alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Kamis, 27 Oktober 2016

SEKOLAHKU INSPIRASIKU

Karya : Syafira NF, XII MIIA 1

Kau adalah tempat mencari ilmu
Kau adalah tempat teristimewaku
Kau adalah tempat sarana mendapat teman
Dan kau adalah tempat kenyamananku
Tak ada tujuan lagi kumenghampirimu
Tak ada kata lain untuk menggapai cita-citaku
Kau adalah tempat inspirasiku

Sekolahku...
Lambat menjalar waktu
Detakan jarum jam mengisimu
Suasana hening menggali ilmu di tempatmu
Menumpahkan segala kedisiplinanmu
Itu semua bukti sebuah pengajaranmu
Di sinilah aku menemukan kehidupan baru
Oh..sekolahku kau tempat inspirasiku

Wahai sekolahku...
Tiada daya anak bangsa tanpamu
Di kala kegelapan menjelma seisi dunia
Tempat mencurahkan segala pikiran
Tetaplah kau jadi tempat inspirasiku
Tetaplah menjadi tempat pada setiap kenangan

Wahai sekolah kau inspirasiku..
Di sinilah aku berdiri
Di sinilah aku berkarya
Terbukalah gerbang untuk aku berlari
mengejar sang mimpi
Mimpi yang selalu melewati

Sekolahku...
Kau mengajarkanku untuk berlomba
untuk mengejar sang prestasi

Tuangkan luapan emosiku
pada setiap lembaran suci
ku kotorimu dengan pena
Menuntun untuk berkarya..

Betapa pentingnya dirimu
Anak bangsa kau titipkan pengajaran
Dengan kedisiplinanmu
Memberikaan lingkungan akan penuh kenyamanan
Tuntun ajaranmu lebih
Agar menang masa depanmu

Oh sekolahku
Tumbuh harum namamu
Di kala sang surya hadir
Kau terbuka untukku
Kau bagaikan tuangan kata inspirasiku

Wahai tempat inspirasiku
Yang mengajarkanku kedisiplinan
memberi kenyaman
Menciptakan sosok sang pemenang
Memotivasi kehidupanku
sungguh pentingnya sosok dirimu
Menciptakan generasi-generasi yang kau bekali
Dengan ilmu.

SEKOLAHKU INSPIRASIKU

Karya : Fina Fauziyatul Khosiyah, X IPS 4

Gerbang menjulang tinggi selalu kulihat di pagi hari
Hijau rindang pohon-pohon berbaris rapi
Bagaikan prajurit hendak berperang
Desiran aangin yang berirama dan menyejukkan hati
Bak indahnya lingkungan sekolahku
Keindahan yang berasa sempurna
Dan keindahan yang amat nyaman

Aku berharap dan ingin menatap
Sekolah yang bersih
Sekolah yang nyaman
Dan sekolah dengan penuh kedisiplinan

Aku berjalan menenteng lembaran ilmu
Menuju lautan pengetahuan
Yang akan   tersiram kepada pencaari wawasan
Dengan sorot mata mentari membias wajah-wajah polosnya
Manusia terlahir dalam ketidaktahuan
Menatap dunia dengan tatapan kosong

Tepat dimana
Di atas punggung bumi
Di bawah langit biru
Kita berjibaku dalam buku-buku

Di pundak kami
Ada harapan ayah dan ibu
Dan engkau wahai guru
Yang mengangkat pundak kami
Dana meyakinkan kepada kami
“kalian pasti bisa”

Sang guru bercerita tentang cita-cita
Pena menggaris-garis kertas
Menjadi sebuah ilmu yang diberikan
Kepada para patria

Di sini
Di bawah atap sekolah
Bertemu dengan pahawan-pahlawan
Tak bertanda jasa

Di sini
Aku ingin menciptakan
Membuka mata para satria
Menjadi
Sekolah yang disiplin
Sekolah yang nyaman

Terima kasih sekolahku
Kau telah menuliskan ilmu

Dan kawan di hatiku

PERJUANGANKU DAN MIMPIKU

Karya : Amalia Ilmi Karima, XI IPS 1

Pagi yang cerah
Sang mentari yang menyambut dengan senyuman
Sang jago yang berkokok membangunkanku
Senyuman yang mans untuk pagi hari ini

Semangatku yang menggebu-gebu
Untuk menuju sebuah awa perjuanganku
Di masa depanku yang cerah
Kuawali semua itu dengan senyuman

Kulangkahkan kakiku menuju sekolah
Di sana kupertaruhkan keringat
Panas...hujan...bukan halangan

Oh SMANDA
Sekolahku yang tercinta
Di sini aku mengerti segala hal
Dari yang tak kutahu menjadi paham

Dimana kadang aku keluar sifat nakalku
Karena terlambat dan tak mengerjakan tugas
Tapi di sini semua itu hilang
Yang ada hanya sebuah disiplin
Karena apa yang aku lakukan akan ada sanksinya
Disitulah yang menjadikan aku lebih baik lagi

Aku tak berjuang sendiri
Aku ditemani orang-orang yang mmberiku semangat
Dan orang yang selalu menegurku jika aku saah
Yaitu sahabat dan guruku, sesosok yang tak terlupakan

Kami berjuang demi nama haum sekolahku bangkit
Kami pertaruhkan sebuah waktu
Dan sebuah keringat
Demi sebuah kemenangan di sekolah ini.

Aku tak pernah merasa tersiksa di sini
Yang aku rasakan hanya sebuah kebahagiaan
Darri pagi kadang sampai sore aku di sini
Demi sebuah ilmu

Oh..SMANDAKU
Meskipun banyak ulangan-ulangan
Bertumpuknya tugas-tugas
Dan banyaknya hafalan
Semua itu sudah seperti  makanan sehari-hariku

Kadang aku merasa lelah dengan ini
Tapi aku berpikir ini adalah perjuanganku
Perjuanganku untuk melanjutkan para pahawan
Menjadi orang yang lebih baik

Oh..sekolahku
Aku di sini bisa mengerti
Arti disiplin nyaman dan menang
Dan aku bisa merasakan banyak kebahagiaan di sini

SMANDAKU..
Di sini banyak cerita
Di sini banyak kemenangan
Semuanya ada di sini

Senang, sedih, susah, dan bahagia
Ada di sini
Bahagia bisa mempunyai banyak teman
Bahagia mempunyai guru-guru seperti mereka

Tanpa mereka hadir di kehidupanku
Tak akan menjadi aku seperti ini
Aku tak akan tahu berbagai pembelajaran
Dan aku tak akan berdiri tegak di sini

Aku bahagia di sini
Semoga sekolah ini tetap jaya
Dan menjadikan kebanggaan
Terima kasih SMANDA

Terima kasih sekolahku

KE KANTIN




“Ini anak laki-laki pada kemana?” tanyaku kepada siswa perempuan yang ada di kelas.

Tak ada laki-laki satupun di kelas ini. Siswa laki-laki yang berjumlah 8 tidak ada di tempat.

“Ke kantin Pak,” jawab mereka serentak
“Kapan mereka ke kantin?” tanyaku lebih lanjut
“Baru saja Pak, waktu bel ganti pelajaran,” jawab salah satu siswi
“Ini kan belum waktunya istirahat, belum waktunya ke kantin,” jelasku, “ya sudah kita mulai pelajaran kita.”

Aku mulai membagikan fotocopy-an materi pelajaran pada hari ini yaitu volonte dan pouvoir. Kubuka pelajaranku dengan sebuah dialog. Lalu kujelaskan tentang kata kerja vouloir dan pouvoir serta konjugasinya. Beberapa siswa mengajukan pertanyaan tentang infinitive yang mengikuti kata kerja pouvoir dan vouloir.

Setelah pelajaran berjalan kurang lebih 30 menit, 8 siswa datang. Mereka menyalamiku satu per satu.

“Dari mana kalian?” tanyaku pura-pura tidak tahu
“Dari kantin Pak,” jawab salah satu siswa
“Ini waktunya istirahat?” tanyaku lagi
“Bukan Pak,” jawab mereka
“Kenapa kalian ke kantin,”
“lapar Pak,” jawab mereka dengan jujur.
“Ini sudah 30 menit. Kalian tahu konsekuensinya masuk kelas terlambat?”
“Tahu Pak. Mendapat hukuman,”
“Kalian mau dihukum apa?” tanyaku

Tak ada jawaban.

“Suruh lari keliling lapangan Pak,” kata salah satu siswi
“Suruh jalan jongkok saja Pak,” kata siswi yang lain.
“Suruh push up Pak,”

“Saya tak mau menghukum fisik kepada kalian. Nanti saya melanggar undang-undang HAM dan perlindungan anak. Kalian minta surat ijin ke guru piket saja,” kataku
“Jangan Pak. Lebih baik lari keliling lapangan Pak 10 kali,” jawab salah satu siswa
“Tidak. Kalian minta surat ijin masuk ke guru piket,” kataku

Mereka menuruti perintahku. Mereka pergi keluar kelas. Aku menutup pintu dan melanjutkan pelajaran. 15 menit kemudian mereka kembali.

“Guru piketnya tidak ada Pak,” lapor salah satu siswa
“Jangan bohong. Guru piket kan ada 4. Kalian cari salah satunya. Pasti ada,” kataku
“Dihukum fisik saja sih Pak,” minta mereka
“Nah, benar kan. Kalian pasti belum ke guru piket. Sudah, sana cari guru piket. Kalian tak boleh masuk sebelum membawa surat ijin masuk,” kataku

Aku kembali melanjutkan pelajaran sampai selesai. Akan tetapi, siswa-siswa itu belum juga kembali.
Bel istirahat berbunyi. Ketika aku keluar kelas, mereka datang.

“Kemana saja kalian?” tanyaku
“Kami minta surat ijin ini Pak,” kata salah satu siswa sambil menyodorkan surat ijin masuk
“Kok lama sekali?” tanyaku
“Kan kami dihukum. Terus ngisi buku pelanggaran.”
“Dihukum apa kalian?” tanyaku
“Ini ada yang sabuknya disita, ada yang sepatunya disita karena tidak sesuai aturan. Terus kami harus menyanyikan lagu nasional Pak. Satu per satu. Jadi lama Pak. Pokoknya satu album full.

Rabu, 19 Oktober 2016

CERITA FIKSI : TAMU TERLARANG

“Wah, ketiwasan kita,” kata Badrul berbisik pada Sri, istrinya
“Ada apa Mas?” tanya Sri
“Orang itu tahu rahasia kita,” tambah Badrul
“Orang yang mana?” tanya Sri lebih lanjut
“Itu yang berbaju merah yang duduk menghadap utara,” jawab Badrul
“Yang rombongan ber-enam?”
“Iya” jawab Badrul singkat
“Memangnya dia bilang apa?”
“Dia tidak bilang apa-apa, tapi dia adalah tamu terlarang,”
“Kok Mas tahu dia tamu terlarang?” tanya Sri
“Iya. Lihatlah teman-temannya begitu menikmati masakan kita. Selera pedas yang kita tawarkan begitu nikmat bagi mereka. Dengarkan puja-puji mereka kepada masakan kita. Masakan kita lah yang terhebat, yang ternikmat di kota ini. Pedasnya menggoda. Tapi dia. Dia sama sekali tak merasakan kepedasan. Tak ada keringat mengalir. Tak ada ingus yang keluar dari hidungnya. Lihat wajahnya. Bersinar. Coba kamu dekati dia. Wangi. Wanginya bukan parfum. Kulitnya halus. Makannya seperti tidak dikunyah. Kita kecolongan. Dialah tamu terlarang. Dia tahu rahasia kita. Harusnya kita usir dia sebelum makan di sini. Gawat kalau dia menyebarkan rahasia kita ke semua orang. Restauran kita bisa gulung tikar. Bertahun-tahun kita buka restauran, baru kali ini kita kedatangan tamu seperti ini. Ini yang sudah diwanti-wanti jangan sampai terjadi,” jelas Badrul
“Terus bagaimana sekarang?” tanya Sri
“Suruh Juki mengencingi mobilnya sekarang, sebelum mereka pulang.” suruh Badrul kepada Sri, “cepaat.”
“Iya... aku ke sana,” kata Sri tergopoh-gopoh menuju Juki, tukang parkir.

#

“Juki, sini sebentar,” seru Sri
“Ada apa Mba Sri?” tanya Juki mendekat.
“Rombongan yang enam orang itu pakai mobil mana?” tanya Sri
“Enam yang mana?”
“Itu yang duduk di sebelah barat, pojok kanan,” jelas Sri sambil menunjuk ke arah rombongan itu.
“Oh itu, mobilnya Avanza hitam yang itu,” jawab Juki, “ada apa sih?”
“Ayo sini,” perintah Sri menuju mobilnya.
“Sekarang kamu kencingi mobil ini. Muter. Semuanya,” peritah Sri
“Kencingi?”
“Iya dikencingi,” paksa Sri

Juki heran dengan perintah aneh ini.

“Sudah, cepetan,” paksa Sri
“Aku baru saja kencing. Nggak bisa keluar lagi,” kata Juki sambil meringis
“Jiamput... kamu panggil Jenal,”

Juki berlari menghubungi Jenal, tukang parkir luar.

“Ada apa Mba Sri?” tanya Jenal tergopoh-gopoh
“Kamu sudah kencing belum?”
“Belum, kok nanyanya aneh. Ada apa sih mba?”
“Nggak usah banyak nanya. Sekarang kamu kencingi mobil ini. Cepetan. Selak yang punya datang,” perintah Sri
“Eh, ora ilok lho mba. Kencing nggak boleh sembarangan. Bisa kesambet.” Jawab Jenal
“Kamu pingin tak pecat ya?,”
“Jangan dipecat mba, nanti aku nggak punya kerjaan lagi,” jawab Jenal ketakutan
“Makanya. Ayo lakukan sekarang. Kencingi mobil ini sekarang,” paksa Sri
“Aku malu mba. Banyak orang lihat,” elak Jenal.
“Juki, copot spanduk kampanye calon bupati di depan itu. Buat nutupi Jenal,”

Jenal naik ke pagar depan. Dalam sekejap, spanduk ukuran enam meter berhasil dia lepas.

“Cepat Jenal. Lakukan sekarang,” perintah Sri kepada jenal,”Juki kamu yang nutupi,”
“Mba Sri, sampeyan minggir. Jangan ngintip,” teriak Jenal
“Kurang ajar Mba Sri itu. Aku bisa kualat,” kata Jenal menggumam, ”Amit-amit jabang bayi. Jin setan lanang wedon sing podo kumpul. Aku ojo disebul. Aku mung gedibul. Nek arep manjing, manjingo ning awake Mba Sri,”

Jenal mengitari mobil dan Juki di belakangnya menutupinya.

#

“Mas, sini Mas,”
“Ada apa Pak?” tanya Juki
“Di sini banyak anjing ya?”
“Nggak ada Pak. Aman. Kalau kucing banyak di belakang. Kenapa Pak?” tanya Juki penasaran
“Nggak. Ini mobil saya kok kayak ada cairan. Baunya pesing.”
“Oh. Saya tidak tahu Pak, mungkin kena cipratan air di jalan,” jelas Juki
“Tapi kok pesing”
“Mungkin kecipratan kencing anjing Pak,” lanjut Juki
“Tolong Mas, bisa semprotin pakai air.”
“Tapi saya hanya tukang parkir Pak,” elak Juki
“Jangan khawatir,”

Juki menerima lembaran seratus ribu bergambar Soekarno Hatta.

“Beres Pak. Bapak-bapak duduk dulu di kursi di bawah pohon sana. Monggo.”, kata Juki yang dengan semangat mengambil selang, lalu disambungkan ke keran depan.

Sambil bersiul-siul menyanyikan lagu “Sayang”, Juki menyemperot seluruh bodi mobil Avanza hitam itu.


“Jenal... Jenal. Kalau bisa besok kamu kencingi semua mobil di sini,” kata Juki dalam hati. 

Senin, 17 Oktober 2016

CERITA FIKSI : KYAI BASYUNI DAN ANJINGNYA

Setelah sholat subuh dan nderes (membaca Al-Qur'an) sebentar, kyai Basyuni segera menyiapkan cangkul, caping. Hari masih sangat pagi. Beberapa anak ayam yang masih rabun dengan kegelapan sepagi ini berciap-ciap karena terpisah dari induknya. Sambil menunggu air mendidih di tungku untuk membuat segelas kopi hitam, kyai Basyuni berdandan dengan pakaian kebesarannya:  celana komprang hitam dan kemeja korpri lusuh pemberian menantunya.

Pakne, tolong apinya dibesarin,” kata Nyai Basyuni, istrinya yang sedang mengiris bawang merah untuk memasak sayur bening daun kelor.

Kyai Basyuni segera melaksanakan permintaan istrinya. Kayu bakar dimasukkan lebih dalam ke dalam tungku supaya apinya lebih besar. Terlihat asap putih mulai mengepul dari kukusan di dalam panci di tungku bagian depan.

Mbokne, ini kukusannya sudah mendidih. Berasnya di naikkan?” tanya Kyai Basyuni
“Iya. Tolong sekalian ya. Itu berasnya di atas risban,” kata Nyai Basyuni lagi.

Dengan sigap, kyai Basyuni memasukkan beras yang sudah dipesusi (dicuci) ke dalam kukusan. Air di ceret besar di tungku bagian belakang sudah mulai bergolak. Segera, kyai Basyuni mengangkatnya untuk menuang gelas yang sudah berisi kopi hitam dan sepotong gula jawa.

“Mbokne ndak ngopi sekalian?” tanya kyai Basyuni
“Nanti aja. Ini masih banyak kerjaan. Kalau dibuat sekarang  nanti dingin. Jadi ndak sedep,” jawab Nyai Basyuni.

Setelah menyeruput kopinya sekali, Kyai Basyuni mengeluarkan slepi (tempat untuk menyimpan bahan peralatan untuk membuat rokok, biasanya terbuat dari anyaman daun pandan) dari laci meja. Secarik kertas tipis ukuran 10 x 5 cm cap “Sembadra” digelar. Tembakau pemberian Liem Gin Nio sahabatnya diletakkan di atasnya. Diakhiri sengan taburan kemenyan dan irisan kelembak. ‘Sembadra’ dilinting dan diputar terguling-guling.  Kertas di ujung yang lebih besar dibanding ujung yang lain ditutupkan supaya tembakaunya tidak jatuh. Kyai Basyuni segera menyalakan rokok lintingannya, disedot dalam-dalam. Asap putih membumbung keluar pelan-pelan dari mulutnya.

“Aku berangkat dulu mbokne,” kata kyai Basyuni berpamitan kepada istrinya.
“Iya, hati-hati Pakne,” jawab Nyai Basyuni.
“Ayo Pleki, kita berangkat,” kata kyai Basyuni sambil membuka kurungan. Seekor anjing warna coklat keluar dari kurungan dan menyalak dua kali seakan tahu kata-kata tuannya.

Pleki adalah seekor anjing yang telah 2 tahun dipelihara oleh kyai Basyuni. Kyai Basyuni menemukannya di (parit dekat sawahnya. Saat ditemukan, Pleki dalam keadaan terluka. Kakinya patah dan tak bisa berjalan. Kyai Basyuni yang merasa kasihan membawanya ke rumah dan diobati. Setelah sembuh, ia menjadi teman setia kyai Basyuni yang menemaninya pergi ke sawah.

Di sawah, Pleki berlari-lari di pematang mengejar belalang yang terbangun kaget dan terbang. Sementara itu, Kyai Basyuni matun (menyiangi rumput yang tumbuh di antara tanaman padi). Tiba-tiba Pleki menggonggong keras. Kyai Basyuni paham, Pleki menemukan lubang tikus yang masih berpenghuni. Kyai Basyuni segera mengayunkan cangkulnya untuk membongkar lubang tersebut. Pagi ini, Pleki sarapan dengan seekor tikus gemuk.

“Kamu lebih enak Pleki, jam segini sudah sarapan. Aku cuma ngopi sama ngrokok,” kata kyai Basyuni kepada Pleki.

Satu petak sawah sudah dibersihkan rumputnya. Tak terasa matahari mulai meninggi. Sinarnya mulai menyengat. Keringat kyai Basyuni mulai menetes di keningnya. Pleki sudah mendapatkan 2 ekor tikus pagi ini. Tikus kedua lebih kecil dan didapatkan Pleki karena lubangnya terkena deburan air dari kaki kyai Basyuni. Tak kalah dengan tuannya, Pleki duduk berpanas-panas di pematang menunggui tuannya selesai.

“Pakne, istirahat dulu,” teriak Nyai Basyuni dari gubuk di tepian sawah.
“Sebentar, sedikit lagi,” teriak Kyai Basyuni tak kalah keras.

Pleki segera berlari menuju Nyai Basyuni. Ia menggonggong sebentar menyambut Nyai Basyuni kemudian kembali lagi ke pematang dan menggonggong ke arah Kyai Basyuni.

“Iya Pleki, sebentar,” kata Kyai Basyuni

Kyai Basyuni segera membasuh tangannya di parit yang airnya jernih mengalir deras. Nyai Basyuni membuka tenong (wadah dari bambu) berisi nasi, sayur bening daun kelor, tempe goreng, ikan asin, sambal terasi dan jengkol muda dan mengambilkan sepiring nasi dari ceting bambu untuk suaminya.

“Wah, lengkap sekali mbokne,” komentar Kyai Basyuni
“Iya kebetulan tadi di warung ada jengkol, jadi sekalian kubuatkan sambal terasi,”

Dengan lahap, Kyai Basyuni menyantap hidangan di depannya. Nyai Basyuni hanya tersenyum memperhatikan suaminya.

“Nih Pleki buat kamu,” kata kyai Basyuni sambil melempar sepotong ikan asin ke Pleki. Pleki mengambil dan memakannya dengan lahap walaupun ia sudah menyantap 2 ekor tikus.
“Pakne... padinya sudah mulai berisi ya?” kata Nyai Basyuni
“Iya Mbokne, sudah ada satu dua yang berisi. Mudah-mudahan tidak kena wereng. Kalau panennya berhasil kan bisa ngasih uang saku cucu sama memperbaiki atap mushola. Sudah setahun atap bocor kok belum bisa memperbaiki. Harus ganti genting dan kayu usuknya,” kata Kyai Basyuni.
“Iya Pakne,” menyetujui pendapat Kyai Basyuni, ”oh iya Pakne, jama’ah mushola pada menanyakan kenapa kok Pakne tidak membuang Pleki saja. Soalnya kalau malam-malam menggonggong, mengganggu orang tidur. Lagi pula anjing kan najis,” sambung Nyai Basyuni.
“Kalau soal najis, dulu kan sudah pernah aku jelaskan, apa itu najis, jenis najis dan bagaimana cara membersihkannya. Kita kan selama ini tetap bisa memelihara badan kita dari najisnya si Pleki. Kalau yang mereka permasalahkan adalah gonggongannya, aku juga heran kenapa Pleki akhir-akhir ini sering menggonggong tengah malam. Sudah hampir satu bulan ini. Aku juga sering terbangun kalau Pleki menggonggong,” sesal Kyai Basyuni, “walaupun dengan gonggongannya aku jadi bisa tahajud.”

“Terus bagaimana Pakne?” tanya Nyai Basyuni
“Belum tahu Mbokne. Kalau kita buang, dibuang ke mana? Kalau mau kita jual, anjing kampung seperti itu siapa yang mau beli?” lanjut Kyai Basyuni.

Kyai Basyuni hanya bisa melamun sambil memandang langit. Sarapan pagi ini jadi agak hambar.

“Ya sudah Pakne, aku pulang dulu,” kata Nyai Basyuni sambil merapikan peralatan makan.

Kyai Basyuni memandangi Pleki dengan sedih. Betapa sudah dekatnya ia dengan anjingnya. Istrinya pulang. Kyai Basyuni melanjutkan menyiangi rumput di sawah sampai kira-kira pukul 10.00. Ini saatnya Kyai Basyuni istirahat. Nanti sore berangkat lagi sekitar pukul 15.00 atau ba’da asar.

“Sudah panas Pleki, aku pulang dulu,” kata Kyai Basyuni ke anjingnya.

Ia berjalan dengan gontai memikirkan masalah Pleki. Pleki menggonggong 2 kali melepas kepulangan tuannya. Ia tak pulang bersama tuannya. Ia tetap di sawah untuk mengejar-ngejar katak, tikus, atau ular sawah. Ia akan pulang bersama tuannya nanti sore.

Sesampai di rumah, Kyai Basyuni yang biasanya melakukan berbagai macam kegiatan, seperti membuat pagar, membersihkan kandang ayam, dan kegiatan rumah lainnya, kali ini hanya duduk di risban depan sambil ngopi dan ngrokok.

“Gimana Pakne? Kok Pakne melamun,” tegur Nyai Basyuni
“Lagi mikir yang tadi Mbokne sampaikan. Bagaimana solusi untuk Pleki,” kata Kyai Basyuni
“Kalau aku boleh usul, bagaimana kalau Pleki dibuatkan kandang yang rapat. Biar suaranya tidak terdengar ke tetangga,” usul Nyai Basyuni
“Iya betul. Ide bagus itu Mbokne,” jawab Kyai Basyuni dengan semangat.

Kyai Basyuni segera ke belakang rumah, mengambil papan-papan kayu, dan mulai membuat kandang untuk Pleki.

Pukul 14.30, kandang si Pleki sudah jadi.

“Sudah jadi Mbokne,” kata Kyai Basyuni kepada istrinya.
“Apa Pleki ndak keplepeken Pakne,” tanya Nyai Basyuni
“Ya ndak to. Ini kan ada lubang anginnya,” jawab Kyai Basyuni sambil menunjukkan 4 lubang kecil, 2 di sisi kanan dan 2 di sisi kiri.

Ba’da asar, Kyai Basyuni bersiap-siap kembali berangkat ke sawah. Ia mengambil celana komprang hitam dan kemeja korpri yang masih tergantung di jemuran. Celana dan kemeja ini selalu ia bilas dan jemur sepulang dari sawah di pagi hari. Walapun matahari tidak sepanah pagi hari, ia tetap memakai caping. Di pundak kanannya, ia memanggul cangkul. Itulah seragam kebesaran petani.

“Berangkat dulu ya Mbokne,” kata kyai Basyuni
“Iya Pakne,” jawab Kyai Basyuni

Dengan mantap Kyai Basyuni melangkahkan kakinya ke sawah. Ia membayangkan permasalahannya sudah selesai dengan selesainya kandang yang ia buat.

Sesampai di sawah, Kyai Basyuni tersenyum memandangi sawahnya yang subur dan hijau. Sebentar ia berjalan berkeliling melewati pematang sawahnya yang luasnya satu bahu. Tiba-tiba ia teringat Pleki. Kenapa Pleki tidak menyambutnya seperti biasanya? Kemana dia?

“Astaghfirullah...” teriak Kyai Basyuni melihat Pleki telah tergeletak di pematang sawah, "kenapa Pleki ini?". 

Pelipisnya robek, mulutnya pecah, dari hidungnya keluar darah, di perutnya tertancap sepotong bambu dan disampingnya, ada sepotong  kayu yang belepotan darah.

“Siapa yang melakukan ini?” tanyanya dalam hati

Kyai Basyuni terpaku. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya. Darahnya berdesir. Dicabutnya bambu yang menancap di perut Pleki. Di angkat kakinya. Sudah tak bergerak. Pleki mati. Kyai Basyuni tak mampu melanjutkan pekerjaan. Diambilnya beberapa daun sente (alicasia macrorrizha schott). Dibungkusnya tubuh Pleki. Kyai Basyuni pulang dengan gontai.

“Mbokne...mbokne,” panggil Kyai Basyuni dengan keras.

Istrinya yang sedang menyapu di depan segera menghampiri suaminya.

“Apa Pakne, kok sudah pulang?” tanya Nyai Basyuni.
“Lihat mbokne, Pleki dibunuh orang,” kata Kyai Basyuni sambil meletakkan tubuh Pleki di tanah.
“Inalillah... kok bisa Pakne. Siapa yang membunuh?” seru Nyai Basyuni
“Ndak tahu Mbokne,” jawab Kyai Basyuni lemas.

Kyai Basyuni menggali lubang di bawah pohon pisang untuk mengubur tubuh Pleki.

"Semoga kau dikumpulkan bersama anjingnya ashabul kahfi, Pleki."

Kyai Basyuni  masih merasa lemas. Setelah menggantungkan pakaian kebesarannya, tubuhnya disandarkan di risban. Ia ambil slepi untuk membuat rokok. Istrinya datang membawakan kopi hitam kesukaannya.

“Pakne, sudah tidak ada Pleki lagi, tidak ada lagi yang berburu tikus di sawah dan tidak ada lagi yang mengusir burung ketika padi sudah mulai menguning,” kata Nyai Basyuni
“Iya Mbokne,” jawab Kyai Basyuni sambil menyeruput kopi hitam buatan istrinya, "tak ada yang perlu disesali, semua ada hikmahnya."
“Iya Pakne,” timpal Nyai Basyuni.

#

Seminggu kemudian,

“Pak Kyai, kenapa akhir-akhir ini banyak pencurian ya?” tanya salah satu jama’ah shalat maghrib.

Minggu, 16 Oktober 2016

PR

Alasan guru memberikan PR kepada siswa:

1.       Agar siswa belajar di rumah
2.       Agar materi pelajaran bisa dikuasai dengan baik.
3.       Membiasakan siswa mengulang kembali pelajaran
4.       Memupuk tanggung jawab
5.       Mewujudkan disiplin siswa
6.       Mengukur kemampuan diri siswa

Efek pemberian PR kepada siswa:
1.       Siswa rajin:
a.       Mengerjakan dengan baik.
b.      Rajin belajar walaupun tak ada PR.
c.       Tak pernah bermasalah dengan pelajaran
d.      Dijamin naik kelas.
2.       Siswa agak rajin
a.       Mengerjakan dengan baik.
b.      Belajar kalau ada PR (hanya untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang ada di PR)
c.       Kadang ada beberapa mata pelajaran yang remidi.
d.      Naik kelas.
3.       Siswa kurang rajin
a.       Tidak mengerjakan PR.
b.      Meminta contekan PR kepada siswa yang pintar atau sedang (via WA, BBM,fb, instagram, diphoto lalu disalin). Tidak paham dengan pertanyaan dan jawaban PR, yang penting menyalin jawaban.
c.       Tidak pernah belajar tapi kelihatan rajin belajar karena selalu mengerjakan PR.
d.      Banyak mata pelajaran yang remidi.
4.       Siswa malas
a.       Tidak akan minta contekan PR kepada temannya via medsos. Hemat pulsa dan kuota. Besok pagi, kalau sempat dia menyalin jawaban punya teman di kelas. Kalau lupa, dia sudah terbiasa dengan hukuman.
b.      Tidak pernah belajar dan kelihatan tak pernah belajar.
c.       Walaupun tak pernah belajar tapi dia pandai dan terlatih membuat surat pernyataan “akan selalu mengerjakan tugas”.

d.      Posisi aman untuk naik kelas hanya mengandalkan absensi yang lengkap dan mengikuti remidi seluruh mata pelajaran.

Sabtu, 15 Oktober 2016

HUKUMAN MENULIS JANJI

“Tumben, mereka sudah duduk tenang di kursinya masing-masing,” kataku dalam hati ketika aku memasuki sebuah kelas pada jam ke 5-6 setelah istirahat pertama.
“Bonjour,” sapaku
“Bonjour,” jawab mereka tanpa gairah
“Serius amat,” kataku melihat mereka semua nampak sibuk menulis sesuatu.
“Ayo buka bacaan kalian yang kemarin. “Au restaurant”nya kita lanjutkan.
“Pak, Maafkan kami Pak. Kami minta waktu untuk menulis ini Pak. Please ya Pak...please,” kata Davi, salah satu siswa dengan memohon-mohon.
“Apa ini?” tanyaku mengambil beberapa lembar kertas folio bergaris di mejanya. Ternyata, semua siswa juga sedang berkutat dengan lembaran-lembaran folio bergaris.
“Hukuman Pak. Kami harus menuliskan kata-kata ini sebanyak 8 halaman folio Pak. Harus dikumpulkan pada istirahat kedua. Kalau tidak selesai hukumannya akan ditambah. Ini saja baru selesai 1 halaman. Kami juga tidak sempat istirahat hanya untuk menulis ini Pak,” jelasnya.

Istirahat kedua adalah tepat setelah pelajaranku selesai. Artinya, mereka tak mungkin dapat menyelesaikan hukumannya tanpa menyita jam pelajaranku. Kulihat mereka semua menuliskan kalimat yang sama berulang-ulang : “Saya berjanji akan selalu mengerjakan tugas”.

“Kenapa kalian dihukum seperti ini?”
“Tidak mengerjakan PR Pak,” jawabnya
“Sekelas?”
“Iya Pak,”
“Hebat kalian ya. Kompak sekali,” kataku, “tapi sekarang kan sudah ganti pelajaran. Ayo hentikan dulu hukuman kalian.”
“Ya Alloh Pak. Please Pak, beri kami waktu Pak. Nanti hukuman kami tambah berat.”
“Kenapa kalian tidak menjalankan hukuman pas pelajaran tadi,”
“Lha hukuman ini baru saja diberikan waktu mau istirahat,”

Aku diam sejenak. Kutarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberi waktu untuk mereka?

“Tolong kami Pak,” desak mereka serempak.

Kutambah diamku. Agak lama.

“Baiklah. Satu jam pelajaran saja,” kataku

Entah tindakanku memberi mereka waktu ini benar atau salah. Yang pasti, tndakan ini mengandung resiko: (1) materi pelajaranku terpotong karena durasi waktu yang berkurang, (2) Aku dianggap kurang tegas dan kurang disiplin, (3) aku dianggap memihak pada orang-orang yang bersalah, (4) aku mungkin salah paham: mungkin saja maksud guru yang memberikan hukuman adalah supaya hukuman itu tidak selesai dan beliau mempunyai dalih untuk menambah hukumannya.

Tapi entah ada dorongan, pengaruh atau hipnotis apa yang menyebabkan aku menuruti keinginan para siswa yang terhukum ini.

“Siap Pak. Terima kasih Pak.” Kata mereka serempak.

Tapi jangan bilang ke siapa-siapa ya....

Kelaparan
Waktu berjalan 20 menit. Belum tampak tanda-tanda mereka selesai menulis hukuman itu.

“Maaf Pak. Saya minta ijin ke kantin. Soalnya dari pagi saya belum sarapan. Istirahat juga tidak bisa ke kantin,” kata Intan, salah satu siswa yang subur makmur sentosa yang selalu tak tahan lapar.
“Saya juga minta ijin Pak,” kata Anaf

Lama-lama ngelunjak juga nih anak. Sudah dikasih hati malah ngrogoh rempelo.

“Ya nggak boleh to. Sekarang sedang jam efektif. Nggak ada siswa yang ke kantin,” jawabku
“Tapi kami kelaparan Pak,” jawab beberapa siswa.
“Begini saja, salah satu saja yang ke kantin. Yang lain nitip,”

Kali ini, kesibukan mereka beralih sebentar untuk menuliskan pesanan dan menyetorkan uang kepada Anaf. 17 es teh,  5 teh hangat dan 23 gorengan. Karena titipan mereka terlalu banyak akhirnya Anaf dan Madi yang ditugaskan berbelanja ke kantin.

Sambil menunggu titipan mereka datang, mereka melanjutkan menulis hukuman.

Cekung dan Gelap
Iseng aku melihat-lihat cara kerja mereka menyelesaikan hukuman. Sambil menggendong tangan, aku berkeliling seperti pengawas ujian meneliti satu per satu hasil ujiannya.

“Lihat Pak,” kata Lia sambil menunjukkan ujung jari telunjuk dan jempol bagian dalam yang nampak cekung dan gelap.
“oh.. kok sampai begitu ya?” kataku agak kaget.
“Iya Pak. Ini sakit Pak,” jawabnya
“Makanya jangan sampai dihukum seperti ini lagi,” kataku.

Berbagai macam kaidah menulis
Berbagai cara mereka lakukan agar mereka dapat menulis dengan cepat. Salah satunya adalah menulis ala Jepang yaitu dari atas ke bawah.

Contohnya:
Saya berjanji akan selalu mengerjakan  tugas
Saya berjanji akan selalu mengerjakan  
Saya berjanji akan selalu
Saya berjanji akan selalu
Saya berjanji akan
Saya berjanji akan
Saya berjanji akan
Saya berjanji
Saya berjanji
Saya berjanji
Saya berjanji
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya
Saya

Selain cepat, tulisan tersebut kadang juga membentuk pola-pola tertentu yang menarik.

Tapi tulisan seperti ini jangan ditiru. Kalau Anda menemukan tulisan ini di manapun berada, ini bukan tulisan ala jepang.


Ini adalah tulisan siswa yang dihukum karena tidak mengerjakan tugas dari gurunya.

UNGGAS LOKAL

Harian KOMPAS tanggal 13 Oktober 2016 pada halaman 20 menerbitkan artikel berjudul “Perunggasan: Ayam Kampung Bisa Jadi Produk Ekspor, Ayam Kedu Termahal di Dunia”. Di dalam artikel tersebut ditulis pernyataan Ketua Umum Perhimpunan Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) Ade M. Zulkarnaen bahwa di restauran papan atas di Amerika Serikat dan Eropa, sajian ayam kedu masuk dalam daftar makanan termahal di dunia. Sajian daging ayam cemani mencapai 2.500 dollar AS.

Ayam kedu yang terdiri dari ayam kedu hitam, kedu putih, kedu blorok, kedu merah, dan cemani kini menjadi unggas prioritas untuk dikembangkan. Sejak 2011, bermunculan usaha pembibitan dengan produksi 100.000-200.000 bibit ayam kampung (day old chicken) per bulan. Ayam kampung bisa menjadi produk ekspor andalan Indonesia.

Kenyataan ini menggambarkan bahwa produk lokal Indonesia sebenarnya sangat dihargai oleh orang luar negeri. Akan tetapi karena arah pembangunan dan pengembangan bangsa ini Western Oriented maka sejak awal kita mengembangkan sesuatu yang berbau kebarat-baratan. Internet, Handphone, Mobil, Sepeda Motor dan produk-produk elektronik menjadi orientasi utama kita dalam mengembangkan diri dan mencari pekerjaan. Sedangkan sumber daya alam yang telah kita miliki terbengkalai. Silahkan disurvey, berapa remaja atau generasi muda yang mempunyai orientasi dalam bidang pertanian, peternakan dan perkebunan. Bandingkan dengan oerientasi mereka terhadap teknologi informasi, elektronik, kendaraan dan produk barat lainnya.

Merujuk pada artikel Kompas tersebut, mengapa kita tidak pernah berpikir untuk mengembangkan potensi unggas yang kita miliki, misalnya mengembangkan burung kakatua, merak atau burung cenderawasih untuk diekspor? Selama ini kita memelihara burung hanya untuk dinikmati. Untuk dipajang dan dilombakan, Bukan sebagai orientasi kita untuk mendapatkan penghasilan apalagi di ekspor.


Ayam cemani saja berharga Rp. 2.500 dollar AS. Berapa harga merak goreng, cenderawasih panggang atau sate kakaktua?

Selasa, 11 Oktober 2016

VIDEO YANG MEMALUKAN

Tadi malam aku tersentak kaget melihat sebuah video di instagram yang mengatasnamakan sekolahku. Video berdurasi  1 menit 5 detik itu menampakkan kegiatanku mengajar. Dalam video itu, tergambar dengan jelas bahwa kondisi belajar yang jauh dari kewajaran. Para siswa menempati tempat yang tidak pada tempatnya. Ada yang duduk di kursi dengan tertib. Ada yang menggerombol di depan, di bawah papan tulis. Ada yang sambil tiduran di sisi kanan sambil membuka laptop. Semuanya nampak kacau sementara aku di depan seperti bicara sendiri tanpa ada yang mendengarkan. Semua anak sibuk dengan handphone-nya sendiri-sendiri. Ditambah ada suara yang muncul di dalam video tersebut “Pelajaran Bahasa Perancis poo ora koyok pelajaran”.

Semua yang terjadi di dalam video tersebut menunjukkan bahwa guru yang sedang mengajar tidak bisa mengendalikan siswanya dan tidak peduli dengan siswanya. “Wis, pokoke ora pantes dadi guru.”

“Ya Alloh. Kenapa jadi begini?” kataku dalam hati seraya mengulangi tayangan video tersebut.

Aku masih ingat kejadian seperti yang tergambar dalam video tersebut. Kejadian tersebut terjadi di kelas XII IIS 3 tahun lalu. Siswa-siswa yang ada dalam video tersebut sekarang sudah lulus.

Dalam pelajaran bahasa Perancis, terkadang aku memenfaatkan teknologi internet untuk mendukung pembelajaran. Dalam beberapa kesempatan, para siswa aku suruh untuk mencari informasi atau mengunduh materi pelajaran yang saat itu sedang aku ajarkan. Untuk itu, para siswa memanfaatkan handphone android dan laptop untuk melaksanakan tugasku. Sayangnya, wi-fi yang ada di kelas XII IIS 3 agak lemot. Sinyalnya kurang kuat. Setiap kuminta untuk membuka internet, mereka selalu mengeluh. Mereka meminta untuk membuka internet di luar kelas atau di Hall.

“Di luar agak cepat Pak” itu alasan yang mereka katakan.

Akan tetapi aku tidak pernah menyetujuinya karena kegiatan di luar kelas akan mengganggu kelas sebelahnya. Sedangkan di Hall terlalu ramai untuk melakukan kegiatan pembelajaran.

“Kalau di depan agak cepat Pak. Kalau boleh kami membuka internet di depan Pak, di dekat pintu situ.”

Bagiku asalkan tujuan tercapai, why not. Maka aku persilahkan mereka untuk maju ke depan kelas melakukan kegiatannya.

“Yang hp-nya jadul, silahkan bergabung dengan temannya. Yang mau pakai laptop silahkan. Yang mau menghabiskan kuota sendiri silahkan,” kataku

Dengan kondisi wifi yang belum stabil, kondisi mereka benar-benar seperti yang ada di video tersebut. Beberapa siswa perempuan duduk di depan kelas. Ada yang membuka laptop sambil tiduran di lantai. Ada yang asyik dengan hp-nya sendiri karena kuotanya penuh.

Sembari mereka mengunduh dan mencari informasi tentu saja aku tidak diam. Aku menyelingi dengan sedikit penjelasan atau menjawab pertanyaan dari mereka yang belum paham.

Seingatku, aku tidak hanya sekali melakukan pembelajaran menggunakan internet seperti ini. Ada beberapa tema yang mengharuskanku untuk melakukannya dengan memanfaatkan teknologi IT : wisata Perancis (le tourisme francais), wisata Batang (le tourisme à Batang), les sports en France, dan les passe-temps.

Akan tetapi, apa yang ada di dalam video tersebut tidak akan terhapus oleh alasan apapun apalagi oleh tulisan kecil ini. Video itu tetap memalukan.


Senin, 10 Oktober 2016

BEDAH RAPBS

Bedah RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) sekolahku dilaksanakan pada hari Senin tanggal 10 Oktober 2016 sepulang sekolah yaitu dimulai pada pukul 14.00. Kegiatan yang memaparkan rencana penerimaan dan penggunaan keuangan sekolah ini dimoderatori langsung oleh Bapak Kepala Sekolah. Sedangkan penyampai materinya adalah Tim RAPBS.

Sejak sekolahku berdiri tahun 2000, baru kali ini diadakan pemaparan RAPBS di sekolahku. Ini adalah sebuah terobosan pengelolaan keuangan secara transparan. Maka dengan mengusung niat untuk memajukan sekolah, kegiatan ini dilaksanakan. Kegiatan ini membedah seluruh rencana penggunaan keuangan sekolah yang terdiri dari uang Komite dan OSIS, SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi), dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Dengan adanya transparansi anggaran, diharapkan seluruh komponen sekolah mengetahui dan turut mengawasi keuangan sekolah dan penggunaannya.

Untuk mendukung transparansi keuangan ini, maka tugas Tim Pengadaan Barang, Tim Pemeriksa Barang, dan Tim Pengurus Barang diperkuat. Tim-Tim ini beranggotakan para guru dan staf Tata Usaha. Dengan menjalin kerjasama dengan bendahara SPI, bendahara Komite, bendahara BOS, para wakil kepala sekolah, kepala sekolah serta komite sekolah, tim-tim ini mempunyai tugas untuk mengelola seluruh barang yang ada di sekolah.

Kegiatan yang berakhir pada pukul 17.30 ini diharapkan mampu menumbuhkan semangat terhadap seluruh komponen sekolah untuk saling mempercayai dan saling mendukung demi kemajuan sekolah.

Ternyata transparasi keuangan bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Hanya perlu sedikit keberanian untuk melakukannya. Keberanian untuk menunjukkan kejujuran. Kejujuran akan menumbuhkan kepercayaan. Kepercayaan akan membuahkan dukungan. Dukungan pasti menciptakan kemajuan. Amin.