Catatan akhir semester 1
Hari sudah terlampau siang mendekati sore.
Perut kami berlima (istilah lama: keroncongan, istilah baru: dangdutan). Pekerjaan tambahan untuk mengerjakan pendataan dan
nilai siswa telah selesai.
“ayo mau kemana?” tanya Bu S
Pertanyaan ini adalah sebuah tawaran untuk
memilih warung untuk menghentikan perut yang dangdutan ini.
“Aku ngikut saja,” jawabku begitu. Maklum,
tahu apa sih aku tentang warung dan makanan. Di sekitar rumahku juga banyak
warung. Aku terbiasa berganti-ganti menu sesuai selera: ikan, ayam, tahu,
tempe, pete, jengkol, sayur kangkung, lodeh, bayam, soto, bakso, mie, tongseng,
dan sebagainya. Semua warung aku suka. Rumusnya, selama masakan itu tidak
keasinan dan kepedasan serta mengenyangkan pasti bisa diterima oleh lidahku. Dengan
harga Rp. 20.000 sampai Rp. 30.000,- aku
sudah bisa membawa makanan untuk sekeluarga sambil berdendang. Selama ini,
masakan apapun masuk perutku dengan ikhlas tanpa banyak komentar. Tapi menurutku
masakan istrikulah yang paling enak karena aku bisa nambah berkali-kali tanpa
malu dan tanpa bayar.
Aku sebagai sopir hanya
mengikuti komando. Kali ini, kami menuju ke sebuah warung
makan di Pekalongan. Warung ini nampak biasa-biasa saja dan tak istimewa. Ruang
makannya tak terlalu luas. Tempat parkirnya nebeng di parkiran umum di pinggir jalan.
Tapi warung ini sangat terkenal. Pelajaran pertama tentang warung: warung terkenal
tidak harus berpenampilan istimewa. Konon, warung ini sering dikunjungi oleh
para pejabat baik local maupun nasional dan juga para artis. Tak heran, di
dinding, tergantung foto pejabat dan artis
bersama pemilik dan karyawan warung ini. Pelajaran kedua tentang warung: warung
terkenal terpasang foto pejabat dan artis. Warung ini menyediakan berbagai
menu: ayam goreng, ayam bakar, sate dan menu special iga bakar dan sop buntut serta
berbagai minuman serta makanan penutup.
“aku iga bakar dan sop buntut” kataku.
Seumur hidupku aku belum pernah makan iga bakar dan sop buntut.
Lama sekali kami menunggu. Hampir 30 menit
sejak kami menulis menu yang ditawarkan, makanan baru disajikan. Pelajaran ketiga
tentang warung: warung terkenal, pelayanannya lama.
“Enak dan empuk” kesanku pertama mencicipi
2 potong iga sapi bakar yang berdaging tebal. Satu porsi iga bakar kuhabiskan
dalam waktu kurang dari 15 menit. Kuselingi dengan es jeruk favoritku dan
kulanjutkan dengan sop buntut. Satu mangkok sop buntut terasa mak nyus. Dagingnya juga empuk. Kuahnya
terasa mantap di lidah.
Kenyang sudah perutku terisi berbagai jenis
daging sapi. Makan siang ini kututup dengan menikmati potongan buah mangga.
Konon juga, warung ini selalu menyediakan buah mangga walaupun tidak musim
mangga. Mungkin punya kebun mangga sendiri sehingga bisa diatur waktu
berbuahnya. Pelajaran keempat tentang warung: warung makan juga harus mempunyai
kebun buah.
Giliran membayar tentu saja aku mundur.
Sudah ada pihak-pihak yang berhak untuk melakukan pekerjaan ini. Seseorang mengambil alih tugas ini, aku mundur. Aku hanya berada di belakang agak ke samping sedikit.
Tujuannya adalah untuk mengetahui harga makanan yang sukses aku lumat sampai
tandas. Bukan apa-apa. Kalau aku ingin kembali ke warung ini, aku sudah
mengetahui harga makanan-makanan tersebut.
“Berapa Mba?”
“Tiga ratus tujuh puluh ribu” jawab sang kasir
“Apa? Berapa? Yang bener? Ulangi sekali
lagi?” teriakku dalam hati. Aku tak tega untuk melepas suaraku. Aku kaget dengan harga yang
disebutkan oleh kasir. Bagiku, itu mahal sekali. Pelajaran keempat tentang
warung: warung yang ada foto pejabat dan artis, mahal.
Hari semakin sore. Kami pulang dengan
pikiran masing-masing. Aku masih terngiang-ngiang harganya. Pelajaran terakhir
tentang warung: aku tak mungkin kembali ke warung terkenal tanpa gratisan.