Hari Selasa 3 Nopember 2015 pukul 06.00 aku sudah berada di
alun-alun Batang. Shaf depan telah penuh sehingga aku memilih shaf di belakang, persis di
sebelah barat pohon beringin yang belum lama ambruk tapi dahannya telah
dipotong dan batangnya yang masih menjuntai ke empat arah hanya ditopang dengan
beberapa potong bambu. Kugelar dua lembar koran bekas. Di atasnya kugelar
sajadah merah maron. Walaupun sudah terang namun matahari belum juga nampak. Langit
terlihat cerah dengan beberapa onggok awan putih di sebelah utara. Orang-orang
yang baru datang lalu lalang di depanku. Kakinya menyapu debu musim kemarau
yang masih belum berlalu. Aku menutup hidungku untuk menghindari debu yang
beterbangan.
“Mbok kalau pada jalan, kakinya diangkat dan pelan-pelan,” kataku
dalam hati. Hanya dalam hati karena tak mungkin aku mengatakan kepada puluhan
orang yang tak henti-hentinya lewat di depanku. Tentu saja, kata hatiku menjadi
sia-sia karena hidungku tetap kemasukan
debu. Aku terbatuk dan bersin-bersin.
Lima puluh menit berlalu. Matahari mulai menampakkan batang
hidungnya. Punggung para jama’ah yang berada di shaf depan mulai mendapatkan
vitamin B. Punggungku terhalangi oleh pohon beringin untuk mendapatkan vitamin
yang sangat bermanfaat ini. Dari speaker yang dipasang di beberapa sudut mengalun
sholawat dan istighfar tak henti-henti. Para jama’ah masih larut mengikutinya. Acara
sholat istisqo berjamaah belum juga dimulai (Kalau aku sudah berkata seperti
ini artinya “lama sekali sih!”)
Pukul 07.00 datanglah Bapak Bupati beserta rombongan, sebagian berjubah. Mungkin ini para ulama dari Syiria itu. Mereka menempati shaf paling depan. Tak berlaku kalimat yang mengatakan bahwa
yang datang belakang harus menempati shaf belakang. Soalnya, alun-alun kan tak ada pintunya. Jadi masuk dari mana saja, bebas. Termasuk dari depan (barat). Iya kan?
Diawali pidato oleh Bupati Batang Bp. Yoyok Riyo Sudibyo.
Beliau berterima kasih kepada para jama’ah yang telah berkenan mengikuti sholat
istisqo ini. Beliau juga bercerita panjang lebar tentang kondisi bangsa yang
sedang dilanda kebakaran di mana-mana. Hampir setengah jam beliau berpidato
dengan ditutup pesan untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat, jangan sampai
terpecah oleh gerakan-gerakan yang megatasnamakan Islam.
Sholat istisqo dilaksanakan 2 raka’at dengan diawali takbir
7 kali pada rakaat pertama dan 5 kali pada rakaat kedua. Seperti tertulis di
MMT besar di beberapa perempatan dan undangan yang disampaikan ke sekolah-sekolah
dan masjid-masjid, sholat istisqo ini diimami oleh Sheikh Al Alamah Prof Dr.
Rajab Deeb ulama dari Syiria.
Dilanjutkan dengan khotbah berbahasa Arab oleh ulama dari Syiria lainnya. Tentu saja aku paham dengan pembuka khotbahnya: salam, hamdalah
dan sholawat. Tapi pada menit ke-5, aku sudah kehilangan makna. Tak ada satu
pun kata-kata yang aku pahami. Setelah 20 menit berlalu, aku kembali paham:
Istighafar, do’a yang biasa aku panjatkan juga, dan salam.
Jangan khawatir, khotbah ini diterjemahkan juga dalam Bahasa
Indonesia oleh Usatdz Anang, pimpinan pondok pesantren Tazaka. Jadi, otakku tak
perlu lagi berputar-putar pening. Inti dari khotbah adalah jangan saling membenci,
jangan korupsi, jangan merusak, sabar, saling mengasihi dan menjaga persatuan agar
Tuhan juga mengasihi manusia.
Kegiatan ini diakhiri dengan do’a. Tentu saja do’a minta
hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar