alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Minggu, 09 Februari 2020

MENAWAR


Di antara deretan toko di pusat kota Pekalongan, aku harus memarkirkan kendaraanku agak jauh dari toko komputer yang kutuju. Tukang parkir dengan sigap mengatur parkiran.

Setelah melihat-lihat speaker aktif dengan beberapa merk, akhirnya aku memilih salah satu merk dengan harga sesuai kantong.

"Ini harga pasnya berapa?"
"Seratus lima puluh ribu. Potongannya lima persen. Jadi Seratus empat puluh dua ribu lima ratus Pak,"
"Dipaskan Seratus empat puluh lah. Pakai dua ribu lima ratus segala," tawarku.
"Ga bisa Pak," jawabnya.
"Uangnya sudah pas nih," kataku mengeluarkan selembar ratusan ribu dan dua lembar dua puluh ribuan.
"Tambah dua ribu lima ratus Pak,"
"Nggak ada," kataku sambil membuka dompetku menunjukkan tak ada receh..
"Lha itu ada lima puluh ribuan,"
"Nanti nggak ada kembaliannya," lanjutku
"Ada Pak,"
"Saya nggak mau ngrepotin sampeyan lho mbak, harus ngasih kembalian ke saya. Jadi dipaskan saja ya. Nggak perlu ada kembalian,"
"Lha seninya berdagang ya seperti itu Pak. Repot. Ada tawar-menawar, ada eyel-eyelan, ada harga tawar, ada potongan harga dan ada kembalian,"
"Halah... Wong uang dua ribu lima ratus mbok ya diikhlaskan,"
"Dua ribu lima ratus itu untungnya Pak,"

Aku akhirnya mengalah, selembar ratusan ribu dan lima puluhan ribu kuserahkan kepadanya.

"Nah gitu Pak." kata Mba penjualnya.

Dia mengoperasikan cash register, memencet harga dan uang yang kubayarkan. Tapi tiba-tiba berhenti dan berjalan menuju ke depan toko.
"Mas, tukar ribuan sama lima ratusan."

"Nah kan. Harus nukar segala. Sudah dipaskan saja," teriakku.
"Ini juga salah satu seni dalam berdagang Pak. Ada interaksi sosial, bertemu tukang parkir,  ada tukar menukar uang recehan. Jadi indah kan?"

"sakarepmu,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar