alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Sabtu, 04 Januari 2020

CERPEN : TOH GETIH

Bercak merah berdiameter kurang lebih tiga centimeter yang ada di tengkuk anakku terlihat begitu jelas apalagi kulit anakku putih. Kata orang, ini adalah toh merah atau toh getih, bercak berwarna merah yang dianggap sebagai pertanda kurang baik. Setiap orang yang menjenguk bayiku, selalu menyempatkan diri untuk melihat toh getih di tengkuk anakku sambil bergidik.

"Wah, celaka. Kita akan kena bendu," bisik-bisik di antara mereka.

Sudah lama sekali, toh getih ini tidak muncul di desa ini. Beberapa puluh tahun yang lalu toh getih ini pernah muncul di tubuh seorang bayi, Pardi namanya. Bayi itu tumbuh sebagaimana bayi normal. Meskipun orang tuanya cemas dengan toh getih ditubuh anaknya tapi tak bisa berbuat banyak dan akhirnya membiarkannya begitu saja. Ketika dewasa, Pardi menjelma menjadi seorang penjahat sakti yang menguasai ilmu hitam yang telah menyebarkan wabah penyakit dan membuat warga desa resah sebelum akhirnya ditembak mati oleh polisi dengan bantuan Mbah Nyi Maja.

Begitu cemas dan malunya orang tuaku mendengar toh getih ini menempel pada cucunya.

"Lelakon apa yang telah kalian perbuat sehingga anakmu ketempelan toh getih?" orang tuaku menangis ketika mengunjungi kami.

Beberapa orang bahkan menuduh kami telah melakukan ritual hitam.

Kejadian yang menimpa anakku ini tentu saja membuat aku dan istriku cemas walaupun gerak-gerik dan perkembangan anakku normal sebagaimana tercatat dalam KMS di pos yandu RT-ku. Aku dan istriku bahkan sempat cekcok saling menuduh telah berbuat hal-hal terlarang.

Namun demikian, hanya Mbah Nyi Maja yang nampak bisa memahami kami dan anakku ini. Walaupun terlihat cemas setiap datang ke rumahku untuk memijat anakku dan memberikan jamu kepada istriku, Mbah Maja tetap memperlihatkan ketenangannya.

"Tunggu sampai umur empat bulan. Biar dia kuat dulu," kata Mbah Nyi Maja, dukun bayi yang menangani kelahiran anakku.

Toh getih ini sudah diperkirakan ada oleh Mbah Nyi Maja sejak dalam kandungan. Mbah Nyi Maja dikenal sebagai dukun bayi paling sepuh di desaku. Ia tahu tanda-tanda kelahiran bayi yang normal dan tidak normal sejak bayi itu masih dalam kandungan.

"Bayi ini sudah digendoli. Pertanda bayi ini jadi rebutan antara kekuatan hitam dan kekuatan putih." ujarnya pada saat kandungan istriku baru berumur 6 bulan.

Tanda paling kentara yaitu pada saat hari H kelahirannya, di wuwungan atap rumahku hadir burung malam yang tak berhenti berbunyi sejak tengah malam sampai menjelang subuh. "Creaaak...creaaak," suaranya membuat tidak nyaman di telingaku. Burung ini sebelumnya tak pernah muncul di atap rumahku.  Kedatangan burung ini dipercaya sebagai pertanda buruk.

"Nak, kuatkan doamu. Jangan sampai mengantuk, jangan berhenti berdoa sampai fajar menyingsing!" perintah Mbah Nyi Maja kepadaku yang sejak perut istriku kroso pada pukul 22.00 aku mengelus-elus kening istriku yang bersimbah keringat. Tasbih, tahmid, tahlil, solawat kubaca berulang-ulang bergantian sembari menyaksikan istriku kontraksi berulang-ulang sampai terdengar azan subuh dan suara burung itu berhenti. Terdengar kepaknya pertanda dia telah pergi. Aku menghela nafas lega. Anakku belum juga keluar juga dari perut istriku dan kutinggalkan untuk sholat subuh.

Bersamaan dengan terbitnya matahari, istriku mengejan kuat. Sekejap kemudian terdengar tangisan bayi bersamaan dengan muncratnya air ketuban bercampur darah ke tembok kamar.

"Alhamdulillah," ujar Mbah Nyi Maja yang dengan sigapnya segera memotong tali pusar dan memandikan kemudian membungkusnya dengan kain jarik kembang mayang, kain pesanan khusus Mbah Nyi Maja kepadaku untuk menjemput kelahiran jabang bayi. Aku segera mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri.

"Sediakan tumpeng, air tujuh sumber dan nasi kuning sejumlah 40 bungkus ditutup daun towo untuk melepasnya!" perintah Mbah Nyi Maja ketika aku mempersiapkan upacara "toh wurung", upacara untuk menghilangkan toh getih yang ada di tengkuk anakku.

"Malo..malo kinjenge kinjeng kebo.."
Mantra itu kuulang-ulang sambil melempar-lempar capung itik yang sudah kuikat dengan serat pohon pisang. Kinjeng kebo atau capung kerbau adalah salah satu capung yang paling gesit dan paling susah ditangkap. Terbangnya cepat, reaktif terhadap gerakan benda atau makhluk lain. Cara yang paling gampang untuk menangkap capung bertubuh hjau dengan loreng hitam di sekujur tubuh dan ekornya ini adalah dengan memancingnya. Umpan utamanya adalah capung itik yaitu capung yang ukuran tubuhnya lebih kecil dan lebih mudah ditangkap. Setelah tertangkap dengan menyambarnya dengan tangan kosong ataupun menangkupnya dengan plastik transparan, ekor capung itik selanjutnya diikat dengan tali dari serat kelopak pohon pisang. Otomatis capung itik ini akan terbang tapi tidak akan lepas karena sudah terikat. Dengan umpan capung itik inilah aku memancing capung kerbau. Melihat mangsa gratis terbang pelan di dekatnya, capung kerbau tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Disambarlah umpan itu dan tak akan dilepaskan sehingga  bisa kutangkap dengan mudah. Kukumpulkan tujuh capung kerbau di dalam sebuah toples bekas wadah  sosis. Ritual "malo" ini pun harus kulakukan sendiri.

Tujuh capung kerbau sudah kukerangkeng. Setelah bacaan yasin tahlil dan sambil menunggu mahalul qiyam di tengah-tengah pembacaan barzanjen, kubawa bayiku yang nampak pulas dipangkuanku ke tengah-tengah jamaah. Disaksikan oleh seluruh jamaah yang terus melantunkan sholawat nabi, Mbah Nyi Maja menggigitkan capung kerbau satu per satu ke tengkuk anakku yang ada di gendonganku. Sekali gigitan, capung itu seketika mati. Capung kedua sama. Capung ketiga dan selanjutnya bernasib sama. Toh getih ditengkuk anakku semakin memudar. Sampai capung ketujuh digigitkan. Capung ini nampak masih hidup kemudian diterbangkan. Sebentar terbang menuju lampu neon di tengah ruangan dan tiba-tiba jatuh mati. Toh getih di tengkuk anakku hilang sama sekali. Ritual terakhir, air tujuh sumber diusapkan ke ubun-ubun, kening, dua telapak tangan, wudel, dan dua mata kaki.

Ritual ini diakhiri dengan doa oleh Kyai Muin dan semua mengucapkan syukur.

#) bendu: keburukan, kesialan, bencana
    wurung: batal, tak jadi
    daun towo: daun dadap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar