Harian KOMPAS tanggal 13 Oktober 2016 pada halaman 20
menerbitkan artikel berjudul “Perunggasan: Ayam Kampung Bisa Jadi Produk
Ekspor, Ayam Kedu Termahal di Dunia”. Di dalam artikel tersebut ditulis
pernyataan Ketua Umum Perhimpunan Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) Ade M.
Zulkarnaen bahwa di restauran papan atas di Amerika Serikat dan Eropa, sajian
ayam kedu masuk dalam daftar makanan termahal di dunia. Sajian daging ayam
cemani mencapai 2.500 dollar AS.
Ayam kedu yang terdiri dari ayam kedu hitam, kedu putih,
kedu blorok, kedu merah, dan cemani kini menjadi unggas prioritas untuk
dikembangkan. Sejak 2011, bermunculan usaha pembibitan dengan produksi
100.000-200.000 bibit ayam kampung (day old chicken) per bulan. Ayam kampung
bisa menjadi produk ekspor andalan Indonesia.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa produk lokal Indonesia
sebenarnya sangat dihargai oleh orang luar negeri. Akan tetapi karena arah
pembangunan dan pengembangan bangsa ini Western Oriented maka sejak awal
kita mengembangkan sesuatu yang berbau kebarat-baratan. Internet, Handphone,
Mobil, Sepeda Motor dan produk-produk elektronik menjadi orientasi utama kita
dalam mengembangkan diri dan mencari pekerjaan. Sedangkan sumber daya alam yang
telah kita miliki terbengkalai. Silahkan disurvey, berapa remaja atau generasi
muda yang mempunyai orientasi dalam bidang pertanian, peternakan dan
perkebunan. Bandingkan dengan oerientasi mereka terhadap teknologi informasi,
elektronik, kendaraan dan produk barat lainnya.
Merujuk pada artikel Kompas tersebut, mengapa kita tidak
pernah berpikir untuk mengembangkan potensi unggas yang kita miliki, misalnya
mengembangkan burung kakatua, merak atau burung cenderawasih untuk diekspor? Selama
ini kita memelihara burung hanya untuk dinikmati. Untuk dipajang dan
dilombakan, Bukan sebagai orientasi kita untuk mendapatkan penghasilan apalagi
di ekspor.
Ayam cemani saja berharga Rp. 2.500 dollar AS. Berapa harga merak
goreng, cenderawasih panggang atau sate kakaktua?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar