Jam 11.00, kami baru memasuki jalan tol
Semarang. Jalanan lumayan padat. Perjalanan menjadi molor. Setelah berkoordinasi dengan Bu Sari, tour
leader mengganti jadwal perjalanan. Bus langsung menuju rumah makan untuk makan
siang. Pada pukul 11.45, bus tiba di Rumah Makan Bintangan di daerah Bawen. Tanpa basa-basi
kami segera turun. Sebagai pembuka, teh panas dan es
teh tersaji di pintu masuk ruang makan. Tinggal pilih sesuai selera.
Untuk
melepas dingin, tentu saja kuambil segelas teh panas. Di sebelahnya disediakan
straw atau sedotan plastik warna putih. Ini bukan sedotan biasa, bukan seperti
sedotan yang ada di warung ketika kita membeli es teh dibungkus plastik.
Sedotaan ini terlihat mewah seperti di
restoran-restoran besar. Sepertiga ujungnya bisa ditekuk sesuai kemauan sang
peminum. Agar terkesan berkelas, kuambil satu buah sedotan itu. Kupilih tempat
duduk agak di depan, tepat di dekat pintu masuk ruang makan. Kupandangi teh
panas yang masih mengepulkan asap tipis. Kumasukkan straw, kumajukan badanku, kucium
aroma wangi tehnya, kumonyongkan mulutku meraih ujung sedotan, kupejamkan
mataku sedikit agar tehnya lebih terasa, kubayangkan pemandangan indah di taman.
Dan kusedot.
“Grrrhhh,” hampir saja aku berteriak
kencang. Untung bisa kutahan. Teh panas menyengat lidah.
Tenggorokanku terasa
terbakar. Mataku yang semula agak menutup seketika terbelalak.
“Panas sekali,” kataku lirih.
Aku tengak-tengok ke kanan dan ke kiri.
Siapa tahu ada yang sedang memperhatikan salah tingkahku. Aman. Untung tak ada
yang memperhatikanku. Kupegang leherku yang masih terasa melepuh. Aku sadar
bahwa ternyata minum teh panas tidak sepantasnya menggunakan sedotan. Sedotan hanya
digunakan untuk minum minuman dingin. “Dasar ndeso,” makiku kepada diriku sendiri. Segera saja, kucabut sedotan itu dari gelasku dan kusingkirkan jauh-jauh ke tempat sampah.
#
Badanku mulai hangat. Kini, giliranku
mengantri makan. Rencana awal, aku duduk di depan agar bisa mengantri paling
depan ternyata gagal. Aku masih dalam penderitaanku. Aku masih sibuk
mengusap-usap leherku ketika yang lain sudah mengantri. Tak apalah, yang
penting masih kebagian nasi dan lauknya. Kuambil nasi, sayur daun papaya, dan
ayam. Kembali ke meja semula, kunikmati makananku. Sebagai penutup kuambil es
teh. Aneh, kali ini aku juga tak mengambil straw. Aku masih taruma dengan
kejadian tadi.
Dilanjutkan dengan sholat duhur dan asar (dijama’ qashar: memanfaatkan keringanan Tuhan) di mushola restaurant sebelum melanjutkan perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar