Hari ini, tanggal 10 Maret 2016 di
sekolahku akan dilaksanakan evadir (evaluasi diri). Biasanya dari pukul 09.00 sampai 16.00. Sejak pagi , bahkan katanya
sejak kemarin, para guru sibuk di sekolah melengkapi dan membuat berkas untuk
keperluan evadir mereka. Gerhana matahari, nyepi, sholat kusuf mereka abaikan. Stempel
sekolah dipakai bergantian. Mobilitasnya sangat tinggi. Berpindah dari meja
satu ke meja lainnya. Menghujam dari satu berkas ke berkas lainnya. Para guru baru
berhenti ketika bel masuk berbunyi. Kebetulan hari ini masih ada kegiatan UTS
(ulangan Tengah Semester) 2 untuk kelas X dan XI serta ujian praktek untuk
kelas XII. Sembari beranjak untuk
mengawasi, berkas evadir yang belum selesai mereka bawa juga ke ruang tes.
Stempel dibawa ke ruang UTS oleh pemegang terakhir.
Aku juga beranjak dari tempat dudukku untuk
menjadi penguji ujian praktek Bahasa Indonesia. Aku tak membawa berkas apapun.
Aku tak sanggup ikut evadir kali ini. Aku
tak mempersiapkan berkas apapun. Aku sudah terlalu lelah. Sejak tanggal 1 Maret,
aku sudah menyatakan kepada diriku sendiri bahwa aku tak sanggup. Tanggal 29
Februari, aku baru saja menyelesaikan tugasku: menjadi sekretaris Try Out 1, membuat
konversi nilai kelas XII, membuat SK untuk raport, memperbaiki ranking parallel
yang salah, memasukkan data kelengkapan PTK (pendidik dan Tenaga Kependidikan)
ke dalam dapodik. Rasa lelah belum hilang. Alih-alih menyiapkan berkas evadir,
aku malah ditunjuk menjadi penguji praktek Bahasa Indonesia. What? Apa hubunganku dengan Bahasa
Indonesia? Oh My God. Terang-terang aku
menolak di depan banyak orang dengan berbagai alasan yang logis tapi gagal. Ketua panitia ujian praktek keukeuh
menunjukku sebagai penguji Bahasa Indonesia. Dengan terpaksa aku melaksanakan
tugas ini. Padahal aku juga menguji praktek Bahasa Prancis (mata pelajaranku
sendiri). Baru saja kulaksanakan tugasku, aku pun harus membuat laporan keuangan
Bansos pusat untuk pembangunan RKB (Ruang Kelas Baru) karena akan diperiksa
oleh BPK (Badan Pengawas Keuangan) minggu ini. Perlu diketahui, aku juga
bendahara Bansos.
Masyaalllooooh…….stress.
Dalam depresiku, otakku benar-benar blank untuk menyiapkan berkas evadir. Ndilalah, daftar nilai dan agenda guru juga ikut mangacaukan suasana.
Mereka tiba-tiba menghilang entah ke mana, bak kuntilanak ketemu gendurwo
(kuntilanak takut ketemu gendurwo karena dia telah mengkhianati cinta Gendurwo).
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Analisis nilai yang sebenarnya sudah tinggal diprint
masih teronggok lemah diantara folder-folder laptopku. RPP yang tinggal jilid,
masih tergeletak di mejaku. Aku menyerah.
Kata-kata “menyerah” sebenarnya telah
kuungkapkan dalam bentuk surat kepada Tim Penilai Evaluasi Diri. Aku membuat
surat ijin tak bisa mengikuti evadir dengan alasan terlalu lelah. Tapi setelah
kupikir-pikir malah lebih beresiko. Surat ini bisa menjadi barang bukti di
pengadilan apabila kelakuanku ini dimejahijaukan. Lebih baik kusimpan kembali
suratku ini di dalam tas. Akhirnya, setelah menguji praktek Bahasa Indonesia,
aku ngeloyor pulang tanpa ijin dan tanpa absen di finger print.
Aku sudah memikirkan resiko-resiko tak
mengikuti evadir yang mungkin terjadi :
- Dipanggil kepala sekolah (dinasehati, diperingatkan, atau dinasehati tapi serasa dimarahi, diperingatkan tapi serasa diancam)
- Dipanggil kepala dinas (buat apa ya?)
- Ditunda tunjangan sertifikasinya (ini yang dikatakan oleh Bu Is)
- Dicabut tunjangan sertifikasinya (mengerikan)
- Dicabut statusnya jadi guru dan dijadikan TU (sudah pernah terjadi)
- Dicabut status PNSnya (fatal)
Di rumah aku mengalami perasaan aneh. Aku
ketakutan. Takut apabila tiba-tiba penilai evadir datang ke rumah, takut ada
salah seorang guru menjemput ke rumah lalu memaksaku ikut evadir, takut
ditelepon oleh kepala sekolah. Maka, pintu rumah kukunci rapat-rapat, handphone
kumatikan. Aku juga takut sholat berjama’ah di mushola karena imamnya adalah
Pak Taufiq, salah satu teman guru. Aku takut ditanya macam-macam. Aku diam di
rumah. Setiap mendengar suara motor atau mobil lewat depan rumahku, jantungku
berdebar-debar. Ketika pintu rumah diketok “tok..tok..tok”, badanku gemetar dan
langsung menginterogasi:
“Siapa di luar?”
“Aku Pa”
“Aku siapa?”
“Mama”
“Mamanya siapa?”
“Mamanya anak-anak”
“Mau apa ?”
“Mau masuk lah”
“Ada kepentingan apa?”
“Papa gila ya”
Enggak ikut Yo GPP sing penting menengo "DIAM SAJA"
BalasHapusIlmune ilmu lali " so lali lali.. so lale lale "
Aku jadi terharu pak sukibel
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBacalah tulisan dengan kewajaran, dlm tingkat kewarasan yg normal. Karena penulisnya alhamdulillah tidak mengalami gila akut & stress berkepanjangan. Mohon maaf kalau ada beberapa pihak yg tersinggung dengan tulisan ini. Penulis menerima bantahan atau kritikan untuk dipublikasikan dalam tulisan berikutnya. Terima kasih.
BalasHapus