alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 02 Januari 2016

SEDOTAN (SERI PERPISAHAN PAK HERRY BAG 4)

Jam 11.00, kami baru memasuki jalan tol Semarang. Jalanan lumayan padat. Perjalanan menjadi molor. Setelah berkoordinasi dengan Bu Sari, tour leader mengganti jadwal perjalanan. Bus langsung menuju rumah makan untuk makan siang. Pada pukul 11.45, bus tiba di Rumah Makan Bintangan di daerah Bawen. Tanpa basa-basi kami segera turun. Sebagai pembuka, teh panas dan es teh tersaji di pintu masuk ruang makan. Tinggal pilih sesuai selera. 

Untuk melepas dingin, tentu saja kuambil segelas teh panas. Di sebelahnya disediakan straw atau sedotan plastik warna putih. Ini bukan sedotan biasa, bukan seperti sedotan yang ada di warung ketika kita membeli es teh dibungkus plastik. Sedotaan ini terlihat mewah  seperti di restoran-restoran besar. Sepertiga ujungnya bisa ditekuk sesuai kemauan sang peminum. Agar terkesan berkelas, kuambil satu buah sedotan itu. Kupilih tempat duduk agak di depan, tepat di dekat pintu masuk ruang makan. Kupandangi teh panas yang masih mengepulkan asap tipis. Kumasukkan straw, kumajukan badanku, kucium aroma wangi tehnya, kumonyongkan mulutku meraih ujung sedotan, kupejamkan mataku sedikit agar tehnya lebih terasa, kubayangkan pemandangan indah di taman. Dan kusedot.

“Grrrhhh,” hampir saja aku berteriak kencang. Untung bisa kutahan. Teh panas menyengat lidah. 

Tenggorokanku terasa terbakar. Mataku yang semula agak menutup seketika terbelalak.

“Panas sekali,” kataku lirih.

Aku tengak-tengok ke kanan dan ke kiri. Siapa tahu ada yang sedang memperhatikan salah tingkahku. Aman. Untung tak ada yang memperhatikanku. Kupegang leherku yang masih terasa melepuh. Aku sadar bahwa ternyata minum teh panas tidak sepantasnya menggunakan sedotan. Sedotan hanya digunakan untuk minum minuman dingin. “Dasar ndeso,” makiku kepada diriku sendiri. Segera saja, kucabut sedotan itu dari gelasku dan kusingkirkan jauh-jauh ke tempat sampah.

#

Badanku mulai hangat. Kini, giliranku mengantri makan. Rencana awal, aku duduk di depan agar bisa mengantri paling depan ternyata gagal. Aku masih dalam penderitaanku. Aku masih sibuk mengusap-usap leherku ketika yang lain sudah mengantri. Tak apalah, yang penting masih kebagian nasi dan lauknya. Kuambil nasi, sayur daun papaya, dan ayam. Kembali ke meja semula, kunikmati makananku. Sebagai penutup kuambil es teh. Aneh, kali ini aku juga tak mengambil straw. Aku masih taruma dengan kejadian tadi.

Dilanjutkan dengan sholat duhur dan asar (dijama’ qashar: memanfaatkan keringanan Tuhan) di mushola restaurant sebelum melanjutkan perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar