alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 31 Januari 2020

MANDI AIR SEPTIC TANK


Kadung kepergok, mau menghindar tak enak hati, aku tak bisa beringsut. Kulihat Mbah Kyai sedang berada di sebuah kolam berukuran 4 x 1 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Lha, kenapa di sini ada kolam. Bukankah di sini jalan menuju dapur? Dengan penuh basa-basi aku bertanya: "Bikin apa Mbah?"
"Ini lagi nguras isi kolam", jawab Mbah Kyai.
Ketika aku mendekat, bau tak sedap menyengat ke hidungku. Belum sempat otakku berputar 2 kali, Mbah Kyai bertanya, "Mau mbantu?"
Kutengok, kaki Mbah Kyai terendam air kolam berwarna kuning.
"Masyaalloh", kataku dalam hati. Ternyata bukan kolam, tapi septic tank.
"Ada apa ini? Kenapa Mbah Kyai nyemplung ke septic tank begitu?"
Tanda tanya masih menggantung di atas kepala dan Mbah Kyai berkata, "Ini WC asrama putri kok mampat, sudah terkuras separoh dan disogok-sogok, tapi kok belum mengalir".
"Mungkin ada yang menyumbat di peralonnya Mbah", jawabku.
Aku bingung antara jijik melihat septictank dan tak tega melihat Mbah Kyai sendirian menguras septic tank, akhirnya aku turun menemani Mbah Kyai. Sumpah, baru pertama kali ini aku masuk ke septick tank berkubang lumpur kuning nan menyengat.
"Peralon mana Mbah?" tanyaku karena ada banyak peralon yang dari berbagai sumber baik WC santri putra maupun santri putri.
"Ini yang ke atas," jawab beliau sambil memegang sebuah peralon ukuran 4 dim yang menuju ke atas. WC asrama putri memang berada di lantai dua dan tak kusangka septic tanknya menyatu dengan WC asrama putra. Jadi tanpa disadari santri putra dan santri putri di pondok pesantren ini sebenarnya sudah menyatu walaupun hanya di tempat pembuangan.
Aku mngulangi apa yang telah dikerjakan oleh Mbah Kyai yaitu menyodok-nyodok peralon dengan sebilah bambu.
"Mampet Mbah, ada yang mengganjal," kataku
"Makanya itu WC atas bajir. Airnya nggak bisa masuk ke septic tank. Coba pakai tangan!" suruh Mbah Kyai.
Awalnya aku ragu. Pakai tangan? Tanganku masuk ke saluran tinja? Tapi aku tak berani membantah. Kumasukkan saja tanganku. Pelan-pelan sampai setengah lenganku amblas tapi masih tak meemukan apapun.  Kumasukkan lagi semakin dalam dan setelah tanganku masuk satu lengan penuh aku berhasil menyentuh benda yang menghambat saluran tersebut. Agak empuk seperti plastik atau kain. Kuraih benda itu dan kitarik tapi agak susah. Kucoba lagi. Semakin jelas benda ini semacam kain. Kutarik lagi.
"Byuuurr!,"
Berhasil. Benda itu berhasil kutarik.  Wajahku dan tubuhku klebus dengan cairan kuning yang baunya sangat menyengat. Segera kunaik ke atas dan masuk ke kamar mandi. Kulempar benda yang masih ada di tanganku.
"Huft... Masyaalloh baunya."
Kugosok-gosok semua tubuhku. Tak ada sabun tak ada sampo. Yang penting bersih dulu dari cairan kuning. Baju dan celanaku sekalian kukucek sampai bersih. Setelah bersih walaupun baunya masih belum hilang dari tubuhku, kupakai lagi baju dan celanaku dan aku kembali ke benda yang tadi kubuang. Penasaran.
"Apa Bas?" tanya Mbah Kyai
"Pembalut Mbah," jawabku. Kulihat ada beberapa pembalut yang berhasil kutarik.
"Santri perempuan sudah dibilangin jangan membuang roti tawarnya ke WC kok susah ya. Seperti ini jadinya,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar