beberapa kelas. Kami diajak Bu Juni ke ruang inklusi ini agar kami bisa ngobrol sepuas hati dalam bahasa Indonesia dan tentang perkembangan sekolah Indonesia.
"Kami di sini bertugas memastikan anak-anak berkebutuhan khusus bisa mandiri dan bisa bergaul dengan yang lain tanpa diskriminasi. Di ruang inklusi ini ada kurang lebih 20 guru inklusi. Mereka mendampingi para siswa berkebutuhan khusus di kelas-kelas. Apabila ada anak yang mengharuskan mereka belajar di luar kelas karena suatu hal, mereka akan kami bawa ke sini. Di sini mereka bisa belajar atau beristirahat sesuai dengan kebutuhannya," jelas Bu Juni panjang lebar.
Kami hanya mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan dari Bu Juni. Ruangan ini mempunyai fasilitas lengkap, ruang belajar, ruang istirahat, toilet, dapur, termasuk minuman dan makanan yang selalu tersedia untuk kebutuhan sehari-hari.
"Bagaimana pendidikan inklusi di Indonesia?" tanya Bu Juni lebih lanjut.
Kami diam seribu bahasa. (Tanyakanlah kepada rumput yang bergoyang).
# foto Walabi (binatang khas Australia) di padang rumput yang bergoyang.

KANGURU

"Kalau ingin melihat kanguru sesungguhnya ya kanguru yang dilepas liar. Mereka berdiri, berlari, makan, dan beraktifitas sebagaimana kanguru. Tapi resikonya bisa diserang, ditendang, dan ditinju. Kalau lihatnya di kebun binatang, kanguru ya pasti malas-malasan. Cuma tidur. Karena makanan mereka sudah dipenuhi," jelas Bu Lenny kepada kami.

Dan sampai saat ini kami belum berhasil melihat kanguru di alam liar. Kami hanya bisa melihat kanguru yang sedang tidur di salah satu kandang di Crocodlus Park Darwin.

FOTO

Untuk menghangatkan badan setelah beberapa jam di ruang ber-AC, kami mengikuti Pak Martin yang pada jam istirahat melaksanakan tugas "duty", di Indonesia namanya "piket" di sekitar lapangan rugby. Ada tribun yang bisa digunakan untuk duduk-duduk dan tidak panas karena beratap paranet yang melindungi orang-orang di bawahnya dari sengatan matahari. Di sinilah beberapa siswa beristirahat, makan, minum dan bermain pada jam istirahat.

Dengan mengenakan rompi warna orange, Pak Martin harus mengawasi para siswa yang sedang beristirahat, . Ada beberapa guru yang melaksanakan "duty" pada setiap jam istirahat. Ada yang di kantin, ada yang di halaman tengah, ada yang di bagian belakang yaitu di sekitar lapangan rugby ini.
"Ikut foto..ikut foto," teriak anak-anak kelas 7 ketika Pak Martin akan mengambil foto aku dan Bu Arie di atas tribun. Mereka serta merta berlari dan berdiri di belakang kami.
"Tidak boleh. Kalian tidak boleh ikut foto. Kalian dilarang ikut foto," kata Pak Martin.
"Yachhh.." sahut mereka kecewa mendengar kata-kata Pak Martin. Mereka meninggalkan kami dan kembali ke tempat semula.
Begitulah kondisi perlindungan anak di Australia. Sejak awal menjalani program BRIDGE ini kami dilarang mengambil foto para siswa kecuali dengan ijin tertulis dari orang tua mereka. Para guru di MacKillop Catholic College Palmerston NT juga telah memahami hak-hak mereka untuk tidak difoto. Oleh karena itu, para guru pun tidak boleh sembarangan mengambil foto mereka.
Tapi namanya anak-anak. Mereka ternyata tidak berbeda dengan anak-anak Indonesia yang ingin eksis, ingin diambil fotonya, ingin foto mereka dipamerkan ke orang lain dan dilihat oleh orang lain.
Apa boleh buat, mereka dalam perlindungan undang-undang negara. Kasihan deh mereka!
# Keterangan foto : 1) aku pinjam rompi Pak Martin untuk berfoto, 2) foto Bu Arie, aku dan Bu Lenny di tribun lapangan rugby.

MENGINJAKAN KAKI DI MELBOURNE

Tiba di kota Melbourne pada pukul 23.45 waktu setempat, kami akan dijemput oleh Shopie. Kami telah diberi foto Shopie sebelumnya agar bisa mengenalinya ketika sampai Melbourne.

"Saya tunggu di tempat pengambilan koper," Sophie mengirimkan pesan lewat WA ketika kami baru saja turun dari pesawat.
Suhu udara menunjukkan angka 10 derajat Celcius. Di tempat pengambilan koper kami tengak-tengok mencari Shopie. Satu per satu wajah kami "penthelengi". Wajahnya sama semua. Bule semua.
"Pusing aku."
Sesaat kemudian kami berhasil mendapatkan koper kami.
"Basuki? Arie? I'am Shopie," kata seorang perempuan tuba-tiba memperkenalkan diri.
"Nice to meet you," kata kami berkenalan dan berjabat tangan. Kemudian dia mengantar kami ke tempat parkir untuk membawa kami ke hotel. Sebelum sampai hotel, dia menawari kami untuk membeli makanan atau minuman untuk sekedar mengganjal perut saat di hotel.
"Noodle?" tanya dia.
"That's good. I like it," jawabku dengan penuh semangat membayangkan mie goreng atau mie rebus di tengah malam yang sangat dingin ini.
Beberapa menit kami melintasi jalanan Melbourne yang lengang, kami mampir di sebuah toko makanan. Dilayani seorang laki-laki, kami memasuki toko ini dan memilih makanan yang kami suka.
"This is noodle," kata Shopie menunjukkan ke sebuah rak makanan.
Sumpah, yang kupikirkan sejak tadi adalah mie rebus Jawa atau mie goreng pedas di sebuah warung mie. Ternyata kami harus memilih mie instan yang sekarang ada di depan kami. Setelah tertegun beberapa saat, aku memilih jalan aman dengan mengambil dua bungkus Indomie goreng gelas pedas. Itung-itung melepas rasa kangen dengan Indonesia. Indomie sangat terkenal di Australia.
Benar saja, udara dingin membuatku lapar. Sesampainya di kamar nomor 222 hotel Best Western, aku langsung merebus air untuk membuat dua mie gelas dan segelas kopi. Lumayan nikmat.
Setelah sholat, sikat gigi, dan berganti pakaian dengan jaket tebal, celana training dan kaos kaki tebal, aku segera merebahkan diri dan tidur.

SERASA NAIK BIS COYO

Jumat ini, 11 Agustus 2023 kunjungan ke sekolah mitra telah selesai. Saya dan Bu Arie harus melanjutkan perjalanan ke Melbourne. Kami akan menjalani perjalanan yang lumayan panjang. Penerbangan dari Darwin menggunakan Virgin Australia pada pukul 18.55 dan direncanakan mendarat di Melbourne pada pukul 23.45.

Pada pukul 16.00 Bu Lenny menjemputku dari rumah Pak Martin dan selanjutnya mengantar kami ke bandara.
Pada pukul 18.40 kami sudah harus memasuki pesawat dan say bye bye kepada Bu Lenny. Aku duduk di kursi 30E dan Bu Arie duduk di kursi 30F.
Tepat pada pukul 18.55, pesawat take off meninggalkan kota Darwin. Pemandangan senja kota Darwin yang sangat indah kami dapatkan dari atas pesawat.
"Senang naik pesawat Pak Bas?" tanya Bu Arie memotong kegiatanku yang sedang asyik memfoto kota Darwi dari atas.
"Senang. Apalagi gratis," jawabku singkat.
"Terus apa yang paling menyenangkan ketika naik pesawat?" tanya Bu Arie lagi.
"Cepat dan nyaman. Tapi ada yang nggak enak ketika naik pesawat yaitu sebelum pesawat take off, lalu saat landing yaitu ketika roda menyentuh tanah sampai pesawat berhenti. Juga saat pesawat menerobos awan, rasanya glodak-glodak kayak naik gerobak," jawabku.
"Kalau aku malah paling suka kalau pas glodak-glodak kayak gitu," kata Bu Arie.
"Hah, kenapa?" tanyaku kaget setengah tak percaya.
"Serasa naik bis Coyo Batang-Semarang," jawab Bu Arie.
Di dalam hati, aku cuma bisa ngomong "Sumpah, ndeso!"

KELAS RUGBY

Pagi ini, Pak Mattew, pelatih rugby MacKilllop memberikan oleh-oleh kepada kami berupa dua buah bola rugby, kaos team rugby MacKillop dan botol minuman.

"Kami akan memperkenalkan rugby di sekolah kami," kata Bu Arie.
Kemudian kami juga diminta menonton secara langsung latihan team rugby MacKillop. Kebetulan pagi ini MacKillop mengundang mantan pemain rugby nasional bernama Radike Samo untuk melatih team rugby MacKillop.
Kami datang ke lapangan rugby dan di kejauhan melihat Pak Mattew bersama Radike dan anak-anak yang tergabung dalam team rugby melakukan pemanasan dan nampak kecil.
Sebelum latihan dimulai, Bu Lenny meminta Radike untuk berfoto bersama kami.
"Ten dollar," kata Pak Mattew becanda.
Kami berdiri berjajar untuk berfoto dengan Radike
"Wah, tinggi sekali," kataku dalam hati
"Berapa tinggi Radike?" tanya Bu Arie kepada Pak Mattew.
"Dengan rambutnya, Radike mempunyai tinggi dua meter lebih?" jawab Pak Mattew.
"Wow, rambutnya menambah ketinggian."