alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Rabu, 27 Januari 2016

TEMONGAN

Entah dari asal kata apa, istilah “temongan” sudah sejak lama ada di sekolahku. Dalam kamus bahasa Jawa kata “temong” artinya hamil (asal kata "meteng"). Di google, tak ditemukan kata temong kecuali nama orang. Di sekolahku, temongan adalah iuran mendadak untuk kegiatan sosial.  Kegiatan tersebut antara lain menjenguk orang sakit, takziah orang meninggal, lahiran, sunatan, membangun rumah, pindah rumah, pindah kontrakan, pindah kos dan lain sebagainya. Besarnya temongan adalah Rp.10.000,- untuk guru PNS dan Rp. 5.000 untuk guru non-pns. Walaupun ada dana sosial dari sekolah, namun karena dirasa kurang memadai maka kegiatan temongan diperlukan untuk menambah sumbangan sosial.

Karena sifatnya yang mendadak, maka temongan bersifat tak pasti dan tak tentu. Temongan tak bisa ditentukan waktunya. Jadi, bisa kapan saja pada saat ada orang yang sakit, sunatan atau lainnya. Orang yang dimintai temongan juga hanya mereka yang terlihat (berada) di ruang guru. Sedangkan yang tak terlihat di ruang guru, maka dia bebas dari iuran temongan ini. Jadi, banyak sedikitnya hasil temongan tergantung kepada banyak sedikitnya guru yang hadir pada hari itu. Orang yang menerima sumbangan dari hasil temongan pun bernasib sama. Kadang ada yang mendapat sedikit, kadang ada yang mendapat banyak. Begitulah yang namanya sedekah. Yang penting ikhlas, baik yang memberi maupun yang menerima.

Petugas temongan andalan di sekolahku adalah Bu Tri. Beliau sudah mumpuni dan teruji memegang kendali temongan. Dalam setiap aksinya, beliau membawa pulpen dan selembar kertas ala kadarnya untuk menulis nama penyumbang temongan dan jumlah uangnya.

“Temongan…temongan” teriak beliau setiap menarik iuran. Maka kita siap-siap membuka dompet.

Jangan khawatir apabila uang kita adalah ratusan ribu atau lima puluhan ribu, Bu Tri menyediakan kembaliannya. Atau bahkan, apabila kita tidak mengantongi uang sepeser pun, Bu Tri pun siap untuk memberikan pinjaman. Maka, tak ada kata menghindar. Apabila bertemu dengan Bu Tri dalam keadaan seperti ini, lebih baik menyerah saja. Siapkan hati untuk ikhlas beramal (sebagaimana moto yang sangat religius dari kementerian agama RI).

Sedangkan, apabila kita melihat Bu Tri dengan perilaku yang mencurigakan (berkeliling membawa pulpen dan secarik kertas), kebetulan tanggal tua, tak punya uang sama sekali dan kita sedang tidak ikhlas untuk memberikan iuran temongan, sebaiknya segeralah menghindar (bisa pura-pura ke toilet untuk BAB yang lama, ke mushola untuk sholat duhur walaupun belum waktunya atau sholat duha 20 roka’at, ke pos satpam untuk membaca semua berita di koran beserta iklan dan lowongan kerjanya, atau pulang untuk menjemput anak walaupun anaknya belum saatnya pulang sekolah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar