Sejak penjadwalan ujian praktek, aku sudah menyatakan tak mau menjadi penguji
Ujian Praktek Bahasa Indonesia. Bagaimanapun aku bukan ahlinya. Aku bukan guru
Bahasa Indonesia. Aku adalah guru Bahasa Prancis. Sesuatu yang diserahkan
kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.
“Tak ada yang lain Pak” begitu alasan yang selalu dikemukakan
oleh Bu Yeni, selaku Wakil Kepala sekolah bidang kurikulum yang mengatur pelaksanaan
Ujian Praktek.
Ada 3 orang guru Bahasa Indonesia di sekolah kami, Bu Yanti, Bu Titin, Pak Taufiq. Sedangkan
untuk 8 kelas yang mengikuti Ujian Praktek Bahasa Indonesia membutuhkan 4 orang
penguji. Maka harus ada 1 orang penguji lagi dan terpaksa diambil dari guru
selain Bahasa Indonesia.
“Tapi kenapa aku?”
Sekali lagi, aku bukan guru Bahasa Indonesia. Tak bisa kubayangkan bagaimana cara menilai pidato Bahasa Indonesia. Apa yang kunilai, bahasanya? aku tak mengerti Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sikapnya? Aku tak paham dengan sikap berpidato yang baik. Sikap siap, berdiri tegak, tatapan ke depan atau sikap istirahat, lencang kanan, lencang depan, hadap kanan, hadap kiri, maju jalan? entahlah. Atau cukup dinilai wajahnya? gesturnya? mimiknya? bibirnya? Kalau 4 hal yang terakhir ini bisa kubayangkan.
“Ayo, Pak. Kita segera mulai,” kata Bu Yanti mengajakku
untuk menguji Ujian Praktek Bahasa Indonesia pagi ini.
“Jadi saya Bu yang jadi pengujinya?” aku mengulangi
pertanyaan.
“Ini tugas. Tidak boleh membantah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar