alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 31 Januari 2020

MOBIL DAN SANDAL (2)

Aku berdiri sendirian menunggu bus kecil di depan pondok untuk berangkat menuju kampus mengikuti kuliah jam 09.00. Kulihat dari pintu gerbang pondok, mobil Honda warna merah maron milik mbah kyai keluar. Aku siap-siap menyapa siapapun yang ada di dalam mobil tersebut. Namun tiba-tiba mobil tersebut berhenti di depanku. Kaca sebelah kiri depan dibuka. Kulihat Gus Jalal bersama istrinya Mba Nelly di sebelahnya memangku Mas Reza putra mereka.

"Ayo ikut. Sekalian mau ke Sardjito!" kata Gus Jalal.
"Saya naik bis mawon Gus," jawabku
"Sudah ayo, mumpung kosong,"

Aku tak mampu menolak tawaran itu. Kubuka pintu belakang dan tentu saja aku duduk di belakang.

"Tindak rumah sakit ada keperluan nopo Gus?" tanyaku
"Ini Reza panas lagi,"

Rumah Sakit Sardjito berada di kompleks kampus UGM dekat dengan Fakultas Sastra kampusku. Sepanjang perjalanan, kami ngobrol ngalor -ngidul.

"Mas Bas ini kuliah bareng Ienas ya?" tanya Mba Nelly 
"Ienas sinten Mba?" tanyaku
"Ienas Tsuroiya, putrinya Gus Mus,"
"Iya Mba, dia kakak kelas saya. Saya kenal dia tapi dia nggak kenal saya Mba. Tapi dia sudah jarang ketemu. Semester akhir tinggal ngurus skripsi,"
"Kalau ketemu titip salam ya,"
"Nggih Mba,"

Tak terasa, kami sudah sampai di depan fakultas sastra.

"Terima kasih Gus, Mba" kataku kepada beliau berdua

Kubuka pintu mobil sendiri, aku turun dan kututup lagi pintunya. Sendiri. Aku teringat kata-kata Gus Jalal di dalam mobil ini kurang lebih empat tahun sebelumnya ketika aku diajak ke bandara untuk membeli tiket bahwa penumpang yang duduk di belakang itu seperti juragan sementara yang duduk di sebelah sopir adalah kenek. Salah satu tugas sopir atau kenek adalah membukakan pintu bagi juragan yang duduk di belakang.

Walaupun membuka dan menutup pintu kulakukan sendiri, kali ini aku sudah merasa seperti juragan. Ups.

MANDI AIR SEPTIC TANK


Kadung kepergok, mau menghindar tak enak hati, aku tak bisa beringsut. Kulihat Mbah Kyai sedang berada di sebuah kolam berukuran 4 x 1 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Lha, kenapa di sini ada kolam. Bukankah di sini jalan menuju dapur? Dengan penuh basa-basi aku bertanya: "Bikin apa Mbah?"
"Ini lagi nguras isi kolam", jawab Mbah Kyai.
Ketika aku mendekat, bau tak sedap menyengat ke hidungku. Belum sempat otakku berputar 2 kali, Mbah Kyai bertanya, "Mau mbantu?"
Kutengok, kaki Mbah Kyai terendam air kolam berwarna kuning.
"Masyaalloh", kataku dalam hati. Ternyata bukan kolam, tapi septic tank.
"Ada apa ini? Kenapa Mbah Kyai nyemplung ke septic tank begitu?"
Tanda tanya masih menggantung di atas kepala dan Mbah Kyai berkata, "Ini WC asrama putri kok mampat, sudah terkuras separoh dan disogok-sogok, tapi kok belum mengalir".
"Mungkin ada yang menyumbat di peralonnya Mbah", jawabku.
Aku bingung antara jijik melihat septictank dan tak tega melihat Mbah Kyai sendirian menguras septic tank, akhirnya aku turun menemani Mbah Kyai. Sumpah, baru pertama kali ini aku masuk ke septick tank berkubang lumpur kuning nan menyengat.
"Peralon mana Mbah?" tanyaku karena ada banyak peralon yang dari berbagai sumber baik WC santri putra maupun santri putri.
"Ini yang ke atas," jawab beliau sambil memegang sebuah peralon ukuran 4 dim yang menuju ke atas. WC asrama putri memang berada di lantai dua dan tak kusangka septic tanknya menyatu dengan WC asrama putra. Jadi tanpa disadari santri putra dan santri putri di pondok pesantren ini sebenarnya sudah menyatu walaupun hanya di tempat pembuangan.
Aku mngulangi apa yang telah dikerjakan oleh Mbah Kyai yaitu menyodok-nyodok peralon dengan sebilah bambu.
"Mampet Mbah, ada yang mengganjal," kataku
"Makanya itu WC atas bajir. Airnya nggak bisa masuk ke septic tank. Coba pakai tangan!" suruh Mbah Kyai.
Awalnya aku ragu. Pakai tangan? Tanganku masuk ke saluran tinja? Tapi aku tak berani membantah. Kumasukkan saja tanganku. Pelan-pelan sampai setengah lenganku amblas tapi masih tak meemukan apapun.  Kumasukkan lagi semakin dalam dan setelah tanganku masuk satu lengan penuh aku berhasil menyentuh benda yang menghambat saluran tersebut. Agak empuk seperti plastik atau kain. Kuraih benda itu dan kitarik tapi agak susah. Kucoba lagi. Semakin jelas benda ini semacam kain. Kutarik lagi.
"Byuuurr!,"
Berhasil. Benda itu berhasil kutarik.  Wajahku dan tubuhku klebus dengan cairan kuning yang baunya sangat menyengat. Segera kunaik ke atas dan masuk ke kamar mandi. Kulempar benda yang masih ada di tanganku.
"Huft... Masyaalloh baunya."
Kugosok-gosok semua tubuhku. Tak ada sabun tak ada sampo. Yang penting bersih dulu dari cairan kuning. Baju dan celanaku sekalian kukucek sampai bersih. Setelah bersih walaupun baunya masih belum hilang dari tubuhku, kupakai lagi baju dan celanaku dan aku kembali ke benda yang tadi kubuang. Penasaran.
"Apa Bas?" tanya Mbah Kyai
"Pembalut Mbah," jawabku. Kulihat ada beberapa pembalut yang berhasil kutarik.
"Santri perempuan sudah dibilangin jangan membuang roti tawarnya ke WC kok susah ya. Seperti ini jadinya,"

JENIS KELAMIN BENDA

Setiap benda dalam bahasa Perancis mempunyai jenis kelamin yaitu laki-laki (masculin)  dan perempuan (feminin). Tidak ada tanda tertentu untuk menandai benda tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sudah dari sananya. Kita tidak bisa menentukan sendiri jenis kelamin benda tersebut.
Setiap kata benda mempunyai artikel yang diletakkan di sebelum kata benda. Ada artikel indefini (tertentu) dan artikel defini (tertentu).

"Kita belajar artikel indefini dulu ya," kataku

Artikeli indefini yaitu artikel yang menunjukkan bahwa benda tersebut belum tertentu. Ada tiga artikel indefini yaitu un untuk kata benda berjenis kelamin laki-laki, une kata benda berjenis kelamin perempuan, dan des untuk kata benda jamak.
"Kita gunakan artikel indefini dulu untuk menunjukkan masculin dan feminin," lanjutku
Karena tidak ada ciri khusus dari benda tersebut yang digunakan untuk menandai jenis kelamin kata benda tersebut maka siswa-siswa di kelasku berusaha menandainya sesuai dengan persepsinya masing-masing agar mudah mengingat-ingat benda yang berjenis laki-laki atau perempuan.
"Stylo artinya pulpen, berjenis kelamin laki-laki.  Artikel yang digunakan adalah un. Jadi un stylo artinya sebuah pulpen, " jelasku di depan kelas.
"Oh,  karena pulpen itu panjang ya Pak?" tanya salah satu anak.
"Belum tentu.  Ada yang panjang tapi berjenis kelamin perempuan yaitu botol. Dalam bahasa Perancis artinya bouteille. Maka artikel yang digunakan adalah une. Une bouteille, artinya sebuah botol, " lanjutku
"Itu karena ada lubangnya Pak" protes anak tadi.
"Gelas berlubang juga tapi laki-laki, un verre"
"Kan bentuknya silinder dan keras. Laki-laki sekali itu Pak,"
"Cerobong asap, panjang keras, jenis kelaminnya perempuan, une cheminée" debatku
"Kan ada asap yang keluar, melambai-lambai seperti rambut perempuan."
"Sulak juga rambutmya banyak, tapi laki-laki,  un plumeau."
"Ya jelas lah Pak.  Kan bentuknya panjang dan berambut. Pasti laki-laki Pak."
"Ah capek deh.  Terserah kalian lah.  Yang penting kalian jadi hafal kata benda mana yang laki-laki dan mana yang perempuan."

Selasa, 28 Januari 2020

JALAN SEMAR MESEM



"Sekolahan ini jalan apa sih Pak?" tanya rekanku yang akan mengikuti Ujian Kompetensi Guru (UKG) di sekolahku
"Kenapa? tersesat ya?" kataku sambil nyengir.
"Wah muter-muter entah sampai mana tadi," jelasnya
"Wah, jadi banyak pengalaman dong," ejekku.
"Pengalaman yang menyebalkan," lanjutnya, "wong di kop surat jalan desa Rowobelang, ya kucari di google map jalan desa Rowobelang."
"Ketemu?" tanyaku
"Ketemunya balai desa Rowobelang.  Terus kucari SMA 2 Batang.  Kok ada di jalan semar mesem? Aku sempat nggak percaya, " lanjutnya.
"Tapi akhirnya sampai kan," ledekku
"Iya aku minta tolong orang untuk mengantar sampai sini."

Alamat sekolahku memang unik. Alamat resmi yang tertera di kop surat adalah jalan Desa Rowobelang tapi di google maps disebutkan jalan Semar Mesem. Semar mesem adalah nama ajian pemikat lawan jenis yang paling kondang seantero Jawa yang konon merupakan ajian peninggalan Ki Ageng Pemanahan yang awalnya digunakan untuk menundukkan musuh-musuhnya. Semar mesem ini sekelas dengan ajian Jaran Goyang dan Aji Pengasihan.

“Ingsun amateek ajiku si semar mesem, mut mutanku inten, cahyane manjing ono pilingananku,kiwo tengen sing nyawang ke giwang, opo maneh sing nyawang kang kumantil tumancep ingsanubariku yo iku si jabang bayine, welas asih
marang badan slirahku, songko kersaning Allah.”

Sabtu, 18 Januari 2020

KELAPA MUDA



Udara panas siang ini membuatku ingin mencari yang segar-segar. Alternatifnya adalah kelapa muda. Kelapa muda murni tanpa es tanpa gula dan tanpa sirup. Minum air kelapa muda berkhasiat menghaluskan kulit, menambah ion tubuh, meningkatkan sistem imun, dan menambah stamina. Tentu saja mencegah penuaan juga. Ndereni.

Tidak sampai lima menit naik motor, aku sudah sampai di penjual kelapa muda langgananku. Di bawah pepohonan yang rindang di jalan Tentara Pelajar, tepatnya di seberang kolam renang "Kampung Kalisalak", penjual ini mendirikan warung sederhana dari bambu dan beratap anyaman daun tebu.

Harganya cukup murah dan stabil, 1 liter hanya Rp 9.000,-. Maaf, jualnya bukan per butir kelapa tapi memakai gelas ukur, gelas yang ada angka-angkanya. Modern dan mengikuti perkembangan jaman. Jadi ukurannya tepat. Biasanya isinya lebih dari satu butir kelapa. Untuk es kelapa muda dengan gula atau sirup harganya Rp 3.000 per gelas. Harga ini tetap bertahan, baik di hari biasa maupun di bulan romadhon ketika dimana-mana harga kelapa muda naik karena banyak permintaan.

"Biasa nggih bu," kataku sambil meletakkan sebuah botol tumbler kapasitas 2 liter di gerobak. Ibu penjual kepala muda sudah paham. Aku selalu membeli dua porsi kelapa muda dan dipilihkan kelapa muda yang dagingnya tipis. Aku juga selalu membawa wadah sendiri supaya bisa mengurangi sampah plastik. Mengurangi sampah plastik berarti membantu menyelamatkan lingkungan. Menyelamatkan lingkungan berarti menyelamatkan dunia. Sungguh mulia tindakanku.

"Sebentar nggih Pak Guru," kata ibu penjual.

Aku terperangah kaget. Tak kusangka ibu penjual kelapa itu tahu bahwa aku adalah seorang guru. Padahal aku tak pernah mengenalkan diriku guru. Aku juga tidak menulisi bajuku guru. Identitasku yang sering kupakai hanya nama dan pin korpri yang menandakan tidak hanya guru. Aku juga tak pernah membawa-bawa buku pelajaran, presensi maupun agenda mengajar saat membeli kelapa muda. Ah mungkin terpancar dari aura wajahku?

Terus terang, aku jadi terharu dan tersanjung. Ternyata penjual langgananku ini memperhatikanku dan mungkin menyebar mata-mata untuk mencari informasi tentangku. Tapi begitulah seharusnya sikap penjual kepada pembeli. Mengenalinya lebih jauh. Jadi serasa ada ikatan kekeluargaan. Ada saling kepercayaan dan saling pengertian. Akhirnya jadi pelanggan.

Jumat, 10 Januari 2020

KALA JEPRET


Rupanya ada tikus di rumahku. Makanan yang ada di meja atau di dapur berkali-kali raib. Tanda yang paling nyata sehingga aku menuduh tikus yang melakukan adalah sebungkus nasi goreng yang lupa kumakan, bungkusnya koyak berlubang dan nasinya berceceran.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana tikus itu masuk ke dalam rumah padahal sudah tidak ada jalan bagi tikus untuk masuk ke rumahku. Gorong-gorong dari kamar mandi ke selokan depan rumah sudah ada penutupnya. Lubang-lubang di jendela, pintu dan tembok juga tidak ada. Rambatan dari atap rumah ke bawah juga tidak ada.

Ada beberapa kemungkinan tikus bisa masuk ke dalam rumahku. Bisa saja tikus masuk ketika pintu rumah terbuka. Tapi kemungkinan ini kecil. Pintu rumahku terbuka ketika ramai, ada orang atau ada aktivitas. Kalau keadaan sepi, tak ada orang, tak ada aktivitas, malam hari ketika tidur, pintu rumahku selalu dalam keadaan tertutup. Lagi pula di pintu sudah terpasang stiker "ucapkan salam sebelum masuk rumah".

Kemungkinan yang paling besar adalah tikus itu terjatuh dari atap. Di atap rumahku yang  belum kupasang plafon sering terlihat tikus berlarian di antara kayu usuk dan reng. Terutama pada malam hari, banyak tikus mondar-mandir melewati kayu usuk dan reng. Entah kegiatan apa yang mereka lakukan. Apakah mereka sekedar lewat, ataukah sedang mencari makan, bermain-main, atau pacaran? Nah, kemungkinan mereka jatuh ketika mereka sedang berlarian di atap. Tanpa melihat ada paku mencuat atau kabel listrik melintang, kaki mereka tersandung lalu jatuh. Sakit? Pasti lah.

Apapun alasannya, tikus itu sudah masuk ke rumahku dan bersembunyi entah di mana, bisa di bawah lemari, di kolong tempat tidur, di antara perkakas dapur atau tempat persembunyian lainnya.

Sekarang, tinggal bagaimana cara mengusirnya? Disuruh pergi dengan baik-baik juga tidak mungkin. "Kus...silahkan keluar ya, pintunya sudah kubuka lebar-lebar. Kuantar sampai depan ya".

Cara yang paling ampuh adalah dengan cara paksa. Yaitu dengan memaksa, menggertak, meneriaki menakut-nakuti, atau bahkan dengan cara kekerasan.

Untuk menakut-nakuti tikus, kuambil pentungan. Kupukul-pukul ke tempat dimana sekiranya tikus itu bersembunyi. Tapi sang tikus tak mau keluar.

Cara lain yaitu kubuat suara gaduh dengan tetabuhan. Kaleng bekas kong ghuan kupukul-pukul sekeras-kerasnya dan tidak beraturan sambil berteriak-teriak agar tikusnya keluar dari persembunyiannya. Hasilnya nihil. Mungkin tetabuhanku salah. Harusnya berirama, teratur, dan merdu. Pasti tikusnya tertarik dan keluar. Entahlah.

Alternatif terakhir. Awalnya akan kugunakan racun tikus tapi aku khawatir tikusnya mati tanpa tahu di mana rimbanya kemudian jadi bangkai dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Maka kugunakan cara lain yaitu menggunakan kala jepret. Kubeli sebuah kala jepret di sebuah toko kala jepret.

"Yang mati atau yang hidup?" tanya penjualnya.
"Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Kalau yang mati yang ini. Tikusnya kejepret langsung mati. Kalau yang hidup yang kerangkeng. Tikusnya masuk tapi nggak mati."
"Terus cara mematikannya gimana bu?"
"Ya dibunuh,"
"Waduh, nggak tega bu. Yang ini saja bu yang langsung mati," jawabku

Malam itu juga kupasang umpan dan kuletakkan di tempat yang strategis dan tentu saja aman dari jangkauan anak-anak yaitu di bawah rak piring.

Jam sebelas malam aku terbangun mendengar "jepret" dibarengi "cieeeet....cieeet".

"Wah, kena nih tikusnya," kataku sambil terhuyung-huyung turun dari tempat tidur.

Benar saja, kulihat seekor tikus terjepit kala jepret yang kupasang. Tapi tidak langsung mati. Tikus itu masih hidup karena hanya terjepit ekornya. Mau kubunuh aku tak berani. Akhirnya kala jepret itu beserta tikusnya kubawa ke teras. Maksudnya, kalaupun lepas, tikus itu tidak masuk ke dalam rumah.

Di teras kucari kayu atau benda apa saja untuk memukulnya. Adanya sandal japit. Mau kulepaskan malah tikus mau menggigit. Akhirnya, kubiarkan saja tikus itu masih terjepit kala jepret itu di teras.

"Sudahlah Kus, kalau nasibmu baik kau bisa lepas dari kala jepret ini malam ini. Tapi kalau nasibmu nggak baik kau akan di sini sampai pagi dan akan kubuat perhitungan denganmu besok pagi. Aku masih ngantuk. Aku mau tidur."

Kutinggalkan kala jepret itu beserta tikusnya. Aku masuk, kukunci pintu, cuci kaki lagi, dan naik ke tempat tidur.

"Cieeett....cieettt," tiba-tiba terdengar suara tikus dari luar diiringi "klethek...klethek" suara kala jepret
"Meeoong," ada suara kucing juga.

Kubiarkan saja. Dan berikutnya suara "klethek...klethek" kala jepret semakin lirih dan menjauh.

"Wah gawat, kucing itu pasti membawa pergi tikusnya," batinku

Aku meloncat dari tempat tidur, buka pintu dan benar dugaanku, tikus beserta kala jepretnya telah hilang. Kulihat kucing itu membawanya. Kuambil kunci pintu gerbang dan kubuka gerbangnya. Kucing itu telah jauh. Kukejar dan kucing itu melompat ke atap rumah tetangga. Aku terpaku. Tak mungkin kukejar lagi. Aku hanya bisa meratap. Bukan tikus yang kuratapi tapi kala jepretku yang ikut dibawa juga.

Aku kembali ke rumah. Jam di dinding menunjukkan pukul 12.00 tepat.

Minggu, 05 Januari 2020

KEPALA POCONG

(maaf, tanpa gambar)

Keluat dari mushola setelah sholat maghrib, Ken mendekatiku.

"Pakde, kata Lin tadi Lin lihat kepala pocong di pos kamling," lapor Ken
"Iya Pakde, tadi Lin ngomong gitu," tambah Kan
"Bohong itu, nggak ada kepala pocong di pos kamling," jelasku menenangkan suasana.

Perlu diketahui, pos kamling yang disebut berada di pertigaan sebelum rumah Ken dan Kan. Tentu saja, berita ini membuat mereka ketakutan.

"Ya sudah, ayo pulang bareng pakde," ajakku.

Akhirnya mereka berjalan pulang bersamaku. Sepanjang perjalanan mereka mencari solusi agar tidak diganggu pocong.

"Kita baca bismilah, pasti pocongnya takut," kata Ken
"Kita kan pakai peci. Peci ini nanti buat senjata melawan pocong," imbuh Kan.

Katika aku harus berbelok karena rumahku berada di sebelum pos kamling, aku harus menunggu dan memastikan mereka berhasil melewati pos kamling dengan selamat dan tidak ketakutan.

"Sana, Pakde tungguin dan lihatin dari sini," kataku sambil berdiri di depan rumahku.

Benar saja, mereka melewati pos kamling tanpa ketakutan. Alhamdulillah.

Namun, pada waktu sholat isya, mereka tidak berangkat ke mushola.

SALAK


Tertarik dengan tulisan: Rp 10.000/ 3 kg. aku menghampiri penjual salak yang menggelar dagangannya dengan mobil bak terbuka. "Harga salak yang cukup murah" kataku dalam hati.

"Beneran nih Mas, sepuluh ribu tiga kilo?" tanyaku.
"Yang sepuluh ribu tiga kilo yang ini Pak," kata mas penjualnya sambil menunjukkan salak kecil-kecil dan sebagian ada yang membusuk.

"Wah aku tertipu" batinku

"Lha yang ini berapa?" tanyaku sambil menunjuk salak yang menggunung, besar-besar, nampak masih segar dan sebagian masih bertandan.
"Yang ini enam ribu per kilo," jawabnya dengan santai tak merasa telah menipu calon pembeli di hadapannya.
"Tiga ribu bolah ya mas. Tulisannya kan sepuluh ribu per tiga kilo."
"Lha itu tulisannya kan saya taruh di atas salak yang ini Pak,"

Wah bener juga nih. Tulisannya sejak tadi berada di atas salak KW 5 di sebelah salak yang besar-besar.

"Kalau gitu lima ribu ya," tawarku lagi.
"Belum boleh Pak. Ini benaran sudah pas enam ribu," balasnya
"Ini salak mana Mas?" tanyaku
"Salak Banjarnegara," jawabnya
"Sampeyan asli mana Mas?" tanyaku setelah melihat nomor plat mobilnya "R .61** MM.
"Saya dari Kalibening Pak,"
"Oalah..jebule wong Kalibening ya. Nyong wong Purbalingga Mas. Nyong nek mudik ya lewat Kalibening," jelasku mencoba memakai bahasa ngapak-ngapak dan memberitahu bahwa aku mengenal daerahnya yaitu Kalibening termasuk wilayah di Kabupaten Banjarnegara. Tujuannya agar merasa semakin dekat, saling kenal dan bersaudara sehingga nantinya akan terjadi kesepakatan harga yang semiring-miringnya berupa harga harga pertemanan dan persaudaraan.

"Sampeyan dilaju dari Kalibening?" tanyaku lebih lanjut.
"Iya Pak. Dua jam setengah Pak." jawabnya
"Wah jauh sekali ya Mas. Tentunya capek ya?" kataku mencoba berempati. Mudah-mudahan dia merasa semakin dekat.
"Namanya cari rejeki Pak, capek seperti apa saja tetap dijalani," terangnya
"Betul Mas, harus tetap semangat,"
"Iya Pak. Terima kasih," jawabnya dan dia mulai berterima kasih. Nampak mulai dekat.

"Jadi berapa nih harga salaknya? Nggak bisa lima ribu?" tanyaku mencoba menembak harga.
"Nggak bisa Pak. Betul sudah pas segitu. Itu saja untungnya sudah mepet,"

Pendekatanku gagal, aku menyerah dan berakhir dengan membayar Rp 12.000 untuk 2 kg. salak.

Sabtu, 04 Januari 2020

CERPEN : TOH GETIH

Bercak merah berdiameter kurang lebih tiga centimeter yang ada di tengkuk anakku terlihat begitu jelas apalagi kulit anakku putih. Kata orang, ini adalah toh merah atau toh getih, bercak berwarna merah yang dianggap sebagai pertanda kurang baik. Setiap orang yang menjenguk bayiku, selalu menyempatkan diri untuk melihat toh getih di tengkuk anakku sambil bergidik.

"Wah, celaka. Kita akan kena bendu," bisik-bisik di antara mereka.

Sudah lama sekali, toh getih ini tidak muncul di desa ini. Beberapa puluh tahun yang lalu toh getih ini pernah muncul di tubuh seorang bayi, Pardi namanya. Bayi itu tumbuh sebagaimana bayi normal. Meskipun orang tuanya cemas dengan toh getih ditubuh anaknya tapi tak bisa berbuat banyak dan akhirnya membiarkannya begitu saja. Ketika dewasa, Pardi menjelma menjadi seorang penjahat sakti yang menguasai ilmu hitam yang telah menyebarkan wabah penyakit dan membuat warga desa resah sebelum akhirnya ditembak mati oleh polisi dengan bantuan Mbah Nyi Maja.

Begitu cemas dan malunya orang tuaku mendengar toh getih ini menempel pada cucunya.

"Lelakon apa yang telah kalian perbuat sehingga anakmu ketempelan toh getih?" orang tuaku menangis ketika mengunjungi kami.

Beberapa orang bahkan menuduh kami telah melakukan ritual hitam.

Kejadian yang menimpa anakku ini tentu saja membuat aku dan istriku cemas walaupun gerak-gerik dan perkembangan anakku normal sebagaimana tercatat dalam KMS di pos yandu RT-ku. Aku dan istriku bahkan sempat cekcok saling menuduh telah berbuat hal-hal terlarang.

Namun demikian, hanya Mbah Nyi Maja yang nampak bisa memahami kami dan anakku ini. Walaupun terlihat cemas setiap datang ke rumahku untuk memijat anakku dan memberikan jamu kepada istriku, Mbah Maja tetap memperlihatkan ketenangannya.

"Tunggu sampai umur empat bulan. Biar dia kuat dulu," kata Mbah Nyi Maja, dukun bayi yang menangani kelahiran anakku.

Toh getih ini sudah diperkirakan ada oleh Mbah Nyi Maja sejak dalam kandungan. Mbah Nyi Maja dikenal sebagai dukun bayi paling sepuh di desaku. Ia tahu tanda-tanda kelahiran bayi yang normal dan tidak normal sejak bayi itu masih dalam kandungan.

"Bayi ini sudah digendoli. Pertanda bayi ini jadi rebutan antara kekuatan hitam dan kekuatan putih." ujarnya pada saat kandungan istriku baru berumur 6 bulan.

Tanda paling kentara yaitu pada saat hari H kelahirannya, di wuwungan atap rumahku hadir burung malam yang tak berhenti berbunyi sejak tengah malam sampai menjelang subuh. "Creaaak...creaaak," suaranya membuat tidak nyaman di telingaku. Burung ini sebelumnya tak pernah muncul di atap rumahku.  Kedatangan burung ini dipercaya sebagai pertanda buruk.

"Nak, kuatkan doamu. Jangan sampai mengantuk, jangan berhenti berdoa sampai fajar menyingsing!" perintah Mbah Nyi Maja kepadaku yang sejak perut istriku kroso pada pukul 22.00 aku mengelus-elus kening istriku yang bersimbah keringat. Tasbih, tahmid, tahlil, solawat kubaca berulang-ulang bergantian sembari menyaksikan istriku kontraksi berulang-ulang sampai terdengar azan subuh dan suara burung itu berhenti. Terdengar kepaknya pertanda dia telah pergi. Aku menghela nafas lega. Anakku belum juga keluar juga dari perut istriku dan kutinggalkan untuk sholat subuh.

Bersamaan dengan terbitnya matahari, istriku mengejan kuat. Sekejap kemudian terdengar tangisan bayi bersamaan dengan muncratnya air ketuban bercampur darah ke tembok kamar.

"Alhamdulillah," ujar Mbah Nyi Maja yang dengan sigapnya segera memotong tali pusar dan memandikan kemudian membungkusnya dengan kain jarik kembang mayang, kain pesanan khusus Mbah Nyi Maja kepadaku untuk menjemput kelahiran jabang bayi. Aku segera mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri.

"Sediakan tumpeng, air tujuh sumber dan nasi kuning sejumlah 40 bungkus ditutup daun towo untuk melepasnya!" perintah Mbah Nyi Maja ketika aku mempersiapkan upacara "toh wurung", upacara untuk menghilangkan toh getih yang ada di tengkuk anakku.

"Malo..malo kinjenge kinjeng kebo.."
Mantra itu kuulang-ulang sambil melempar-lempar capung itik yang sudah kuikat dengan serat pohon pisang. Kinjeng kebo atau capung kerbau adalah salah satu capung yang paling gesit dan paling susah ditangkap. Terbangnya cepat, reaktif terhadap gerakan benda atau makhluk lain. Cara yang paling gampang untuk menangkap capung bertubuh hjau dengan loreng hitam di sekujur tubuh dan ekornya ini adalah dengan memancingnya. Umpan utamanya adalah capung itik yaitu capung yang ukuran tubuhnya lebih kecil dan lebih mudah ditangkap. Setelah tertangkap dengan menyambarnya dengan tangan kosong ataupun menangkupnya dengan plastik transparan, ekor capung itik selanjutnya diikat dengan tali dari serat kelopak pohon pisang. Otomatis capung itik ini akan terbang tapi tidak akan lepas karena sudah terikat. Dengan umpan capung itik inilah aku memancing capung kerbau. Melihat mangsa gratis terbang pelan di dekatnya, capung kerbau tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Disambarlah umpan itu dan tak akan dilepaskan sehingga  bisa kutangkap dengan mudah. Kukumpulkan tujuh capung kerbau di dalam sebuah toples bekas wadah  sosis. Ritual "malo" ini pun harus kulakukan sendiri.

Tujuh capung kerbau sudah kukerangkeng. Setelah bacaan yasin tahlil dan sambil menunggu mahalul qiyam di tengah-tengah pembacaan barzanjen, kubawa bayiku yang nampak pulas dipangkuanku ke tengah-tengah jamaah. Disaksikan oleh seluruh jamaah yang terus melantunkan sholawat nabi, Mbah Nyi Maja menggigitkan capung kerbau satu per satu ke tengkuk anakku yang ada di gendonganku. Sekali gigitan, capung itu seketika mati. Capung kedua sama. Capung ketiga dan selanjutnya bernasib sama. Toh getih ditengkuk anakku semakin memudar. Sampai capung ketujuh digigitkan. Capung ini nampak masih hidup kemudian diterbangkan. Sebentar terbang menuju lampu neon di tengah ruangan dan tiba-tiba jatuh mati. Toh getih di tengkuk anakku hilang sama sekali. Ritual terakhir, air tujuh sumber diusapkan ke ubun-ubun, kening, dua telapak tangan, wudel, dan dua mata kaki.

Ritual ini diakhiri dengan doa oleh Kyai Muin dan semua mengucapkan syukur.

#) bendu: keburukan, kesialan, bencana
    wurung: batal, tak jadi
    daun towo: daun dadap

Jumat, 03 Januari 2020

TEROMPET BUNGA PACAR SORE: BAHAGIA ITU SEDERHANA



Menikmati sore, tercium wangi semerbak dari halaman depan. Rupanya bunga pacar sore warna kuning sedang mekar. Iseng-iseng mengenang masa kecil, aku dan istriku mengajari anakku untuk membuat dan bermain terompet dari bunga pacar sore.

Petik satu bunga. Kemudian potong bagian bawah. Tariklah putik dan benang sari dari atas. Tiup pelan-pelan dari bawah mahkota bunga. Tidak perlu mengejan seperti mau lahiran. Pelan-pelan saja, lembut dan penuh perasaan. Seandainya belum menghasilkan bunyi, potong lagi sampai menghasilkan bunyi. Setelah berhasil, bunyi terompet ini bisa divariasi dengan menambah dan mengurangi tekanan udara saat meniup serta dengan menangkupkan kedua tangan.

Sore ini kami cukup berbahagia dengan terompet bunga pacar sore.

Kamis, 02 Januari 2020

KENAPA MENANGIS?




Hari ini tanggal 2 Januari 2020 adalah awal masuk sekolah semester 2 Tahun Pelajaran 2019/2020. Pada hari ini pula ada kegiatan sosialisasi perguruan tinggi untuk siswa-siswi kelas XII. Perguruan tinggi yang akan mengisi kegaiatan tersebut adalah IPB, PIP dan STTKD.

Pada pukul 09.00 para mahasiswa IPB yang berjumlah sekitat 12 orang telah datang. Ada 3 mahasiswa yang merupakan alumni sekolahku yaitu Ineng, Muhammad Kadihan, dan Nova Fifiana. Sebelum masuk ke kelas-kelas, mereka berkumpul di lobi untuk melakukan koordinasi.

Aku menemui mereka. Sebelum aku menyalami satu per satu, tiba-tiba ada salah satu mahasiswa yang tergesa-gesa menyalamiku. Tanganku dipegangnya erat-erat dan diciumnya.

"Eh Nova, apa kabar?" tanyaku

Pertanyaanku tak dijawab. Dengan mata berkaca-kaca dan tak ada jawaban, dia sesenggukan.

"Kenapa menangis?" tanyaku kemudian.

Tak juga menjawab, dia sibuk mengelap air matanya yang tak terbendung. Salah satu temannya merangkulnya dan berusaha menenangkannya tanpa tahu pemyebabnya.

"Cup...cup... Sudah..sudah,"

Aku bingung kenapa Nova menangis. Apa yang salah denganku? Apakah aku telah menyakitinya? Kan baru ketemu. Kulihat kakinya, siapa tahu kakinya terinjak kaki temannya. Tidak juga. Atau mungkin matanya kelilipan? Sepertinya tidak Atau matanya kecolok tangan temannya? Disengat tawon? Digigit tomcat? Digigit kucing? Digigit ulat? Digigit kamitetep? Entahlah.

"Ayo ikut Pak Bas," ajakku

Nova menurut dan mengikuti ke mana aku menariknya. Aku menarik tangannya ke tempat yang agak terang.

"Pak Bas pingin foto sama Nova,"

Tangisnya belum berhenti.

"Dah..nangisnya dihabiskan dulu. Pak Bas tunggu,"

Dia masih berusaha mengelap air matanya yang tetap meleleh di pipi. Aku menunggunya beberapa saat.

"Sudah?"

Nova menganggukkan kepala. Tapi matanya masih sembab. Dia berusaha menutupinya dengan senyumnya. Beberapa kali jepretan dan gaya, akhirnya kami berhasil berselfi.

"Gimana di Bogor? Betah?"

Nova menganggukkan kepalanya dengan mantap sambil berkata lirih "betah" dan senyumnya tersungging.

"Bekerja keras, belajar keras ya, jangan kendor," kataku menyemangatinya sambil mengepalkan tanganku.

"Iya Pak," katanya sambil menganggukkan kepala sekali lagi dengan penuh semangat.

"Kenapa menangis?" tanyaku selanjutnya

"Bapak membuat saya terharu,"

Rabu, 01 Januari 2020

TEROMPET TAHUN BARU





"Teeettt..teeeettt...teeett..."

Kami merayakan tahun baru dengan meniup terompet secara bergantian.

Hujan sejak sore 31 Desember 2019 menjadikanku menikmati malam tahun baru 2020 di rumah saja. Kubuat terompet yang unik dan menarik dari botol bekas minyak wangi, botol bekas bumbu dapur, botol bekas aqua, ballpoint bekas, balon dan karet gelang..

Untuk menghasilkan bunyi yang pas, terompet tersebut harus diuji coba berkali-kali. Hasilnya, suara yang mantap dan memuaskan. Tak kalah dengan klakson bus pariwisata.

Terompet ini dijamin aman dari virus HIV/AIDS, kanker mulut, kanker lidah, kanker darah, hepatitis. Paling-paling virus batuk, pilek, sakit kepala, gatal-gatal, panu, flu, mencret, dan sariawan.

Dan perlu diketahui bahwa, di antara virus yang jahat, masih banyak virus yang baik. Memang ada kemungkinan kita akan tertular virus tidak baik tapi masih banyak virus baik yang akan menular kepada kita dan membuat kita lebih baik yaitu virus kebahagiaan, keramahan, kebaikan, tidak  membid'ahkan dan mengkafirkan orang lain.

Ada yang mau beli terompet buatanku?