"Ayo ikut. Sekalian mau ke Sardjito!" kata Gus Jalal.
"Saya naik bis mawon Gus," jawabku
"Sudah ayo, mumpung kosong,"
Aku tak mampu menolak tawaran itu. Kubuka pintu belakang dan tentu saja aku duduk di belakang.
"Tindak rumah sakit ada keperluan nopo Gus?" tanyaku
"Ini Reza panas lagi,"
Rumah Sakit Sardjito berada di kompleks kampus UGM dekat dengan Fakultas Sastra kampusku. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol ngalor -ngidul.
"Mas Bas ini kuliah bareng Ienas ya?" tanya Mba Nelly
"Ienas sinten Mba?" tanyaku
"Ienas Tsuroiya, putrinya Gus Mus,"
"Iya Mba, dia kakak kelas saya. Saya kenal dia tapi dia nggak kenal saya Mba. Tapi dia sudah jarang ketemu. Semester akhir tinggal ngurus skripsi,"
"Kalau ketemu titip salam ya,"
"Nggih Mba,"
Tak terasa, kami sudah sampai di depan fakultas sastra.
"Terima kasih Gus, Mba" kataku kepada beliau berdua
Kubuka pintu mobil sendiri, aku turun dan kututup lagi pintunya. Sendiri. Aku teringat kata-kata Gus Jalal di dalam mobil ini kurang lebih empat tahun sebelumnya ketika aku diajak ke bandara untuk membeli tiket bahwa penumpang yang duduk di belakang itu seperti juragan sementara yang duduk di sebelah sopir adalah kenek. Salah satu tugas sopir atau kenek adalah membukakan pintu bagi juragan yang duduk di belakang.
Walaupun membuka dan menutup pintu kulakukan sendiri, kali ini aku sudah merasa seperti juragan. Ups.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar