alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 19 Maret 2016

KULINER

Catatan akhir semester 1

Hari sudah terlampau siang mendekati sore. Perut kami berlima (istilah lama: keroncongan, istilah baru: dangdutan). Pekerjaan tambahan untuk mengerjakan pendataan dan nilai siswa telah selesai.

“ayo mau kemana?” tanya Bu S

Pertanyaan ini adalah sebuah tawaran untuk memilih warung untuk menghentikan perut yang dangdutan ini.

“Aku ngikut saja,” jawabku begitu. Maklum, tahu apa sih aku tentang warung dan makanan. Di sekitar rumahku juga banyak warung. Aku terbiasa berganti-ganti menu sesuai selera: ikan, ayam, tahu, tempe, pete, jengkol, sayur kangkung, lodeh, bayam, soto, bakso, mie, tongseng, dan sebagainya. Semua warung aku suka. Rumusnya, selama masakan itu tidak keasinan dan kepedasan serta mengenyangkan pasti bisa diterima oleh lidahku. Dengan harga Rp. 20.000  sampai Rp. 30.000,- aku sudah bisa membawa makanan untuk sekeluarga sambil berdendang. Selama ini, masakan apapun masuk perutku dengan ikhlas tanpa banyak komentar. Tapi menurutku masakan istrikulah yang paling enak karena aku bisa nambah berkali-kali tanpa malu dan tanpa bayar.

Aku sebagai sopir hanya mengikuti komando. Kali ini, kami menuju ke sebuah warung makan di Pekalongan. Warung ini nampak biasa-biasa saja dan tak istimewa. Ruang makannya tak terlalu luas. Tempat parkirnya nebeng di parkiran umum di pinggir jalan. Tapi warung ini sangat terkenal. Pelajaran pertama tentang warung: warung terkenal tidak harus berpenampilan istimewa. Konon, warung ini sering dikunjungi oleh para pejabat baik local maupun nasional dan juga para artis. Tak heran, di dinding, tergantung foto pejabat dan  artis bersama pemilik dan karyawan warung ini. Pelajaran kedua tentang warung: warung terkenal terpasang foto pejabat dan artis. Warung ini menyediakan berbagai menu: ayam goreng, ayam bakar, sate dan menu special iga bakar dan sop buntut serta berbagai minuman serta makanan penutup.

“aku iga bakar dan sop buntut” kataku. Seumur hidupku aku belum pernah makan iga bakar dan sop buntut.
Lama sekali kami menunggu. Hampir 30 menit sejak kami menulis menu yang ditawarkan, makanan baru disajikan. Pelajaran ketiga tentang warung: warung terkenal, pelayanannya lama.

“Enak dan empuk” kesanku pertama mencicipi 2 potong iga sapi bakar yang berdaging tebal. Satu porsi iga bakar kuhabiskan dalam waktu kurang dari 15 menit. Kuselingi dengan es jeruk favoritku dan kulanjutkan dengan sop buntut. Satu mangkok sop buntut terasa mak nyus. Dagingnya juga empuk. Kuahnya terasa mantap di lidah.

Kenyang sudah perutku terisi berbagai jenis daging sapi. Makan siang ini kututup dengan menikmati potongan buah mangga. Konon juga, warung ini selalu menyediakan buah mangga walaupun tidak musim mangga. Mungkin punya kebun mangga sendiri sehingga bisa diatur waktu berbuahnya. Pelajaran keempat tentang warung: warung makan juga harus mempunyai kebun buah.

Giliran membayar tentu saja aku mundur. Sudah ada pihak-pihak yang berhak untuk melakukan pekerjaan ini. Seseorang mengambil alih tugas ini, aku mundur. Aku hanya berada di belakang agak ke samping sedikit. Tujuannya adalah untuk mengetahui harga makanan yang sukses aku lumat sampai tandas. Bukan apa-apa. Kalau aku ingin kembali ke warung ini, aku sudah mengetahui harga makanan-makanan tersebut.

“Berapa Mba?”
Tiga ratus tujuh puluh ribu” jawab sang kasir

“Apa? Berapa? Yang bener? Ulangi sekali lagi?” teriakku dalam hati. Aku tak tega untuk melepas suaraku. Aku kaget dengan harga yang disebutkan oleh kasir. Bagiku, itu mahal sekali. Pelajaran keempat tentang warung: warung yang ada foto pejabat dan artis, mahal.


Hari semakin sore. Kami pulang dengan pikiran masing-masing. Aku masih terngiang-ngiang harganya. Pelajaran terakhir tentang warung: aku tak mungkin kembali ke warung terkenal tanpa gratisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar