alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Jumat, 13 November 2015

JENGKOL

Hari Jum’at tanggal 14 Nopember 2015 ini tidak ada Kegiatan Belajar Mengajar karena akan diadakan acara pelepasan mahasiswa PPL dari Unikal (Universitas Pekalongan). Kami, para guru, mengenakan seragam olahraga kaos hijau dan celana training hitam. Sedangkan para siswa mengenakan seragam olahraga biru tua.

Kegiatan pertama adalah jalan sehat mengitari dusun Krengseng, Rowobelang, dusun dimana sekolah kami berada. Jarak yang ditempuh sekitar 2 km. Melalui jalan desa yang sejuk dan hijau, kami berjalan santai sambil ngobrol dan bercanda. Satu jam kemudian kami telah sampai kembali di sekolah. Walaupun tak terlalu melelahkan, kegiatan ini lumayan telah membuat kami berkeringat.

Sebelum acara dilanjutkan, para siswa diberi kesempatan untuk beistirahat. Sedangkan para guru melakukan sarapan bersama. Sekardus nasi telor telah diletakkan di meja masing-masing. Aku belum berselera untuk memakannya karena sebelum berangkat tadi aku sudah sarapan. Sementara yang lain nampak menikmati nasi kardusnya. Aku memilih untuk melanjutkan pemberkasan pupns.

“Aku minta bu...aku minta,” teriak ibu-ibu di belakangku

Aku menengok. Ternyata mereka sedang memperebutkan sesuatu.

“Apa bu?” tanyaku kepada bu Wid.
“jengkol Pak, Bu Erni membawa semur jengkol, masak sendiri,” kata Bu Wid menerangkan.
“Wah, jadi pingin nih,” kataku

Segera kusambar kardus berukuran 20 x 20 yang masih teronggok di mejaku. Aku segera mengantri jengkol.

“Aku minta ya Bu,” kataku kepada Bu Erni sambil membuka kardusku. Sebuah toples segi empat warna kuning berukuran 30 x 15 penuh dengan semur jengkol yang baunya sudah sampai ke hidungku sejak tadi. Kuambil empat buah. Karena perutku masih terasa kenyang, untuk sementara kardus itu kututup kembali dan kuletakkan lagi di atas meja. Aku melanjutkan kembali pekerjaanku.

Bau semur jengkol yang menelusup lewat tutup kardus di depanku benar-benar mengganggu hidungku. Untuk menenangkan hidungku, kubuka kembali kardus itu. Kuambil satu dan kugigit pelan-pelan. Rasanya kenyal dan empuk. Aromanya semakin menyeruak, menggantung ke langit-langit. Antara mau lengket dan terjatuh. Bumbu coklat kekuning-kuningan meleleh di tepi lidahku. Menyengat.

“Enak tenan,” kataku dalam hati. Kutengok lagi kardusku. Tiga jengkol yang masih terkapar di atas nasi memanggil-manggil. Tanpa ba bi bu, kuabaikan rasa kenyang di perutku. Agar tak mengurangi orisinilitas rasa jengkol, telor mata sapi, krupuk dan peyek ikan asin terpaksa kusingkirkan.

Tak ada lima menit, 3 jengkol ludes. Sementara, nasinya masih setengah. Kutengok ke belakang. Sudah sepi. Aku intip masih ada toples kuning itu. Aku menuju sasaran. Kuambil 3 buah lagi.

“Luar biasa pagi ini,” kataku sambil meneguk segelas air putih, kemudian bersendawa.

Eits, tapi hati-hati. Efek jengkol juga luar biasa. Kutiup-tiup telapak tanganku dan kucium. Sudah terasa. Dengan demikian, aku harus menjaga jarak ketika berbicara dengan orang lain. Selain itu, aroma toilet akan semakin “semerbak”. Maka aku harus hati-hati ketika buang air kecil maupun besar. Banyak air yang harus kubuang untuk menyiram. Dan WC sekolah, pastilah tak bisa terhindar dari efek ini.

Di hall, lanjutan acara perpisahan PPL baru saja dimulai. Diawali acara pembuka berupa pertunjukan silat. Kemudian beberapa lagu mulai terdengar. Aku penasaran, betapa serunya acara tersebut. Untuk sementara pemberkasan kututup. Aku keluar dari ruang guru.

Belum lagi, pintu kubuka dengan sempurna, seorang siswa sudah berada di depanku.

“Maaf Pak, Bu Sri ada?” tanya dia
“Oh, tidak ada. Tadi keluar sebentar mau fotocopy,” jawabku tepat di depan wajahnya.

Mendapat jawabanku, wajahnya nampak menyeringai. Kemudian agak melengos seperti menghindari tamparan tapi agak tertahan. Setelah kembali ke posisi sedia kala, wajahnya agak pucat seperti terkena semburan ular kobra.


Aku tersadar. Efek jengkol telah memakan korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar