"Weh Bapak, pripun kabare Pak?" sapanya sambil menyalamiku ketika aku bersama anakku mampir ke penjual durian di depan tempat parkir karyawan RSUD.
"Alhamdulillah baik. Kok baru jualan? Yang lain sudah ramai lho," kataku
"Iya Pak. Baru hari ini. Yang lain juga paling baru sehari dua hari ini,"
"Iya sih," jawabku membenarkannya.
"Dua minggu kemarin saya belum berani jualan Pak. Lha harganya selangit. Pemilik durian seperti pemilik barang antik. Semau dia menghargai durian. Dan tetap laku. Terkadang penggemar durian juga akalnya nggak sehat. Seberapapun harga durian tetap dibeli. Memang sih, selain masih langka, duriannya memang tidak perlu dipilih sudah jaminan manis soalnya belum terkena air hujan," dia menerangkan panjang lebar.
"Berarti durian sekarang nggak manis?" aku memojokkannya
"Sekarang harus pintar-pintar milihnya, Bapak mau yang seperti apa?"
"Yang pahit ada?" tanyaku.
"Ada," jawabnya mantap.
Dia mengambil sebuah durian yang agak kecil dan kulitnya hijau. Diciumnya dibagian tengah. Disedotnya angin sedikit-sedikit dan berkali-kali di permukaan kulit durian. Sama sekali tidak dipukul-pukul untuk melihat tingkat kematangannya seperti teori pada umumnya.
"Ini Pak. Jaminan manis. Dagingnya tebal. Pahitnya mantap. Mau Pak,"
Aku mengambil durian itu dari tangannya, kucium-cium, yang ada bau kulit durian yang agak langu. Sama sekali tak tercium wangi durian. Dari mana dia tahu durian ini sudah matang, rasanya manis pahit, dagingnya tebal?
"Coba nyicip," kataku.
Aku suka membeli durian di penjual durian yang satu ini karena boleh mencicipi dulu sebelum dibeli. Kalau tidak manis atau kalau tidak sesuai selera boleh tidak jadi membeli. Jaminan tingkat dewa.
Kemudian dia mengambil pisau, dibuka sedikit bagian ujungnya, diambil daging buahnya sedikit dan disodorkan kepadaku untuk mencicipinya. "Edan", penciuman macam apa yang dia miliki. Semuanya sesuai dengan ekspektasiku. Manis legit, pahitnya mantap.
"Ok sip. Berapa ini?" tanyaku
"Tiga puluh lima," jawabnya
"Tiga puluh ya," tawarku.
"Ya sudah buat pelanggan boleh lah. Yang lebih besar juga ada. Ini Pak," rayunya sembari mengambil durian yang lebih besar. Kemudian dia menciumnya.
"Tapi ini belum begitu matang Pak. Buat besok sudah matang."
"Ya jangan. Yang bisa dimakan sekarang," jawabku.
Dia mengambil yang lain yang setara besarnya. Dia menciumnya lagi.
"Ini manis Pak tapi pahitnya kurang. Cocok buat anak Bapak, dagingnya tebal juga," Dia kembali membuka kulit ujungnya dengan pisau, mengambil sedikit daging buahnya dan disodorkan kepada anakku
"Gimana?"
Anakku manggut-manggut.
"Harganya berapa?"
"Bapak nggak usah nawar lagi, saya pas kan saja. Lima puluh lima ribu, "
Akhirnya aku mendapat dua buah durian sore itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar