alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Selasa, 31 Desember 2019

BEDIL-BEDILAN


Sumber gambar: abdulsyukur.blog.undip.ac.id.

"Dhor...Dhor.. "

Bak tentara sedang berperang, anak-anak saling berkejaran, bersembunyi, tiarap, merayap, mengintai, kemudian melepaskan tembakan dari bedil-bedilan di tangannya. Bedil-bedilan yang terbuat dari bambu itu suaranya cukup mengagetkan.

Minggirlah, kalau mereka sedang main perang-perangan karena bisa terkena peluru nyasar yang rasanya cukup menyengat di kulit. Buket-buket dedaunan yang terikat di pinggang mereka berisi buah kandri yang mereka gunakan sebagai peluru. Buah bulat berdiameter 5 mm dan berwarna hijau muda ini menjadi salah satu pilihan peluru untuk bedil-bedilan bambu. Daging buahnya yang lunak dan kesat bisa memyesuaikan dengan lubang carang bambu (ranting bambu berukuran kecil) dan biji di dalamnya yang keras membuat peluru ini cukup menyengat jika terkena kulit. Buah ini bisa diperoleh dari pohon kandri yang tumbuh liar di pinggir kali.

Cara membuat bedil-bedilan adalah:
1. Pilih carang bambu dengan lubang berdiameter kurang lebih 4 mm. atau lebih kecil dari diameter buah kandri.
2. Potong carang bambu kurang lebih 25 cm. Ambillah bagian tengah di antara buku-buku karena lubang pada bagian ini berdiameter sama di ujung yang satu dengan ujung lainnya.
3. Ambil carang bambu lainnya untuk membuat penusuk lubangnya.
4. Potong bambu penusuk sepanjang 24,5 cm ditambah 10 cm sebagai gagang. Raut 24,5 cm. sebagai penusuk sedikit lebih kecil dari lobang bambu selonsong dan raut sisanya agak lebih besar agar bisa dimasukkan dengan erat ke bambu gagang.
5. Potong carang bambu 10 cm. untuk gagang bedil-bedilan.

Cara mengoperasikannya:
1. Masukkan buah kandri dari bagian belakang.
2. Tusuk dengan penusuknya. Pada tusukan pertama, kandri tidak melesat keluar dan hanya menyangkut di ujung bedil.
3. Masukkan sekali lagi kandri dari belakang. Tusukkan dengan hentakan keras. Kandri pertama akan melesat dengan cepat karena tekanan udara dari tusukan kandri kedua.

"Dor....dor"

Selamat berkarya.

NB: Peluru buah kandri ini bisa diganti dengan kertas basah. Kertas yg basah dicuil seukuran buah kandri atau lebih besar. Yang penting bisa masuk ke lubang bambu. Namun peluru kertas ini tidak semenggelegar dan tidak semenyengat peluru buah kandri.

KACANG REBUS, LEPET DAN PELAS


"Kacang rebus, lepet, pelas Pak," tawar sang penjual keliling di Pantai Setrojenar, Bocor, Kebumen.
"Kacangnya berapanan Bu?" tanyaku
"Sepuluh ribu tiga mangkok Pak, lepet satu gandeng lima ribu isi tiga, pelasnya seribuan. Kacangnya beli berapa? Lepetnya berapa? Pelasnya berapa?" tanya sang penjual mencoba merayuku.
"Kacangnya saja Bu, sepuluh ribu," jawabku
"Lepetnya nggak sekalian? Ini enak dimakan sama pelas. Ini pelas kacang merah dicampur teri Pak. Enak dan gurih," kata sang penjual sambil membuka salah satu pelas yang dibungkus daun pisang.
"Nggak Bu. Saya sudah sarapan Bu. Masih kenyang. Kacangnya saja," jawabku.

Akhirnya sang penjual mengalah, membungkus kembali pelasnya dan hanya menakar 3 mangkok kacang rebus yang kupesan kemudian dimasukkan ke plastik kresek hitam.

"Monggo Pak," kata sang penjual sambil menyodorkan kacang rebus tersebut.

Kucari uang di saku. Tak ada uang. Dompet juga tak afa. Ealah..tadi uangnya di dompet semua. Dompetnya ada di tas istri.

"Sebentar Bu," kataku kepada sang penjual. Aku menghampiri istriku yang sedang asyik bermain air laut.
"Ma...mau kacang rebus nggak?"
"Nggak ah," jawab istriku menolak
"Mbok mau sih. Buat cemilan sambil duduk-duduk menikmati ombak," desakku
"Ya boleh lah. Mana kacang rebusnya?" jawab istriku
"Ini.. Tapi belum dibayar, sepuluh ribu," kataku sambil menunjukkan plastik kresek hitam.

Sebagai istri yang sholihah, dia segera menghampiri penjual kacang rebus untuk membayarnya. Dompet dikeluarkannya dari tas. Uang sepuluh ribu dikeluarkan dari dompet dan dibayarkan ke sang penjual.

"Dah... sana terusin main airnya," kataku

Minggu, 29 Desember 2019

POHON ASAM BERBUAH DURIAN



Tidak hanya lagu yang aneh mengatakan "buah semangka berdaun sirih". Di sebelah barat Kedungtawon, sebuah dusun di wilayah Kecamatan Kutowinangun, Kebumen ada pohon asam berbuah durian. Pohon yang melegenda ini berbuah mengikuti musim durian. Setiap musim durian, biasanya pada bulan Desember, pohon asam jawa ini berbuah durian. Tidak melalui proses dari bunga, kemudian durian muda, durian besar. Tapi langsung berbuah durian matang siap santap.

Pohon asam jawa yang berderet di sebelah utara jalan provinsi di wilayah dukuh Kedungtawon ini dimanfaatkan oleh para pedagang buah durian untuk menggantung duriannya. Tak perlu lapak, tak perlu kios atau warung, durain-durian itu digantung bergelantungan pada dahan pohon asam jawa yang cukup rendah. Setiap orang yang melewati jalan ini disuguhi pemandangan buah durian lokal yang ranum dan aromanya menyebar kemana-mana.

"Jangan beli sekarang. Nanti nggak bisa ditawar," kata istriku mengingatkan.

Aku yang mudik ke Kedungtawon dan melewati arena durian ini pun terpaksa menahan diri untuk tidak mampir dahulu membeli durian.

"Belinya jalan kaki saja. Kita orang sini kok," lanjut istriku.

Politik dagang yang normal di manapun adalah barang dijual lebih mahal ke orang asing dan dijual lebih murah kepada orang sendiri. Pengecualian politik dumpingnya orang Jepang yang menjual lebih murah di luar negeri dan menjual mahal di dalam negeri Jepang sendiri. Politik dagang macam apa itu?

Menganut metode dagang yang normal-normal saja, pedagang durian di Kedungtawon ini biasanya menjual lebih mahal ke orang asing dan menjual agak murah ke orang lokal. Maka, untuk memperoleh harga yang paling murah, kita harus berperilaku sebagai orang lokal. Dengan berperilaku sebagai orang lokal, terasa ada kedekatan sejarah, keluarga, ekonomi, sosial, politik dan nasib. Dengan begitu, harga durian akan menjadi harga tetangga, harga saudara, harga persahabatan, harga pertemanan, dan harga kasihan. Caranya yaitu:
1. Jangan naik mobil. Selain dianggap orang kaya, orang lokal tidak perlu memakai mobil untuk membeli durian di tempat itu.
2. Memakai motor plat AA. AA adalah plat nomor Kebumen, Purworejo, Magelang dan sekitarnya di wilayah Kedu.
3. Bersepeda. itu sangat menunjukkan bahwa kita orang lokal. Tak mungkin naik sepeda dari Jakarta, Semarang atau Jogja hanya untuk membeli durian di Kedungtawon.
4. Jalan kaki lebih meyakinkan sebagai orang lokal, bahkan orang Kedungtawon asli. Apalagi ditambah memakai sandal japit.
5. Bahasa lokal. Minimal kita harus menggunakan Bahasa Kebumen alias Bahasa Ngapak-Ngapak walaupun ada bahasa yang lebih lokal yang menunjukkan bahwa kita adalah orang Kedungtawon, Kutowinangun dan sekitarnya. Tapi tak apalah memakai bahasa ngapak. Belajarlah kepada Ilham, Azkal dan Fadly, di serial Bocah Ngapak yang sudah tayang di televisi maupun di youtube. Walaupun kita sengaja jalan kaki dan memarkir mobil agak jauh dari lokasi tapi kalau kita berbahasa Indonesia yang baik dan benar, maka durian tetap ditawarkan mahal. Apalagi memakai bahasa Inggris. Jangan coba-coba. Karena penjualnya tak bisa berbahasa Inggris.
6. Tidak boleh sombong. Tidak perlu menunjukkan diri sebagai anak gubernur, anak bupati, anak pak lurah, anak pak RW, anak pak RT. Pengakuan seperti itu akan menambah ruwet karena pedagang durian tidak memerlukan itu dan mereka tidak akan percaya. Mereka baru percaya dengan pengakuan tersebut kalau kita menunjukkan Surat Keterangan Anak Siapa. Dan itu tak penting dan tak mempengaruhi harga durian.
7. Tidak boleh bohong. Kita tidak perlu berbohong bahwa kitalah yang menguasai wilayah tersebut, kitalah yang mempunyai tanah dimana pohon asam tersebut ditanam, kitalah yang menanam pohon asam tersebut. Perlu diketahui bahwa pohon asam itu ada dipinggir jalan raya, tanah milik pemerintah, umur pohon asam itu mungkin sudah lebih dari 50 tahun. Jadi tak perlu ngaku-aku. Mengaku saja kalau tak punya uang untuk beli durian.

Seandainya Anda tidak memungkinkan untuk melalkukan itu semua, Anda harus pandai-pandai merayu, menghiba, merendahkan diri dan memelas dalam menawar durian-durian tersebut.

Selamat mencoba!

KACANG HIJAU



"Kacang hijau ini dibawa ya!" kata ibu mertuaku.

Botol bekas air mineral ukuran satu liter itu penuh dengan biji-biji kacang hijau yang baru dipanen awal bulan ini.

Di daerah Kutowinangun, Kebumen, setelah panen padi pada bulan September, para petani menanam palawija sebelum menanam padi kembali pada musim hujan yaitu awal bulan Desember. Kacang hijau yang sudah tua dipetik masih dalam bentuk polong kemudian dijemur sampai kering. Kemudian dipisahkan kulitnya dengan cara diinjak-injak. Hasilnya adalah biji kacang hijau kering yang siap dimasak.

"Nggak usah bu. Sudah dibawain kacang hijau se-kresek sama Bulik Halimah," kataku mencoba menolak.
"Lha memang baru panen kacang hijau. Semua orang pasti punyanya kacang hijau. Sudah dibawa saja," desak ibu
"Kebanyakan Bu. Nanti membusuk dan nggak kemasak, malah mubadzir," kataku
"Kacang hijau ini awet bertahun-tahun. Ibu jamin nggak akan busuk atau kena ngengat bubuk." kata ibu ngotot.
"Beneran bisa awet sampai bertahun-tahun bu?" tanyaku tak percaya.
"Iya, kan sudah ibu tambahkan abu dapur sedikit di mulut botolnya. Dijamin kutu atau ngengat apapun tak akan makan kacang hijau ini. Nanti yang diberi oleh Bulik Halimah juga dimasukkan wadah, botol, toples atau kaleng. Kemudian ditaburi abu sedikit. Pasti awet." kata ibu mantap
"Wah.. Baru tahu ini Bu,"
"Ini resep kuno," jelas ibu mertuaku.

SATE AMBAL




Sate Ambal adalah sate ayam khas dari Kecamatan Ambal. Sate yang sambalnya terbuat dari tempe ini bisa ditemukan terutama di warung-warung sate di sepanjang jalan Daendels Ambal dan di depan pertokoan sepanjang jalan Kutowinangun, Kebumen.

Khusus penjual sate yang ada di depan pertokoan sepanjang jalan Kutowinangun, penjualnya menggunakan pikulan.

Satu porsi Rp 30.000 berisi 20 tusuk sate. Harga ketupat Rp. 2.000. Untuk ukuran makan normal biasanya cukup memesan sejinah. Sejinah adalah bahasa Kebumen yang artinya sepuluh.

"Sejinah mawon nggih pak. Kupate kalih. Kalih es teh," pesanku sore itu.

UNDUR-UNDUR PANTAI SETROJENAR KEBUMEN



Salah satu makanan khas di Pantai Setrojenar, Kecamatan Bocor Kabupaten Kebumen adalah undur-undur goreng.

Menurut Wikipedia, undur-undur laut, ketam pasir, atau juga yutuk, adalah sebangsa krustasea mirip ketam yang tergolong dalam superfamilia Hippoidea. Hewan beruas-ruas yang hidup di pasir pantai pada garis air laut ini dikenal dalam bahasa Inggris sebagai sand crab, mole crab, atau sand flea. Bentuknya oval, meruncing di ujung kepala dan ekornya, cembung di bagian atasnya atau punggungnya dan terdapat kaki-kaki di bawahnya.

Undur-undur ini ada yang digoreng garing dan dijual per plastik isi 10 ekor seharga Rp 5.000,-. Sedangkan peyek undur-undur dijual Rp 10.000,- per tiga buah.

Undur-undur laut yang rasanya gurih ini mengandung Omega 3 dan berkasiat menurunkan kadar gula darah.

"Bagian ekornya dibuang. Soalnya bisa membuat pusing," kata penjualnya.

Fakta atau mitos bahwa ekor undur-undur membuat pusing kepala? Entahlah, yang pasti aku menuruti saja kata-kata penjualnya untuk memotong ujung ekornya agar aman, nyaman, selamat dan sentausa walaupun aku tak bisa membedakan bagian kepala dan ekor karena sama-sama runcing. Yang penting kupotong sedikit salah satu ujungnya.

Kamis, 26 Desember 2019

MINGGU PAGIKU


Minggu pagi yang cerah. Setelah kemarin sore turun hujan, pagi ini seakan mendung telah habis. Langit membiru. Matahari bersinar terang. Aroma tanah basah menyemburat menambah kesegaran. Bunga warna-warni mekar di pot depan rumah menambah indahnya pagi.

Nasi hangat telah mengepul sejak tadi dari cething bambu memanggil-manggil perutku untuk segera menghabiskannya. Sayangnya, belum ada lauk untuk menemani nasi putih yang empuk itu.

"Bu... Pindange ayu-ayu. Tahune ginak-ginuuuk..." teriak penjual pindang sekaligus tahu mentah bermotor sembari memarkir motornya di bawah pohon mangga menunggu pembeli.

Beberapa ibu-ibu keluar termasuk istriku untuk membeli pindang dan tahu.

Sambil menunggu pindang dan tahu dimasak, aku menyeduh kopi hitam kesukaanku. Kopi lampung. Kuambil cangkir kecil, sendok, toples kopi dan toples gula. Sendoknya kecil atau sering disebut sendok teh. Padahal di Perancis disebut cuillère au café (sendok kopi)

Namun kulihat tutup toples gula sedikit membuka dan banyak semut di dalamnya. Ini bukan masalah besar dan sesuatu yang wajar, ada gula ada semut. Toples gula kugoyangkan sedikit saja, semut-semut hitam lincah bertubuh ceking dan tak mau menggigit manusia itu berlari kencang keluar dari wadah gula. Dan tak ada satupun yang berlari sambil membawa gula. Seakan mereka tahu bahwa itu gula ini milik manusia. Mereka hanya berkah mencicipi. Membawa gula tanpa ijin adalah perbuatan mencuri. Mencuri itu dosa. Masuk neraka.

Semut pergi. Aku mulai membuat komposisi kopiku. Tentu saja komposisi terbaik yang kudapat dari pengalaman panjang dengan petualangan yang penuh tantangan, penuh keringat tapi tak sampai berdarah-darah. Gula kurang lebih setengah sendok teh lebih sedikit dan kopinya agak banyak, dua sendok kurang sedikit. Kurangnya sekitar sepertujuh sendok. Pokoknya rumit. Harus memakai perasaan. Kutuang air extra hot tapi belum mencapai 100 derajat Celcius. Hasilnya top markotop.  Rasa pas, ada manisnya, ada kecutnya, dan banyak pahitnya. Istri dan anak-anakku dijamin tidak suka. "Rasa jamu" kata mereka.

Sambil menunggu masakan istriku matang, kubuka Kompas Minggu dan kuseruput kopi hitamku.

Rabu, 25 Desember 2019

TOKO SARUNG CINA



"Ci... sarungnya lihat. Saya mau milih," kata Bapakku di sebuah toko yang tidak begitu besar.

Beberapa contoh sarung dikeluarkan dan dijejer di atas etalase kuno yang rangkanya terbuat dari kayu.

"Ini 35 ribu, ini 55 ribu, 65 ribu, ini, 70 ribu, ini 145 ribu.....," kata Ci... (maaf tak tahu namanya). Yang aku tahu, dia memakai daster lengan pendek, sudah tua, tionghoa dan tak berjilbab.

"Ambil yang ini saja Ci. Empat buah ya. Tapi warnanya yang beda-beda. Dibungkus satu-satu ya Ci. Pakai kertas koran saja," pinta Bapakku

Segera Ci membungkus empat buah sarung itu dengan koran dimasukkan ke plastik kresek hitam satu-satu juga.

"Oh iya. Ini bisa kurang tidak?" tanya Bapakku lupa menawar.
"Ah Panjenangan kayak tidak sering ke sini. Harganya sudah mepet. Ini saja sudah paling murah," jelas Ci
"Ya sudah lah. Siapa tahu kali ini bisa ditawar,"

Sarung untuk hadiah teman-teman Bapak sudah dibeli, sekarang tinggal mengantar satu per satu ke orang yang dituju.

"Pak, Bapak kok belinya di toko itu. Apa tidak ada toko yang lain?" tanyaku.
"Itu toko langganan Bapak dari dulu. Harganya paling murah di antara toko-toko yang lain. Barangnya juga lengkap. Ada sarung, baju koko, peci, tasbih dan lain-lain."
"Keturunan Cina kan Pak? Non muslim kan?"
"Iya. Memangnya kenapa? Kan nggak ada larangan orang Cina non muslim jualan sarung?"

Itulah toleransi di kota kecamatan kami, Bukateja, sebuah kota kecil di ujung timur Purbalingga yang pergaulannya tak lagi terbatasi oleh sekat formalitas keagamaan, suku maupun ras.

CANDI BATUR PEMALANG

Ada keasyikan tersendiri ketika kami harus mudik dari Batang ke Purbalingga. Masuk dari pintu tol Batang dan keluar di pintu tol pemalang, selanjutnya kami akan menuju ke arah selatan menelusuri wilayah Pemalang yang berhutan dan hijau, melewati hutan jati yang masih rimbun di kecamatan Bantarbolang dan Randudongkal serta jalan berkelak-kelok naik turun di wilayah Kecamatan Belik.

Memasuki Desa Bulakan, Kecamatan Belik, di sebelah kanan jalan terdapat tempat wisata sekaligus tempat beristirahat yaitu Candi Batur Indah. Selain terdapat lapangan untuk parkir yang cukup luas, kita dapat menikmati rimbunnya hutan yang masih alami dan dapat bercengkerama dengan ratusan monyet yang jinak. Cukup membawa kacang atau pisang, monyet-monyet itu akan mendekat. Selain itu, kita tidak perlu takut kelaparan karena di sekitarnya banyak warung yang menyediakan makanan dan minuman.

Beberapa kali, kami mampir ke tempat ini untuk beristirahat sebentar sekaligus menyaksikan monyet-monyet yang jinak tersebut.

Hanya saja untuk mudik kali ini, kami tidak mampir ke tempat ini. Namun demikian, ketika melewati tempat ini, aku sengaja melambatkan kendaraan untuk menyaksikan monyet-monyet yang bergelantungan di atas pohon dan yang turun menghampiri pengunjung.

"Pa, itu teman Papa ada yang sudah nangkring di atas pagar!" teriak anakku.
"Mana?" tanyaku penasaran.
"Itu di depan," jawab anakku sambil menunjuk ke arah depan di kanan jalan.

Kulihat seekor monyet yang cukup besar berada di atas pagar pembatas antara hutan  dan jalan raya.

"Oh itu. Kalau begitu kamu panggil "Om" ke dia ya," suruhku

"Huh," anakku cemberut.

#maaf, gambar belum tersedia.

MUSIM PANEN




Halaman masjid di samping rumah orang tuaku di Purbalingga menguning. Bukan karena ada acara kampanye partai tertentu tapi karena hari ini masih musim panen padi. Padi yang telah dipanen dan digepyok (dirontokkan) menjadi gabah kemudian dikeringkan secara manual. Mengandalkan sinar matahari, para petani menggelar gabah mereka di tempat yang lapang yang bisa terpapar sinar matahari secara penuh. Kalau tidak dijemur sampai kering, gabah akan lembab dan berkecambah. Tidak bisa diolah menjadi beras.

"Sudah kering Kang" sapaku kepada Kang Din yang sedang menjaga gabah-gabahnya dari santapan ayam tetangga yang berkeliaran.
"Belum kering betul,"
"Sudah berapa hari?" tanyaku
"Tiga hari. Biasanya sih tiga hari sudah kering tapi ini belum. Hari pertama gerimis tengah hari. Hari kedua agak mendung." jelasnya

Secara berkala mereka membolak-balik gabah-gabah tersebut agar keringnya merata hanya menggunakan kaki telanjang mereka. Apakah mereka tidak terpapar sinar ultraviolet? Tentu saja iya. Padahal, efek ultraviolet cukup berbahaya dapat mengakibatkan penuaan, kulit keriput dan kanker kulit.

"Penyakit macam apa semua itu?" jawab mereka menjawab pernyataanku, Mereka lebih takut gabah mereka tidak kering dan tak laku dijual daripada penyakit yang belum jelas kebenarannya. Karena kenyataannya, belum ada berita petani meninggal dunia karena terpapar ultraviolet atau mengidap kanker kulit.

Jadi, tak perlu menanyakan apakah mereka memakai sunblock, sunsreen, skincare, dan kacamata hitam? Jelas tidak. Mereka lebih suka bertelanjang dada untuk mempercepat penguapan keringat dan mendapatkan angin semilir. Badan mereka kelihatan berotot, liat, dan eksotis.

Ah...aku jadi punya ide untuk membuka paket wisata untuk turis asing: menjemur gabah. Daripada mereka berjemur di pantai tiada guna, lebih baik berjemur sambil menjemur gabah. Ada manfaatnya membantu petani.

Sambil bercelana pendek dan bertelanjang dada bagi turis laki-laki dan berbikini bagi turis perempuan, mereka mengeker-eker dan membolak-balik gabah di bawah sinar matahari sehari penuh. Setelah selesai mereka bisa berendam atau membasuh diri di sungai. Satu paketnya 200 US dollar sudah termasuk makan siang, minum kelapa muda serta snack berupa pisang, singkong goreng dan jagung bakar. Selain menghasilkan devisa karena mereka membayar paket wisata, pasti banyak turis lokal yang ikut berkunjung juga. Efek domino akan terjadi. Pedagang makanan, pedangan minuman, pedagang souvenir, pedagang celana pendek, pedagang bikini, tukang parkir, tukang odong-odong dan pengamen akan memperoleh keuntungan.

Pastinya, manfaat utama akan dirasakan oleh para turis yaitu mereka menjadi sangat eksotis. Soal gatal-gatal bisa diselesaikan di belakang.

Selasa, 17 Desember 2019

AKULTURASI MAKANAN



Ratusan suku dan bangsa menimbulkan akulturasi dalam berbagai unsur budaya termasuk makanan. Banyak makanan tercipta dari akulturasi dari berbagai jenis makanan di Indonesia. Tidak hanya rupa makanannya tapi juga makanan dan orangnya. Misalnya, martabak bandung, seblak bandung, empek-empek palembang, soto kudus, bakso solo, pecel lele lamongan dan sebagainya. Makanan-makanan tersebut sekarang tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai variasi rasa yang disesuaikan dengan lidah masing-masing daerah.

Pelaku kuliner masakan tersebut juga tidak melulu orang asli tempat makanan itu berasal. Sebagian besar penjual martabak bandung di Batang adalah orang Tegal. Empek-empek palembang tidak lagi berbahan ikan belida tapi ikan kunir, kakap, tengiri, dan ikan-ikan khas Batang. Pembuatnya pun orang asli Batang.

Demikian juga dengan warung lamongan yang bertebaran di Batang. pemilik warung yang menjual lele goreng, ayam goreng, bebek goreng, cumi asam manis dan makan khas kota Lamongan lainnya adalah orang Batang.

"Pak, sampeyan orang Lamongan?" tanyaku
"Bukan. Saya asli Batang," jawabnya
"Punya saudara di Lamongan?" tanyaku lagi
"Nggak," jawabnya lagi
"Pernah ke Lamongan?" tanyaku lebih lanjut
"Belum pernah," jawabnya lebih lanjut
"Kok bisa buka warung Lamongan?"
"Karena makanannya khas Lamongan,"
"Bisa masak masakan Lamongan dari mana?"
"Belajar dari teman,"
"Teman Bapak orang Lamongan?"
"Bukan. Dia juga orang Batang asli,"
"Jadi yang asli Lamongan siapa Pak?"

"Sebenarnya sampeyan mau makan apa mau pergi ke Lamongan?"

Senin, 16 Desember 2019

TIMBANGAN KELENGKENG



Mendung menjelang maghrib sore ini membuat suasana semakin gelap. Lembur di sekolahku tidak menghalangiku untuk mengabulkan pesanan anakku untuk membeli kelengkeng. Lagi-lagi aku mampir di penjual buah. Kali ini bukan penjual buah langgananku. Selain bosan melihat ibu-ibu yang itu-itu juga, di penjual buah langgananku tak menjual kelengkeng. Aku membeli kelengkeng di penjual buah yang lain.

"Kok gelap Mba?" sapaku kepada Mba penjual di sebuah kios buah.

Walaupun masih agak kelihatan tapi tidak lazim sebuah kios segelap ini.

"Iya Pak. Listriknya mati. Pulsanya habis," jawabnya.
"Mba, kelengkeng harganya berapa?" tanyaku
"Empat pulun ribu sekilo," jawabnya", mau berapa kilo Pak?"
"Nggak banyak kok. Cuma buat obat kepingin," jawabku
"Silahkan Pak. Milih sendiri!" suruhnya mempersilahkan aku sambil menyodorkan plastik kresek hitam lumayan besar.
"Plastiknya jangan besar-besar. Yang kecil saja," kataku

Dia menukar dengan plastik kresek yang agak kecil. Aku memilih kelengkeng yang masih segar dan ada batangnya.

"Ini boleh diprotoli kan Mba?" tanyaku
"Boleh Pak," jawabnya

Aku memisahkan kelengkeng-kelengkeng tersebut dari gagangnya. Setelah kurasa
cukup, aku menyodorkannya untuk ditimbang.

"Waduh..maaf Pak. Saya bisa minta tolong? Bapak tunggu di sini sebentar. Timbangannya batrenya juga habis. Saya mau beli pulsa listrik dulu." kata dia.
"Kan bisa pakai timbangan yang manual Mba," kataku menunjuk timbangan manual di sebelah timbangan digital.
"Kurang pas Pak,"

Timbangan digital memang lebih presisi, lebih akurat dan lebih akuntable. Jangankan satu ons, sepersepuluh ons saja bisa terhitung di timbangan digital. Sedangkan timbangan manual hanya bisa kira-kira untuk ukuran ons. Sedangkan bobot satu butir kelengkeng tentu tidak sampai setengah ons. Kehilangan beberapa ons saja akan sangat merugikan karena harga kelengkeng yang lumayan mahal. Maka dia tidak mau rugi dalam urusan timbangan ini.

"Ya dilihat jarumnya to Mba," kataku.
"Sebentar saja Pak," desak dia dengan raut muka memohon.
"Nanti kalau sampeyan pergi, terus saya mengambil sesuatu, bagaimana? Apakah Sampeyan percaya sama saya?" kataku.

Rupanya dia berpikir ulang untuk minta tolong kepadaku. Walaupun awalnya percaya dengan raut wajahku yang pasti kelihatan imut, polos, sederhana, jujur, lugu, dan bersahaja tapi akhirnya dia lebih mempercayai kata-kataku untuk tidak percaya kepadaku.

"Ya sudahlah. Pakai timbangan ini saja," kata dia menunjuk timbangan manual.

Dengan hati-hati dia menimbang kelengkeng. Jarum merah ditimbangan itu diperhatikan betul-betul. Berkali-kali dia mengangkat dan meletakkan sebutir kelengkeng agar pas dengan angka yang dimaksud.

"Tujuh ons pas Pak," kata dia
"Jadi harganya berapa Mba?" tanyaku

Kembali dia berpikir kemudian mencari kalkulator untuk menghitungnya.

"Dua puluh delapan ribu,"

Aku membayarnya dengan uang tiga puluh ribu dan dikembalikan dua ribu.

"Nah sekarang, tutup dulu kiosnya terus beli pulsa listrik,"

Dia tersenyum kecut sekecut jeruk lemon yang berayun-ayun digantung di keranjang plastik di kios bagian depan.

MANGGA GADUNG


"Bu ini mangga apa kok bulat-bulat kayak apel?", tanyaku
"Itu mangga gadung," jawab ibu penjual buah langgananku.
"Manis nggak bu?" tanyaku lagi
"Manis tapi ada segar-segarnya," jawabnya
"Segar-segar gimana maksudnya?" tanyaku lebih lanjut
"Ya segar gitu," jawabnya
"Pasti kecut ya!" cecarku
"Beneran manis tapi segar," jawabnya bertahan
"Ah..saya kok nggak percaya. Katanya manis kok ada segar-segarnya. Pasti kecut nih," kataku
"Sampeyan memang nggak percayaan," balasnya
"Kan saya baru lihat mangga seperti ini. Belum pernah makan jadi ya harus hati-hati. Jangan-jangan saya beli tiga kilo. Sampai rumah kecut semua, nggak ada yang manis," terangku
"Ya sudah ini dibuka satu. Buat dicicipi," kata dia sambil menyerahkan sebuah pisau.

"Alhamdulillah...."

NANAS MADU



Salah satu sentra nanas madu di Indonesia adalah Kecamatan Belik Kabupaten Pemalang. Ratusan hektar lahan ditanami nanas madu dan ratusan ton nanas madu dipanen setiap hari.

Sembari menikmati jalan mulus berkelok-kelok naik turun dan menghirup udara segar lereng gunung Slamet dari kota Pemalang menuju Purbalingga, kita akan menemui toko atau kios, dan warung, besar maupun kecil yang berjejer di tepi jalan menjual nanas madu. Sebagian besar nanas masih berkulit. Harganya bervariasi tergantung besar kecilnya nanas. Ada juga produk nanas yang sudah dikupas dan tinggal makan dan ada nanas yang sudah berbentuk olahan kering.

Nanas (Ananas Comosus) madu Belik Ini sekarang tidak hanya bisa diperoleh di Belik karena nanas ini telah menyebar di berbagai wilayah terutama di Jawa Tengah. Harganya tidak jauh berbeda dengan di sentranya.

Di Batang penjual nanas madu tersebar di beberapa titik. Ada yang menggunakan gerobak dorong, motor, mobil atau menyewa kios. Kebanyakan pembeli lebih menyukai nanas kupas yang telah dibungkus plastik. Tinggal lep. Satu bungkus harganya Rp 10.000,- berisi 3 buah nanas yang telah dikupas dan dipotong-potong.

"Kalau nanas yang belum dikupas harganya berapa mas?" tanyaku pada sang penjual.
"tiga ribu Pak,"
"Lha ini isinya tiga kok jadi sepuluh ribu. Harusnya sembilan ribu,"
"Ongkos ngupas Pak,"

"Okelah kalau begitu," daripada aku beli nanas yang belum dikupas dan harus mengupas sendiri di rumah, itu akan lebih merepotkan. Mengupas nanas bukan perkara mudah. Pisau yang digunakan harus betul-betul tajam karena kulit nanas yang bersisik keras. Mengupas kulit nanas pun tidak boleh terlalu tipis. Harus lebih tebal. Tapi tidak boleh terlalu tebal. Isinya bisa habis. Bisa dikira-kira sendiri. Belum lagi mengambil bintik-bintik hitam yang ada di bawah kulit. Ada cara tersendiri. Susah. Nia Ramadhani dijamin tidak bisa.

Jadi, kalau Anda repot mengupas nanas, lebih baik beli nanas yang telah dikupas. Tapi kalau Anda ingin membeli untuk oleh-oleh teman atau tetangga lebih baik beli yang masih berkulit. Lebih awet.

Sabtu, 14 Desember 2019

SANG PENGAMEN


Sabtu sore yang lumayan panas. Sejak pagi matahari bersinar cukup terik. Pekerjaanku membuat nilai e-raport yang harus segera diupload belum selasai. Teras rumah menjadi tempat alternatif untuk mengerjakan e-raport. Semilir angin sore membantu meredam rasa panas hari ini.

Tengah asyik dalam kesibukanku, tak sadar ada seorang pengamen sudah berdiri di depan pintu gerbang. "Jreng" suara gitarnya mulai berdenting. Pengamen ini rutin manggung di depan rumahku dua minggu sekali.

Kali ini, dia menyanyikan lagu "Seberkas Sinar" milik Nike Ardilla

"Kala Ku Seorang Diri Hanya Berteman Sepi Dan Angin Malam
Ku Coba Merenungi
Tentang Jalan Hidupku Hoo....
Ku Langkahkan Kakiku Dan Menyimak Sebuah Arti Kehidupan
Hati Slalu Bertanya Adakah Kasih Suci...
Dalam Cinta Haha...
Adakah Cintamu Ha Ha Ha Ha Ha...."

Petikan gitar dan suaranya yang enak didengar membuatku menunda pekerjaanku. Bahkan istriku ikut keluar dan duduk di teras untuk mendengarkannya.

"Sudah sih Ma, dikasihkan uangnya. Kasihan." kata anakku protes, kasihan melihat dia nyanyi terlalu lama dengan imbalan yang tak seberapa.
"Nanti dulu, belum selesai," jawab istriku bertahan.

Berbeda dengan pengamen kebanyakan, Mas Pengamen ini tidak mau menghentikan nyanyiannya sebelum satu lagu habis. Nampaknya ada orientasi lain dari Mas Pengamen ini. Mengamen bukan sekedar sarana untuk mencari uang tapi juga untuk mengekspresikan kemampuan berseninya.

Istriku pernah menyodorkan uang pada pertengahan lagu, tapi dia tidak mau menghentikan petikan gitar dan nyanyiannya sampai selesai. Akhirnya istriku berdiri di depannya sampai dia menyelesaikan lagunya.

"Jadi malu dan salah tingkah sendiri," kata istriku

Maka dari itu, sekarang kami tidak akan memberikan uang sampai dia selesai menyanyi.

Sikap juga terjaga. Ketika petikan gitarnya berakhir, kusodorkan empat buah koin 500-an. Setelah menerima uang, dia diam sesaat kemudian memejamkan matanya dan menundukkan kepalanya sambil mengucapkan "terima kasih". Sangat sopan.

Rabu, 11 Desember 2019

FINGERPRINT DENGAN FOTO BAHU


Sudah dua tahun ini presensi guru dan karyawan di sekolah kami menggunakan mesin finger. Mesin finger ini terhubung secara online ke Badan Kepegawaian Provinsi (BKD) Jawa Tengah. Dengan menggunakan sistem ini, bisa diketahui secara langsung waktu kedatangan atau waktu pulang para guru dan karyawan. Semuanya terrekam dan terrekapitulasi di website presensi BKD provinsi.

Cara kerja mesin fingerprint yaitu dengan cara menempelkan ibu jari kanan atau kiri di kotak kecil yang ada di mesin fingerprint. Ada suara "terima kasih" dan muncul "centang" hijau di layar apabila kita telah berhasil melakukan finger. Ada suara "silahkan coba lagi" dan lampu warna merah berkedip di atas layar apabila kita belum berhasil melakukan finger.

Selain itu ada gambar wajah kita di layar mesin yang diiringi bunyi "cekrek". Akan nampak wajah kita yang manis, cantik, dan ganteng.

Pasca rapat operator fingerprint tentang Pengaktifan Fitur Foto pada Mesin Presensi, Bu Ema selaku operator fingerprint sekolahku membawa kabar yang segera disebarkan di group WA:

"Assalamu'alaikum....
Nuwunsewu, untuk fingerprint sudah diaktifkan fitur rekam foto, bapak ibu diharap ketika fingerprint untuk kelihatan jelas wajah dan seragamnya, setidak nya sampai bahu.
Terima kasih"

Sejak ada pengumuman tersebut maka kami harus memperhatikan posisi kami dalam melakukan finger. Kita mengatur jarak kita dengan mesin finger. Selama ini kami melakukan finger dengan terlalu mendekatkan wajah ke mesin finger. Bukan niat kami untuk menampakkan wajah kami agar terrekam dengan jelas di mesin finger tapi karena kami melakukan finger sekaligus mengintip jam yang ada di mesin finger untuk selanjutnya kami tuliskan di daftar presensi manual. Jadi sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Untuk itu, mulai sekarang kami harus mengatur posisi dalam melakukan finger print. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Kalau terlalu dekat, hanya wajah yang terlihat, bahu tidak. Kalau terlalu jauh tidak hanya bahu tapi seluruh badan terlihat tapi tangan tidak bisa menjangkau mesin finger print. Gagal. Ternyata awalnya susah. Harus dua atau tiga kali menekan mesin finger untuk memperlihatkan bahu kami. Sekarang kami sudah paham dan terbiasa dengan jarak yang harus kami ambil untuk melakukan finger.

Tujuan memperlihatkan bahu adalah supaya bisa diketahui pakaian apa yang dipakai pada hari itu dan untuk mengingatkan seragam yang harus dipakai pada hari itu. Jangan sampai salah seragam. Kan langsung terlihat di layar! Misalnya dari rumah kita sudah merasa memakai seragam yang tepat, ternyata ketika melakukan finger, di layar terlihat kita memakai kaos, daster atau pakaian yang bukan seragam dinas. Maka harus segera ganti.

Tidak diketahui bagaimana cara memberikan teguran seandainya ada yang salah kostum terrekam di mesin finger. Apakah petugas akan menelpon individu tersebut untuk diperingatkan ataukah mengirim surat teguran ataukah ada petugas khusus yang akan turun ke lapangan untuk memberikan teguran. Sepertinya belum memungkinkan.

Agar lebih mudah, seharusnya mesin fingernya dilengkapi dengan fitur foto yang lebih lengkap. Tidak hanya foto wajah tapi juga seluruh tubuh. Jadi, tidak hanya seragam atas yang kelihatan tapi juga bawah. Siapa tahu, ada yang atasnya memakai korpri ternyata bawahnya memakai sarung, celana pendek atau bahkan tak memakai apa-apa.

Selain itu, mesin finger juga harus dilengkapi dengan artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan yang lebih canggih. Ada scan kostum dan scan wajah. Untuk scan kostum, dilengkapi dengan pemilahan beberapa jenis pakaian, korpri, khaky, batik, seragam olahraga dan jenis pakaian lainnya. Jadi, misalnya ada yang salah kostum, mesin finger langsung menegur: "Maaf, hari ini Anda salah kostum. Ini kan hari Selasa seharusnya Anda memakai lurik kenapa memakai singlet? Sebaiknya Anda pulang ganti dengan kostum yang benar."

Untuk scan wajah, sebagaimana teknologi mutahir di hp yang bisa mendeteksi wajah senyum dan tidak senyum, seharusnya mesin finger juga dilengkapi dengan teknologi semacam ini. Jadi, akan muncul ucapan: "terima kasih Anda sudah tersenyum hari ini" atau "wajah Anda pucat hari ini, segera periksakan diri Anda ke dokter" atau "wajah Anda cemberut hari ini. Ada apa? Ada masalah keluarga? Mohon jangan dibawa ke tempat kerja,"