Setelah sholat subuh dan nderes (membaca Al-Qur'an) sebentar, kyai Basyuni
segera menyiapkan cangkul, caping. Hari masih sangat pagi. Beberapa anak ayam
yang masih rabun dengan kegelapan sepagi ini berciap-ciap karena
terpisah dari induknya. Sambil menunggu air mendidih di tungku untuk membuat segelas kopi hitam, kyai Basyuni berdandan dengan pakaian
kebesarannya: celana komprang hitam dan kemeja
korpri lusuh pemberian menantunya.
“Pakne, tolong apinya dibesarin,” kata Nyai
Basyuni, istrinya yang sedang mengiris bawang merah untuk memasak sayur bening
daun kelor.
Kyai Basyuni segera melaksanakan permintaan istrinya. Kayu
bakar dimasukkan lebih dalam ke dalam tungku supaya apinya lebih besar. Terlihat
asap putih mulai mengepul dari kukusan di dalam panci di tungku bagian depan.
“Mbokne, ini kukusannya sudah mendidih. Berasnya di
naikkan?” tanya Kyai Basyuni
“Iya. Tolong sekalian ya. Itu berasnya di atas risban,”
kata Nyai Basyuni lagi.
Dengan sigap, kyai Basyuni memasukkan beras yang sudah dipesusi (dicuci) ke dalam kukusan. Air di ceret besar di tungku bagian belakang sudah mulai
bergolak. Segera, kyai Basyuni mengangkatnya untuk menuang gelas yang sudah
berisi kopi hitam dan sepotong gula jawa.
“Mbokne ndak ngopi sekalian?” tanya kyai Basyuni
“Nanti aja. Ini masih banyak kerjaan. Kalau dibuat sekarang nanti dingin. Jadi ndak sedep,” jawab Nyai
Basyuni.
Setelah menyeruput kopinya sekali, Kyai Basyuni mengeluarkan
slepi (tempat untuk menyimpan bahan peralatan untuk membuat rokok,
biasanya terbuat dari anyaman daun pandan) dari laci meja. Secarik
kertas tipis ukuran 10 x 5 cm cap “Sembadra” digelar. Tembakau pemberian Liem
Gin Nio sahabatnya diletakkan di atasnya. Diakhiri sengan taburan kemenyan dan
irisan kelembak. ‘Sembadra’ dilinting dan diputar terguling-guling. Kertas di ujung yang lebih besar dibanding
ujung yang lain ditutupkan supaya tembakaunya tidak jatuh. Kyai Basyuni segera
menyalakan rokok lintingannya, disedot dalam-dalam. Asap putih membumbung
keluar pelan-pelan dari mulutnya.
“Aku berangkat dulu mbokne,” kata kyai Basyuni berpamitan
kepada istrinya.
“Iya, hati-hati Pakne,” jawab Nyai Basyuni.
“Ayo Pleki, kita berangkat,” kata kyai Basyuni sambil
membuka kurungan. Seekor anjing warna coklat keluar dari kurungan dan menyalak
dua kali seakan tahu kata-kata tuannya.
Pleki adalah seekor anjing yang telah 2 tahun dipelihara
oleh kyai Basyuni. Kyai Basyuni menemukannya di (parit dekat sawahnya.
Saat ditemukan, Pleki dalam keadaan terluka. Kakinya patah dan tak bisa
berjalan. Kyai Basyuni yang merasa kasihan membawanya ke rumah dan diobati.
Setelah sembuh, ia menjadi teman setia kyai Basyuni yang menemaninya pergi ke
sawah.
Di sawah, Pleki berlari-lari di pematang mengejar belalang
yang terbangun kaget dan terbang. Sementara itu, Kyai Basyuni matun (menyiangi
rumput yang tumbuh di antara tanaman padi). Tiba-tiba Pleki menggonggong
keras. Kyai Basyuni paham, Pleki menemukan lubang tikus yang masih berpenghuni.
Kyai Basyuni segera mengayunkan cangkulnya untuk membongkar lubang tersebut.
Pagi ini, Pleki sarapan dengan seekor tikus gemuk.
“Kamu lebih enak Pleki, jam segini sudah sarapan. Aku cuma ngopi
sama ngrokok,” kata kyai Basyuni kepada Pleki.
Satu petak sawah sudah dibersihkan rumputnya. Tak terasa matahari mulai meninggi. Sinarnya mulai menyengat. Keringat
kyai Basyuni mulai menetes di keningnya. Pleki sudah mendapatkan 2 ekor tikus
pagi ini. Tikus kedua lebih kecil dan didapatkan Pleki karena lubangnya terkena
deburan air dari kaki kyai Basyuni. Tak kalah dengan tuannya, Pleki duduk
berpanas-panas di pematang menunggui tuannya selesai.
“Pakne, istirahat dulu,” teriak Nyai Basyuni dari gubuk di tepian
sawah.
“Sebentar, sedikit lagi,” teriak Kyai Basyuni tak kalah
keras.
Pleki segera berlari menuju Nyai Basyuni. Ia menggonggong
sebentar menyambut Nyai Basyuni kemudian kembali lagi ke pematang dan
menggonggong ke arah Kyai Basyuni.
“Iya Pleki, sebentar,” kata Kyai Basyuni
Kyai Basyuni segera membasuh tangannya di parit yang airnya
jernih mengalir deras. Nyai Basyuni membuka tenong (wadah dari bambu) berisi nasi, sayur bening
daun kelor, tempe goreng, ikan asin, sambal terasi dan jengkol
muda dan mengambilkan sepiring nasi dari ceting bambu untuk suaminya.
“Wah, lengkap sekali mbokne,” komentar Kyai Basyuni
“Iya kebetulan tadi di warung ada jengkol, jadi sekalian
kubuatkan sambal terasi,”
Dengan lahap, Kyai Basyuni menyantap hidangan di depannya.
Nyai Basyuni hanya tersenyum memperhatikan suaminya.
“Nih Pleki buat kamu,” kata kyai Basyuni sambil melempar
sepotong ikan asin ke Pleki. Pleki mengambil dan memakannya
dengan lahap walaupun ia sudah menyantap 2 ekor tikus.
“Pakne... padinya sudah mulai berisi ya?” kata Nyai
Basyuni
“Iya Mbokne, sudah ada satu dua yang berisi. Mudah-mudahan
tidak kena wereng. Kalau panennya berhasil kan bisa ngasih uang saku cucu sama
memperbaiki atap mushola. Sudah setahun atap bocor kok belum bisa memperbaiki. Harus ganti genting dan kayu usuknya,” kata Kyai Basyuni.
“Iya Pakne,” menyetujui pendapat Kyai Basyuni, ”oh iya Pakne,
jama’ah mushola pada menanyakan kenapa kok Pakne tidak membuang Pleki saja.
Soalnya kalau malam-malam menggonggong, mengganggu orang tidur. Lagi pula
anjing kan najis,” sambung Nyai Basyuni.
“Kalau soal najis, dulu kan sudah pernah aku jelaskan, apa
itu najis, jenis najis dan bagaimana cara membersihkannya. Kita kan selama ini
tetap bisa memelihara badan kita dari najisnya si Pleki. Kalau yang mereka permasalahkan adalah gonggongannya, aku juga heran kenapa Pleki akhir-akhir ini sering
menggonggong tengah malam. Sudah hampir satu bulan ini. Aku juga sering
terbangun kalau Pleki menggonggong,” sesal Kyai Basyuni, “walaupun dengan
gonggongannya aku jadi bisa tahajud.”
“Terus bagaimana Pakne?” tanya Nyai Basyuni
“Belum tahu Mbokne. Kalau kita buang, dibuang ke mana? Kalau
mau kita jual, anjing kampung seperti itu siapa yang mau beli?” lanjut Kyai
Basyuni.
Kyai Basyuni hanya bisa melamun sambil memandang langit. Sarapan pagi ini jadi agak hambar.
Kyai Basyuni hanya bisa melamun sambil memandang langit. Sarapan pagi ini jadi agak hambar.
“Ya sudah Pakne, aku pulang dulu,” kata Nyai Basyuni sambil merapikan peralatan makan.
Kyai Basyuni memandangi Pleki dengan sedih. Betapa sudah dekatnya ia dengan anjingnya. Istrinya pulang. Kyai Basyuni melanjutkan menyiangi rumput di sawah sampai kira-kira pukul 10.00. Ini saatnya Kyai Basyuni istirahat. Nanti sore berangkat lagi sekitar pukul 15.00 atau ba’da asar.
“Sudah panas Pleki, aku pulang dulu,” kata Kyai Basyuni ke anjingnya.
Ia berjalan dengan gontai memikirkan masalah Pleki. Pleki menggonggong 2 kali melepas kepulangan tuannya. Ia tak pulang bersama tuannya. Ia tetap di sawah untuk mengejar-ngejar katak, tikus, atau ular sawah. Ia akan pulang bersama tuannya nanti sore.
Sesampai di rumah, Kyai Basyuni yang biasanya melakukan
berbagai macam kegiatan, seperti membuat pagar, membersihkan kandang ayam, dan
kegiatan rumah lainnya, kali ini hanya duduk di risban depan sambil
ngopi dan ngrokok.
“Gimana Pakne? Kok Pakne melamun,” tegur Nyai Basyuni
“Lagi mikir yang tadi Mbokne sampaikan. Bagaimana solusi
untuk Pleki,” kata Kyai Basyuni
“Kalau aku boleh usul, bagaimana kalau Pleki dibuatkan
kandang yang rapat. Biar suaranya tidak terdengar ke tetangga,” usul Nyai
Basyuni
“Iya betul. Ide bagus itu Mbokne,” jawab Kyai Basyuni dengan
semangat.
Kyai Basyuni segera ke belakang rumah, mengambil papan-papan
kayu, dan mulai membuat kandang untuk Pleki.
Pukul 14.30, kandang si Pleki sudah jadi.
“Sudah jadi Mbokne,” kata Kyai Basyuni kepada istrinya.
“Apa Pleki ndak keplepeken Pakne,” tanya Nyai Basyuni
“Ya ndak to. Ini kan ada lubang anginnya,” jawab Kyai
Basyuni sambil menunjukkan 4 lubang kecil, 2 di sisi kanan dan 2 di sisi kiri.
Ba’da asar, Kyai Basyuni bersiap-siap kembali berangkat ke
sawah. Ia mengambil celana komprang hitam dan kemeja korpri yang masih
tergantung di jemuran. Celana dan kemeja ini selalu ia bilas dan jemur sepulang
dari sawah di pagi hari. Walapun matahari tidak sepanah pagi hari, ia tetap
memakai caping. Di pundak kanannya, ia memanggul cangkul. Itulah seragam
kebesaran petani.
“Berangkat dulu ya Mbokne,” kata kyai Basyuni
“Iya Pakne,” jawab Kyai Basyuni
Dengan mantap Kyai Basyuni melangkahkan kakinya ke sawah. Ia
membayangkan permasalahannya sudah selesai dengan selesainya kandang yang ia
buat.
Sesampai di sawah, Kyai Basyuni tersenyum memandangi sawahnya yang subur dan hijau. Sebentar ia berjalan berkeliling melewati pematang sawahnya yang luasnya satu bahu. Tiba-tiba ia teringat Pleki. Kenapa Pleki tidak menyambutnya seperti biasanya? Kemana dia?
Sesampai di sawah, Kyai Basyuni tersenyum memandangi sawahnya yang subur dan hijau. Sebentar ia berjalan berkeliling melewati pematang sawahnya yang luasnya satu bahu. Tiba-tiba ia teringat Pleki. Kenapa Pleki tidak menyambutnya seperti biasanya? Kemana dia?
“Astaghfirullah...” teriak Kyai Basyuni
melihat Pleki telah tergeletak di pematang sawah, "kenapa Pleki ini?".
Pelipisnya robek, mulutnya
pecah, dari hidungnya keluar darah, di perutnya tertancap sepotong bambu dan disampingnya,
ada sepotong kayu yang belepotan darah.
“Siapa yang melakukan ini?” tanyanya dalam hati
Kyai Basyuni terpaku. Tak ada kata-kata yang bisa keluar
dari mulutnya. Darahnya berdesir. Dicabutnya bambu yang menancap di perut
Pleki. Di angkat kakinya. Sudah tak bergerak. Pleki mati. Kyai Basyuni tak
mampu melanjutkan pekerjaan. Diambilnya beberapa daun sente (alicasia macrorrizha schott). Dibungkusnya
tubuh Pleki. Kyai Basyuni pulang dengan gontai.
“Mbokne...mbokne,” panggil Kyai Basyuni dengan keras.
Istrinya yang sedang menyapu di depan segera menghampiri
suaminya.
“Apa Pakne, kok sudah pulang?” tanya Nyai Basyuni.
“Lihat mbokne, Pleki dibunuh orang,” kata Kyai Basyuni
sambil meletakkan tubuh Pleki di tanah.
“Inalillah... kok bisa Pakne. Siapa yang membunuh?” seru Nyai
Basyuni
“Ndak tahu Mbokne,” jawab Kyai Basyuni lemas.
Kyai Basyuni menggali lubang di bawah pohon pisang untuk
mengubur tubuh Pleki.
"Semoga kau dikumpulkan bersama anjingnya ashabul kahfi, Pleki."
Kyai Basyuni masih
merasa lemas. Setelah menggantungkan pakaian kebesarannya, tubuhnya disandarkan
di risban. Ia ambil slepi untuk membuat rokok. Istrinya datang
membawakan kopi hitam kesukaannya.
“Pakne, sudah tidak ada Pleki lagi, tidak ada lagi yang berburu tikus di sawah dan tidak ada lagi yang mengusir burung ketika padi sudah mulai menguning,” kata
Nyai Basyuni
“Iya Mbokne,” jawab Kyai Basyuni sambil menyeruput kopi
hitam buatan istrinya, "tak ada yang perlu disesali, semua ada hikmahnya."
“Iya Pakne,” timpal Nyai Basyuni.
#
Seminggu kemudian,
“Pak Kyai, kenapa akhir-akhir ini banyak pencurian ya?”
tanya salah satu jama’ah shalat maghrib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar