Andai saja tak ada Pak Basuki, aku tak bakal tahu isi hatimu.
"Fuad, Elok itu sudah lama memendam rasa kepadamu. Dia sangat mengagumimu. Dia suka membaca puisi-puisimu di blog-mu," kata beliau, salah seorang guru yang aku kagumi tapi justru sangat dekat denganmu.
Sejak itu, aku mulai memperhatikanmu. Setiap kuperhatikan, tak ada beda darimu. Tak ada perubahan apapun. Kau biasa saja, bercanda, ketawa, dan bercerita tentang apa saja. Mungkin kau belum menyadari kalau aku sudah tahu perasaanmu kepadaku walaupun kau tak pernah mengungkapkannya secara langsung dihadapanku. Aku sendiri tak mempunyai rasa apapun kecuali rasa bangga karena ada orang yang menyukaiku. Jadi, aku hanya sekedar memperhatikanmu, memperhatikan perempuan yang diam-diam mengagumiku. Waktu itu, kita masih kelas XI MIPA 3.
Yang aku tahu, kau adalah orang sangat baik. Sejak sekolah di Smanda, kau tak pernah sungkan menolong temanmu, menghapus papan tulis tanpa disuruh, membuang sampah yang berserak tanpa menyalahkan orang yang membuangnya.
Semangatmu juga luar biasa. Jarak kurang lebih 20 kilometer dari rumahmu ke sekolah kau tempuh setiap pagi. Berangkat pukul 05.30, menunggu bus, disambung angkot, dan jalan kaki 800 meter dari balai desa Pasekaran menuju sekolah. Pulang pergi. Perjuanganmu tak sia-sia kau lulus dengan nilai yang baik.
Awal cerita, justru setelah kita lulus sekolah. Kau begitu intensif menanyakan kabarku lewat WA dan berbagi kabar berita tentang dirimu. Kupikir bukan hanya diriku yang secara intensif kau hubungi. Tapi ketika kutanyakan teman-temanku hanya aku yang selalu kau tanyakan kabarnya. Berarti benar kata Pak Basuki. Bagiku tak masalah kau bercerita apa saja kepadaku. Aku senang-senang saja karena kau adalah salah satu teman yang sangat baik dan aku kagumi.
"Kau jadi kuliah dimana?" tanyaku suatu saat.
Jawabanmu sungguh tak kusangka. Kau gagal kuliah karena kondisi keluargamu tak mendukungnya. Ayahmu sakit, ibumu tidak bekerja, dan adikmu butuh biaya untuk sekolah. Mengorbankan keinginanmu, akhirnya kau merantau ke Semarang mencari pekerjaan. Kerja di restauran, di toko bangunan dan di konveksi ku jalani hanya untuk menghidupi keluargamu.
Merantau di Semarang bukan hanya untuk mencari pekerjaan tapi juga lebih dekat dengan informasi tentang perguruan tinggi yang ingin kau masuki. Kau bercerita bahwa kehidupanmu mulai tertata, keluargamu sudah stabil, dan uang kirimanmu kepada ibumu sudah rutin masuk rekening.
"Tak usah repot-repot," kataku ketika kau suatu hari mengunjungi kosku sembari membawa martabak manis.
"Nggak papa, sekali-sekali," katamu
Sampai suatu hari kau harus pulang ke Batang dan memilih bekerja di Batang karena ayahmu mengalami stroke dan ibumu sakit-sakitan. Kau hanya bisa memberi kabat lewat WA.
"Ini barang-barang pemberian dari Elok untukmu," kata ibuku saat kupulang libur kuliah.
Kubuka satu persatu 3 bungkusan di hadapanku. Ada sepatu, kaos, dan jaket.
"Elok anaknya baik sekali lho Ad," kata ibuku memulai pembicaraannya, "putih, cantik, supel. Selain hadiah buatmu, ibu juga dibelikan jilbab lho. Bagus sekali. Jangan-jangan dia suka kamu ya?"
"Teman biasa kok bu," jawabku
"Iya Elok juga bilang begitu. Sekarang teman. Suatu saat akan lebih juga ngga papa,"
Aku pura-pura tak mendengarkan sambil membaca surat yang terselip di dalam bingkisan tersebut. Ternyata tanggalnya beda-beda.
"5 Juli 2017. Tanggal muda gajiku ke-3 di Batang. Sudah bisa nabung dan menyisihkan," tulismu di bingkisan pertama.
"7 Oktober 2017. Hadiahku yang kedua. Semoga kau suka," ada di bingisan berupa sepatu.
"2 Januari 2017. Pakailah. Biar tidak masuk angin Batang-Semarang," ada di bingkisan ketiga.
Walaupun demikian aku tak menghibunginya untuk sekedar berterima kasih sampai dia menanyakan kabar seperti biasanya dan baru aku sekalian mengucapkan terima kasih atas pemberiannya.
Tapi kenapa kau ungkapkan perasaanmu kepadaku. Aku merasa tak pantas untuk menerima cintamu. Walaupun kujawab kita berteman saja dan kau menerima, kutahu rasamu tak pernah surut. Kau ajak aku bercerita hampir setiap harinya. Tapi tak apa. Aku sudah tahu komitmenku untuk meraih cita-citaku. Kau tahu aku tak pernah menurunkan prinsipku. Dan kau tetap saja pantang mundur.
"Silaturahmi kan tidak boleh diputuskan," itu jawabmu
Ah, kau memang curang. Alasan itu hanya kau pakai untuk mendekatiku. Tapi baiklah. Aku menerima alasanmu. Tak ada salahnya berteman dengan orang sebaik dirimu. Aku sendiri merasa beruntung mempunyai teman sebaik dirimu.
Bertahun-tahun kau bercerita kepadaku, bertahun-tahun pula aku suka mendengarkanmu. Kau bercerita tentang dirimu yang ingin menjadi relawan, bercerita tentang cita-citamu yang ingin kuliah.
Tahun lalu kau bercerita tentang dirimu yang harus bekerja menghidupi keluargmu, menyekolahkan adikmu dan merawat ayahmu yang sakit. Dan kau tak pernah sama sekali mengeluhkan semua itu. Kau begitu semangat untuk meraih cita-citamu.
Lama-lama aku mengagumimu dan justru rasa ini yang membuatku takut untuk mencitaimu. Kau perempuan hebat yang pernah kutemui. Kau seorang bidadari.
Sampai suatu hari kau bicara lagi tentang perasaanmu. Tapi sekali lagi mohon maaf, aku semakin takut dengan diriku sendiri. Aku rendah diri di hadapanku. Walaupun kuakui, dalam hatiku mulai tumbuh benih-benih cinta. Namun aku takut kau tak bahagia. Biarlah "aku mencintaimu dengan cara tidak memilikimu" karena kau perempuan hebat. Ada yang lebih pantas untuk dirimu.
Kau mendesak, aku tetap bergeming walaupun dalam hatiku sangat bersyukur akan kehadiranmu.
"Kau egois Ad. Jangan beralasan kau tak mau memilihnya karena dia terlalu baik. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri, hanya memikirkan kuliahmu, cita-citamu yang terlalu besar itu. Diamlah sejenak. Renungkan sejenak. Tegakah kau menggantungnya, membiarkan dia mengharapkanmu tanpa kepastian," kata Samsuardi, teman akrabku sejak SMA.
Suatu sore yang indah di penghujung musim kemarau. Tiab-tiba ada rasa yang mendera. Pesanmu yang biasanya bertubi-tubi sudah dua hari ini berhenti. Tiba-tiba aku merasa rindu serindu-rindunya. Hari ini, aku menyerah dengan rasaku. Aku luluh. Aku buang egoku. Saat ini, aku kuatkan hatiku untuk mengirim pesan lebih dulu. Kutanyakan kabarmu. Kulihat di layar pesan trlah terkirim tapi belum kau huka. Semenit, dua menit, tiga menit, kubuka hp-ku. Belum ada balasan. Sepuluh menit berlalu, sudah sepuluh kali pula kubuka WA-ku. Belum ada balasan juga. Sampai rasa kantukku datang.
"Kak, ayo kita ke sana!" ajakmu.
Kulihat di depan sana sebuah istana yang megah bercat kuning gading berlantai keramik membantuk lukisan indah.
"Ayo!" jawabku
Kau sangat gembira dengan jawabanku. Tawamu tak tertahankan. Kau tarik tanganku. Tapi aku tak memperhatikan dibawahku ada pot bunga. Aku menabraknya dan terjatuh. Tanganmu terlepas. Kau malah berlari sambil tertawa.
"Bangun..bangun,"
Aku tergeragap. Kakakku membangunknku dengan keras.
"Temanmu kecelakaan di depan Hutan Kota. Korban meninggal di tempat,"
"Siapa Kak?"
"Nggak tahu. Ini tadi ibu dapat WA. Coba kamu cek temanmu," kata kakakku sambil menyodorkan hp ibuku.
Kulihat tak ada nama. Hanya nomor dan foto profil yang tak kukenali karena terlalu kecil. Aku segera mengambil hpku untuk menghubungi nomor yang menghubungi hp ibuku.
"Astaghfirullooh.. Mila."
Ternyata yangengirim pesan ke hp ibuku Mila. Dia juga mengirim pesan yang sama kepadaku. Segera kutelepon Mila. Tak diangkat. Kuulangi lagi. Tak diangkat juga.
"Siapa yang kecelakaan Mil?"
Tak ada balasan. Kukirim pesan ke teman-temanku yang lain malah jawabannya nggak tahu.
Setengah jam kemudian baru ada telepon dari Mila.
"Hallo Mil. Siapa yang kecelakaan."
"Elok Ad, Elok, sekarang aku lagi di RSUD sebentar lagi jenazahnya mau dibawa pulang."
Aku tak bisa bicara apapun. Tanganku gemetar. Hpku terjatuh. Air mataku mulai meleleh di pipi. Sesenggukanku lama-lama terdengar mengeras. Hpku diambil oleh kakakku. Kakakku melanjutkan bicaranya dengan Mila.
"Bu.. Mba Elok bu. Temannya Fuad itu lho bu. Baru saja kecelakaan dan meninggal dunia,"
"Innalillahi wainnailaihi roji'un,"
Kami menangis bersama.
Tak ada yang bisa aku katakan lagi. Hanya penyesalan yang tak mungkin aku balas atas optimismu mengharapkanku.
Kini kau telah tiada. Aku bersaksi kau adalah salah satu perempuan yang sangat baik yang pernah kukenal. Semoga Tuhan menempatkanmu di surgaNya bersama-sama orang-orang yang sholih.
Rabu, 27 November 2019
Senin, 25 November 2019
MARAHI DONG!
Salah pengertian tidak hanya terhadap orang lain. Terhadap istri dan anak sendiri juga sering kali terjadi. Berbagi tugas menjemput anak dari tempat les antara aku dan istriku sudah menjadi rutinitas kami. Namun ada kalanya terjadi salah pengertian di antara kami.
Pada hari Senin kemarin, istriku tidak bisa menjemput karena ada kegiatan. Maka istriku mengirim pesan kepadaku untuk menjemput anakku yang biasanya selesai les pukul 16.30.
Aku pun dengan mantap berangkat menjemput les pukul 16.30 tepat. Namun, rupanya anakku sudah selesai.
"Kok terlambat sih. Kan tadi sudah bilang ke Mama suruh jemput jam empat," kata anakku dengan muka dilipat.
"Mama bilangnya jam setengah lima kok," kataku membela diri sambil menunjukkan WA dari istriku.
Sepanjang perjalanan anakku cemberut. Sampai rumah pun masih cemberut.
"Nanti mama dimarahin lho Pa!" pinta anakku.
"Iya," jawabku
Sampai mamanya pulang.
"Tuh, mama pulang," kata anakku kepadaku.
"Mama ke sini! Mau tak marahin," kataku kepada istriku
"Jangan gitu marahinnya. Ga usah bilang mau dimarahin. Langsung dimarahin aja," kata anakku dengan muka jengkel.
"Ada apa Pa? Mama mau dimarahin apa?" kata istriku dengan senyumnya yang manis.
"Mau dimarahin nggak usah nanya mau dimarahin apa. Dimarahin ya dimarahin aja." lanjut anakku sengit.
"Terus kenapa mama dimarahin?"
"Tadi mama bilang suruh jemputnya jam setengah lima. Padahal pulangnya jam empat. Ya Azam sudah nunggu lama," sambungku
"Kan biasanya pulang setengah lima," kata istriku berusaha membela diri.
"Kan tadi sudah diWA suruh jemput jam empat," kata anakku dengan nada tinggi
"Ya maaf deh,"
"Mama jangan minta maaf dulu. Belum dimarahin sudah minta maaf. Nanti nggak jadi dimarahin," lanjut anakku.
"Terus Papa harus gimana sama mama?" tanyaku
"Ya dimarahin dong!" kata anakku
"Iya, dimarahin gimana?" tanyaku bingung
"Huhh," gerutu anakku marah sendiri kemudian pergi.
Pada hari Senin kemarin, istriku tidak bisa menjemput karena ada kegiatan. Maka istriku mengirim pesan kepadaku untuk menjemput anakku yang biasanya selesai les pukul 16.30.
Aku pun dengan mantap berangkat menjemput les pukul 16.30 tepat. Namun, rupanya anakku sudah selesai.
"Kok terlambat sih. Kan tadi sudah bilang ke Mama suruh jemput jam empat," kata anakku dengan muka dilipat.
"Mama bilangnya jam setengah lima kok," kataku membela diri sambil menunjukkan WA dari istriku.
Sepanjang perjalanan anakku cemberut. Sampai rumah pun masih cemberut.
"Nanti mama dimarahin lho Pa!" pinta anakku.
"Iya," jawabku
Sampai mamanya pulang.
"Tuh, mama pulang," kata anakku kepadaku.
"Mama ke sini! Mau tak marahin," kataku kepada istriku
"Jangan gitu marahinnya. Ga usah bilang mau dimarahin. Langsung dimarahin aja," kata anakku dengan muka jengkel.
"Ada apa Pa? Mama mau dimarahin apa?" kata istriku dengan senyumnya yang manis.
"Mau dimarahin nggak usah nanya mau dimarahin apa. Dimarahin ya dimarahin aja." lanjut anakku sengit.
"Terus kenapa mama dimarahin?"
"Tadi mama bilang suruh jemputnya jam setengah lima. Padahal pulangnya jam empat. Ya Azam sudah nunggu lama," sambungku
"Kan biasanya pulang setengah lima," kata istriku berusaha membela diri.
"Kan tadi sudah diWA suruh jemput jam empat," kata anakku dengan nada tinggi
"Ya maaf deh,"
"Mama jangan minta maaf dulu. Belum dimarahin sudah minta maaf. Nanti nggak jadi dimarahin," lanjut anakku.
"Terus Papa harus gimana sama mama?" tanyaku
"Ya dimarahin dong!" kata anakku
"Iya, dimarahin gimana?" tanyaku bingung
"Huhh," gerutu anakku marah sendiri kemudian pergi.
HARUSNYA AKU
"Ku tak bahagia, melihat kau bahagia dengannya.
Aku terluka, tak bisa dapatkan kau sepenuhnya.
Aku terluka, melihat kau bermesraan dengannya."
Kegiatan kebersihan kelas dan penghijauan sekolah menyisakan waktu yang panjang. Seusai kegiatan, masih banyak waktu yang tersisa sambil menunggu kelas yang lain menyelesaikan tugasnya.
Sudut di depan laboratorium komputer yang bebas dari aktifitas menjadi alternatif untuk mengisi kekosongan. Berbekal gitar dan suara yang lumayan (lumayan pas-pasan) mereka mojok bersama dan bernyanyi bersama. Ternyata suara pas-pasan kalau digabungkan bisa menjadi paduan suara yang merdu. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Pas-pasan ditambah pas-pasan menjadi merdu.
Menyanyi adalah hak semua orang yang tidak dilindungi oleh Undang-Undang manapun. Jangan takut dibilang suaranya pas-pasan. Semua orang mempunyai suara yang berbeda-beda dan unik. Maka menyanyilah! Siapa tahu ada produser yang tertarik dengan suara Anda.
Mereka menyanyikan lagu "Harusnya aku" milik Armada. Lagu ini menceritakan ketidakbahagiaan seseorang karena kekasihnya meninggalkannya untuk pergi bersama orang lain.
Walaupun demikian, lagu yang isinya tak bahagia ini dinyanyikan dengan cara yang bahagia. Bahagia karena jam kosong, tak ada pelajaran. Apalagi nyanyian mereka direkam. Diunggah di medsos. Di-like. Terus mendapat orderan. Nyanyi di acara mantenan dan sunatan. Dapat bayaran. Tambah saweran.
Tambah bahagia
TANDA-TANDA
"Pa, banyak semut di tembok," kata istriku
"Alhamdulillah, berarti sebentar lagi hujan," jawabku
"Hih Papa kayak dukun saja, jadi syirik lho Pa," kata istriku
"Ini nggak syirik Ma. Nggak ada hubungannya dengan ilmu perdukunan Ma. Ini ilmu alam. Banyak tanda-tanda alam, binatang maupun tumbuhan yang menandakan akan terjadinya sesuatu. Hewan dan tumbuhan diberi kemampuan untuk membedakan arah angin, tekanan udara dan kelembaban. Semut salah satunya. Maka mereka keluar dari sarang dan naik ke atas sambil menyelamatkan telur-telurnya," jelasku
"Tapi kok langitnya masih cerah. Nggak mendung," desak istriku
"Sabar, prosesnya 1-2 hari, insyaalloh mendungnya segera datang," kataku
"Kok Papa tahu sih?" tanya istriku penasaran.
"Tahu dong. Itu tanda alam yang harus dipelajari manusia. Banyak tanda-tanda mau hujan selain semut. Misalnya, capung, burung sriti dan burung walet yang terbang bergerombol di angkasa. Pohon gadung mulai tumbuh tunas itu juga tanda mau mulai musim hujan. Jadi itu bukan syirik. Justru itu yang harus dipahami oleh manusia bahwa Tuhan memberitahu akan terjadinya sesuatu dengan tanda-tanda yang harus dibaca oleh manusia. Perintah "Iqro'" tidak hanya untuk membaca kitab suci tapi juga membaca tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhan. Dengan demikian, manusia bisa bersyukur dan mengagumi ciptaanNya sekaligus membuktikan keagunganNya. Fahimtum?"
"Fahimna," jawab istriku
"Karena Papa bisa membaca tanda-tanda alam maka Mama bisa jadi istri Papa," imbuhku
"Apa hubungannya?" tanya istriku merasa aneh.
"Dulu kalau ketemu Mama hati Papa selalu deg deg ser. Rasanya kayak apa gitu. Itu tanda yang diberikan Tuhan kepada Papa," lanjutku
"Nggak pakai istikhoroh?" tanya istriku lagi.
"Nggak perlu. Wong tanda-tandanya sudah jelas kok. Ngapain pakai istikhoroh,"
"Dasar!"
TWINDA PUTRI ELOK
Kau pernah berkata, "aku ingin menjadi relawan, relawan apa saja, yang penting bisa bermanfaat bagi manusia,"
Musim berganti
Hujan dan terik menerpamu
Semangatmu
Kebaikanmu
Kasih sayangmu
Senyummu
tak pernah padam kau tebarkan kepada sesama.
Deritamu
Sakitmu
Sedihmu
Dukamu
Kau pendam dalam-dalam.
Kau begitu teguh
Kau begitu sabar
Kau begitu ikhlas
Perjalananmu tak begitu panjang.
Tapi jejak yang kau tinggalkan kan slalu dikenang.
Daun memilih jatuh demi kuncup berkembang.
Senyum yang selalu mekar di ujung bibirmu menjadi semangat bagi orang-orang yang mengenalmu, menyayangimu, dan mencintaimu
untuk terus berjuang
untuk meneruskan cita-citamu
untuk mewujudkan keinginanmu.
menjadi relawan
relawan kebaikan
relawan kasih sayang
relawan keikhlasan
untuk berbagi dan membantu sesama manusia.
Kini kau telah berbaring damai di sana.
Tidurlah yang indah Sayang
dalam keheningan
di taman kesturi
tamannya para nabi
pusaramu akan selalu semerbak mewangi
MENGUPAS MANGGA
Hari Minggu adalah hari keluarga. Walaupun demikian, tidak harus hari Minggu dimanfaatkan untuk bersenang-senang, piknik, shoping, pergi ke bioskop atau ke tempat-tempat yang mengasyikkan. Hari Mingguku kumanfaatkan untuk berkumpul bersama istri dan anak-anakku di rumah saja. Alasannya sederhana yaitu tanggal tua. Anak-anakku di depan laptop menonton film dari VCD bajakan hasil pinjam di persewaan VCD, aku membaca koran dan istriku menyeterika. Tidak menonton TV? Di rumah kami, ada televisi 21' tapi televisi itu sudah lama kami matikan, mau dijual tapi tak ada yang mau beli.
"Papa nggak ngupas mangga?" tanya istriku yang sedang menyeterika.
Kulihat masih ada 2 buah mangga belum dikupas di plastik buah.
"Nggak," jawabku.
"Emangnya Papa nggak pingin?" tanya istriku lagi.
"Nggak," jawabku
"Enak lho Pa," sambung istriku
"Iya sih," jawabku lagi.
"Itu pisaunya ada di atas toples kacang," kata istriku
"Iya, terima kasih sudah menunjukkan letaknya," jawabku
"Dari tadi nyeterika kok jadi sumuk ya," lanjut istriku
"Ya berhenti dulu," kataku
"Tapi kalau berhenti biar seger ngapain ya Pa?"
"Mandi," jawabku
"Sebelum mandi, enaknya makan yang seger apa ya Pa?"
"Ini ada mangga," jawabku
"Enak tuh kalau dikupas," kata istriku
"Ya dikupas dulu lah. Masa makan mangga nggak dikupas. Tuh pisaunya di atas toples kacang," jawabku
"Sudah tahu," jawab istriku dengan suara mengeras
"Iya ding tadi Mama yang nunjukin," kataku
"Papa mau ngupas mangga?" tanya istriku
"Nggak," jawabku
"Kalau ngupasin buat Mama?"
"Ooo...minta dikupasin tho? Bilang dong!" kataku
"Dari tadiiiiiiiiiii...... Nggak peka amat sih."
"Papa nggak ngupas mangga?" tanya istriku yang sedang menyeterika.
Kulihat masih ada 2 buah mangga belum dikupas di plastik buah.
"Nggak," jawabku.
"Emangnya Papa nggak pingin?" tanya istriku lagi.
"Nggak," jawabku
"Enak lho Pa," sambung istriku
"Iya sih," jawabku lagi.
"Itu pisaunya ada di atas toples kacang," kata istriku
"Iya, terima kasih sudah menunjukkan letaknya," jawabku
"Dari tadi nyeterika kok jadi sumuk ya," lanjut istriku
"Ya berhenti dulu," kataku
"Tapi kalau berhenti biar seger ngapain ya Pa?"
"Mandi," jawabku
"Sebelum mandi, enaknya makan yang seger apa ya Pa?"
"Ini ada mangga," jawabku
"Enak tuh kalau dikupas," kata istriku
"Ya dikupas dulu lah. Masa makan mangga nggak dikupas. Tuh pisaunya di atas toples kacang," jawabku
"Sudah tahu," jawab istriku dengan suara mengeras
"Iya ding tadi Mama yang nunjukin," kataku
"Papa mau ngupas mangga?" tanya istriku
"Nggak," jawabku
"Kalau ngupasin buat Mama?"
"Ooo...minta dikupasin tho? Bilang dong!" kataku
"Dari tadiiiiiiiiiii...... Nggak peka amat sih."
Rabu, 20 November 2019
CITA-CITA JADI PREMAN
Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2006 di Kebumen.
Suatu hari aku harus mengantar istriku belanja di Kebumen. Setelah blusukan ke pasar dan beberapa toko, istriku menyempatkan mampir ke Banana Bakery di depan terminal Kebumen untuk membeli roti. Sekarang terminal ini sudah dipindahkan ke jalan lingkar selatan dan lokasi ini dijadikan taman kota.
Karena sudah bosan ikut blusukan dan cukup membosankan maka aku tidak mengikuti istriku masuk ke toko roti tersebut. Aku berdiri di depan toko sambil menikmati lalu lalang kendaraan yang keluar masuk terminal.
Tiba-tiba datang seorang anak kecil berumur kurang lebih 8 tahun.
"Om...tolong sebrangke om," pinta dia sambil membetulkan karet gelang warna merah yang sudah melingkar di kepalanya yang plontos. Kulihat di kepalanya sudah ada tanda mblaret kebiruan.
"Karet di kepalamu dilepas saja. Bahaya. Sudah mblaret biru," kataku
"Jangan om... ini untuk tanda biar kelihatan sangar," jawabnya.
"Kok biar sangar segala. Buat apa?" tanyaku
"Lha untuk meraih cita-citaku memang harus sangar," katanya.
"Cita-citamu jadi apa kok harus sangar?" tanyaku penasaran.
"Jadi preman," jawabnya ringan.
Aku terdiam termangu mendengar jawabannya.
"Jadi preman kok nggak berani menyebrang sendiri. Sana nyebrang sendiri," jawabku
"Nggak berani Om,"
"Kalau nggak berani. Ngga usah jadi preman,"
"Kalau nggak berani. Ngga usah jadi preman,"
"Tapi aku ingin jadi preman Om,"
"Cita-cita kok preman. Kenapa sih harus jadi preman?"
"Sudah dibilangin. Preman itu sangar Om," kata dia bertahan dengan pendapatnya.
"Ya sudah sana nyebrang sendiri!"
"Ga berani Om. Tolong om sebrangin!" dia merengek
"Ah, preman kok penakut. Ya sudah yok tak sebrangin. Ga usah jadi preman ya!"
Sambil mengamati kendaraan sampai sepi kudorong dia untuk berlari menyeberang.
"Sudah sepi. Sana lari,"
Dia berlari sampai seberang dan menghilang di antara hiruk-pikuk terminal.
Suatu hari aku harus mengantar istriku belanja di Kebumen. Setelah blusukan ke pasar dan beberapa toko, istriku menyempatkan mampir ke Banana Bakery di depan terminal Kebumen untuk membeli roti. Sekarang terminal ini sudah dipindahkan ke jalan lingkar selatan dan lokasi ini dijadikan taman kota.
Karena sudah bosan ikut blusukan dan cukup membosankan maka aku tidak mengikuti istriku masuk ke toko roti tersebut. Aku berdiri di depan toko sambil menikmati lalu lalang kendaraan yang keluar masuk terminal.
Tiba-tiba datang seorang anak kecil berumur kurang lebih 8 tahun.
"Om...tolong sebrangke om," pinta dia sambil membetulkan karet gelang warna merah yang sudah melingkar di kepalanya yang plontos. Kulihat di kepalanya sudah ada tanda mblaret kebiruan.
"Karet di kepalamu dilepas saja. Bahaya. Sudah mblaret biru," kataku
"Jangan om... ini untuk tanda biar kelihatan sangar," jawabnya.
"Kok biar sangar segala. Buat apa?" tanyaku
"Lha untuk meraih cita-citaku memang harus sangar," katanya.
"Cita-citamu jadi apa kok harus sangar?" tanyaku penasaran.
"Jadi preman," jawabnya ringan.
Aku terdiam termangu mendengar jawabannya.
"Jadi preman kok nggak berani menyebrang sendiri. Sana nyebrang sendiri," jawabku
"Nggak berani Om,"
"Kalau nggak berani. Ngga usah jadi preman,"
"Kalau nggak berani. Ngga usah jadi preman,"
"Tapi aku ingin jadi preman Om,"
"Cita-cita kok preman. Kenapa sih harus jadi preman?"
"Sudah dibilangin. Preman itu sangar Om," kata dia bertahan dengan pendapatnya.
"Ya sudah sana nyebrang sendiri!"
"Ga berani Om. Tolong om sebrangin!" dia merengek
"Ah, preman kok penakut. Ya sudah yok tak sebrangin. Ga usah jadi preman ya!"
Sambil mengamati kendaraan sampai sepi kudorong dia untuk berlari menyeberang.
"Sudah sepi. Sana lari,"
Dia berlari sampai seberang dan menghilang di antara hiruk-pikuk terminal.
Senin, 18 November 2019
MENCARI HUJAN
Suhu menyengat mencapai 35 derajat celcius dalam beberapa hari ini. Hujan satu kali yang turun minggu lalu serasa menguap begitu saja. Sampai kini belum ada hujan lanjutan.
Panas ini yang membuatku bersama istri dan anak-anakku sepakat mencari hujan. Pada hari Minggu pagi, kami pergi ke arah selatan Batang. Di wilayah selatan kabupaten Batang yang berupa pegunungan sudah masyhur akan curah hujannya yang tinggi. Wilayah lain belum hujan, wilayah selatan sudah hujan. Wilayah lain jarang hujan, wilayah selatan sudah berkali-kali turun hujan. Wilayah lain gerimis, wilayah selatan hujan lebat. Hujan di wilayah ini yang kami cari. Kami sudah rindu hujan.
"Pokoknya nanti kalau hujan turun, aku akan hujan-hujanan," kataku penuh keyakinan.
Di awal perjalanan, kami belum menentukan tujuan utama kami. Banyak alternatif tujuan wisata di wilayah selatan Batang yang bisa dijangkau hanya dalam waktu 15-30 menit. Ada bina garut, ecopark, si kembang, curug genting, curug bidadari, pagilaran, selopajang dan lain-lain.
Akhirnya, dalam perjalanan kami sepakat menuju Pagilaran, sebuah destinasi wisata perkebunan teh di kecamatan Blado.
Kurang lebih pukul 09.00 kami tiba di Pagilaran. Sudah kuduga, banyak pengunjung yang mengunjungi Pagilaran. Aku yakin, udara sejuk pegunungan lah yang membuat mereka menyerbu destinasi ini. Di Pagilaran, orang dapat menikmati suasana kebun teh yang hijau, arena mainan, jembatan gantung yang membuat jantung berdegup, flying fox, bebek-bebekan di kolam yang tenang, dan panggung dangdut yang menampilkan penyanyi lokal dengan lagu-lagu paling hits.
Sebagaimana piknik keluarga, tak lupa kami membawa rantang nasi, sayur, kering tempe, mendoan dan minuman. Dengan menggelar tikar di bawah pepohonan pinus yang rindang, kami makan bersama. Keren kan? Kami betul-betul keluarga jadul. Tapi istriku tidak menerima istilah itu.
"Makanan dari rumah lebih higienis," kata dia beralasan.
Entah itu alasan sebenarnya atau hanya sebuah alibi untuk mengalihkan perhatian terhadap kondisi keuangan yang harus ngirit.
Untung saja tidak semua wisatawan seperti kami. Seandainya seperti itu, tentu Bali tidak pernah membanggakan wisatanya. Bayangkan wisatawan dari Amerika, Eropa, Australia dan dari seluruh dunia datang ke Bali membawa rantang dan termos sendiri, makanan sendiri, minuman sendiri, dan tikar sendiri. Restaurant bangkrut, hotel tutup. Jadi jangan tiru kami apabila Anda mendukung pariwisata.
Tak terasa hari semakin siang. Adzan dari masjid Pagilaran memanggil kami untuk menunaikan sholat dzuhur. Namun hujan yang kucari belum datang juga. Beberapa gumpal awan kadang lewat namun hanya menyapa sebentar untuk kemudian berlalu tanpa "goodbye". Semakin sore semakin sama saja. Hujan belum juga berkenan menyapa kami. Akhirnya kami pulang tanpa menemukan hujan.
Sesampainya di rumah, aku mandi sepuasnya memakai pancuran sambil membayangkan hujan.
Minggu, 10 November 2019
LARON
Musim hujan nampaknya sudah dimulai. Tanggal 8 Nopember 2019 malam jam 22.00 terjadi hujan deras. Paginya tgl 9 Nopember 2019 banyak laron keluar dari dalam tanah. Makhluk jelmaan rayap yang keluar untuk mencari pasangan untuk kemudian beranak pinak dalam koloni baru ini beterbangan di jalan-jalan, bahkan masuk ke dalam rumah mencari terang lampu yang terlambat dimatikan. Saat-saat seperti ini menjadi pesta para binatang pemakan serangga, cicak, tokek, kadal, kodok, burung, ikan dan semut.
Cicak yang biasanya bersembunyi ketika pagi menjelang, kini nampak di dinding-dinding luar rumah, pos kamling, sekolah, perkantoran, gudang, kantor polisi, kantor pajak, kantor dinas P & K, kantor Bupati, gedung DPRD, dan pos jaga polisi di sudut perempatan.
Selain binatang, anak-anak kecil berlarian meloncat mengejar laron yang masih terbang. Tak tertarik sama sekali dengan laron yang sudah melepas bulunya dan jatuh ke tanah yang hanya terinjak-injak. Padahal setelah tertangkap laron-laron tersebut dibuang. Seakan-akan hanya untuk menambah keterampilan menangkap sesuatu. Sama sekali tidak ada ide lain. Harusnya dikumpulkan, diberikan ke emak mereka untuk digoreng kering, dipeyek, dicrispy atau ditumis pedas. Enak dan bergizi tinggi.
Tidak hanya anak kecil, tetanggaku Pak R (inisial saja ya) juga sibuk menangkap serangga sosial anggota infraordo Isoptera, bagian dari ordo Blattodea ini. Bedanya, dia menangkap laron yang sudah jatuh ke tanah dan tak bisa terbang lagi. Memakai baskom berisi air, satu per satu laron diambil dan dimasukkan ke air. Tentu saja mati karena laron tak bisa berenang. Kasihan.
"Untuk pakan burung. Burung senang sekali dengan laron. Bisa menambah kualitas suara dan semakin gacor," katanya
"Biar nggak repot, burungnya dilepas saja Pak biar menangkap sendiri. Pasti burungnya lebih senang"
😠😠😡😡
Cicak yang biasanya bersembunyi ketika pagi menjelang, kini nampak di dinding-dinding luar rumah, pos kamling, sekolah, perkantoran, gudang, kantor polisi, kantor pajak, kantor dinas P & K, kantor Bupati, gedung DPRD, dan pos jaga polisi di sudut perempatan.
Selain binatang, anak-anak kecil berlarian meloncat mengejar laron yang masih terbang. Tak tertarik sama sekali dengan laron yang sudah melepas bulunya dan jatuh ke tanah yang hanya terinjak-injak. Padahal setelah tertangkap laron-laron tersebut dibuang. Seakan-akan hanya untuk menambah keterampilan menangkap sesuatu. Sama sekali tidak ada ide lain. Harusnya dikumpulkan, diberikan ke emak mereka untuk digoreng kering, dipeyek, dicrispy atau ditumis pedas. Enak dan bergizi tinggi.
Tidak hanya anak kecil, tetanggaku Pak R (inisial saja ya) juga sibuk menangkap serangga sosial anggota infraordo Isoptera, bagian dari ordo Blattodea ini. Bedanya, dia menangkap laron yang sudah jatuh ke tanah dan tak bisa terbang lagi. Memakai baskom berisi air, satu per satu laron diambil dan dimasukkan ke air. Tentu saja mati karena laron tak bisa berenang. Kasihan.
"Untuk pakan burung. Burung senang sekali dengan laron. Bisa menambah kualitas suara dan semakin gacor," katanya
"Biar nggak repot, burungnya dilepas saja Pak biar menangkap sendiri. Pasti burungnya lebih senang"
😠😠😡😡
Jumat, 08 November 2019
FUTURE SIMPLE
Pada hari Jum'at, 8 Nopember 2019, aku menjelaskan materi future simple dalam Bahasa Perancis di kelas XII MIPA 4.
"Future simple adalah bentuk kata kerja yang digunakan untuk menjelaskan kejadian di masa yang akan datang."
Formula kata kerja future simple adalah
Infinitif ditambah ai, as, a, ons, ez, dan ont.
Contoh:
Kata kerja AIMER artinya cinta
J'aimerai
Tu aimeras
Il aimera
Elle aimera
Nous aimerons
Vous aimerez
Ils aimeront
Elles aimeront
Future simple harus diikuti kata keterangan waktu "demain" (besok), "prochain/e" (yang akan datang) dan "dans".. (dalam....lagi)
"Coba buat contoh kalimat dengan future simple!" perintahku
"Bambang, kamu sekarang milik Atun, tapi ingat 'dans deux ans je t'aimerai'." tiba-tiba Nadia (nama samaran) angkat bicara dengan kekacauan yang sempurna. Campur aduk Bahasa Indonesia dengan Bahasa Perancis seperti cendol dawet.
"Dans deux ans, je t'aimerai, artinya?" tanyaku
"Dua tahun lagi, aku akan mencintaimu," jawabnya.
Baru kali ini, Nadia menjawab dan menanggapi perintahku dalam Bahasa Perancis. Oh, rupanya ada faktor Bambang. Bambang (nama samaran juga) adalah pemuda pujaan di kelas ini. Wajahnya yang imut-imut, sikapnya yang cool, senyumnya yang selalu menggelayut telah membuat para gadis di kelas ini jatuh cinta kepadanya. Nadia salah satunya. Dia merasa dia yang paling berhak mendapatkan Bambang karena secara zonasi rumahnya paling dekat dengan rumah Bambang. Tapi melalui jalur prestasi, Atun (ini juga nama samaran) sudah hampir memenangkan persaingan ini. Jadi, Nadia hanya berharap suatu saat dia akan mendapatkan cinta Bambang. Belum usai dua anak ini bersaing, Aini (tentu saja ini nama samaran) dan Amanda (sama dengan yang lain, ini juga nama samaran) ikut meramaikan persaingan memperebutkan Bambang. Teman-temannya sesama lelaki hanya bisa curiga, sedikit iri dan geleng-geleng kepala. Entah ilmu pelet apa yang Bambang miliki. Aji pengasihan? Aji pemikat? Aji penakluk cinta? Jaran goyang? Semar mesem? Hanya dia dan dukunnya yang tahu.
Aku hanya merasa aneh dengan kondisi kelas ini. Penuh dengan intrik, kompetisi, intimidasi, persaingan, persekongkolan, dan pertarungan. Tapi biarlah, yang penting Nadia jadi pintar Bahasa Perancis.
"Future simple adalah bentuk kata kerja yang digunakan untuk menjelaskan kejadian di masa yang akan datang."
Formula kata kerja future simple adalah
Infinitif ditambah ai, as, a, ons, ez, dan ont.
Contoh:
Kata kerja AIMER artinya cinta
J'aimerai
Tu aimeras
Il aimera
Elle aimera
Nous aimerons
Vous aimerez
Ils aimeront
Elles aimeront
Future simple harus diikuti kata keterangan waktu "demain" (besok), "prochain/e" (yang akan datang) dan "dans".. (dalam....lagi)
"Coba buat contoh kalimat dengan future simple!" perintahku
"Bambang, kamu sekarang milik Atun, tapi ingat 'dans deux ans je t'aimerai'." tiba-tiba Nadia (nama samaran) angkat bicara dengan kekacauan yang sempurna. Campur aduk Bahasa Indonesia dengan Bahasa Perancis seperti cendol dawet.
"Dans deux ans, je t'aimerai, artinya?" tanyaku
"Dua tahun lagi, aku akan mencintaimu," jawabnya.
Baru kali ini, Nadia menjawab dan menanggapi perintahku dalam Bahasa Perancis. Oh, rupanya ada faktor Bambang. Bambang (nama samaran juga) adalah pemuda pujaan di kelas ini. Wajahnya yang imut-imut, sikapnya yang cool, senyumnya yang selalu menggelayut telah membuat para gadis di kelas ini jatuh cinta kepadanya. Nadia salah satunya. Dia merasa dia yang paling berhak mendapatkan Bambang karena secara zonasi rumahnya paling dekat dengan rumah Bambang. Tapi melalui jalur prestasi, Atun (ini juga nama samaran) sudah hampir memenangkan persaingan ini. Jadi, Nadia hanya berharap suatu saat dia akan mendapatkan cinta Bambang. Belum usai dua anak ini bersaing, Aini (tentu saja ini nama samaran) dan Amanda (sama dengan yang lain, ini juga nama samaran) ikut meramaikan persaingan memperebutkan Bambang. Teman-temannya sesama lelaki hanya bisa curiga, sedikit iri dan geleng-geleng kepala. Entah ilmu pelet apa yang Bambang miliki. Aji pengasihan? Aji pemikat? Aji penakluk cinta? Jaran goyang? Semar mesem? Hanya dia dan dukunnya yang tahu.
Aku hanya merasa aneh dengan kondisi kelas ini. Penuh dengan intrik, kompetisi, intimidasi, persaingan, persekongkolan, dan pertarungan. Tapi biarlah, yang penting Nadia jadi pintar Bahasa Perancis.
MOBIL DAN SANDAL
Pada tahun 1995-an.
Sedang enak-enaknya menikmati istirahat sambil ngopi di halaman pondok, tiba-tiba Gus Jalal mendekat.
"Bas, temani ke bandara yuk!" ajak Gus Jalal.
"Ada keperluan apa Gus" tanyaku
"Beli tiket,"
Gus Jalal mengeluarkan mobil Honda Accord warna merah maron dari garasi. Beliau tahu aku belum bisa menyetir maka tak mungkin beliau menyuruhku memegang kemudi.
"Ayo naik," teriak beliau.
Aku segera membuka pintu belakang dan naik.
"Duduknya jangan di belakang, di depan sini," suruh Gus Jalal
"Saya di belakang saja Gus. Biar Panjenengan saja yang di depan," jawabku.
Tentu saja, aku merasa tidak sopan duduk sejajar dengan putra kyaiku. Tidak beradab.
"Ealah, aku cuma dianggap supir. Kalau naik mobil, yang duduk di belakang itu juragan, yang duduk di samping supir itu kenek. Lha kalau sampeyan duduk di belakang, berarti sampeyan juragan aku supir. Nanti waktu turun, aku yang membukakan pintu? Enak saja,"
"Tapi saya nggak enak Gus,"
"Eh lah, dibilangin kok. Ayo pindah ke depan,"
Dengan rasa bingung, akhirnya aku pindah ke depan.
"Nah gitu, sekarang aku supir, sampeyan kenek. Tinggi mana kedudukan supir sama kenek?"
"Supir Gus,"
"Ya betul,"
Mobil berjalan menuju bandara Adi Sucipto. Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ke bandara kota Yogyakarta itu.
"Maaf Gus, saya di parkiran saja,"
"Mau nungguin mobil? Nggak perlu ditungguin, sudah ada tukang parkirnya."
"Bukan karena itu Gus,"
"Lha kenapa?"
"Sandal saya selen Gus,"
"Lepas sandalnya," suruh Gus Jalal.
Tanpa basa-basi, aku melepas sandalku yang warna-warni. Sebelah kanan berwarna biru, sebelah kiri berwarna merah. Sekarang aku nyeker. Aku menggerutu akan nasibku. Seharusnya aku tadi pinjam sandal kulitnya Ihsan yang bagus itu. Ah sial. Ini gegara budaya ghosob yang sulit dihilangkan di pondokku. Budaya memakai sandal tanpa ijin dan tanpa peduli siapa pemiliknya menyebabkan sandal akan berpindah tempat semaunya. Bisa tiba-tiba berada di masjid, di dapur, di toilet dan bahkan di manapun. Pasangannya pun kadang berubah jadi tidak karuan. Hijau berpasangan dengan merah, merah dengan biru, biru dengan kuning. Sandal nomor 10 berpasangan dengan nomor 9, nomor 9 berpasangan dengan nomor 11, nomor 11 berpasangan dengan nomor 8. Para sandal sendiri, seakan-akan tak peduli. Mereka berprinsip “kalau jodoh tak akan kemana”. Iya sih, kadang-kadang secara tiba-tiba sepasang sandal akan kembali ke tempat semula dengan bahagia dan bertemu kembali dengan pasangan sejatinya.
Tidak hanya sandal, sepatu saja bisa berubah pasangan. Sepatu bisa berpasangan dengan sepatu lain, dengan sandal jepit, dengan sandal gunung, bahkan dengan bakiak. Budaya yang sudah dimaklumi oleh semua orang ini mau tak mau juga menjadi budayaku sekarang ini. Aku tadi hanya mengambil sandal sekenanya di depan asrama. Entah milik siapa.
Efeknya baru terasa ketika aku kini berada di luar pondok. Ternyata muncul rasa malu memakai sandal selen.
Namun tak kusangka, sandalku yang warna warni itu diambil oleh Gus Jalal dan dipakai.
"Sampeyan pakai sandalku."
Kaget campur bingung terpaksa aku memakai sandal beliau. Tanpa banyak kata beliau jalan menuju loket tiket dengan memakai sandal selen. Aku mengikuti beliau dengan cukup pede dengan langkah yang semakin mantap karena sandalku sekarang berganti dengan sandal kulit merk "Carvil".
"Orang ganteng pakai sandal selen tetap saja kelihatan ganteng. Orang jelek walaupun sandalnya keren tetap saja kelihatan jelek. Ha ha," celetuk Gus Jalal
"Sumpah ngenyek."
Sedang enak-enaknya menikmati istirahat sambil ngopi di halaman pondok, tiba-tiba Gus Jalal mendekat.
"Bas, temani ke bandara yuk!" ajak Gus Jalal.
"Ada keperluan apa Gus" tanyaku
"Beli tiket,"
Gus Jalal mengeluarkan mobil Honda Accord warna merah maron dari garasi. Beliau tahu aku belum bisa menyetir maka tak mungkin beliau menyuruhku memegang kemudi.
"Ayo naik," teriak beliau.
Aku segera membuka pintu belakang dan naik.
"Duduknya jangan di belakang, di depan sini," suruh Gus Jalal
"Saya di belakang saja Gus. Biar Panjenengan saja yang di depan," jawabku.
Tentu saja, aku merasa tidak sopan duduk sejajar dengan putra kyaiku. Tidak beradab.
"Ealah, aku cuma dianggap supir. Kalau naik mobil, yang duduk di belakang itu juragan, yang duduk di samping supir itu kenek. Lha kalau sampeyan duduk di belakang, berarti sampeyan juragan aku supir. Nanti waktu turun, aku yang membukakan pintu? Enak saja,"
"Tapi saya nggak enak Gus,"
"Eh lah, dibilangin kok. Ayo pindah ke depan,"
Dengan rasa bingung, akhirnya aku pindah ke depan.
"Nah gitu, sekarang aku supir, sampeyan kenek. Tinggi mana kedudukan supir sama kenek?"
"Supir Gus,"
"Ya betul,"
Mobil berjalan menuju bandara Adi Sucipto. Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ke bandara kota Yogyakarta itu.
"Maaf Gus, saya di parkiran saja,"
"Mau nungguin mobil? Nggak perlu ditungguin, sudah ada tukang parkirnya."
"Bukan karena itu Gus,"
"Lha kenapa?"
"Sandal saya selen Gus,"
"Lepas sandalnya," suruh Gus Jalal.
Tanpa basa-basi, aku melepas sandalku yang warna-warni. Sebelah kanan berwarna biru, sebelah kiri berwarna merah. Sekarang aku nyeker. Aku menggerutu akan nasibku. Seharusnya aku tadi pinjam sandal kulitnya Ihsan yang bagus itu. Ah sial. Ini gegara budaya ghosob yang sulit dihilangkan di pondokku. Budaya memakai sandal tanpa ijin dan tanpa peduli siapa pemiliknya menyebabkan sandal akan berpindah tempat semaunya. Bisa tiba-tiba berada di masjid, di dapur, di toilet dan bahkan di manapun. Pasangannya pun kadang berubah jadi tidak karuan. Hijau berpasangan dengan merah, merah dengan biru, biru dengan kuning. Sandal nomor 10 berpasangan dengan nomor 9, nomor 9 berpasangan dengan nomor 11, nomor 11 berpasangan dengan nomor 8. Para sandal sendiri, seakan-akan tak peduli. Mereka berprinsip “kalau jodoh tak akan kemana”. Iya sih, kadang-kadang secara tiba-tiba sepasang sandal akan kembali ke tempat semula dengan bahagia dan bertemu kembali dengan pasangan sejatinya.
Tidak hanya sandal, sepatu saja bisa berubah pasangan. Sepatu bisa berpasangan dengan sepatu lain, dengan sandal jepit, dengan sandal gunung, bahkan dengan bakiak. Budaya yang sudah dimaklumi oleh semua orang ini mau tak mau juga menjadi budayaku sekarang ini. Aku tadi hanya mengambil sandal sekenanya di depan asrama. Entah milik siapa.
Efeknya baru terasa ketika aku kini berada di luar pondok. Ternyata muncul rasa malu memakai sandal selen.
Namun tak kusangka, sandalku yang warna warni itu diambil oleh Gus Jalal dan dipakai.
"Sampeyan pakai sandalku."
Kaget campur bingung terpaksa aku memakai sandal beliau. Tanpa banyak kata beliau jalan menuju loket tiket dengan memakai sandal selen. Aku mengikuti beliau dengan cukup pede dengan langkah yang semakin mantap karena sandalku sekarang berganti dengan sandal kulit merk "Carvil".
"Orang ganteng pakai sandal selen tetap saja kelihatan ganteng. Orang jelek walaupun sandalnya keren tetap saja kelihatan jelek. Ha ha," celetuk Gus Jalal
"Sumpah ngenyek."
MADING HARI GURU
Seusai melaksanakan sholat dhuhur di mushola, aku melewati koperasi dan mampir. Kulihat banyak siswa yang membeli makanan dan minuman.
"Pak Basss...," sapa salah satu siswa yang berkerumun di koperasi. Ternyata Mega Elisya, siswa kelas XI IPS 2. Mega adalah salah satu pengurus OSIS yang berprestasi. Selain juara monolog di ajang FLS2N, Mega pinter menyanyi, pintar membaca puisi, membaca novel, membaca cerpen, membaca doa, dan membaca hati yang sedang terluka. Jadi, siapa tak kenal dia?
"Beli apa nih?" tanyaku basi-basi
"Jajan Pak. Eh iya.. Bapak sudah lihat mading belum?"
"Emang ada apa di mading?" tanyaku
"Ada tulisan tentang Bapak,"
"Oh...ya?" aku terkejut, "tentang apa?"
"Ada deh. Bapak lihat aja sendiri,"
"Wah. Jadi penasaran nih. Ok nanti Pak Bas lihat ya," jawabku. Setelah membeli beberapa jajanan, aku melanjutkan ke kantor.
"Nanti dilihat ya Pak!"
"Iya," jawabku
Seusai jam sekolah, aku memenuhi janjiku untuk melihat mading sekolah. Ada beberapa tulisan dengan tema hari guru. Selain ada ucapan untuk semua guru, ada beberapa ucapan untuk beberapa guru termasuk aku.
Setelah kubaca dengan teliti, aku tersenyum malu-malu. Ternyata ada siswa yang tidak pernah kuajar tapi nge-fans kepadaku (ehem...ehem) dan mengikuti semua tulisanku di www.sukibel.blogspot.com. Entah apa yang merasukimu hingga kau mau membaca tulisan-tulisanku....
Tapi it's ok. Tulisan Mega juga bagus. Dan ternyata semua tulisan se-mading adalah tulisannya. Salut deh. Mudah-mudahan bisa mengembangkan bakatnya, semakin bagus dan menjadi penulis profesional. Pesan Pak Bas, kalau sudah jadi penulis profesional dan terkenal, masuk tipi, masuk youtube, masuk koran, masuk majalah, atau masuk apa saja, jangan lupa colek Pak Bas, biar Pak Bas ikut terkenal.
Rabu, 06 November 2019
MUSIM MANGGA
Minggu-minggu ini adalah puncaknya musim mangga. Selain tersedia di setiap toko buah, banyak penjual mangga dadakan yang menggelar dagangannya di tepi jalan menggunakan mobil bak terbuka. Karton bekas dengan tulisan besar "Obral Rp. 10.000,-/kg. terpampang di atas dagangan mereka.
Mereka bersaing dengan penjual anggur dengan gerobak dorong yang bentuk dan warnanya seragam yang mangkal di beberapa titik. Di gerobak anggur tertulis Rp. 15.000,- per 1/2 kg. Papan iklan yang sering menipu calon pembeli. Atau sengaja agar terlihat murah. Aku tak tahu apakah sekarang sedang musim anggur juga karena di kotaku tidak ada tanaman anggur.
"Pa, beliin anggur ya, sekilo saja," pinta istriku di rumah.
"Mbok beli mangga saja. Murah. Sekilo cuma sepuluh ribu. Anggur kan mahal sekilo tigapuluh ribu," kataku
"Itu murah Pa. Biasanya sampai tujuh puluh ribu sekilo. Kata penjualnya, sekarang ini lagi musim anggur. Jadi murah. Ayolah Pa, mumpung murah Pa," desaknya
"Tetap lebih murah mangga Ma. Uang buat beli anggur sekilo bisa buat beli mangga tiga kilo," kataku bertahan.
"Tapi beda kandungan vitaminnya," bantahnya
"Sama saja Ma. Semua buah mengandung banyak vitamin. Memang beda kadarnya tapi masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya,"
"Itu anggur impor lho Pa,"
"Nah malah impor. Alam menyediakan sesuatu sesuai dengan kondisinya. Contohnya, di Indonesia, tanaman yang bisa tumbuh subur adalah mangga. Itu artinya mangga disediakan untuk orang Indonesia dan paling pas untuk orang Indonesia. Di Perancis, tanaman yang subur adalah anggur. Itu artinya anggur disediakan untuk orang Perancis dan paling pas untuk orang Perancis. Di Arab, tanaman yang paling subur adalah kurma. Itu artinya kurma disediakan untuk orang Arab dan paling pas untuk orang Arab. Jadi tidak perlu mencari-cari sesuatu yang tidak pas. Alam sudah bijaksana menyediakan sesuatu sesuai dengan kondisinya masing-masing. Lagi pula kenyangnya perut itu bukan dari faktor mahal dan murahnya makanan, bukan faktor lokal dan impornya makanan tapi dari banyak sedikitnya makanan yang masuk ke dalam perut. Anggur satu kilo dengan mangga tiga kilo tentu akan lebih mengenyangkan mangga tiga kilo. Jadi cobalah untuk berbuat bijak."
"Ngomong-ngomong, Papa punya uang nggak?"
"Nggak,"
"Pantesan."
Sabtu, 02 November 2019
FILSAFAT JAWA
"Mba, tolong ambilkan pisau di dapur,"
Anak perempuanku segera mengambilkan pisau untuk mengupas mangga dan memberikan kepadaku.
"Ini Pa," kata dia sambil menyerahkan pisau itu. Namun aku tak mau menerimanya.
"Memberikan pisau itu yang disodorkan adalah gagangnya. Jangan mata pisaunya. Itu baru sopan," jelasku
Anakku segera membalik pisaunya, memegang mata pisaunya dan menyodorkannya kepadaku.
"Nah gitu," kataku
"Kalau kita yang kena mata pisaunya gimana?" tanyanya lagi
"Orang Jawa itu sifatnya mengalah, berani berkorban untuk mempermudah, memberi kebaikan dan kebahagiaan kepada orang lain. Lebih baik kita yang kena pisau daripada orang lain. Dalam hal apapun filsafat perilaku Jawa seperti itu. Tidak hanya pisau, memberikan sendok, garpu, sapu, obeng, catut, yang disodorkan adalah gagangnya."
"Oh gitu ya," sahutnya
"Dalam filsafat Jawa juga ada istilah yang kuat harus melindungi yang lemah. Contohnya, ketika naik mobil, yang naik terlebih dahulu adalah yang kecil, yang besar belakangan untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan yang kecil. Ketika turun dari kendaraan, yang besar turun terlebih dahulu berjaga untuk melindungi yang kecil turun."
"Kok waktu pramuka naik truk, yang laki-laki dulu Pa?"
"Iyalah. Kan kemudian yang laki-laki mengulurkan tangannya untuk membantu perempuan naik."
Anakku manggut-manggut.
"Kalau berjalan orang yang lebih besar harus di sebelah kanan dan anak kecil di sebelah kiri. Yang besar harus melindungi yang lebih kecil karena berjalan di sebelah kanan resikonya lebih besar. Demikian juga, kalau laki-laki berjalan dengan perempuan maka laki-laki harus berjalan di sebelah kanan perempuan. Filosofinya sama yaitu laki-laki melindungi perempuan. Itulah mengapa kancing baju perempuan dipasang di sebelah kiri dan lubangnya di sebelah kanan."
"Eh iya tuh kenapa kancing baju perempuan ada di sebelah kiri dan lubangnya di sebelah kanan Pa?" tanya istriku yang sedang menyeterika.
"Karena ada laki-laki di sebelah kanannya," kataku
"Maksudnya?"
"Di antara kancing-kancing baju kan ada sedikit celah yang kadang-kadang membuka. Agar yang ada di dalam celah itu tidak kelihatan oleh laki-laki, maka kancing baju perempuan dibalik. Jadi celahnya menghadap ke kiri. Aman."
"Yang ada di dalam celah itu apa Pa?" tanya anakku laki-lakiku.
Aku pura-pura menikmati mangga manis padahal kecut.
# Keterangan gambar sebelah kanan: Itu adalah bajuku dipinjam anakku. Jadi kancingnya ada di kanan.
Jumat, 01 November 2019
PEPAYA
"Ini pepaya apa bu?"
"California,"
"California bukannya agak panjang?" protesku
"California juga bermacam-macam. Ada yang panjang, ada yang pendek bulat koyo aku."
Aku terharu akhirnya dia sadar.
"Lha kalau yang ini?" tanyaku sambil menunjukkan pepaya yang cukup panjang.
"Itu pepaya bangkok. Panjang, dagingnya tebal."
"Kok kebalik-balik ya. Ini yang panjang kok malah bangkok, yang pendek malah california," kataku
"Sudah saya bilangin si... Yang panjang juga belum tentu California. Yang pendek bulat belum tentu Bangkok. Lha sampeyan ya tinggi besar ya Indonesia," jelasnya
"Ganteng lagi, ya Bu?"
"Ora"
"Asyeeem,"
SENSUS KESEHATAN
"Assalamu 'alaikum."
"Wa'alaikum salam," jawabku dari dalam rumah.
Masih memakai sarung karena baru sholat 'asar, aku segera membukakan pintu. Dua orang perempuan setengah baya tersenyum manis. Semanis gula pasir.
"Permisi Pak. Kami dari Dinas Kesehatan bermaksud mengadakan sensus kesehatan".
Kupersilahkan mereka berdua duduk. Dari setumpuk kertas, hanya satu lembar kertas yang ambil.
"Dengan Bapak Basuki?"
"Betul."
"Pendidikan S1?"
"Iya betul,"
"Pekerjaan?"
"Guru,"
Di lembar kertas tersebut sudah ada pilihannya sehingga dia hanya melingkari saja.
"Ada WC? memakai septic tank?" lanjutnya
"Ya ada lah bu"
Ini pertanyaan yang sungguh menyinggung perasaan karena di depan rumahku ada sungai. Sepertinya mereka agak curiga dengan kebiasaanku BAB.
"Bapak merokok?"
"Sudah 8 tahun berhenti,"
"Bapak darah tinggi?"
Aneh, tiba-tiba pertanyaannya kok darah tinggi. Kenapa bukan penyakit lain seperti diare, kadas, kurap atau panu. Apakah aku punya tampang pemarah dan emosian? Aku merasa sedari tadi aku menyambut mereka berdua dengan senyum yang manis lebih manis dari senyuman mereka sendiri, ramah, sopan dan santun.
"Tidak," jawabku tegas.
"Bisa saya periksa?" tanya dia sambil mengeluarkan alat pengukur tensi darah dari dalam tasnya.
Pantas dia tanya tekanan darah. Ternyata dia membawa tensimeter, alat pengukur tensi darah. Coba kalau dia membawa peralatan sinar X atau CT scan, pasti pertanyaan: apakah bapak pernah patah tulang? Apakah ada kelainan di kepala bapak? Jantung? Ginjal? Tumor? Bisa saya periksa? Bisa bajunya dilepas? Bisa berbaring? Bisa masuk ke alat ini? Wuih ngeri. Untung dia tidak bawa itu.
"Silahkan," jawabku mempersilahkan mengukur tekanan darahku.
"Boleh saya pegang tangannya?"
"Oh boleh," jawabku
"Maaf Pak saya bertanya begitu karena kemarin ada orang yang tidak mau dipegang. Katanya bukan muhrim. Saya jadi malu,"
"Kalau saya dipegang nggak apa-apa walaupun bukan muhrim. Nggak akan terjadi apa-apa. Paling-paling jadi batal. Kan bisa wudlu lagi. Insyaalloh nggak sampai harus mandi besar. Jadi santai saja."
Tensimeter itu diikatkan ke lenganku. Dipompa lalu dikempiskan lagi.
"Seratus sepuluh. Normal Pak,"
"Alhamdulillah saya tidak abnormal."
"Wa'alaikum salam," jawabku dari dalam rumah.
Masih memakai sarung karena baru sholat 'asar, aku segera membukakan pintu. Dua orang perempuan setengah baya tersenyum manis. Semanis gula pasir.
"Permisi Pak. Kami dari Dinas Kesehatan bermaksud mengadakan sensus kesehatan".
Kupersilahkan mereka berdua duduk. Dari setumpuk kertas, hanya satu lembar kertas yang ambil.
"Dengan Bapak Basuki?"
"Betul."
"Pendidikan S1?"
"Iya betul,"
"Pekerjaan?"
"Guru,"
Di lembar kertas tersebut sudah ada pilihannya sehingga dia hanya melingkari saja.
"Ada WC? memakai septic tank?" lanjutnya
"Ya ada lah bu"
Ini pertanyaan yang sungguh menyinggung perasaan karena di depan rumahku ada sungai. Sepertinya mereka agak curiga dengan kebiasaanku BAB.
"Bapak merokok?"
"Sudah 8 tahun berhenti,"
"Bapak darah tinggi?"
Aneh, tiba-tiba pertanyaannya kok darah tinggi. Kenapa bukan penyakit lain seperti diare, kadas, kurap atau panu. Apakah aku punya tampang pemarah dan emosian? Aku merasa sedari tadi aku menyambut mereka berdua dengan senyum yang manis lebih manis dari senyuman mereka sendiri, ramah, sopan dan santun.
"Tidak," jawabku tegas.
"Bisa saya periksa?" tanya dia sambil mengeluarkan alat pengukur tensi darah dari dalam tasnya.
Pantas dia tanya tekanan darah. Ternyata dia membawa tensimeter, alat pengukur tensi darah. Coba kalau dia membawa peralatan sinar X atau CT scan, pasti pertanyaan: apakah bapak pernah patah tulang? Apakah ada kelainan di kepala bapak? Jantung? Ginjal? Tumor? Bisa saya periksa? Bisa bajunya dilepas? Bisa berbaring? Bisa masuk ke alat ini? Wuih ngeri. Untung dia tidak bawa itu.
"Silahkan," jawabku mempersilahkan mengukur tekanan darahku.
"Boleh saya pegang tangannya?"
"Oh boleh," jawabku
"Maaf Pak saya bertanya begitu karena kemarin ada orang yang tidak mau dipegang. Katanya bukan muhrim. Saya jadi malu,"
"Kalau saya dipegang nggak apa-apa walaupun bukan muhrim. Nggak akan terjadi apa-apa. Paling-paling jadi batal. Kan bisa wudlu lagi. Insyaalloh nggak sampai harus mandi besar. Jadi santai saja."
Tensimeter itu diikatkan ke lenganku. Dipompa lalu dikempiskan lagi.
"Seratus sepuluh. Normal Pak,"
"Alhamdulillah saya tidak abnormal."
Langganan:
Postingan (Atom)