alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Senin, 17 Oktober 2016

CERITA FIKSI : KYAI BASYUNI DAN ANJINGNYA

Setelah sholat subuh dan nderes (membaca Al-Qur'an) sebentar, kyai Basyuni segera menyiapkan cangkul, caping. Hari masih sangat pagi. Beberapa anak ayam yang masih rabun dengan kegelapan sepagi ini berciap-ciap karena terpisah dari induknya. Sambil menunggu air mendidih di tungku untuk membuat segelas kopi hitam, kyai Basyuni berdandan dengan pakaian kebesarannya:  celana komprang hitam dan kemeja korpri lusuh pemberian menantunya.

Pakne, tolong apinya dibesarin,” kata Nyai Basyuni, istrinya yang sedang mengiris bawang merah untuk memasak sayur bening daun kelor.

Kyai Basyuni segera melaksanakan permintaan istrinya. Kayu bakar dimasukkan lebih dalam ke dalam tungku supaya apinya lebih besar. Terlihat asap putih mulai mengepul dari kukusan di dalam panci di tungku bagian depan.

Mbokne, ini kukusannya sudah mendidih. Berasnya di naikkan?” tanya Kyai Basyuni
“Iya. Tolong sekalian ya. Itu berasnya di atas risban,” kata Nyai Basyuni lagi.

Dengan sigap, kyai Basyuni memasukkan beras yang sudah dipesusi (dicuci) ke dalam kukusan. Air di ceret besar di tungku bagian belakang sudah mulai bergolak. Segera, kyai Basyuni mengangkatnya untuk menuang gelas yang sudah berisi kopi hitam dan sepotong gula jawa.

“Mbokne ndak ngopi sekalian?” tanya kyai Basyuni
“Nanti aja. Ini masih banyak kerjaan. Kalau dibuat sekarang  nanti dingin. Jadi ndak sedep,” jawab Nyai Basyuni.

Setelah menyeruput kopinya sekali, Kyai Basyuni mengeluarkan slepi (tempat untuk menyimpan bahan peralatan untuk membuat rokok, biasanya terbuat dari anyaman daun pandan) dari laci meja. Secarik kertas tipis ukuran 10 x 5 cm cap “Sembadra” digelar. Tembakau pemberian Liem Gin Nio sahabatnya diletakkan di atasnya. Diakhiri sengan taburan kemenyan dan irisan kelembak. ‘Sembadra’ dilinting dan diputar terguling-guling.  Kertas di ujung yang lebih besar dibanding ujung yang lain ditutupkan supaya tembakaunya tidak jatuh. Kyai Basyuni segera menyalakan rokok lintingannya, disedot dalam-dalam. Asap putih membumbung keluar pelan-pelan dari mulutnya.

“Aku berangkat dulu mbokne,” kata kyai Basyuni berpamitan kepada istrinya.
“Iya, hati-hati Pakne,” jawab Nyai Basyuni.
“Ayo Pleki, kita berangkat,” kata kyai Basyuni sambil membuka kurungan. Seekor anjing warna coklat keluar dari kurungan dan menyalak dua kali seakan tahu kata-kata tuannya.

Pleki adalah seekor anjing yang telah 2 tahun dipelihara oleh kyai Basyuni. Kyai Basyuni menemukannya di (parit dekat sawahnya. Saat ditemukan, Pleki dalam keadaan terluka. Kakinya patah dan tak bisa berjalan. Kyai Basyuni yang merasa kasihan membawanya ke rumah dan diobati. Setelah sembuh, ia menjadi teman setia kyai Basyuni yang menemaninya pergi ke sawah.

Di sawah, Pleki berlari-lari di pematang mengejar belalang yang terbangun kaget dan terbang. Sementara itu, Kyai Basyuni matun (menyiangi rumput yang tumbuh di antara tanaman padi). Tiba-tiba Pleki menggonggong keras. Kyai Basyuni paham, Pleki menemukan lubang tikus yang masih berpenghuni. Kyai Basyuni segera mengayunkan cangkulnya untuk membongkar lubang tersebut. Pagi ini, Pleki sarapan dengan seekor tikus gemuk.

“Kamu lebih enak Pleki, jam segini sudah sarapan. Aku cuma ngopi sama ngrokok,” kata kyai Basyuni kepada Pleki.

Satu petak sawah sudah dibersihkan rumputnya. Tak terasa matahari mulai meninggi. Sinarnya mulai menyengat. Keringat kyai Basyuni mulai menetes di keningnya. Pleki sudah mendapatkan 2 ekor tikus pagi ini. Tikus kedua lebih kecil dan didapatkan Pleki karena lubangnya terkena deburan air dari kaki kyai Basyuni. Tak kalah dengan tuannya, Pleki duduk berpanas-panas di pematang menunggui tuannya selesai.

“Pakne, istirahat dulu,” teriak Nyai Basyuni dari gubuk di tepian sawah.
“Sebentar, sedikit lagi,” teriak Kyai Basyuni tak kalah keras.

Pleki segera berlari menuju Nyai Basyuni. Ia menggonggong sebentar menyambut Nyai Basyuni kemudian kembali lagi ke pematang dan menggonggong ke arah Kyai Basyuni.

“Iya Pleki, sebentar,” kata Kyai Basyuni

Kyai Basyuni segera membasuh tangannya di parit yang airnya jernih mengalir deras. Nyai Basyuni membuka tenong (wadah dari bambu) berisi nasi, sayur bening daun kelor, tempe goreng, ikan asin, sambal terasi dan jengkol muda dan mengambilkan sepiring nasi dari ceting bambu untuk suaminya.

“Wah, lengkap sekali mbokne,” komentar Kyai Basyuni
“Iya kebetulan tadi di warung ada jengkol, jadi sekalian kubuatkan sambal terasi,”

Dengan lahap, Kyai Basyuni menyantap hidangan di depannya. Nyai Basyuni hanya tersenyum memperhatikan suaminya.

“Nih Pleki buat kamu,” kata kyai Basyuni sambil melempar sepotong ikan asin ke Pleki. Pleki mengambil dan memakannya dengan lahap walaupun ia sudah menyantap 2 ekor tikus.
“Pakne... padinya sudah mulai berisi ya?” kata Nyai Basyuni
“Iya Mbokne, sudah ada satu dua yang berisi. Mudah-mudahan tidak kena wereng. Kalau panennya berhasil kan bisa ngasih uang saku cucu sama memperbaiki atap mushola. Sudah setahun atap bocor kok belum bisa memperbaiki. Harus ganti genting dan kayu usuknya,” kata Kyai Basyuni.
“Iya Pakne,” menyetujui pendapat Kyai Basyuni, ”oh iya Pakne, jama’ah mushola pada menanyakan kenapa kok Pakne tidak membuang Pleki saja. Soalnya kalau malam-malam menggonggong, mengganggu orang tidur. Lagi pula anjing kan najis,” sambung Nyai Basyuni.
“Kalau soal najis, dulu kan sudah pernah aku jelaskan, apa itu najis, jenis najis dan bagaimana cara membersihkannya. Kita kan selama ini tetap bisa memelihara badan kita dari najisnya si Pleki. Kalau yang mereka permasalahkan adalah gonggongannya, aku juga heran kenapa Pleki akhir-akhir ini sering menggonggong tengah malam. Sudah hampir satu bulan ini. Aku juga sering terbangun kalau Pleki menggonggong,” sesal Kyai Basyuni, “walaupun dengan gonggongannya aku jadi bisa tahajud.”

“Terus bagaimana Pakne?” tanya Nyai Basyuni
“Belum tahu Mbokne. Kalau kita buang, dibuang ke mana? Kalau mau kita jual, anjing kampung seperti itu siapa yang mau beli?” lanjut Kyai Basyuni.

Kyai Basyuni hanya bisa melamun sambil memandang langit. Sarapan pagi ini jadi agak hambar.

“Ya sudah Pakne, aku pulang dulu,” kata Nyai Basyuni sambil merapikan peralatan makan.

Kyai Basyuni memandangi Pleki dengan sedih. Betapa sudah dekatnya ia dengan anjingnya. Istrinya pulang. Kyai Basyuni melanjutkan menyiangi rumput di sawah sampai kira-kira pukul 10.00. Ini saatnya Kyai Basyuni istirahat. Nanti sore berangkat lagi sekitar pukul 15.00 atau ba’da asar.

“Sudah panas Pleki, aku pulang dulu,” kata Kyai Basyuni ke anjingnya.

Ia berjalan dengan gontai memikirkan masalah Pleki. Pleki menggonggong 2 kali melepas kepulangan tuannya. Ia tak pulang bersama tuannya. Ia tetap di sawah untuk mengejar-ngejar katak, tikus, atau ular sawah. Ia akan pulang bersama tuannya nanti sore.

Sesampai di rumah, Kyai Basyuni yang biasanya melakukan berbagai macam kegiatan, seperti membuat pagar, membersihkan kandang ayam, dan kegiatan rumah lainnya, kali ini hanya duduk di risban depan sambil ngopi dan ngrokok.

“Gimana Pakne? Kok Pakne melamun,” tegur Nyai Basyuni
“Lagi mikir yang tadi Mbokne sampaikan. Bagaimana solusi untuk Pleki,” kata Kyai Basyuni
“Kalau aku boleh usul, bagaimana kalau Pleki dibuatkan kandang yang rapat. Biar suaranya tidak terdengar ke tetangga,” usul Nyai Basyuni
“Iya betul. Ide bagus itu Mbokne,” jawab Kyai Basyuni dengan semangat.

Kyai Basyuni segera ke belakang rumah, mengambil papan-papan kayu, dan mulai membuat kandang untuk Pleki.

Pukul 14.30, kandang si Pleki sudah jadi.

“Sudah jadi Mbokne,” kata Kyai Basyuni kepada istrinya.
“Apa Pleki ndak keplepeken Pakne,” tanya Nyai Basyuni
“Ya ndak to. Ini kan ada lubang anginnya,” jawab Kyai Basyuni sambil menunjukkan 4 lubang kecil, 2 di sisi kanan dan 2 di sisi kiri.

Ba’da asar, Kyai Basyuni bersiap-siap kembali berangkat ke sawah. Ia mengambil celana komprang hitam dan kemeja korpri yang masih tergantung di jemuran. Celana dan kemeja ini selalu ia bilas dan jemur sepulang dari sawah di pagi hari. Walapun matahari tidak sepanah pagi hari, ia tetap memakai caping. Di pundak kanannya, ia memanggul cangkul. Itulah seragam kebesaran petani.

“Berangkat dulu ya Mbokne,” kata kyai Basyuni
“Iya Pakne,” jawab Kyai Basyuni

Dengan mantap Kyai Basyuni melangkahkan kakinya ke sawah. Ia membayangkan permasalahannya sudah selesai dengan selesainya kandang yang ia buat.

Sesampai di sawah, Kyai Basyuni tersenyum memandangi sawahnya yang subur dan hijau. Sebentar ia berjalan berkeliling melewati pematang sawahnya yang luasnya satu bahu. Tiba-tiba ia teringat Pleki. Kenapa Pleki tidak menyambutnya seperti biasanya? Kemana dia?

“Astaghfirullah...” teriak Kyai Basyuni melihat Pleki telah tergeletak di pematang sawah, "kenapa Pleki ini?". 

Pelipisnya robek, mulutnya pecah, dari hidungnya keluar darah, di perutnya tertancap sepotong bambu dan disampingnya, ada sepotong  kayu yang belepotan darah.

“Siapa yang melakukan ini?” tanyanya dalam hati

Kyai Basyuni terpaku. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya. Darahnya berdesir. Dicabutnya bambu yang menancap di perut Pleki. Di angkat kakinya. Sudah tak bergerak. Pleki mati. Kyai Basyuni tak mampu melanjutkan pekerjaan. Diambilnya beberapa daun sente (alicasia macrorrizha schott). Dibungkusnya tubuh Pleki. Kyai Basyuni pulang dengan gontai.

“Mbokne...mbokne,” panggil Kyai Basyuni dengan keras.

Istrinya yang sedang menyapu di depan segera menghampiri suaminya.

“Apa Pakne, kok sudah pulang?” tanya Nyai Basyuni.
“Lihat mbokne, Pleki dibunuh orang,” kata Kyai Basyuni sambil meletakkan tubuh Pleki di tanah.
“Inalillah... kok bisa Pakne. Siapa yang membunuh?” seru Nyai Basyuni
“Ndak tahu Mbokne,” jawab Kyai Basyuni lemas.

Kyai Basyuni menggali lubang di bawah pohon pisang untuk mengubur tubuh Pleki.

"Semoga kau dikumpulkan bersama anjingnya ashabul kahfi, Pleki."

Kyai Basyuni  masih merasa lemas. Setelah menggantungkan pakaian kebesarannya, tubuhnya disandarkan di risban. Ia ambil slepi untuk membuat rokok. Istrinya datang membawakan kopi hitam kesukaannya.

“Pakne, sudah tidak ada Pleki lagi, tidak ada lagi yang berburu tikus di sawah dan tidak ada lagi yang mengusir burung ketika padi sudah mulai menguning,” kata Nyai Basyuni
“Iya Mbokne,” jawab Kyai Basyuni sambil menyeruput kopi hitam buatan istrinya, "tak ada yang perlu disesali, semua ada hikmahnya."
“Iya Pakne,” timpal Nyai Basyuni.

#

Seminggu kemudian,

“Pak Kyai, kenapa akhir-akhir ini banyak pencurian ya?” tanya salah satu jama’ah shalat maghrib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar